HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Mia Bustam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mia Bustam. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 Mei 2019

Sejarah, Perempuan, Pangan


Mei 12, 2019


MASA lalu awet di lagu. Petaka, suram, derita, dan penghinaan. Masa lalu itu telah sering ditulis dalam buku-buku. Kini, masa lalu itu lagu. Acara di Metro TV diturunkan menjadi ulasan sehalaman di Media Indonesia, 4 Mei 2019. Ulasan berjudul besar “Melodi Perjalanan Suram”. Para tokoh mengalami getir di masa Orde Baru gara-gara malapetaka 1965 memilih berlagu, bukan membalas dendam atau melawan segala makian politik masa lalu. Mereka bersenandung sejarah, biografi, dan keluarga. Lagu bukan “membatalkan” bedil, perintah, dan tendangan telah memberi siksaan dan kematian. Lagu itu bercerita, mengajak ke renungan perempuan dan Indonesia.

Lagu bukan “membatalkan” bedil, perintah, dan tendangan telah memberi siksaan dan kematian. Lagu itu bercerita, mengajak ke renungan perempuan dan Indonesia.

Mereka bergabung di paduan suara Dialita, mengeluarkan album berjudul Dunia Milik Kita. Kita mengutip di Media Indonesia: “Peran Dialita merangkul memulihkan para korban eks tapol terkait dengan peristiwa G-30-S/PKI, tahun ini mendapatkan penghargaan dari luar negeri.” Kaum perempuan sanggup mengusung sejarah sampai masa sekarang dengan suara-suara bercerita.

Perempuan bernama Utati Koesalah, 75 tahun. Pada masa 1960-an, ia bergabung di Pemuda Rakyat ingin berkesenian. Ia ditangkap dan ditahan berdalih terlibat dengan PKI. Hari-hari buruk dialami di penjara Wanita Bukit Duri. Ia tak mau mati sia-sia di penjara. Utati pun berbuat demi mengartikan hidup dan mendapatkan nafkah untuk membeli gula, sabun, dan pelbagai kebutuhan. Hidup tak selalu buruk. Keluar dari penjara, ia berkumpul bersama keluarga dan menikah dengan sesama eks tapol, Koesalah Soebagyo Toer. Sekian perempuan lain memiliki cerita-cerita bergelimang sedih dan suram. Mereka tak mau terpuruk dan tersiksa. Berkumpulah dan bersenandunglah!

Sekian perempuan lain memiliki cerita-cerita bergelimang sedih dan suram. Mereka tak mau terpuruk dan tersiksa. Berkumpulah dan bersenandunglah!

Di buku wadah CD album Dialita, kita simak penjelasan Ita Fatia Nadia: “Ibu-ibu Dialita ingin menyampaikan pengalaman tentang sejarah hidup yang mereka alami sesudah tragedi kekerasan secara struktural yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru pada tahun 1965.” Lagu-lagu itu bersejarah, bukan lagu kasmaran atau hiburan.

Biografi mereka ada di lagu. Album lagu Dialita tak terlalu menampilkan simbol-simbol politis. Di buku album Dialita, kita malah disuguhi gambar tanaman-tanaman liar dan resep masakan. Sekian gambar bersanding dengan lirik-lirik lagu dan cerita kecil. Buku itu menjadi album tanaman, album “liar” bagi kita telanjur memiliki keterbatasan pengetahuan tentang jenis tanaman untuk pangan.

Lagu berjudul “Taman Bunga Plantungan” mengajak kita mengunjungi kamp Plantungan di perbatasan Kendal-Batang, Jawa Tengah. Lagu dan lirik digubah oleh Zubaedah Nungtjik AR, 1971. Lagu bercerita cinta kasih dan persahabatan para perempuan di Plantungan. Mereka bertugas membuat taman di tempat bekas rumah sakit bagi penderita lepra. Hari demi hari, mereka berbarengan membuat taman. Jadilah! Taman itu indah, ejawantah kemauan mereka menjadikan hidup indah meski dinodai ulah rezim Orde Baru.

Hari demi hari, mereka berbarengan membuat taman. Jadilah! Taman itu indah, ejawantah kemauan mereka menjadikan hidup indah meski dinodai ulah rezim Orde Baru.

