HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label News. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label News. Tampilkan semua postingan

Rabu, 05 Februari 2020

Forum Asia tentang HAM menyampaikan kekecewaan terhadap Jokowi

New Desk | The Jakarta Post 

Polisi menggunakan meriam air untuk membubarkan pengunjuk rasa di depan kompleks Dewan Perwakilan Rakyat pada 24 September 2019. (JP / Donny Fernando)

Presiden Joko “Jokowi” Masa jabatan kedua Widodo belum menunjukkan tanda-tanda kemajuan dalam menyelesaikan pelanggaran HAM, demikian kesimpulan Forum Asia untuk Hak Asasi Manusia dan Pembangunan.

Siaran pers yang disediakan untuk The Jakarta Post mengungkapkan kekhawatiran bahwa, setelah hari ke 100 masa jabatan keduanya, Jokowi sekali lagi gagal memenuhi janji kampanyenya untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia. 
"Kami menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk mengatasi situasi dan menghentikan erosi ruang sipil dan demokrasi di negara ini," kata siaran pers. 
Forum Asia untuk Hak Asasi Manusia dan Pembangunan, bersama dengan para anggotanya di Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Kelompok Kerja Hak Asasi Manusia (HRWG), Hak Asasi Manusia Indonesia Watch (Imparsial), Asosiasi Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Penelitian dan Advokasi Kebijakan (ELSAM) dan Yayasan Sekretariat Anak Merdeka (Samin), mengatakan bahwa Jokowi memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan dalam hal menyelesaikan pelanggaran HAM, termasuk yang dari 1965 dan 1998, serta yang terkait dengan protes pada September 2019.

Protes September adalah ekspresi ketidakpuasan atas revisi administrasi Jokowi ke UU Komisi Pemberantasan Korupsi dan UU KUHP.
"Selama protes pada bulan September, ada laporan konstan tentang penggunaan kekerasan dan kekuatan yang tidak proporsional oleh polisi untuk menekan protes damai di seluruh Indonesia, yang mengakibatkan banyak cedera dan bahkan kematian," kata rilis itu.
Forum ini juga menjelaskan bahwa pemerintah telah mengecewakan kelas pekerja dengan undang-undang omnibus, seperangkat undang-undang yang dimaksudkan untuk merampingkan investasi di Indonesia. 
“Dalam proses penyusunan undang-undang yang diusulkan, yang kemungkinan akan membawa lebih banyak kerugian daripada kebaikan karena mengurangi hak-hak pekerja, memperburuk degradasi lingkungan dan mengkriminalisasi minoritas, serikat pekerja tidak diajak berkonsultasi. Langkah ini jelas menunjukkan bahwa Indonesia memprioritaskan bisnis dan investasi dibandingkan perlindungan pekerjanya,” kata forum itu. (gis)

Jumat, 27 Desember 2019

Mahfud Jelaskan Jalur Penyelesaian 12 Kasus Pelanggaran HAM Berat


27/12/2019, 08.06 WIB
Penulis: Martha Ruth Thertina
Editor: Martha Ruth Thertina

Mahfud menyatakan tidak ada kecenderungan jalur penyelesaian lewat nonyudisial atau di luar pengadilan.

Menko Polhukam Mahfud MD memberikan keterangan pers di Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (12/12/2019). ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT


Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyatakan keinginannya agar kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu bisa segera selesai. Dirinya menyatakan tidak ada kecenderungan jalur penyelesaian lewat nonyudisial atau di luar pengadilan.
"Apakah saya lebih cenderung ke nonyudisial. Enggak ada kecenderungan saya," kata Mahfud dalam diskusi dengan wartawan di Jakarta, Kamis (26/12)

Ia menyebutkan ada 12 kasus pelanggaran HAM berat yang harus diselesaikan. Nantinya, akan ada kriteria untuk menentukan jalur penyelesaian kasus: yudisial atau nonyudisial. Kriteria tersebut akan diatur dalam Undang-Undang (UU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
"Kecenderungan saya hanya ingin berakhir. Yang bisa yudisial, masuk. Yang tidak bisa, tutup. Kalau ditutup terus apa syaratnya. Follow up-nya. Begitu saja," ujarnya.
Ia menjelaskan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM itu sesuai amanat Presiden Jokowi agar tidak jadi komoditas politik yang berulang.
"Nanti ada Pilkada rame lagi, di-up, ada ini rame lagi. Apalagi, pilpres. Itu semua bicara HAM yang tidak selesai," kata dia.
Untuk menyelesakan persoalan HAM ini, ia menyatakan sudah berkomunikasi dengan Jaksa Agung, Komnas HAM, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan para korban.

Sebanyak 12 kasus yang masuk kategori pelanggaran HAM berat masa lalu, yakni peristiwa 1965-1966; peristiwa penembakan misterius (petrus) 1982; peristiwa Talangsari, Lampung 1989; tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II pada 1998-1999; dan peristiwa kerusuhan Mei 1998.
 Kemudian, penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998; peristiwa Wamena dan Wasior 2001-2003; peristiwa Aceh-Jambo Keupok 2003; peristiwa Aceh-Simpang KKA 1998; peristiwa Aceh Rumoh Geudong 1989; serta peristiwa dukun santet di Jawa Timur 1998-1999.

Dari 12 kasus pelanggaran HAM berat itu, delapan kasus terjadi sebelum terbit UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan empat kasus terjadi sebelum terbit UU Pengadilan HAM, yakni peristiwa Wasior, Wamena, dan Jambo Keupok Aceh.

Reporter: Antara

Kamis, 26 Desember 2019

Natal Bersama Kelompok Minoritas di Gereja Komunitas Anugerah


Oleh: Aulia Adam - 26 Desember 2019

Perayaan natal di Gereja Komunitas Anugerah di Jakarta, 24 Desember 2019. tirto.id/Aulia Adam 

Merayakan natal bersama keluarga tahanan politik Papua, penyintas 65 dan LGBTIQ di Gereja Kristen Anugerah.
 “Selamat malam, salam sejahtera,” ucap Sang Pendeta, kemudian mengambil jeda. Ia berharap jemaat menyahut semangat, yang terdengar cuma sayup-sayup.
“Kurang kencang. Sekali lagi, selamat malam!” katanya lagi.
“Malam,” sahut sekitar 150-an orang.
“Ini baru seratusan orang,” sambung Sang Pendeta, kali ini disambut gemuruh tawa. “Mungkin karena terbawa lagu-lagu Natal yang syahdu gitu ya, makanya agak lemes. Maklum, biasanya jemaat GKA itu, kalau enggak (nyanyi) lagu Internationale ya Darah Juang.”
Jemaat kembali tertawa. Selasa malam, 24 Desember kemarin, saya menghadiri Misa Natal Gereja Komunitas Anugerah (GKA) Reformed Baptist.

