HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Haji Misbach. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Haji Misbach. Tampilkan semua postingan

Selasa, 14 Mei 2019

Ramadhan: Melawan Kapitalisme Itu Ibadah


Penulis: Muhammad Imam Muzaqqi – 14 Mei 2019


“Kaoem modal memeras kaom boeroehnja tiada memandang bangsa dan agama dan tiada ambil poesing wet-wet igama jang moesti didjalani orang-orang yang beragama… kaoem-kaoem boeroeh di mana-mana sadja selain mereka soedah mengorbankan tenaganja, fikirannja…poen mengoerbankan agamanja diroesak djoega olih kapitalisme…”

Begitulah petikan tulisan Haji Misbach, seorang muslim yang gigih berjuang melawan ketidakadilan di masa kolonial Belanda. Petikan tulisan itu memberi makna untuk dua hal, kejinya kapitalisme, -tanpa kecuali kepada kehidupan beragama-, dan keharusan untuk melawannya.

Tentu saja melawan penghisapan tak mengenal jadwal kalender. Semua bulan baik adanya demi menegakkan yang haq. Tidak ada larangan bagi umat untuk terus melawan ketidakadilan semisal di bulan Ramadhan.
Hidup di bawah kuasa kapitalisme adalah hidup yang tak manusiawi. Kaum buruh terus terbelenggu dalam cengkraman  setan bernama kapitalisme yang jahat dan merusak. Sederhananya kapitalisme adalah penumpuk harta kekayaan dan modal.

Kapitalisme tidak pernah mengenal belas asih kepada buruh, meskipun memasuki bulan Ramadhan sekalipun. Sebaliknya, kapitalisme hanya mengenal kerakusan dalam kehidupannya. Menindas dan menghisap keringat buruh sampai kering selama puluhan tahun, bahkan berabad-abad lamanya sejak sistem ini berdiri.

Setiap bulan puasa berlangsung dari tahun ke tahun, banyak perusahaan melakukan PHK. Semisal PHK di PT. Garmen Indoraya di Bali tahun 2011 yang memakan korban 45 buruh ter-PHK. Lalu PHK kepada 135 orang di PT. Bening Big Tree Farms di Sleman tahun 2017. Juga 1095 orang Awak Mobik Tangki Pertamina. Dan yang terbaru adalah PT. Hansae Indonesia Utama yang menutup pabriknya tanpa memberikan hak-hak buruhnya secara benar. Semua di bulan Ramadhan.

Perlawanan saat bulan puasa untuk melawan setan bernama kapitalisme harusnya tak boleh surut. Beberapa dekade silam, sepuluh hari menjelang Lebaran pada Mei 1923 meletus juga perlawanan di jawatan Kereta Api. Perusahaan Kereta Api negara dan swasta menghapus sejumlah tunjangan dan memangkas kenaikan gaji buruh.

Hidup belasan ribu buruh tak menentu dan gelap karenanya. Meyaksikan itu, buruh kereta api tidak tinggal diam, mereka bertindak. Tepat sepuluh hari sebelum Lebaran, buruh kereta api melakukan mogok kerja sampai berbulan-bulan. Atas tindakan itu, buruh yang mogok harus menerima tindakan kekerasan. Selama mogok itu pula, pengusaha tidak pernah memberikan sekecil apapun hak buruh Kereta Api.

Sejarah masa silam, nyatanya sampai hari ini tidak pernah berubah. Watak khas Kapitalisme tetap sama, rakus, tamak dan jahat. Takdir watak tersebut melekat erat pada sistem kapitalisme, apapun bentuk wajah, usaha dan orangnya. Hukum ekonomi mereka sederhana “mendapat laba sebanyak-banyaknya”. Watak jahat itu khas seperti setan, kapitalisme menjerumuskan buruh dan rakyat dalam jurang kemerosotan hidup.