Mia Bustam, Sudjojono dan Aku (2006)

Di situ latar pembuatan lagu, nama Mia Bustam (1920-2011) disebut sebagai penghuni dan pembuat taman di Plantungan. Kita membaca peran Mia Bustam dan tanggungan derita di buku berjudul keras: Dari Kamp ke Kamp (2008). Mia Bustam jadi musuh Orde Baru. Ia dijadikan penghuni penjara dan kamp. Masa lalu memberi muatan memicu marah rezim membenci PKI. Orang-orang masih mungkin mengenang Mia Bustam adalah perempuan tangguh. Masa lalu menempatkan nama Mia Bustam bersanding Sudjojono, sebelum mereka berpisah. Dua orang pernah suami-istri, berpisah menempuhi jalan berbeda. Mia Mustam memanggul derita berat, berbeda nasib dari Sudjojono.

Dua orang pernah suami-istri, berpisah menempuhi jalan berbeda. Mia Mustam memanggul derita berat, berbeda nasib dari Sudjojono.

Kita mengingat dua nama di buku memoar berjudul Sudjojono dan Aku (2006). Semula, Mia Bustam menulis memoar untuk anak-cucu. Pada suatu masa, memoar terbit jadi buku untuk “pelajaran” manusia, sejarah, seni, dan Indonesia. Mia Bustam mengisahkan Mas Djon (Sudjojono) di masa lalu: “Mas Djon meski bisa lembut selembut sutera, wataknya keras… Warna wataknya hitam atau putih. Tidak ada warna pastel pada dirinya. Kebenaran yang diyakininya, entah benar atau salah menurut orang lain, akan dibelanya mati-matian. Jika perlu ia sanggup mengorbankan pekerjaan dan keluarganya sekali pun. Ini telah berkali-kali dibuktikannya.” Mia Bustam mengerti Sudjojono sebagai seniman dan suami.

Pada saat bersama Sudjojono, ia dipanggil Nyi Sudjojono. Kisruh asmara dan keluarga menjadi penentu dalam pengukuhan nama. Perempuan memiliki nama tak wajib membawa atau mengikuti nama suami. Situasi ruwet antara Sudjonono-Mia Bustam-Rose tak ingin panjang memberi siksa. Pada 26 November 1958, ia menunggu jawaban tak pasti dari Sudjojono mengenai predikat suami-istri. Ia pun memilih melukis potret diri dan anak-anak, tak pernah selesai. Mas Djon datang memberi jawab: “Jeng, ternyata aku tidak bisa meninggalkan Rose. Kalau dia kutinggalkan, dia akan kehilangan pegangan, dan itu aku tidak mau. Jadi kita berpisah. Aku tahu, kau ini kuat. Mungkin akan menderita beberapa waktu, tapi kau akan mampu mengatasinya, aku yakin.”

Sudjojono salah. Mia Bustam malah mengaku derita telah selesai. Ia memilih berjalan ke terang nasib dengan melukis dan turut pameran diadakan Seniman Indonesia Muda di Surabaya. Ia mulai mencantumkan nama menampik derita: Mia Bustam, bukan lagi Nyi Sudjojono.

Nasib dua orang itu berbeda. Sudjojono tak menanggung kutukan rezim Orde Baru. Sudjojono terus bergerak di seni dan meraih pengakuan meski sempat “mampir” di politik gara-gara godaan kiri. Mia Bustam menanggungkan “hukuman”. Ia tak selamat dari politik sedang memusuhi segala hal berkaitan PKI. Hari demi hari, Mia Bustam dipaksa jadi manusia terhukum sampai tiba ke kamp Plantungan. Di situ, ia bertemu dengan para perempuan memiliki keragaman masa lalu tapi terikat oleh politik “kebencian” dan “pengutukan” khas rezim Orde Baru.

Masa lalu mencatat nama Mia Bustam dan para perempuan pantang kalah. Paduan suara Dialita mengabarkan kemauan mereka mentas dari “kutukan-kutukan” diawetkan di pidato pejabat dan buku-buku pelajaran di sekolah. Mereka pun pernah direndahkan melalui film-film dan buku sejarah selera Orde Baru. Di album Dunia Milik Kita, mereka memilih mengangkut sejarah digenapi tanaman. Dulu, mereka hidup dengan tanaman-tanaman untuk pangan.