Malam itu, Pendeta Suarbudaya Rahadian memang banyak melempar kelakar dalam kotbahnya. Sering kali humor itu berbentuk ironi, tentang kekhasan gereja mereka yang dianggap unik atau aneh oleh kelompok konservatif. Beberapa komentar yang lebih ekstrem bahkan tak sungkan mencap sesat karena keputusan-keputusan progresif mereka.

GKA adalah institusi agama pertama di Indonesia yang mendeklarasikan menerima dan mengafirmasi kelompok rentan Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Inteseksual, dan Queer (LGBTIQ), 2015 silam. Artinya, gereja itu tak mempermasalahkan orientasi seksual, ekspresi gender, dan ihwal lain dari kelompok tersebut—yang masih dianggap “dosa” dan “sesat” oleh komunitas agama lain.

Mereka juga jadi rumah bagi sebagian penyintas Tragedi 1965, yang sering kali dituding komunis. Belakangan, saat sejumlah aktivis Papua ditangkapi aparat karena menyuarakan penindasan di tanah mereka, dan dituding sebagai pelaku aksi makar, GKA juga jadi salah satu lembaga yang membantu advokasi.

Mendeklarasikan hal semacam itu tentu mengundang respons-respons buruk. Dianggap sesat dan dikucilkan di kelompok Kristen sendiri bukan barang baru buat mereka.
“Banyak, kok, anggota yang masih kucing-kucingan dengan keluarganya untuk bisa beribadah,” kata Pendeta Suarbudaya sambil tersenyum, suatu sore di September kemarin, pada pertemuan pertama kami.
Humor ironis begitu memang sering kali jadi candaan eksklusif antar sesama jemaat. Di tengah-tengah kotbah tadi malam, misalnya, Pendeta Suarbudaya berkata:
“Tahun lalu, survei Wahid Institute bilang kalau LGBT adalah kelompok paling dibenci nomor dua di Indonesia. Nomor satunya komunis. Dua-duanya, ada di sini. Sekarang.” Para jemaat kembali tertawa.
“Tapi, saudara-saudara. Orang-orang seperti kita yang tersingkir, tersisih, dan dianggap tidak memiliki daya ini, karena situasi itulah kita ingin berorganisasi dan ingin berdaya. Ini gereja apa LBH [lembaga bantuan hukum] ya?” sambung Pendeta Suarbudaya, yang disambut tawa jemaat lagi
Saling Menerima, Saling Menjaga Meski ditaburi humor, isi pidato Sang Pendeta sebetulnya tak bisa dibilang ringan juga. Ia merangkum sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi selama setahun terakhir, dan mengingatkan jemaat untuk tak lupa saling mengasihi dan saling menjaga. Terutama untuk berusaha hadir buat kawan-kawan yang membutuhkan.
“Malam ini kita bersama keluarga tahanan politik Papua, karena sebagian dari anggota keluarga mereka ditahan karena dituduh makar,” katanya.
“Mari bersama-sama kita menguatkan.”
Suasana berubah makin haru ketika memasuki Perjamuan Kudus. Pendeta Suarbudaya mengundang beberapa orang dari kelompok penyintas 65, LGBTIQ, dan keluarga tahanan politik Papua untuk bergabung dengannya di meja panjang di depan altar. Sebelum memakan remahan roti dan meminum seteguk anggur, ia mempersilakan dua orang keluarga tahanan politik Papua membacakan surat kerinduan buat anggota keluarga mereka dalam tahanan. Meski terkesan seperti komunitas pembela hak asasi, karena kegiatan advokasi mereka, Pendeta Suarbudaya menegaskan bahwa semua yang dilakukan GKA berdasarkan keimanan.
“Kami lembaga agama. Kami akan bilang kami mau me-reclaim kembali tafsir yang sudah direbut kelompok homofobik bahwa kami melakukan ini bukan karena human rights. Kami melakukan ini, first, karena kami Kristen. Yang kedua, baru karena human rights. Kenapa kami pakai jargon itu? Karena biasanya orang Kristen itu mikir human rights itu sekuler,” katanya.
Mereka ingin bilang: Afirmasi kami kepada LGBTIQ, misalnya, justru dimulai dari, “jantung keyakinan agama kami. Human rights itu justru jadi lapisan keduanya. Maka, kami menyebut diri faith community, bukan human rights community,” tambahnya.
Itu sebabnya mereka menerima semua orang yang terbuka untuk bergabung. GKA yang berdiri sejak 2013 sebetulnya berawal sebagai komunitas religius alternatif. Kata Pendeta Suarbudaya, orang-orang yang datang ke sana sekitar 90 persen awalnya adalah orang-orang ateis dan agnostik, yang dulu pernah beragama tapi meninggalkan keimanan karena dianggap Kristen atau agama lain tidak relevan, rasional, ataupun manusiawi.