Kapitalisme tidak pernah peduli tentang apa itu haq dan bathil. Tidak pernah peduli tentang halal dan haram. Begitupulah saat ramadhan tiba, kapitalisme tetap tamak dan jahat. Semisal buruh PT. Hansae Indonesia Utama sampai hari masih belum juga mendapat hak mereka, keringat yang sudah diperas bertahun-tahun dihargai dengan PHK massal

Tidak ada yang bisa diharapkan dari setan bernama kapitalisme, alih-alih malah memujanya. Kemerosotan hidup kaum buruh adalah ulah kapitalisme. Dialah (Kapitalisme) setan sesungguhnya, mencecap darah buruh, menjerumuskan dalam kehidupan yang penuh dengan kubangan kemiskinan.
“…hingga sekarang saja berani mengatakan djoega, bahoewa kaloetnja doenia ini, tiada lain hanja dari djahanam kapitalisme dan imperialisme berboedi boeas itoe sadja. Boekannja keselametan dan kemerdikaan kita hidoep dalam doenia ini sadja, hingga kepertjajaan kita hal igama poen diroesak djoega olihnja.”
Begitulah ungkapan cerdik seorang muslim taat tentang kapitalisme dalam Medan Moeslimin, sebuah terbitan progresif pada jamannya. Haji Misbach paham, melawan  kapitalisme adalah ibadah, sebab ia wujud nyata melawan hawa nafsu yang tamak dan jahat.

***

Sabtu, 11 Mei 2019

Haji Misbach, Haji Revolusioner yang Memadukan Islam & Komunisme


Oleh: Indira Ardanareswari - 11 Mei

Mohammad Misbach, haji komunis. tirto.id/Sabit 2019

Haji Misbach memadukan Islam dan komunisme sebagai landasan perjuangan. Radikalismenya membuat ia diasingkan pemerintah kolonial.


Mohammad Misbach atau Haji Misbach adalah tokoh unik dalam sejarah Indonesia. Di samping menjunjung tinggi nilai-nilai Islam, ia juga dikenal sebagai penganut setia komunisme. Misbach sangat mengagumi kepribadian Nabi Muhammad sekaligus mengidolakan Karl Marx.

Soe Hok Gie dalam Orang-orang Di Persimpangan Kiri Jalan (2005: 6) menjuluki Misbach sebagai Haji Revolusioner. Sebagai seorang yang berpikir radikal, Misbach memperjuangkan antikolonialisme. Herman Hidayat melalui makalah “Perjuangan dan Pemikiran H.M. Misbach” yang dimuat dalam antologi Jejak Kebangsaan: Kaum Nasionalis di Manokwari dan Boven Digoel (2013) menyatakan pemikiran Misbach tentang aktualisasi dan kontekstualisasi nilai-nilai Islam dan marxisme ditujukan untuk menentang penindasan kolonial Belanda (hlm. 44). 

Jauh sebelum orasi dan perjuangannya menggema di beberapa surat kabar sepanjang dekade 1910-an dan 1920-an, masa kecil Misbach tergolong biasa saja.

Ia lahir di Kampung Kauman Surakarta pada 1876 dari keluarga pedagang batik yang cukup berada. Orang tuanya memberikan nama kecil Ahmad. Pendidikan Ahmad diawali dengan ngelmu di pesantren. Kemudian ia menuntut ilmu pengetahuan dasar di sekolah bumiputra Ongko Loro selama delapan bulan.

Menurut Hidayat, perpaduan belajar di sekolah agama dan sekolah umum memberikan Ahmad perspektif yang luas terhadap lingkungan sosialnya. Meski datang dari keluarga saudagar sekaligus pejabat Muslim di Keraton Solo, tak lantas membuat Ahmad berperilaku layaknya ningrat. Ia justru digambarkan sebagai pribadi yang ramah kepada siapa saja termasuk rakyat miskin dan sangat alim.