Di buku album, sejarah dan keperempuanan semakin mengena dengan pemuatan resep pangan liar. Warisan dan pengetahuan ampuh bagi kita ingin mengerti derita dan pemaknaan pangan. Di halaman mengenai genjer, kita kembali belajar pangan, kemiskinan, dan sejarah petaka: “Genjer adalah sejenis tumbuhan rawa yang banyak dijumpai di sawah atau perairan dangkal. Biasanya ditemukan bersama-sama enceng gondok. Genjer adalah sumber sayuran ‘orang miskin’, yang dimakan orang desa apabila tidak ada sayuran lain yang dapat dipanen.”

Kita menghormati mereka, mendengar lagu mereka, dan menanti masa bisa bersantap pangan liar. Cara terpantas untuk mengingat sejarah dan membaca biografi para perempuan dalam album petaka Indonesia masa lalu. Begitu.

Bandung Mawardi,
FB: Kabut

Jumat, 08 Desember 2017

“Di Dalam Kelambu Tertutup”


Audya Amalia - Dec 8
  • Cara Lain Mengungkap Seorang Perempuan dalam Suatu Kisah

Geugeut Pangestu Sukandawinata. “Di Dalam Kelambu Tertutup”. Custom made paper. 200 x 150 x 150 cm. 2017

Karya patung kertas Geugeut Pangestu Sukandawinata dalam pameran Bandung Contemporary Art Awards #5 di Lawangwangi Art Space, Bandung, pada Oktober sampai November 2017, berjudul “Di Dalam Kelambu Tertutup”. Karya yang menggunakan custom made paper ini menggambarkan sebuah kelambu putih berbentuk kubus yang memiliki lipatan-lipatan vertikal seperti gorden. Kelambu tersebut menggantung setinggi 2 meter, hampir menyentuh lantai. Pada bagian atas kelambu terdapat lapisan yang lebih kecil dan mengelilingi bentuk utama kelambu.

Jika dilihat dari arah depan, kelambu tersebut terbuka secara simetris di bagian tengah, sementara bagian kanan-kiri bukaan dinding kelambu disangga oleh satu pengikat. Dari bukaan tersebut, kita dapat melihat bagian dalam kelambu terdapat sesosok perempuan seukuran asli tubuh manusia yang sedang duduk di atas kursi. Sosok perempuan dan kursi tersebut dibuat masih menggunakan teknik dan medium yang sama dengan material kelambu.

Dalam karya ini, figur perempuan tidak ditampikan melalui tubuh perempuan yang utuh, melainkan melalui penggambaran pakaian dan rok panjang yang dibentuk seolah pakaian tersebut sedang dipakai seseorang, sedangkan tubuh perempuan (seperti kepala, tangan, dan kaki) tidak ditampilkan. Maka siratan sosok perempuan dijelaskan dengan pakaian perempuan yang seolah dipakai oleh sosok yang tidak kasat mata. Sosok dalam karya ini tampak mengenakan pakaian trandisional kebaya lengkap dengan rok sinjang. Gestur perempuan pada karya ini sedang duduk tegak menyerong ke kanan belakang. Sementara siku lengan kanannya bertopang pada kursi, lengan kirinya tampak tegak menyentuh alas kursi. Kursi yang didudukinya memiliki bentuk alas dudukan setengah lingkaran, dengan sandaran yang terbentuk dari sebuah kurva setengah lingkaran menyatu dengan pengangan kursi dan ditopang dengan batang-batang sandaran vertikal, sedangkan kaki kursi tersebut berjumlah empat dan berbentuk meliuk. Kursi tersebut memiliki gaya interior Indonesia (khususnya Jawa) awal abad 20.

Secara keseluruhan, karya ini mempilkan tiga buah benda mati yakni kelambu berbentuk kubus, pakaian perempuan tradisional, dan kursi, serta hanya memakai satu warna yakni warna putih keabu-abuan yang memaanfaatkan warna asli material karya (kertas). Karya ini menggunakan komposisi tengah (center), terlihat dari bukaan kelambu pada bagian tengah dinding depan kelambu. Selain itu, penempatan sosok perempuan dan kursi di dalam kelambu yang cenderung padat dan sentral memanfaatkan bentuk kelambu yang hollow dan skalanya lebih besar daripada sosok perempuan dan kursi. Melalui komposisi tersebut, karya ini tampil dengan seimbang dan saling mengisi.

Dinding kelambu menghasilkan tekstur yang lembut mendekati tekstur asli kain gorden. Pada beberapa bagian pakaian terdapat tekstur lipatan kain yang juga menghasilkan efek realistis seperti tekstur kain asli, namun pada beberapa bagian seperti di dada, bahu kanan, dan ketiak kebaya tampak robekan khas kertas (material asli karya tersebut) yang tidak beraturan.

