HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Putu Oka Sukanta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Putu Oka Sukanta. Tampilkan semua postingan

Rabu, 30 September 2015

Suara Veteran Lekra Menguak Kebenaran


Vega Probo, CNN Indonesia | Rabu, 30/09/2015 20:25 WIB

Putu Oka Sukanta, salah satu seniman veteran Lekra. (CNNIndonesia/Utami)

Jakarta, CNN Indonesia -- Di antara sederet pembahasan tentang Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra, boleh dikatakan film dokumenter bertajuk Cidurian 19, Rumah Budaya yang Dirampas (2010), yang paling emosional.

Lekra adalah organisasi bentukan Partai Komunis Indonesia (PKI), pada 17 Agustus 1950, untuk menaungi kalangan seniman. Memasuki era Orde Baru, seniman anggota Lekra diberangus tanpa ampun.

Namun siapa juga yang bisa membendung gagasan, pemikiran dan hasil karya seniman? Di antara segelintir veteran Lekra yang masih aktif hingga kini, Putu Oka Sukanta adalah salah satunya.

Pertemuan pegiat seni M. Abduh Aziz, yang pernah menjabat sebagai Ketua Koalisi Seni Indonesia, dengan Putu Oka mengerucutkan gagasan untuk membuat film dokumenter.

Bersama sutradara Lasja Fauzia Susatyo, Abduh menggarap film dokumenter Cidurian 19 yang tak mengurai kronologi Lekra, melainkan kisah emosional para veterannya yang luput dari pemaparan sejarah.

Di film dokumenter itu, beberapa veteran mengurai pengalamannya berkesenian dan bergabung dengan Lekra di usia muda, termasuk kegiatan di kantor sekretariat di Jalan Cidurian 19, Menteng, Jakarta.  
“Tugas film bukan semata memaparkan sejarah,” kata Abduh saat dihubungi CNN Indonesia  via sambungan telepon, pada Rabu (30/9). “Film juga memuat emosi dan impresi.”
Dalam film dokumenter Cidurian 19, bagian dramatis dari tragedi era 1965, khususnya yang menimpa kalangan seniman, diutarakan dari sisi berbeda, dalam suasana haru biru yang sarat emosi.

Sementara bagi Lasja, penting untuk membuat film dokumenter yang komunikatif. Ia berharap, masyarakat mengenal veteran Lekra dalam lewat Cidurian 19 sebagai seniman yang punya niat mulia.
“Situasinya kala itu—1965—sangat berbeda, dan kondisinya pun sulit, namun para seniman sanggup bekerja luar biasa dengan bakat mereka yang spesial,” kata Lasja saat dihubungi CNN Indonesia via sambungan telepon, pada Selasa (28/9).
Pertemuan dengan veteran Lekra sepanjang menggarap film dokumenter ini membuahkan kekaguman tersendiri bagi Abduh, terutama kecerdasan dan ketajaman daya ingat mereka.

Abduh sendiri mengagumi sastra karya Pramoedya Ananta Toer. Sang sastrawan tak hanya kritis dan piawai menangkap semangat zaman, ia mumpuni menggunakan medium sastra sebagai narasi sejarah.
Tak berbeda dengan Abduh, Lasja pun mengagumi eksistensi veteran Lekra, “Sekalipun kesehatan menurun di usia lanjut, namun semangat berkreasi masih berapi-api.”
Lasja berharap, film dokumenter Cidurian 19 menjadi karya yang mampu menebar pengaruh positif bagi banyak pihak, baik sineas, veteran Lekra, pemerintah, dan masyarakat.

Kamis, 17 Oktober 2013

‘Sulawesi Bersaksi' mengungkapkan perspektif langka tentang pembantaian 1965


Evi Mariani - The Jakarta Post / Kamis, 17 Oktober 2013 / 01:09 siang

Mengingat 1965: "Ketika Sulawesi datang ke depan, itu harus dipuji," menurut sejarawan Hilmar Farid. (JP/Lembaga Kreatiftas Kemanusiaan)

Lima orang muda telah menulis permata sejarah dari sebuah buku berjudul Sulawesi Bersaksi (Sulawesi Bersaksi), mengungkap kisah langka para penyintas dan keluarga mereka setelah pembersihan para tersangka komunis pada 1965 di Sulawesi.

Diedit oleh penulis Putu Oka Sukanta, dirinya dipenjara selama 10 tahun oleh Orde Baru, buku, yang ditulis oleh para aktivis muda HAM dari Sulawesi Tengah ini, menampilkan wawancara dengan kaki tangan pembunuh empat tahanan di provinsi tersebut serta dengan 12 para penyintas dan anak-anak serta istri para penyintas yang disiksa, dipenjara, dan dipaksa bekerja setelah tragedi 30 September 1965.

Sejarawan Hilmar Farid mengatakan dalam sebuah diskusi baru-baru ini yang diselenggarakan oleh pusat budaya Jerman Goethe Institut di Jakarta Pusat bahwa buku itu luar biasa, karena akun 1965 kebanyakan berpusat di sekitar Jawa. 
 "Ketika Sulawesi datang ke depan, itu harus dipuji." 
Penulis buku lainnya, Gagarisman, putra pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) Sulawesi Tengah, membacakan puisi di atas panggung di Goethe, menceritakan kisah keluarganya setelah ayahnya , Abdul Rahman Dg. Maselo, ditahan pada tahun 1965 dan dinyatakan hilang pada tahun 1967.