Tempat Bertemu Keluarga Baru Salah satu jemaat yang saya temui tadi malam adalah Zaki. Ia pernah membagi kisah pergolakan imannya, yang memilih untuk tidak beragama, pada Tirto Agustus kemarin. Zaki sudah empat tahun terakhir sering berkunjung ke GKA, mengikuti ibadah Minggu, dan kelas-kelas diskusi yang disediakan Gereja pada hari-hari biasa di luar akhir pekan.
“Saya sebetulnya masih bisa dibilang panteism, belum Kristen. Tapi, GKA ini menarik. Ajarannya sangat progresif, dan selalu mencoba relevan dengan situasi sosial yang kita hadapi sehari-hari. Itu kan sesuatu yang jarang ada, bahkan mungkin tidak dipunyai intitusi agama lainnya,” kata Zaki, yang memilih tak menggunakan nama asli.
Ia senang pergi ke GKA karena atmosfer inklusif yang ditebarkan. Menurutnya, agama tak cuma jadi pakem yang tak bisa diperdebatkan di sana. GKA tetap menjalankan fungsinya sebagai jembatan agar agama tetap terus relevan bagi jemaat.
“Kita di sini diskusi, gimana agama bisa tetap merangkul. Bukannya malah dijadikan alat buat mengekslusifkan satu kelompok, dan mengasingkan kelompok lain,” kata Zaki.
Zaki datang bersama Celine, pacarnya. Meski sudah hampir setahun mengenal GKA dan sering mengikuti ibadah minggu dan diskusi-diskusi teologi mereka, malam tadi adalah perayaan Natal pertama Celine di sana. Dari kecil, ia adalah jemaat di salah satu Gereja Karismatik di Jakarta.
“Aku pertama kali ke sini [GKA], ya diajak Zaki,” kata Celine. “Walaupun sebenarnya aku yang Kristen dari kecil, tapi Zaki duluan yang ketemu tempat ini.” Celine bercerita sambil tertawa.
Buat Celine, ajaran-ajaran GKA juga jauh lebih membumi daripada pengalaman bergereja yang pernah dirasakannya.
“Di gereja yang dulu, aku bahkan lebih jauh dengan jemaatnya. Walaupun ketemu setiap minggu selama sepuluh tahun terakhir, beda sama di sini,” tambah Celine.
Ia juga senang dengan gagasan-gagasan GKA yang dekat dengan konflik yang dihadapi sehari-hari. Terus mengkaji diri dan menyelaraskan dengan permasalahan yang muncul. 
“Banyak pertanyaan-pertanyaan personal yang sebelumnya bahkan enggak berani aku pertanyakan, tapi malah bisa dijawab di sini.” 
 Misalnya, perkara mengapa LGBTIQ begitu dimusuhi agama. 
“Padahal menurutku mereka biasa-biasa aja, enggak pernah mengganggu orang dengan jadi dirinya sendiri,” ungkap Celine.
Pasangan beda agama ini juga mengagumi bagaimana GKA terus berusaha tak cuma membuka diskusi, tapi juga mengadvokasi kelompok yang datang dari luar mereka.
“Aku ngerasa Natal ini lebih hikmat dan syahdu, karena dengar surat dari keluarga tapol Papua tadi,” kata Celine. “Aku juga terharu banget tadi,” sambung Zaki.
Penulis: Aulia Adam - Editor: Mawa Kresna
Merayakan natal bersama mereka yang terpinggirkan.


Rabu, 11 Desember 2019

Kejagung dan Komnas HAM Disebut Sepakat Selesaikan Kasus HAM Masa Lalu


Kompas.com - 11/12/2019, 09:23 WIB
Penulis : Devina Halim
Editor : Fabian Januarius Kuwado

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Adi Toegarisman di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Rabu (20/11/2019).(KOMPAS.com/Devina Halim)

JAKARTA - Kejaksaan Agung mengaku sudah berkoordinasi dengan Komnas HAM terkait penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Adi Toegarisman menuturkan bahwa kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut.
"Pada saat itu kami sudah berbicara soal teknis dan sebagainya. Ada kesepakatan untuk sama-sama menindaklanjuti," ungkap Adi di Gedung Bundar, Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Selasa (10/12/2019)
Hingga saat ini, terdapat sejumlah kasus HAM berat di masa lalu yang berkasnya masih dalam proses. Di antaranya, peristiwa 1965/1966, peristiwa Talangsari Lampung 1998, peristiwa penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.

Kemudian, berkas peristiwa kerusuhan Mei 1998, peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998, peristiwa Wasior dan Wamena, peristiwa Simpang KKA 3 Mei 1999 di Provinsi Aceh, serta peristiwa Rumah Geudong dan Pos Sattis lainnya di Provinsi Aceh.

Diketahui, Kejagung dan Komnas HAM seringkali terlibat saling lempar atas berkas kasus-kasus tersebut. Berkas perkara kerap dikembalikan Kejagung kepada Komnas HAM dengan alasan belum lengkap dari segi formil dan materiil.

Adi pun meyakini bahwa Komnas HAM dan pihaknya terus bekerja menyelesaikan kasus HAM berat di masa lalu.
"Kami yakin Komnas HAM pun masih kerja untuk itu. Kami juga masih mengikuti perkembangan hasil penyelidikan itu," tuturnya.
Ia menegaskan komitmen Kejaksaan Agung dalam penuntasan kasus-kasus tersebut. Namun, dengan catatan, apabila buktinya dinilai cukup.
"Selama alat bukti dinilai memadai, kami harus jalan. Komitmen untuk itu," kata Adi. 

Selasa, 10 Desember 2019

Revisi UU HAM Masuk Prolegnas DPR, Komnas HAM Minta Diperkuat


Kompas.com - 10/12/2019, 16:41 WIB
Penulis : Tsarina Maharani
Editor : Diamanty Meiliana

Ketua Komnas-HAM, Ahmad Taufan Damanik, di Grand Sahid Jaya, Sudirman, Jakarta Pusat, Jumat (15/11/2019)(Dian Erika/KOMPAS.com)

JAKARTA, KOMPAS.com - Revisi UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) masuk dalam daftar program legislasi nasional (prolegnas) DPR 2020-2024.

Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik berharap revisi tersebut memperkuat kelembagaan Komnas HAM, khususnya terkait hasil rekomendasi dan mediasi.
"Perlu ada penguatan terkait dengan rekomendasi yang dikeluarkan Komnas HAM. Seperti mediasi, hasil kajian, hasil pemantauan itu selama ini tidak mengikat," kata Taufan seusai Seminar Nasional '20 Tahun UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM: Refleksi dan Proyeksi' di DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (10/12/2019).

Menurut dia, rekomendasi atau mediasi dari Komnas HAM terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM mestinya bersifat mengikat secara hukum.
"Kita berharap itu ada ikatan yang lebih kuat secara hukum, sehingga para pihak yang diberikan rekomendasi itu tidak ada pilihan, kecuali mematuhinya. Itu yang kita harapkan," tuturnya.
Selanjutnya, Taufan pun berharap revisi UU HAM itu dapat diselesaikan oleh DPR periode ini. Ia mengatakan Komnas HAM bakal terus berkomunikasi dengan DPR terkait revisi tersebut
"Sekarang kita upayakan untuk dekati lagi DPR dan pimpinan yang baru supaya mereka berani mengambil inisiatif," kata Taufan.
Sebelumnya, DPR telah mengesahkan prolegnas pioritas 2020 dan prolegnas jangka menengah 2020-2024 pada Jumat (6/12). Ada 50 RUU prolegnas prioritas 2020 dan 247 RUU prolegnas jangka menengah 2020-2024.

Revisi UU No 39/1999 tentang HAM masuk dalam prolegnas jangka menengah 2020-2024. Revisi UU tersebut merupakan inisiasi pemerintah.