Lulus dari sekolah bumiputra, Ahmad langsung meneruskan usaha dagang ayahnya. Di bawah pengawasannya, bisnis batik keluarga Ahmad menjadi sangat maju. Kebetulan bisnis batik di awal abad ke-20 memang tengah melejit. Tak lagi menjadi pengepul, Ahmad berhasil membuka rumah pembatikan sendiri di kampungnya.

Hidup Demi Kaum yang Tertindas

Rupanya, berdagang tak membuat Ahmad berpuas hati. Ia justru tertarik pada gejolak sosial-politik yang mewarnai tanah Jawa di permulaan abad ke-20. Menurut Mu’arif dalam artikelnya di alif.id, ketertarikan Ahmad bermula dari kesukaannya membaca surat kabar Doenia Bergerak. Surat kabar berhaluan kiri itu diterbitkan oleh Indische Journaist Bond (IJB), sebuah organisasi pers pribumi bentukan Sarekat Islam (SI).

Memasuki usia dewasa, Ahmad—kala itu telah menikah dan beralih nama menjadi Darmodiprono—memutuskan pergi berhaji. Sepulang dari ibadah haji ia mengambil nama Islam: Mohammad Misbach. Di saat bersamaan keinginan untuk terjun ke dunia pergerakan semakin bulat. Haji Misbach pun bergabung ke IJB pada 1914.

Perjuangan Haji Misbach melawan penindasan pemerintah kolonial dimulai dari balik meja redaksi. Sepanjang 1915 hingga 1919 ia berkenalan dengan haji-haji tokoh pergerakan dari Surakarta dan Yogyakarta, termasuk di antaranya Kiai Haji Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. Sepanjang tahun-tahun itu pula Misbach giat menulis untuk surat kabar Medan Moeslimin (1915) dan Islam Bergerak (1917).

Kembali merujuk pada penelitian Herman Hidayat, sekitar April 1919 Misbach membuat karikatur di surat kabar Islam Bergerak yang menyebut kapitalis Belanda suka menindas petani dengan membebani mereka dengan kerja paksa, upah yang kecil, dan pajak yang tinggi.

Tak hanya pemerintah kolonial, penguasa-penguasa feodal, termasuk Pakubuwana X yang terkenal lengket kepada Belanda, pun dicerca. Retorika khas Haji Misbach, menurut Hidayat, berhasil menggerakkan aksi mogok petani di beberapa perkebunan Belanda di tahun 1919. Sikapnya yang terlampau vokal perihal ketimpangan hubungan antara penguasa dengan kaum pekerja membuat Misbach dikejar-kejar pemerintah kolonial. Ia akhirnya dibui pada 1920 atas tuduhan penistaan.

Penjara tampaknya telah menempa Misbach menjadi pribadi yang baru. Selama dalam tahanan dia banyak bersosialisasi dengan para aktivis Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV), embrio Partai Komunis Indonesia (PKI). Dari dalam penjara Misbach mulai mengenal marxisme.

Berdasarkan penelusuran Ruth T. McVey dalam The Rise of Indonesian Communism (1965), setelah terbebas dari penjara di tahun 1922, Misbach dan para pendukungnya berhasil mengambil alih Medan Moeslimin dan Islam Bergerak. Di sanalah ia dengan lantang menunjukan sikap menentang kapitalisme.

Akibatnya, hubungan antara Misbach dengan Partai Sarekat Islam jadi tak harmonis. Misbach juga mulai menyerang organisasi-organisasi pembaruan Islam, seperti halnya Muhammadiyah. Ia menjuluki mereka sebagai kapitalis Muslim. Kritik tersebut dikeluarkannya dalam Medan Moeslimun edisi 20 November 1922 dan Islam Bergerak edisi 10 Desember 1922.