Mereka tidak tahu pasti apa yang terjadi pada Maselo sampai 2007, ketika seorang pensiunan tentara, Ahmad Bantam, maju ke depan dan memberi tahu keluarga apa yang terjadi.

Bantam mengatakan bahwa dia dan dua rekan kerjanya menggali dua lubang di sebuah bukit antara Donggala dan Palu. Dia mengatakan dia diberitahu oleh atasannya, Kapten Umar Said untuk duduk di samping mobil sementara Umar, dua tentara dan seorang pria bersenjatakan senapan Sten mengantar tiga tahanan yang diikat, termasuk Maselo, ke lubang-lubang.

Terdengar suara keras dan orang-orang itu kembali tanpa tahanan, kata Bantam.

Kisah Bantam, diceritakan melalui wawancara dengan Nurlaela AK Lamasitudju, atau Ella, adalah satu-satunya kisah dari kaki tangan.

Kisah para penyintas, anak-anak dan para istri bahkan lebih pedih.

Semua akun yang ditulis oleh Ella, Alamsyah AK Lamasitudju, Gagarisman, Muhammad Abbas dan Nurhasanah didasarkan pada wawancara mereka yang dibantu oleh kelompok advokasi hak asasi manusia SKP HAM Palu, tempat Ella bekerja.

Sebagian besar dari mereka yang menceritakan kisah itu berasal dari Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara.

Ella mengatakan bahwa SKP HAM telah mencatat 1.210 kisah korban di Sulawesi Tengah dan lebih banyak di provinsi lain.

Tidak seperti yang terjadi di Jawa, militer di Sulawesi tidak memobilisasi warga sipil untuk membunuh orang-orang yang dicurigai sebagai komunis, yang oleh Hilmar disebabkan oleh pengaruh lokal yang lebih rendah dari PKI dan perbedaan dalam militer, yang, pada awal rezim Soeharto, tidak sebagai monolitik seperti itu nanti selama pemerintahannya.

Nasir, seorang aktivis mahasiswa dari Palu, mengatakan bahwa tidak adanya keterlibatan warga sipil dalam kekerasan dapat disebabkan oleh kegagalan untuk menerapkan kebijakan reformasi tanah PKI, yang memberikan kepemilikan tanah kepada petani, di Sulawesi.

Di Jawa, anggota sayap pemuda Nahdlatul Ulama (NU), organisasi sosial Muslim terbesar di negara itu, termasuk di antara para algojo yang dicurigai komunis, karena banyak yang dipaksa melepaskan tanah adalah para pemimpin agama dari NU.

Ella mengatakan, pola kejadian setelah 30 September 1965 di Sulawesi berbeda antar provinsi.

Di Sulawesi Tengah, misalnya, hanya 17 yang dilaporkan hilang atau mati.Angka-angka itu lebih tinggi di tempat lain, katanya. 

 "Di Bone [Sulawesi Selatan] saja, ada lebih dari seribu." 
Dia mengatakan dia bahkan mendengar cerita dari para penyintas Sulawesi Utara tentang penggunaan alat pemenggalan kepala.

Buku yang diterbitkan oleh Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan dan didukung oleh Kampanye Tapol di London, adalah bagian dari pekerjaan SKP HAM untuk menjelaskan apa yang terjadi di Sulawesi, dan khususnya di Palu.

Kerja bertahun-tahun telah menghasilkan permintaan maaf yang langka dari pejabat publik. Pada bulan Maret 2012, setelah banyak diskusi, termasuk pemutaran Joshua Oppenheimer 'The Act of Killing, Walikota Palu Rusdy Mastura membuat permintaan maaf publik kepada korban dan penyintas pembersihan di Palu.

Walikota mengatakan bahwa orang yang selamat, sebagian besar lansia miskin, akan mendapatkan asuransi kesehatan dari anggaran kota. 
“Aku juga bersalah. Pada 24 Maret 1966, saya diberitahu oleh militer, sebagai seorang pramuka, untuk membantu menjaga [yang dicurigai] PKI yang berkumpul di sebuah alun-alun. Aku menjaga mereka dengan tongkat pramuka anakku." 
Rusdy kemudian mengumumkan kampanye yang disebut "Palu, Kota dengan Kesadaran Hak Asasi Manusia ".

Sementara itu, Ella mengatakan banyak keinginan para penyintas itu sederhana: hanya untuk mengungkapkan kebenaran.

Keinginan keluarga Gagarisman, mungkin kurang megah, lebih mengharukan. 
"Cara ayah saya dimakamkan tidak beradab, hanya cocok untuk mereka yang tidak setia," kata Gagar. “Saya seorang Muslim. Tolong, kembalikan jasad ayahku, kembalikan dia ke keluarga sehingga kita bisa mengadakan pemakaman sebagaimana layaknya keluarga Muslim".