Mau Dihidupkan Lagi, KKR Diharapkan Tak Jadi Lembaga Generik

Kompas.com - 10/12/2019, 15:44 WIB
Penulis : Tsarina Maharani
Editor : Diamanty Meiliana

Ketua Komnas-HAM, Ahmad Taufan Damanik, di Grand Sahid Jaya, Sudirman, Jakarta Pusat, Jumat (15/11/2019)(Dian Erika/KOMPAS.com)

JAKARTA - Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik setuju dengan wacana penghidupan kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR) untuk mengungkap kasus pelanggaran HAM masa lalu. Namun, dia meminta KKR tidak menjadi lembaga yang bersifat generik.
"Kalau pemerintah sekarang menawarkan KKR, silakan. Tidak keberatan. Tapi ingat jangan jadi kebijakan generik," kata Taufan seusai Seminar Nasional '20 Tahun UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM: Refleksi dan Proyeksi' di DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (10/12/2019).
Sebab, menurut Taufan, tiap kasus memiliki kekhususan tersendiri. Ia mengatakan ada kasus-kasus yang bisa diselesaikan lewat jalur pengadilan.
"Karena ada dari berbagai kasus itu bisa dengan langkah pengadilan," jelasnya.
Ia mengatakan sudah sempat berkomunikasi dengan Menko Polhukam Mahfud MD.

Taufan mengaku sudah menyampaikan agar KKR melibatkan korban dan keluarga korban dan mampu melihat kasus per kasus secara substantif.
"Seperti saya katakan tadi, dengan Pak Menko kita jelaskan jangan lupa untuk mengajak korban dan keluarga korban. Sebab mereka subjek keadilan hak asasi itu dalam kasus yang kita selidiki. Ajak mereka bicara. Dengar aspirasinya. Jangan sepihak membuat konsep KKR tapi tidak mengajak mereka," kata Taufan.
Sebelumnya, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rahman menyebut, pemerintah berencana menghidupkan kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk mengungkap kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu.

Hal itu disampaikan Fadjroel menjawab pertanyaan terkait kelanjutan kasus dugaan pelanggaran HAM dalam tragedi Semanggi I pada 11-13 November 1998. 
"Usulan dari Menkopolhukam, Pak Mahfud MD, sebenarnya beliau menyarankan lagi untuk dibentuknya komisi kebenaran dan rekonsiliasi," kata Fadjroel di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (13/11).
Fadjroel menyebut KKR sebelumnya telah dibentuk beberapa tahun lalu. Namun, KKR bubar pada 2006 lalu setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Menurut dia, saat itu KKR memiliki anggota sekitar 42 orang. Ia mengaku menjadi salah satu anggota. Namun, Fadjroel mengakui KKR saat itu belum banyak bekerja karena UU 27/2004 terlanjur dibatalkan oleh MK.
"Inisiatif sekarang dari Menko Polhukam untuk menaikkan kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Intinya itu adalah agar kebenaran diungkap," ujarnya
Kompas.Com 

Harapan Korban Pelanggaran HAM Masa Lalu, Pengungkapan Kebenaran dan Pengadilan


Kompas.com - 10/12/2019, 10:36 WIB
Penulis : Dian Erika Nugraheny
Editor : Kristian Erdianto

Aktivis mengikuti aksi kamisan ke-588 yang digelar oleh Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (13/6/2019). Mereka menuntut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang hingga kini belum ditangani. (KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

JAKARTA - Perwakilan keluarga dan korban dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu beraudiensi dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM), Senin (9/12/2019).

Mereka meminta pemerintah untuk mengungkap kebenaran terkait pelanggaran HAM masa lalu. Salah seorang keluarga korban kasus pelanggaran HAM pada peristiwa Tanjung Priok, Syahar Banu, mengatakan hingga saat ini pemerintah belum memberikan hak atas pengungkapan kebenaran.

Padahal, menurut dia, apa yang terjadi pada 1984 silam di Tanjung Priok perlu disampaikan untuk menghindari peristiwa serupa kembali terjadi.
"Memang proses hukumnya sudah. Tetapi ada hak yang paling kami inginkan untuk diungkapkan, yakni pengungkapan kebenaran," ujar Syahar di Kantor Komnas HAM, Jl Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat.
Lewat peristiwa ini, lanjut Syahar, masyarakat perlu tahu bahwa isu radikalisme dan makar yang mengemuka saat ini sudah pernah terjadi sebelumnya.
"Jadi pengungkapan ini penting supaya tidak terjadi lagi peristiwa seperti Tanjung Priok. Ke depannya bisa jadi catatan sejarah untuk generasi selanjutnya," tutur dia.
Selain itu, Syahar juga ingin mengingatkan kembali bahwa tugas Komnas HAM sebaiknya tidak berhenti setelah peradilan kasus Tanjung Priok selesai. Ia mengungkapkan, masih ada ganjalan mengenai penyelesaian peristiwa tersebut.
"Walau bagaimana pun, proses hukum peristiwa ini ada, kejadian dan korbannya ada. Tetapi tidak ditemukan siapa (sebenarnya) pelakunya, siapa aktornya," tambahnya.
Kepastian hukum dan pengadilan Sementara itu, korban pelanggaran HAM Peristiwa 1965, Bedjo Untung mendesak Komnas HAM untuk mau mendorong pemerintah memberikan kepastian peradilan atas kasus ini.

Bedjo menolak keras anggapan bahwa kasus genosida 1965 kekurangan bukti. Pasalnya, kata Bedjo, dia dan beberapa korban lain telah menyampaikan laporan kepada Komnas HAM perihal pembunuhan massal yang pernah terjadi.
"Kami sudah lapor ke komnas HAM ada 346 titik kuburan massal. Itu bisa jadi bukti. Jadi enggak benar Kalau enggak ada alat bukti," tutur Bedjo.
 "Saya atas nama korban 1965 mendukung penuh proses hukum harus ditegakkan. Para korban saat ini masih ada, begitu pelaku yang menunjukkan lokasi (kuburan massal) pun masih ada," tegasnya.
Penuntasan secara berkeadilan Divisi Pemantauan Impunitas Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), Dimas Bagus Arya Saputra, mengatakan demi menjamin proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, ada tiga hal yang perlu diperhatikan.
"Untuk penyelesaian kasus yang lebih berkeadilan, kami mendesak agar Komnas HAM segera menyikapi hasil survei Litbang Kompas dengan menjadikan hasil survei tersebut sebagai basis argumen kepada Presiden, untuk mendorong penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara berkeadilan," ujar Dimas di Kantor Komnas HAM, Senin.
Kedua, kata dia, Komnas HAM diberi mandat oleh UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM untuk melaksanakan tugasnya berupa penuntasan kasus pelanggaran HAM dengan pro justisia.
"Sehingga mestinya jika Komnas HAM terkendala adanya penolakan berkas penyelidikan Kejaksaan Agung maka Komnas HAM perlu melakukan amanat dalam pasal 95 UU Nomor 39 Tahun 1999," ungkap Dimas.
Pasal tersebut menyebutkan bahwa komnas HAM dapat meminta bantuan kepada ketua pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan.