Propaganda Komunis Lewat Jalan Islam

Nor Hiqmah dalam H.M. Misbach: Sosok dan Kontroversi Pemikirannya (2000) mempertegas alasan Haji Misbach memerangi kapitalisme. Menurut pandangan sang haji, kapitalis merupakan kaum serakah yang menebar kezaliman dan kekejian.

Sebagaimana keyakinannya, kaum-kaum tersebut harus diperangi. Saat tengah menyampaikan pemikirannya ini Misbach turut mengutip surat an-Nisa ayat 75 yang menyerukan anjuran berperang melawan kezaliman (hlm. 29).

Sebelumnya, lanjut Hiqmah, Misbach juga pernah mengutarakan pemikiran serupa lewat surat kabar Islam Bergerak pada 1922. Misbach menggambarkan tentang terbelenggunya rakyat Indonesia yang mayoritas Islam akibat ulah kapitalisme dan imperialisme yang ia sebut penuh tipu muslihat.

Misbach kerap menyebut kecenderungan para penguasa feodal dan para polisi yang suka menindas rakyat kecil, sementara kelompok kapitalis menghisap tenaga para buruh tani. Hal ini menimbulkan kemiskinan terstruktur. Misbach percaya, seharusnya seorang Muslim dapat bersatu memerangi keburukan tersebut.

Berbekal pandangan yang kemudian populer dengan sebutan Islam-Komunis, sejak 1923 Misbach muncul sebagai propagandis PKI dan SI merah yang efektif. Bahkan ia sempat naik podium untuk berorasi dalam kongres PKI/SI di Bandung dan Sukabumi pada Maret 1923.

Misbach berargumen, sudah kewajiban seorang Muslim untuk mengakui hak-hak manusia, sama halnya dengan program-program komunis. Misbach juga yakin, dengan memilih jalan komunis siapapun masih bisa menjadi seorang Muslim sejati.

Fikrul Hanif Sufyan dalam Menuju Lentera Merah: Gerakan Propagandis Komunis Di Serambi Mekah 1923-1949 (2018) menuturkan orasi Misbach pada perhelatan kaum kiri tersebut menginspirasi para haji dari pulau seberang. Salah seorang haji yang terkagum-kagum mendengar pidato Misbach ialah Haji Datuk Batuah yang kemudian mendirikan Sarekat Rakyat di Padang pada November di tahun yang sama (hlm. 46).

Pada Juni 1924 Haji Misbach kembali ditangkap pemerintah kolonial atas tuduhan agitasi di wilayah Surakarta. Ia lantas dibuang bersama keluarganya ke Penindi, Manokwari. Meskipun terasingkan, perjuangan Misbach belumlah berakhir.

Herman Hidayat mencatat bahwa di Manokwari Misbach justru lebih banyak berinteraksi dengan suku-suku pendatang lain. Bersama-sama, mereka membentuk komunitas Islam dan mendirikan masjid untuk beribadah. Selain itu, Misbach juga masih berjuang mengemukakan pemikirannya melalui beberapa surat kabar di Jawa yang pernah diampunya.

Menurut Mu’arif, selama dalam pembuangan Misbach berteman dengan Haji Muhammad Abu Kasim, pemilik perusahaan jasa pengiriman dari Ambon ke Manokwari. Melalui Abu Kasim, Misbach kerap memesan buku dan majalah yang diterbitkan organisasi-organisasi Islam modern di Jawa. Kuat dugaan, melalui Abu Salim pulalah Misbach mengirimkan tulisan-tulisannya.

Penelitian Nor Hiqmah menunjukan tulisan bersambung Misbach yang berjudul “Islam dan Komunis” ditulis ketika ia berada dalam pengasingan di Manokwari. Tulisan tersebut dimuat secara berkala di Medan Moeslimin yang terbit berurutan sebanyak enam kali sepanjang tahun 1925.

Sebelum meninggal di tahun 1926, Misbach sempat mengeluarkan tulisan terakhir. Tulisan berjudul “Nasehat” terbit di Medan Moeslimin dan berisikan pesan kepada rekan seperjuangannya agar tetap melakukan pergerakan melawan kezaliman berlandaskan agama.