Karya ini merupakan apropriasi lukisan S. Sudjojono berjudul “Di Depan Kelambu Terbuka” tahun 1939, kemudian dibuat ke dalam bentuk trimatra dengan mengeliminasi objek manusia yang sebelumnya hadir pada karya Sudjojono serta memposisikan sosok perempuan di bagian dalam kelambu, bukan di depan. Terlepas dari perubahan tersebut, karya “Di Dalam Kelambu Tertutup” tetap mempertahankan gimmick karya “Di Depan Kelambu Terbuka” melalui pakaian tradisional kebaya sebagai bahasa yang masih mengangkat subject matter seorang perempuan dan benda lain yakni kursi dan kelambu. Karya ini seolah mengangkat kembali cerita lama pribadi seorang pelukis yang merupakan sosok berpengaruh dalam perkembangan seni rupa modern Indonesia, S. Sudjojono.

S. Sudjojono. “Di Depan Kelambu Terbuka”. 1939. Oil on canvas. 89 x 66 cm. (Sumber: indoartnow)

Dalam buku Sudjojono dan Aku –yang merupakan catatan Mia Bustam, istri S. Sudjojono, tentang perjalanan hidupnya bersama Sudjojono–, terdapat kisah ketika Mia Bustam membaca kumpulan kliping Sudjojono dan menemukan tulisan kritik Sanusi Pane terhadap karya “Di Depan Kelambu Terbuka”. Tulisan kritik tersebut mendorong Mia Bustam untuk menanyakan siapa sosok perempuan yang ada dalam lukisan tersebut. Sudjojono akhirnya mengungkapkan bahwa perempuan tersebut adalah seorang pelacur bernama Adhesi yang pernah menjadi istrinya sebelum menikah dengan Mia Bustam. Dalam sebuah catatan lepas tentang lukisan “Di Depan Kelambu Terbuka”, Mia Bustam menjelaskan bahwa Adhesi lahir dengan nama asli Fatimah, ia seorang perempuan Cirebon yang ketika remaja dipaksa menikah dengan seorang haji yang umurnya jauh lebih tua, lalu melarikan diri sampai ke Batavia dan terdampar di daerah Pasar Senen menjadi pekerja seks komersial.

Nama Adhesi sendiri didapatkan dari seorang pelanggannya. Sudjojono merupakan salah satu pelanggan tetapnya karena tertarik oleh kisah hidup Adhesi, kemudian bertekad untuk mengentaskannya dari dunia nafsu dengan mengajaknya hidup bersama di Sunter, dan mengganti nama Adhesi menjadi Miryam (dimaksud agar mirip dengan nama Maria Madgalena). Ketika tengah menjalankan hidup sebagai ibu rumah tangga yang baik, Miryam ternyata membawa penyakit kelamin gonorrhoea melalui pekerjaan sebelumnya bergonta-ganti pasangan, dan Sudjojono pun tertular penyakit tersebut. Setiap hari ia membuat ramuan obat-obatan tradisional untuk menyembuhkan penyakit Miryam. Saat itu Sudjojono berpenghasilan dari mengajar di Ardjunaschool. Sampai suatu ketika, ia berselisih faham dengan Mangunsarkoro yang juga mengajar di sekolah tersebut. Sudjojono memilih untuk keluar bekerja di sana, dan membuka sekolah untuk anak-anak nelayan di Sunter.

Penghasilan barunya tidak sebanding dengan penghasilan lamanya di Ardjunaschool. Hal tersebut mengakibatkan Miryam, yang sudah terbiasa hidup tenang dengan gaji Sudjojono, tidak bisa ikut hidup berkesusahan dengan penghasilan Sudjojono di sekolah barunya. Miryam melarikan diri dari rumah, dijemput pulang, dan melarikan diri lagi sampai tiga kali. Ketika pelarian yang keempat, Sudjojono menyadari ia telah gagal menjadi seorang yang mengentaskan kehidupan kotor Miryam sebelumnya sebagai perempuan penghibur. Mengetahui peristiwa tersebut ketika sedang mengandung anak pertama, Mia Bustam khawatir penyakit gonorrhea menular pada dirinya bahkan anaknya. Namun Sudjojono sudah memastikan, sebelum menikahi Mia Bustam, ia sudah memeriksanya ke dokter dan hasilnya negatif.