Ketiga, lanjut Dimas, Komnas HAM harus konsisten dengan agenda pengungkapan kebenaran sebagai pihak yang melekat kepada korban dan keluarganya. 
"Komnas HAM harus terus mengawal secara aktif agenda pemerintah dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sehingga tidak ada celah intervensi dari pihak manapun yang justru dapat berakibat kepada langgengnya impunitas (kejahatan tanpa hukuman)," tegas Dimas. 
Dimas mengingatkan kembali hasil survei Litbang Kompas untuk Komnas HAM yang mengungkapkan hampir 99,5 persen responden menghendaki penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu. Artinya, survei tersebut menjadi pembuka harapan baru bagi para korban dan keluarga korban pelanggaran korban masa lalu.
"Hal itu membuktikan bahwa apa yang selama ini diperjuangkan oleh korban dalam mencari keadilan ternyata sejalur dengan ruang-ruang hukum yang tersedia di konstitusi dan utamanya dengan harapan masyarakat," tambah Dimas.
Penuntasan melalui pengadilan Sebelumnya, hasil survei Litbang Kompas untuk Komnas HAM menunjukkan bahwa sebagian besar responden ingin agar penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu diselesaikan melalui pengadilan, baik nasional maupun internasional. Dalam survei tersebut, sebanyak 62,1 persen responden memilih mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan melalui pengadilan nasional.

Sisanya, 37,2 persen memilih diselesaikan oleh pengadilan internasional. Sedangkan hanya ada 0,5 persen saja yang memilih lainnya. Artinya, hampir 99,5 persen responden memilih pengadilan sebagai mekanisme penyelesaian kasus HAM.
"Kalau kami berangkat dari survei ini, hasilnya mengatakan bahwa pengadilan itu menjadi jalan yang terbaik di antara jalan yang ada," ujar Komisioner Komnas HAM Choirul Anam saat merilis hasil riset di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (4/12/2019) lalu.
Anam mengatakan, mekanisme pengadilan merupakan jalan yang terbaik untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM. Bagi Komnas HAM, kata Anam, penyelesaian kasus pelanggaran HAM harus ditempuh melalui pengadilan nasional. Komnas HAM mempersilakan apabila pemerintah tetap ingin membentuk KKR. Namun Anam mengatakan, Komnas HAM tidak akan turut serta dalam proses pembentukannya.
 "Karena kewenangan Komnas HAM juga soal pengadilan bukan soal KKR. Kalau memang mau mengambil KKR, KKR-nya harus KKR yang Hak Asasi Manusia, bukan KKR yang jadi-jadian," tutur dia.
Adapun riset Litbang Kompas ini dilaksanakan pada 23 September 2019 hingga 4 Oktober 2019 dengan jumlah responden sebanyak 1.200 orang dan sampling error 2,8 persen. Wilayah riset ini dilakukan di 34 provinsi di Indonesia dengan metodologi face to face interview, yakni menggunakan kuesioner dengan durasi wawancara maksimal 60 menit.

Berdasarkan catatan Kejaksaan Agung, saat ini ada 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum dituntaskan. Sebanyak 8 kasus terjadi sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kedelapan kasus tersebut adalah Peristiwa 1965, peristiwa Penembakan Misterius (Petrus), Peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II tahun 1998, peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa.

Kemudian, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Simpang KKA, Peristiwa Rumah Gedong tahun 1989, Peristiwa dukun santet, ninja dan orang gila di Banyuwangi tahun 1998.

Sementara itu, empat kasus lainnya yang terjadi sebelum terbitnya UU Pengadilan HAM yakni peristiwa Wasior, Wamena dan Paniai di Papua serta peristiwa Jambo Keupok di Aceh.

Kompas.CoM

Soal Pembentukan KKR, Mahfud MD Sebut untuk Selesaikan Perdebatan

Kompas.com - 10/12/2019, 09:59 WIB
Penulis : Devina Halim
Editor : Krisiandi

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD saat ditemui di Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Kamis (5/12/2019).(KOMPAS.com/KRISTIAN ERDIANTO)

JAKARTA - Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) dibentuk untuk menyelesaikan perdebatan soal penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Demikian disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam wawancara khusus kepada Kompas.com, Kamis (5/12/2019).
"Jangan karena ada yang menolak, ada yang setuju, lalu tidak diputuskan, itu tidak boleh. Itulah tugasnya UU, menyelesaikan yang setuju dan tidak setuju," kata Mahfud.
Sejumlah pihak, terutama korban pelanggaran HAM berat, menginginkan agar penyelesaian kasus dilakukan melalui jalur yudisial atau pengadilan.

 Namun, ada pula alternatif lain yang beberapa kali dilontarkan pemerintah yaitu melalui jalur non-yudisial. Menurut Mahfud, perdebatan yang ada saat ini membuat penyelesaian kasus-kasus tersebut menggantung. Maka dari itu, segala pro dan kontra terkait hal tersebut sebaiknya disampaikan di DPR demi dicapai sebuah keputusan.
"Disampaikan di DPR, adu argumen lalu diputuskan. Kan selesai," ungkapnya. Berdasarkan catatan Kejaksaan Agung, saat ini ada 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum dituntaskan.

Rinciannya, peristiwa Wasior, Wamena dan Paniai di Papua, serta peristiwa Jambo Keupok di Aceh. Kemudian, Peristiwa 1965, peristiwa Penembakan Misterius (Petrus), Peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II tahun 1998, peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa.

Lalu, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Simpang KKA, Peristiwa Rumah Gedong tahun 1989, Peristiwa dukun santet, ninja dan orang gila di Banyuwangi tahun 1998. Nantinya, KKR akan mengakomodir penyelesaian secara yudisial dan non-yudisial. Mahfud menuturkan, jalur non-yudisial berlaku bagi kasus yang sudah kehilangan obyek dan subyeknya.
"Kalau rekonsiliasi kepada kasus-kasus yang tidak bisa ditemukan lagi obyek dan subyeknya yang sedang berjalan seperti Wasior dan Wamena, kawal penegakan hukum. Kan bisa," ungkapnya.
Sebelumnya, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam menegaskan bahwa pihaknya menolak mekanisme penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui mekanisme KKR.