Perjuangan Haji Misbach melawan penindasan pemerintah kolonial dimulai dari balik meja redaksi.


Kamis, 07 Februari 2019

Nasib Makam Haji Misbach Di Manokwari

7 FEBRUARI 2019 | 11:19



Di pemakaman kuno Fanindi, yang terletak di pusat kota Manokwari, Papua Barat, beristirahat dalam sunyi seorang pejuang kemerdekaan Indonesia: Haji Misbach.
Mencari jejak Haji Misbach di Manokwari tidak gampang. Hanya sedikit orang yang tahu, bahwa pejuang yang dijuluki “Haji Merah” itu dibuang, meninggal dan dimakamkan di Manokwari.
Beruntung, berkat bantuan seorang kawan aktivis di Manokwari, saya bisa berjumpa dengan Patrix Tandirerung. Pemuda asal Tana Toraja, Sulawesi Selatan, ini merupakan satu dari hitungan jari orang di Manokwari yang mengetahui keberadaan makam Haji Misbach di Manokwari.
Patrix mengaku bermukim di Manokwari sejak 1999. Suatu hari, saat masih magang di sebuah media cetak, dia menemukan artikel tentang Haji Misbach yang ditulis oleh seorang aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD).
“Konon kabarnya, Kiai Merah dibuang ke Manokwari. Petunjuknya adalah Fanindi,” kenang Patrix.
Sejak itu, dia mulai bergerilya mencari makam tokoh penting Sarekat Islam cabang Surakarta itu. Awalnya, dia berusaha mencari petunjuk tentang komplek pemukiman kuno Fanindi.
Bulan Desember 2010, usaha itu membuahkan hasil. Komplek pemakaman Fanindi ditemukan. Tepat di belakang kantor Telkom, di jalan Merdeka, Manokwari. Dan berkat petunjuk seorang warga, yang oleh orang-orang sekitar dipanggil “Mama”, makam Haji Misbach berhasil ditemukan.
“Kondisinya memprihatinkan. Nyaris seluruh nisan tertutup ilalang. Lambang bulan bintang pada nisan, serta tulisan Haji Misbach, tertutupi lumut dan debu,” kenang Patrix.
Hari itu, Senin (28/1/2019), dipandu oleh Patrix, saya dan beberapa teman dari Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD) berkesempatan menziarahi makam Haji Misbach.
Kondisi pemakaman Fanindi makin memprihatikan. Tidak terurus. Banyak makam yang batu nisannya terbongkar. Bahkan pemakaman zaman Belanda ini mulai terdesak oleh pemukiman penduduk.
“Dulunya ini pemakaman orang Belanda dan Cina. Ada juga orang-orang Makassar di ujung sana,” kata Riska, cucu Mama, salah satu warga yang tinggal di sekitar pemakaman Fanindi sejak zaman Belanda.
Rumah Mama bergaya Belanda, diapit oleh halaman yang luas. Dari gaya rumahnya, jelas Mama termasuk pemukim terlama di daerah itu. Mama-lah yang menjadi sumber informasi Patrix saat mencari makam Haji Misbach.
Hari itu, saat kami berziarah, kondisi makam Haji Misbach agak berubah. Pusara Kiai Merah bersama keluarga sudah dinaungi atap. Lantainya juga sudah dilapisi keramik. Hanya saja, karena jarang dikunjungi, rumput mulai menjulur masuk ke dalam bangunann makam.
Menurut Patrix, dari cerita gurunya yang bernama Kamari, seorang Sukarnois asal Surabaya yang hijrah ke Manokwari pasca peristiwa 1965, pemugaran makam Haji Misbach mulai terjadi tahun 1980-an.
Adam Malik, yang saat itu menjabat Wakil Presiden, memerintahkan pemugaran makam Haji Misbach dan keluarganya. Bahkan pendiri partai Murba ini sempat berziarah ke makam Haji Misbach.