Catatan Mia Bustam tersebut menjelaskan peristiwa di balik lukisan “Di Depan Kelambu Terbuka”. Dalam kritik Sanusi Pane, lukisan tersebut seperti memiliki ada derita di balik sosok perempuan misterius berwajah melankolik dalam lukisan. Kisah Sudjojono dan Miryam di balik lukisan “Di Depan Kelambu Terbuka” dilanjutkan oleh anak Mia Bustam kepada Umar Kayam, novelis dan guru besar UGM, kemudian dipublikasikan melalui harian kompas.

Karya “Di Depan Kelambu Terbuka” sangat mengekspos sosok Miryam yang secara fisik hampir detail, gestur tubuh yang tegak dan kikuk, tatapan mata yang tajam, mulut yang tertutup, dan keseluruhan ekspresi yang menyiratkan sebuah ketegangan. Jika kita kembali pada karya Geugeut berjudul “Di Dalam Kelambu Tertutup”, dalam karya ini justru sama sekali mengeliminasi tubuh/fisik sosok Miryam. Dan atas tujuan ‘menceritakan kembali’ rekaman peristiwa Sudjojono dan Miryam, karya ini mengambil bahasa benda-benda mati yang muncul dalam karya Sudjojono. Benda mati yang melekat pada tubuh sosok Miryam, yakni pakaian tradisional kebaya, terbangun seolah ‘hidup’ melapisi tubuh yang tidak terlihat. Bisa jadi, melalui penggambaran tersebut, karya “Di Dalam Kelambu Tertutup” ingin mengangkat kembali sosok perempuan dalam karya “Di Depan Kelambu Terbuka” yang pernah menjadi pertanyaan besar Mia Bustam siapa sosok dalam karya itu. Atas situasi penuh rasa penasaran Mia Bustam, kemudian karya “Di Dalam Kelambu Tertutup”, dalam konteks visual, tidak ingin serta merta menjawab pertanyaan tersebut; tetap mempertakankan kemisteriusan sosok perempuan dalam karya.

Secara visual, hal tersebut menjadi daya tarik lain dalam apropriasi lukisan “Di Depan Kelambu Terbuka” karya Sudjojono menjadi karya “Di Dalam Kelambu Tertutup”, yakni cara pembahasaan pakaian yang sengaja dibuat tampak seolah ‘hidup’ dan sedang dipakai orang seseorang padahal fisik orang tersebut tidak kasat mata, kerap dijumpai dalam karya-karya trimatra lain. Cara ini membuat pakaian bukan hanya sebagai benda mati yang ‘jatuh’ jika tidak ada tindakan dari manusia. Sebut saja karya-karya Octora yang sering menampilkan berbagai jenis pakaian tertentu sebagai suatu identitas atas gagasan yang hendak ia angkat dalam karya-karyanya. Octora mengeliminasi kehadiran figur fisik manusia dan mewakilinya dengan bentuk-bentuk pakaian.

Octora. “My Dear Gentlemen — Insignia”. 2015. Sheet metal and copper. Various size. (Sumber: indoartnow)


Octora. “Nomadesse”. 2016. Poly vinty chloride. Various size. (Sumber: indoartnow)

Cara pembahasaan tersebut meminjam identitas tertentu dalam bentuk pakaian, yang secara visual memiliki tujuan untuk menyembunyikan siapa sosok yang sebenarnya sedang memakai pakaian tersebut, atau bisa juga untuk mengeneralkan siapa saja bisa mengenakan pakaian tersebut tanpa harus memiliki satu sosok khusus. Lebih dari itu, cara pembahasaan seperti ini cenderung mengedepankan identitas pakaian, dan memunculkan pertanyaan oleh apresiator “Siapa yang kiranya tepat memakai pakaian tersebut?”, kemudian karya mengajak apresiator lebih banyak mengungkap figur dalam karya, alih-alih memberikan informasi secara mentah dan eksplisit siapa figur tersebut. Maka dalam konteks visual, karya “Di Dalam Kelambu Tertutup” dapat menggiring apresiator untuk bertanya-tanya siapakah figur yang tepat mewakili karya tersebut. Dan situasi penuh tanda tanya Mia Bustam pada lukisan “Di Depan Kelambu Terbuka” pun merasuki apresiator yang melihat karya “Di Dalam Kelampu Tertutup”.