Sikap itu didasarkan pada hasil riset Litbang Kompas yang menunjukkan publik lebih memilih mekanisme pengadilan baik nasional maupun internasional untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu.

 Dalam hasil riset Litbang Kompas, sebanyak 62,1 persen responden memilih mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan melalui pengadilan nasional. Sisanya, 37,2 persen memilih diselesaikan oleh pengadilan internasional. Hanya ada 0,5 persen saja yang memilih lainnya, termasuk di dalamnya mekanisme rekonsiliasi lewat KKR.

Dengan demikian hampir 99,5 persen responden memilih pengadilan sebagai mekanisme penyelesaian kasus HAM.
"Jadi hentikan KKR, karena kalau angka ini 99,5 persen mengatakan diselesaikan melalui pengadilan, dan memang yang lebih besar adalah harapannya diselesaikan di pengadilan nasional bukan di pengadilan internasional," kata Anam saat merilis hasil riset di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (4/12/2019).

Kompas.Com 

Kamis, 05 Desember 2019

Jubir Presiden: Draf UU KKR Sudah Selesai, Masuk Prolegnas 2020

Kompas.com - 05/12/2019, 20:20 WIB
Penulis : Ihsanuddin
Editor : Krisiandi

Fadjroel Rachman usai ditunjuk sebagai Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi sekaligus Juru Bicara Presiden(KOMPAS.com/RAKHMAT NUR HAKIM)

JAKARTA - Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman menyebut, pemerintah sudah selesai menyusun naskah akademik dan draf rancangan undang-undang komisi kebenaran dan rekonsiliasi (RUU KKR). 
RUU KKR ini akan masuk program prioritas nasional 2020.
"Jadi kemajuannya sudah cukup bagus, naskah akademiknya sudah selesai dan kemudian rancangan undang-undangnya sudah selesai. Segera sudah dimasukkan ke dalam prioritas prolegnas," kata Fadjroel di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (5/12/2019).
Fadjroel berharap pembentukan kembali KKR untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu.

Menurut dia, KKR ini nantinya bisa memberikan rekomendasi untuk membuat pengadilan HAM. Namun, yang paling utama dibentuknya lembaga ini adalah pengungkapan kebenaran dari kasus-kasus HAM masa lalu.
"Jadi kita kalau mengungkapkan kebenaran hati kita lega. Semuanya dinyatakan, lalu kemudian KKR bekerja, setelah itu baru diberikan rekomendasi sehingga semuanya bisa berjalan, rekonsiliasi terhadap seluruh rakyat," ujarnya.
Fadjroel mengatakan, KKR sebelumnya juga sudah pernah dibentuk pada 2004 lalu. Namun, KKR bubar setelah MK membatalkan undang-undangnya pada 2006 lalu.

MK membatalkan UU KKR karena ada salah satu pasal yang menyebut jika telah meminta maaf, pelaku berhak mendapatkan pengampunan atau amnesti.

Fadjroel memastikan dalam draf RUU KKR yang baru ketentuan tersebut bakal dipisahkan. Menurut dia, rehabilitasi tidak dikaitkan dengan amnesti. Namun hal itu akan diputuskan lewat mekanisme lewat pengadilan HAM berdasarkan rekomendasi yang dikeluarkan KKR.

"Kita lihat. Ini kan baru selesai naskah akademiknya dan rancangan UU sudah kita majukan sebagai prioritas di dalam prolegnas. Mudah-mudahan nanti DPR bisa menyelesaikan," kata Fadjroel. 
Kompas.Com 


5 Desember 2019 14:47

Baleg DPR RI gelar rapat kerja dengan Menkumhan Yasonna Laoly. Foto: Efira Tamara Thenu/kumparan

Badan Legislasi (Baleg) DPR menggelar rapat koordinasi bersama Menkumham Yasonna Laoly untuk menyepakati RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode 2020-2024.

Hasilnya, ditetapkan 247 RUU masuk Prolegnas, dan 50 di antaranya jadi prioritas 2020.

Prolegnas adalah daftar Rancangan UU yang ditetapkan DPR dan pemerintah untuk dibahas dalam satu periode. Sementara RUU prioritas adalah daftar RUU yang akan dibahas dalam satu tahun. 
"Menetapkan, Prolegnas RUU tahun 2020-2024 sebanyak 247 RUU, yang terdiri atas RUU usulan DPR, pemerintah dan DPD. Kedua, menetapkan prolegnas RUU prioritas tahun 2020 sebanyak 50 RUU," kata Wakil Ketua Baleg DPR, Rieke Diah Pitaloka di Gedung DPR, Senayan, Kamis (5/12).
Rieke menjelaskan, dalam RUU prioritas 2020, terdapat 4 RUU yang kembali dibahas dari periode sebelumnya. Yakni RUU KUHP, RUU Pemasyarakatan, RUU Minerba, dan RUU Biaya Materai.
"Dengan catatan, bahwa RUU yang masuk dalam carry over tetap harus mendapatkan pembahasan yang mendalam tentang atas pasal-pasal yang mendapatkan perhatian khusus dari publik," kata Rieke.
Raker Baleg DPR bersama Menkumham Bahas RUU Prolegnas. Foto: Paulina Herasmarinandar/kumparan

Rieke menuturkan, ada dua RUU yang diajukan pemerintah ditarik dari prolegnas prioritas. Yakni, RUU Keuangan Negara dan RUU konservasi keanekaragaman hayati.
"RUU Keuangan Negara dikeluarkan dari prolegnas prioritas RUU tahun 2020 dan masuk dalam long list atas usulan dari Kemenkeu (Sri Mulyani). RUU konservasi keanekaragaman hayati ditarik dari prioritas RUU tahun 2020 dan masuk dalam longlist atas permintaan menteri kehutanan dan LH (Siti Nurbaya)," sebutnya.
Dalam kesempatan yang sama, Yasonna menyetujui seluruh RUU tersebut untuk dibahas bersama pemerintah. Yasonna berharap kerja sama pemerintah dan DPR terus ditingkatkan.
"Pemerintah menyetujui hasil rapat panja prolegnas yang tentunya merupakan hasil terbaik atas perbedaan pendapat dan atas dasar pemikiran mulia demi bangsa dan negara," ucapnya.
"Kami harap kerja sama antara baleg, Menkumham dan perancang UU DPD RI dalam prolegnas terus ditingkatkan agar hasilkan prolegnas yang lebih realistis dan responsif. Sehingga progam reformasi hukum yang jadi agenda strategis pemerintah untuk memulihkan kepercayaan publik, menciptakan keadilan dan kepastian hukum, bisa terwujud lewat pemetaan regulasi," imbuh Yasonna.
Berikut 50 RUU Prioritas yang akan dibahas DPR bersama pemerintah:

1. RUU tentang Keamanan dan Ketahanan Siber
2. RUU tentang perubahan atas UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
3. RUU tentang Pertanahan
4. RUU tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
5. RUU tentang RKHUP
6. RUU tentang perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Permasyarakatan
7. RUU tentang perubahan kedua atas UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
8. RUU tentang perubahan kedua atas UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
9. RUU tentang perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalin dan Angkutan Jalan
10. RUU tentang perubahan atas UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
11. RUU tentang perubahan atas UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN
12. RUU tentang perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
13. RUU perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba
14. RUU tentang Energi Baru dan Terbarukan
15. RUU tentang perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
16. RUU tentang Perlindungan dan Bantuan Sosial
17. RUU tentang Pengawasan Obat dan Makanan
18. RUU tentang perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungsn Industrial
19. RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
20. RUU tentang perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
21. RUU tentang perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai
22. RUU tentang perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
23. RUU tentang Penyadapan
24. RUU tentang perubahan kedua atas UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
25. RUU tentang Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila
26. RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga
27. RUU tentang perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN
28. RUU tentang Sistem Perposan dan Logistik Nasional
29. RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan/RUU tentang Kesehatan Nasional (omnibus law)
30. RUU tentang Kefarmasian
31. RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual
32. RUU tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi di Tanah Papua
33. RUU tentang Masyarakat Hukum Adat
34. RUU tentang perubahan atas UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
35. RUU tentang Kependudukan dan Keluarga Nasional
36. RUU tentang perubahan atas UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional
37. RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak
38. RUU tentang Ketahanan Keluarga
39. RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol
40. RUU tentang Profesi Psikologi
41. RUU tentang Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama
42. RUU tentang Cipta Lapangan Kerja (Omnibus Law)
43. RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian
44. RUU tentang Perlindungan Data Pribadi
45. RUU tentang perubahan atas UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
46. RUU tentang perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI
47. RUU tentang perubahan atas UU Nomor15 Tahun 2006 tentang BPK
48. RUU tentang Ibu Kota Negara (omnibus law)
49. RUU tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
50. RUU tentang Daerah Kepulauan

Survei Litbang Kompas soal Nasib Kasus HAM di Era Jokowi Selengkapnya

Kompas.com - 05/12/2019, 09:19 WIB
Penulis : Deti Mega Purnamasari
Editor : Fabian Januarius Kuwado

Komisioner Komas HAM Muhammad Choirul Anam dorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) keluarkan Perppu terkait pemenuhan hak korban kejahatan HAM masa lalu.(KOMPAS.com/ACHMAD NASRUDIN YAHYA)


JAKARTA, KOMPAS.com - Litbang Kompas merilis hasil riset untuk Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM). Hasil survei menunjukkan bahwa publik meragukan pemerintahan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin dapat menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu, tepatnya kasus penculikan aktivis.

Selain itu, publik kurang mengetahui kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Survei juga menunjukkan bahwa nuansa politik menjadi hambatan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Riset Litbang Kompas ini dilaksanakan pada 23 September 2019 hingga 4 Oktober 2019 dengan jumlah responden sebanyak 1.200 orang dan sampling error 2,8 persen.

Riset itu dilakukan di 34 provinsi di Indonesia dengan metodologi face to face interview, yakni menggunakan kuesioner dengan durasi wawancara maksimal 60 menit.

Empat Kasus HAM Masa Lalu 

Mengenai pemerintahan Jokowi-Ma'ruf diragukan menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu, survei menunjukkan bahwa keraguan itu muncul hanya dalam penyelesaian kasus penculikan aktivis tahun 1997-1998.

Sebanyak 51,7 persen menilai bahwa Jokowi tak mampu menyelesaikan kasus penculikan aktivis 1997-1998 dan 13,8 persen responden menganggap sangat tidak mampu. Adapun, responden yang menjawab mampu, sebanyak 34,5 persen.
"Makanya tergantung Presiden mau tidak selesaikan sesuai harapan publik," kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam saat pengumuman hasil riset Litbang Kompas untuk Komnas HAM yang dirilis pada Rabu (4/12/2019) di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat.
Selain kasus penculikan aktivis 1997-1998, terdapat tiga kasus lain yang juga diteliti Litbang Kompas. Ketiganya, yakni penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Semanggi-Trisakti 1998 dan kerusuhan 1997.

 Untuk kasus penembakan misterius, sebanyak 42,6 persen responden menyatakan bahwa Jokowi-Ma'ruf tak mampu tuntaskan kasus itu. Sebanyak 7,2 persen responden menyatakan sangat tidak mampu. Sebanyak 48 persen responden menyatakan mampu. Kemudian untuk kasus penembakan Trisakti-Semanggi 1998, sebanyak 41,8 persen responden menilai bahwa Jokowi-Ma'ruf tidak mampu menuntaskannya.

 Selanjutnya 6,6 persen menyatakan sangat tidak mampu dan 48,9 persen menyatakan mampu. Sementara untuk kasus kerusuhan Mei 1997, sebanyak 42,7 persen responden menilai bahwa Jokowi-Ma'ruf tak mampu menyelesaikannya, 8 persen menilai sangat tidak mampu dan 46,8 persen menilai mampu.