“Mama saat itu yang mengalungkan bunga ke Wakil Presiden,” cerita Riska.
Sejak itu, makam Haji Misbach mulai mendapat perhatian. Bahkan, berdasarkan cerita Pak Kamari, anggota TNI rutin membersihkan makam itu menjelang peringatan Hari Pahlawan.
Tidak banyak informasi tentang pemugaran seperti apa yang dilakukan oleh Adam Malik. Tapi, menurut dugaan saya, dia yang memasang nisan di atas pusara Haji Misbach. Sebab, di nisan itu tertulis: “Perintis Kemerdekaan RI”, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945.
Menurut cerita Riska, setelah Orde Baru tumbang, mulai ada orang lain yang mengunjungi Haji Misbach. Termasuk orang-orang Eropa, yang kemungkinan peneliti.
Pemugaran terbaru terjadi baru beberapa tahun lalu. Saat itu, kata Riska, ada rombongan keluarga Haji Misbach dari Jawa yang datang berziarah. Beberapa diantaranya berhijab panjang. Merekalah yang memasang atap dan pagar. Juga memasang lantai keramik.
****
Haji Misbach lahir di Kauman, Surakarta, tahun 1876. Dia dibesarkan di tengah keluarga pedagang batik yang kaya. Namun, karena dia tinggal di kawasan yang sangat religius, sebagian besar masa sekolahnya di Pesantren.
Begitu beranjak dewasa, Misbach mewarisi pekerjaan keluarganya: pedagang batik yang sukses. Tahun 1912, ketika Sarekat Islam (SI) berdiri di Surakarta, dia menjadi anggotanya.
Misbach mulai aktif di pergerakan di tahun 1914, melalui Indlandsche Journalisten Bond (IJB)—semacam perkumpulan para jurnalis, bersama Mas Marco Kartodikromo.
Tahun 1915, dia mulai menerbitkan koran sendiri. Namanya Medan Moeslimin. Koran inilah yang menjadi terompet Misbach memprotes ketidakadilan dan penindasan kolonial.
Meski begitu, Haji Misbach lebih dikenal sebagai Mubalig—penyiar agama dalam Islam. Di sisi lain, karena pengaruh orang kiri semacam Sneevliet dan Semaun, SI banyak terpapar oleh ajaran Marxisme. Haji Misbach menyebutnya “Ilmu Komunisme”.
Haji Misbach tertarik dengan marxisme, terutama karena ketajaman analisanya dalam membongkar kejahatan kapitalisme sekaligus kemuliaan cita-citanya untuk menegakkan masyarakat sama rata; sama rasa.
Di akhir 1910-an, di Surakarta dan sekitarnya, merebak keresahan kaum buruh dan petani akibat kebijakan kolonial soal kerja wajib, pajak dan upah yang tidak adil. Insulinde, organisasi yang diinspirasi oleh tiga serangkai—Tjipto Mangoenkoesoemo, E.F.E Dekker, dan Soewardi Soerjadiningrat—merespon keresahan itu.
Haji Misbach menjadi bagian Insulinde pada Maret 1918. Bersama Insulinde, dia menjelma sebagai “propagandis” yang menyuarakan persoalan-persoalan buruh dan petani.
Saat itu, di Surakarta dan sekitarnya, pemogokan petani dan buruh meluas. Dan untuk menutup sumber agitasi pemogokan, Belanda menciduk Haji Misbach. Ia dikurung tiga tahun.
Tahun 1922, Misbach keluar dari penjara. Kecewa dengan Muhammadiyah dan Sarekat Islam yang dianggap “mandul” terhadap kapitaisme dan imperialism, Haji Misbach merapat ke Partai Komunis Indonesia. Dia menjadi pendiri PKI afdeling Surakarta.
