Anton Muhajir, Denpasar - 2018-03-30
Suasana nonton film
dokumenter ‘Sekeping Kenangan’ di Denpasar, Bali, 29 Maret 2018. [Anton
Muhajir/BeritaBenar]
Sekitar 500 warga memenuhi lapangan Taman Baca Kesiman di
Denpasar Timur, Bali, Kamis malam, 29 Maret 2018. Lesehan di rumput, sebagian
besar pemuda itu menyimak film dokumenter tentang penyintas tragedi 1965,
‘Sekeping Kenangan’.
Selama sekitar 50 menit film dokumenter karya sutradara muda,
Hadhi Kusuma tersebut mengisahkan perekaman lagu-lagu penyintas tragedi politik
1965. Tak hanya pembuatan album berisi lagu-lagu penyintas yang
berjudul Prison Songs, film juga menceritakan sisi lain sejarah
kekerasan kala itu.
Usai pemutaran film, tiga nara sumber film berdiskusi
dengan penonton. Jenawi, Badra, dan Natar adalah mantan narapidana politik
(Napol) yang pernah mendekam di Penjara Pekambingan, Denpasar.
Mereka dipenjara, tanpa pernah diadili, atas
tuduhan sebagai anggota Partai Komunitas Indonesia (PKI). Secara bergantian,
ketiganya menuturkan kisah yang pernah dialami kepada penonton, sebagian besar
kelahiran 1980an dan 1990-an.
Malam itu juga ada enam musisi yang menyanyi
album Prison Songs, kompilasi lagu-lagu karya para penyintas 1965.
Ingatan berkurang
‘Sekeping Kenangan’ adalah dokumenter produksi Komunitas
Taman 65, tempat anak-anak muda Denpasar, yang memberi perhatian pada
rekonsiliasi dan sejarah kekerasan 1965.
Sebelumnya, mereka telah membuat album lagu dan buku
‘Prison Songs, Nyanyian yang Dibungkam’.
Film, album lagu dan buku menjadi bagian keseluruhan
proses merekam ulang lagu-lagu para tahanan politik 1965.
Proses ini bermula pada 2012 ketika para pemuda berumur
antara 20-an – 30-an tahun awalnya sering berkumpul di Taman 65 dan berdiskusi
berbagai hal, termasuk tentang tragedi 1965.
Setelah melihat tayangan dokumenter proses berkarya ‘Kill
the DJ’, seorang musisi rap berbahasa Jawa dari Yogyakarta, muncul ide membuat
rekaman lagu-lagu penyintas 1965.
“Kenapa kami tidak membuat rekaman seperti itu juga,” kenang I Made Surya Candra, musisi blues salah satu penggagas kompilasi, yang diiyakan rekan-rekannya.
Mereka mengidentifikasi nama-nama penyintas yang masih
hidup dan pernah dipenjara.
Pendamping penyintas 1965 yang juga anggota Taman 65,
lalu mempertemukan mereka dengan mantan tapol yang masih hidup. Proses
berlanjut dengan pengumpulan lagu.
Menurut mereka, upaya itu tidak mudah. Selain ingatan
yang sudah berkurang karena trauma dan berusia lanjut, para penyintas tidak
mudah percaya begitu saja pada orang baru.
“Tidak semua penyintas punya memori yang sama tentang sebuah lagu atau peristiwa sehingga kami harus satu per satu mengumpulkannya,” kata Gde Putra, relawan Komunitas Taman 65.
Mencocokkan nada
Umur penyintas yang rata-rata di atas 70 tahun, membuat
tim pengumpul lagu bekerja lebih keras.
Ketika mewawancarai Bu Pasek, seorang penyintas,
misalnya, mereka harus tanya keras-keras di telinganya dan berulang-ulang
karena pendengaran yang sudah terganggu.
Selain keterbatasan indera nara sumber, tantangan lain
adalah ingatan yang tak terlalu kuat lagi.
Ketika disuruh menyanyi dengan memainkan alat musik,
misalnya gitar, tangan mereka bahkan gemetar karena sudah lama tidak bermain
musik.
“Untuk satu judul lagu, nadanya bisa berbeda meskipun lirik lagunya sama. Karena itu kami harus mencocokkan nadanya,” ujar Made Candra, yang lebih akrab dipanggil Made Mawut.
Berbekal lirik dalam tulisan tangan disertai partitur,
Made Mawut mengaransemen ulang lagu-lagu tersebut.
Dia menyanyikannya bersama penyintas baik secara terpisah
maupun bersama sampai kemudian mendapatkan nada yang tepat.
Dari keseluruhan proses pengumpulan lagu-lagu itu, mereka
mendapatkan enam lagu kenangan para penyintas yaitu Sekeping Kenangan, Di
Kala Sepi Mendamba, Si Buyung, Tini dan Yanti, Latini, dan Dekon.
Lagu-lagu itu bercerita tentang pengalaman penyintas
selama dipenjara.
Misalnya, lagu Si Buyung yang bercerita tentang
kelahiran anak kelima saat ayahnya dipenjara.
Kau hadir duhai Buyung dalam derita/Tangismu, ayah tiada
mendengarnya/Hanya diiring derai air mata suci bunda/Kau songsong hidup ini
penuh luka.
Demikian sebagian lirik lagu karya R. Amirudin Tjitraprawira,
salah satu Tapol saat itu.
Lagu Dekon, misalnya, merupakan singkatan dari pidato
Presiden Soekarno pada 28 Maret 1963, Deklarasi Ekonomi. Lirik lagu dalam
bahasa Bali yang dibuat Ketut Putu ini sarat kritik terhadap koruptor.
Arti sebagian lirik lagu adalah: bersatu agar teguh,
rakyat buruh tani/musuh kita masih merajalela, tikus-tikus ekonomi/ jangan
percaya penghasut berbaju gagah/mari sekarang laki-perempuan, kecil-besar,
tua-muda bersatu agar teguh/mengikuti nasakom menjadi inti.
Made Mawut lalu mengajak musisi muda, seperti Jerinx dan
Dadang, untuk menyanyi ulang lagu-lagu tersebut. Dia menyesuaikan karakter
lirik dan nada dengan penyanyi yang diajak.
Salah satu adegan film
dokumenter ‘Sekeping Kenangan’ yang diputar di Denpasar, Bali, 29 Maret 2018.
(Anton Muhajir/BeritaBenar)
Jembatan sejarah
Bagi pegiat Komunitas Taman 65, upaya menghidupkan
lagu-lagu penyintas tak semata tentang lagu, tapi juga mengenalkan sejarah
kekerasan tragedi 1965, yang diperkirakan menewaskan ratusan ribu orang di
Bali, kepada anak-anak muda Pulau Dewata.
“Dengan mengajak musisi sebagai simbol budaya pop, kami ingin mengenalkan sejarah lain kepada kaum muda,” kata Putra.
Menurutnya, sejarah yang diceritakan dalam Prison
Songs dan ‘Sekeping Kenangan’, adalah hal-hal personal dan manusiawi,
seperti kerinduan pada kekasih, suasana dalam penjara, sampai doa untuk anak.
“Upaya semacam ini penting untuk meluruskan sejarah,” pungkasnya.
0 komentar:
Posting Komentar