Dalam rangka ‘mencerikatan kembali’, karya “Di Dalam Kelambu Tertutup” mengganti posisi sosok Miryam menjadi di dalam kelambu, alih-alih di depan kelambu seperti dalam lukisan Sudjojono. Untuk pelihat sosok tersebut, apresiator harus ‘mengintip’ isi kelambu, seolah diajak untuk melihat sebuah kisah yang sempat tertutup. Melalui kesannya yang muram dan sepi akan warna, karya ini berhasil mengangkat kembali suasana kelam dan penuh kepedihan atas lukisan “Di Depan Kelambu Terbuka”. Kekuatan emosi pada karya ini muncul pada robekan di beberapa bagian. Karya ini, bersama materialnya yakni kertas, mewakili sesuatu yang mudah rusak dan dapat pupus dimakan waktu. Hal ini sejalan dengan peristiwa Sudjojono dan Miryam yang sudah terlewati hampir satu abad lamanya, kini hampir hilang ditelan zaman.

Sumber Pustaka:
Bustam, Mia. (2006). Soedjojono dan Aku. Jakarta: Pustaka Utan Kayu.

Jumat, 06 Juni 2014

Mia Bustam, Perempuan Tangguh Bermental Baja


Jumat, 06 Juni 2014


Bagi generasi muda saat ini, sedikit yang mengingat tentang sosok-sosok perempuan tangguh yang berkarya dan berjuang untuk banyak orang. Sedikit mengingat karena penguasa lebih sedikit lagi menuliskannya dalam buku-buku sejarah sekolah, dalam tayangan-tayangan televisi.

 Dari yang sedikit itu, bersyukur masih ada yang mau menuliskannya, menyiarkannya agar terus diingat sehingga bisa dicontoh semangatnya, perjuangannya. Untuk ingatan yang sedikit itulah, Perempuan Pelita hadir untuk sahabat marsinah, tak banyak, baru seminggu sekali, tiap kamis jam 7 sampai 8 malam. Nah, untuk malam ini, saya, Mimosa menggantikan sejenak Dias yang sedang pulang ke kampung halaman, di Kota Lampung. Siapa perempuan tangguh yang akan kami sajikan malam ini? Kejutan dong, pasti membuat sahabat marsinah berdecak kagum. Sambil menanti kehadirannya, kita nikmati dulu yuuuk satu tembang manis yang satu ini (iklan dan lagu)

Di usianya yang menginjak 80an, perempuan ini menghentak jiwa kaum muda karena kalah semangat dan tekad. Ya, sebut dia, Mia Bustam, perempuan anggota Lekra yang ditahan oleh Orde Baru sejak tahun 1965 hingga 1978, dengan menyandang label eks tapol. Di usia yang tidak lagi muda, Mia Bustam justru makin produktif menghasilkan karya-karya terbaiknya. Tercatat, sudah dua buku yang ia tulis diterbitkan, yakni “Sudjono dan Aku”, “Dari Kamp ke Kamp: Catatan Seorang Perempuan”. Dua buku itu mengisahkan perjalanan hidupnya.

Ia ditangkap dan ditahan di Polres Sleman pada 23 November 1965, persis pada hari ulang tahun anaknya yang ke-3. Sebuah truk tentara datang menjemputnya. Dari Polres Sleman, ia dipindahkan ke Benteng Vredenburg pada pertengahan 1966, lalu menghuni Penjara Wirogunan sampai tahun 1971. Setelah itu berpindah-pindah dari Penjara Pelantungan, Weleri, Kendal, dan terakhir di Penjara Perempuan Bulu, Semarang. Setelah 13 tahun hidup dari penjara ke penjara, Mia dibebaskan pada 27 Juli 1978. Akibat penangkapanannya, ia harus terpisah dari 8 anaknya yang kemudian diasuh secara bergantian dari satu teman ke teman lain, dari satu keluarga ke keluarga lainnya, kecuali anak sulungnya yang juga dipenjara karena aktif di CGMI (Central Gerakan Mahasiswa Indonesia).

Buku pertamanya, lebih berkisah tentang hubungan percintaannya dengan Sudjojono. Sudjojono adalah pelukis ternama Indonesia, anggota Lekra, dan digelar sebagai Bapak Pelukis Modern Indonesia. Sudjojono juga dikenal sebagai motor penggerak Seniman Indonesia Muda (SIM).