Di sini, keyakinan Haji Misbach akan kemiripan nilai dan kesetujuan cita-cita antara Islam dan komunisme makin menebal. Baginya, perjuangan melawan kapitalisme dan imperialism adalah jihad fi sabilillah.
Tahun 1923, terjadi serangan bom di sejumlah kantor pemerintah Surakarta, penggelintiran kereta api di Yogyakarta, dan pelemparan kotoran ke potret-potret Ratu Wilhelmina. Haji Misbach langsung dituding mendalangi aksi-aksi ini.
Pada 20 Oktober 1923, Misbach kembali diciduk. Tanpa melalui proses peradilan, dan tanpa bukti yang kuat, sang Kiai merah tetap dianggap bersalah. Dia dijatuhi hukuman buangan ke Manokwari, Papua barat.
Tanggal 18 Juli 1924, Misbach digiring menumpang kapal dari Surabaya ke Manokwari. Ia ditemani oleh istri dan tiga anaknya. Perjalanan Surabaya-Manokwari ditempuh 20 hari, dengan 17 kali singgah di pelabuhan sepanjang Jawa-Papua.
Tanggal 7 Agustus 1924, Misbach dan keluarga tiba di Manokwari. Sesuai janjinya, dia langsung menulis kronologis perjalanannya melalu surat yang dimuat di koran Medan Moeslimin.
Di Manokwari, api perjuangan Misbach tidak padam. Dari kota buah inilah Misbach melahirkan risalahnya yang terkenal, Islamisme dan Kommunisme, yang dimuat berseri di Medan Moeslimin. Di risalah inilah dia memproklamirkan: komunis yang memusuhi Islam bukanlah komunis sejati; sebaliknya, islam yang memusuhi komunisme, bukanlah Islam yang sejati.
Di kota ini, kendati diawasi ketat oleh Belanda, Haji Misbach tetap mengorganisir rakyat. Dia mendirikan Sarekat Rakyat (SR) cabang Manokwari, yang beranggotakan puluhan orang.
Memang, begitu tiba di Manokwari, istri Haji Misbach terserang penyakit TBC akut. Penyakit Malaria juga mulai menyerang Misbach dan anak-anaknya. Karena kondisi itu, pada Mei 1925, Misbach sempat meminta izin kepada Belanda, agar diperbolehkan ke luar negeri.
Saat itu, Misbach berniat ke Belanda. Apalagi, saat itu, dia mendengar namanya dicalonkan sebagai anggota Tweede Kamer (Majelis Rendah di parlemen Belanda) oleh Partai Komunis Belanda. Karena niat itu, pengikut Haji Misbach di Surakarta menggalang dana untuk pemberangkatan Misbach ke Belanda.
Sayang, izin itu datang terlambat. Istri Misbach meninggal dunia pada Juli 1925. Setahun kemudian, tepatnya 24 Mei 1926, karena serangan Malaria, giliran Haji Misbach yang berpulang. Dia dikubur oleh sekelompok kecil anggota SR Manokwari di kuburan Fanindi.
Di “Zaman Bergerak”, Takashi menceritakan, setelah Misbach meninggal, tiga anaknya dipulangkan ke Surakarta, dengan diantara oleh seorang anggota SR Manokwari, pada akhir Juli 1926.
Namun, di pemakaman Haji Misbach, selain nisan Misbach dan istrinya, ada nisan anak kecil di samping mereka. Makam anak kecil itu masuk dalam bangunan atap makam keluarga Misbach. Anak kecil itu diyakini salah satu anak Haji Misbach.
RUDI HARTONOpimred berdikarionline.com.
Keterangan foto: foto (1) makam Haji Misbach tahun 2010 (diambil oleh Patrix Tandirerung); foto (2) penulis di samping Nisan Haji Misbach tahun 2019 (diambil oleh AJ Susamana)
Sumber: BerdikariOnline