Hambatan Terbesar

Hasil riset juga menunjukkan, nuansa politik menjadi salah satu hambatan terbesar pemerintahan Jokowi-Ma'ruf menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Sebanyak 73,9 persen responden menyebutkan bahwa nuansa politik menjadi penghambat pemerintahan Jokowi dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Sisanya, ada 23,6 persen responden yang menyatakan bahwa Jokowi memang tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikannya.
"Ini hampir sesuai dengan dugaan Komnas HAM bahwa hambatan politik dalam pelanggaran HAM berat, khususnya masa lalu selalu mewarnai," ujar Choirul.
Menurut Choirul, persoalan politik yang menghambat penyelesaian kasus HAM ini tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lain.
"Makanya harus menjadi komitmen, apalagi Presiden Jokowi mengatakan bahwa penuntasan HAM adalah utang, tapi dalam penyelesainnya sulit karena ada nuansa politik," kata dia.
Hasil survei itu, lanjut Choirul, menunjukkan bahwa persoalan utama dalam menyelesaikan perkara HAM berat masa lalu bukanlah teknis hukum. Artinya, semestinya hukum di Indonesia dapat memuluskan jalan penyelesaian kasus itu.
"Masyarakat mengatakan, penyelesaian kasus ini adalah nuansa politis hambatannya sehingga kalau hambatan-hambatan ini bisa diselesaikan, maka sesuai UU, kalau kasus sudah 90 hari penyidikan masuk ke penuntutan bisa dilakukan," kata dia.
Dampaknya, kata dia, kurang dari setahun, kasus pun sudah bisa diselesaikan di pengadilan jika hambatan politisnya bisa dikurangi.

Diselesaikan Lewat Pengadilan

Hasil lain pada riset tersebut menunjukkan, publik menginginkan kasus pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan melalui pengadilan. Publik memilih mekanisme pengadilan, baik nasional maupun internasional untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Sebanyak 62,1 persen responden memilih mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan melalui pengadilan nasional. Sisanya, 37,2 persen memilih diselesaikan oleh pengadilan internasional. Hanya ada 0,5 persen saja yang memilih lainnya.
"Kalau kami berangkat dari survei ini, ya hasilnya mengatakan bahwa pengadilan itu menjadi jalan yang terbaik di antara jalan yang ada," kata Choirul.

Dorong Agar Masuk ke Kurikulum

Survei selanjutnya menunjukkan kurangnya pengetahuan publik tentang pelanggaran HAM berat masa lalu. Sebanyak 50 persen responden berusia kurang dari 22 tahun ( Gen Z) mengaku, tidak mengetahui apa saja kasus HAM berat masa lalu yang pernah terjadi di Indonesia.

Secara spesifik, peristiwa 1965 misalnya. Sebanyak 49,1 persen responden Gen Z menyatakan tidak tahu, sebanyak 39,6 persen menyebut kasus tersebut belum tuntas dan 11,3 persen menyebut sudah tuntas. Kemudian kasus penembakan misterius 1982-1985. Sebanyak 58,5 persen Gen Z mengaku tidak tahu kasus tersebut, sebanyak 37,7 persen menyebut belum tuntas dan 3,8 persen menyebut sudah tuntas.

Selanjutnya untuk kasus peristiwa Trisakti-Semanggi 1998. Sebanyak 49,1 persen responden Gen Z menyebut tidak tahu, sebanyak 43,4 persen menyebut belum tuntas dan 7,5 persen menyebut sudah tuntas. Kasus penculikan aktivis 1997-1998 juga hampir mirip fenomenanya.

 Sebanyak 49,1 persen responden Gen Z menyebut tidak tahu, 47,2 persen menyebut belum tuntas dan 3,8 persen menyebut sudah tuntas. Sementara, dalam kasus kerusuhan Mei 1998, 52,8 persen responden Gen Z tidak tahu, 41,5 persen menyebut belum tuntas dan 5,7 persen menyebut sudah tuntas.

Oleh sebab itu, Komnas HAM mendorong agar materi kasus HAM masa lalu masuk ke dalam kurikulum pendidikan di Indonesia.
"Ketidaktahuan kasus (HAM masa lalu) sendiri dan angka belum tuntas atau tuntas itu mengkonfirmasi bahwa kewajiban kita khususnya Mendikbud harus mensosialisasikan pendidikan HAM," kata Choirul.
"Jadi, ada baiknya kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat dimasukkan kurikulum, agar orang tahu bahwa dulu kita pernah mengalami nuansa yang gelap," lanjut dia.
Ia mengatakan, materi kurikulum jangan hanya mengakomodasi inovasi, nilai-nilai toleransi, tapi juga konteks HAM.
"Kita menjaga agar kegelapan itu tidak terulang kembali. Itu tugasnya Menteri Pendidikan, mulai TK sampai perguruan tinggi, dengan berbagai metodologi agar kasus ini menjadi tidak berulang. Ini tantangan bagi Pak Nadiem Makarim," kata dia.

Rabu, 04 Desember 2019

Sumur di Bali Berisi Tengkorak Terkuak lewat Bocah yang Kesurupan


4 Desember 2019 14:20

Keluarga korban mengumpulkan tulang belulang yang ditemukan (KR7)

Warga Desa Tegal Badeng Timur, Kecamatan Negara, Jembrana pagi hingga siang tadi melakukan pembongkaran sumur tua yang sudah lama tertimbun. Diduga, sumur itu merupakan tempat pembunuhan anggota Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965.
"Dulu saat jaman PKI ada lima sampai tujuh orang anggota PKI yang terbunuh. Para korban dibuang ke dalam sumur," ujar Ketut Suara, salah seorang saksi sejarah, Rabu (4/12).
Dari lima sampai tujuh orang anggota PKI yang menjadi korban pembantaian dan dikubur di sumur tua itu, dua di antaranya adalah kerabatnya sendiri. Sedangkan sisanya orang lain, namun seluruhnya warga Bali.

Proses penggalian dilakukan dengan alat berat (KR7)

Proses penggalian dilakukan sampai kedalaman sepuluh meter dengan menggunakan alat berat. Ditemukan tulang belulang yang sudah tidak utuh dan berukuran kecil-kecil (serpihan) sehingga tidak diketahui tulang belulang itu milik berapa korban.

Kadek Suryawan, sang pemilik sumur menyebut tulang belulang manusia tersebut dikumpulkan untuk selanjutnya akan dilaksanakan upacara pengabenan, sesuai keyakinan umat Hindu di Bali.

Suryawan mengaku mengetahui di bawah rumahnya ada sumur tua berisi tulang belulang anggota PKI yang menjadi korban pembantaian dari kejadian-kejadian mistis atau aneh yang dialami oleh keluarganya selama ini.
"Beberapa hari lalu anak saya sempat kesurupan, teriak-teriak meminta sumur tua dibongkar untuk mengangkat tulang belulang untuk diaben," ujar Suryawan.
Lokasi penggalian sumur (KR7)

Suryawan berharap dengan diangkatnya tulang belulang tersebut dan kemudian diaben, tidak ada lagi kejadian aneh atau kejadian mistis yang selama ini dialami dirinya dan anggota keluarganya yang lain. Dia meyakini dari proses penggalian tersebut semua tulang belulang korban sudah sekuruhnya ditemukan. (kanalbali/KR7)