Awalnya hubungan Mia dan Sudjojono tidak mendapat restu dari pihak keluarga, namun Mia yang memiliki nama kecil Sasmiya Sasmoyo ini, tidak menyerah. Cinta pandangan pertama Mia dengan Sudjojono kala mengunjungi ayahnya di rumahnya membuat Mia tak bisa berpaling. ”Mas Djon tak terlalu tampan, tapi saya tidak akan pernah lupa senyumnya. Selain itu kebetulan saya suka baca, jadi kita bisa berdiskusi beragam topik,”. Akhirnya pada usia 23 tahun, Mia menikah dengan Sudjojono memutuskan menikah di Solo.


Sebagai istri aktivis seniman, Mia siap dengan segala konsekuensi, terutama kala Sudjojono berbeda pendapat dengan Presiden Pertama RI, Soekarno, yang membuat Sudjojono keluar dari pekerjaannya di Pusat Tenaga Rakyat dan berdampak pada berkurangnya penghasilan. Hal lainnya adalah tentang masa lalu Sudjojono yang sempat tinggal serumah dengan Pekerja Seks di Senen. Pun demikian, ketika lewat lukisannya yang berjudul “Sayang Aku Bukan Anjing”, terkuak kisah Sudjojono yang sedang menaruh hati ke perempuan lain. Bagi Mia, kejujuran Sudjojono sudah menjadi pembuka pintu maaf.

Perubahan drastis justru terjadi saat Sudjojono menjadi anggota DPR RI mewakili PKI pada tahun 1955. Sudjojon yang awalnya rendah hati, menurut Mia jadi berubah jadi tinggi hati. Tidak hanya itu, Sudjojono mulai menjalin hubungan dengan perempuan lain dan meminta Mia supaya mau dimadu. Mia menolak mentah-mentah, tak hanya Mia, Gerwani pun menagih janji Sudjojona yang kala pemilu kampanye hak –hak perempuan dan menyatakan diri anti poligami. Dua tahun menunggu kepastian perceraian, akhirnya keduanya pun bercerai dan sejak itulah Mia meletakkan nama Bustam di belakang namanya.

“Saat itu pada 1957 akhirnya Mas Djon mengaku. Ia katakan jika kami seumpama wayang, maukah aku menjadi Sembadra.” Aku langsung menyahut, ”Dan Rose menjadi Srikandi?” Lalu Mia melanjutkan tuturannya: ”Aku tidak bisa seperti Sembadra yang toleran pada Arjuna untuk mempunyai istri berlusin-lusin. Lagian kok dia membayangkan dirinya jadi Arjuna? Arjuna kok elek. Aku tidak mau poligami, yang penting cerai. Dulu dia seperti dewa bagi saya. Tapi setelah itu, dia hanya dewa yang kemudian turun derajatnya menjadi manusia biasa. Setelah menunggu kepastian selama dua tahun, akhirnya kami memutuskan berpisah pada 1959.”

Perpisahan membuat cinta Mia kepada Bapak Seniman Modern itu menjadi kering, namun Mia terus berjuang hidup menafkahi delapan anaknya. Kisah selanjutnya, akan kita ikuti setelah lagu yang satu ini (Lagu dan iklan)

Selepas bercerai dari Sudjojono, Mia mendalami ketrampilan melukisnya dengan bergabung di Seniman Indonesia Muda (SIM) dan LEKRA (Lembaga Kesenian Rakyat). Setelah berpisah, Sudjojono sebenarnya tetap memberikan nafkah bagi kedelapan anaknya sebesar Rp 2.000 per bulan. Jumlah yang sangat minim, sehingga mereka harus makan pagi dengan tiwul, beras campur jagung. Kehidupan terus berlangsung sampai terjadi peristiwa 1965. ”Waktu itu ulang tahun anak saya yang ketiga, Watugunung, pada 23 November 1965. Tiba-tiba sebuah truk tentara berhenti di depan rumah. Saya harus naik truk dibawa tentara. Sedih sekali harus meninggalkan tujuh anak saya yang masih kecil-kecil. Saya tak sangka bahwa harus meninggalkan anak sebegitu lama,” tutur Mia lirih.

Kau naik ke truk sana!” bentak orang itu kepadaku. Aku pandangi anak-anak satu per satu dan hanya berucap, ”Wis ya cah,” dan berjalan meninggalkan mereka tanpa menoleh lagi. Aku tidak mencium mereka. Aku tahu kalau aku menciumnya, aku akan menangis dan itu tidak maui. Air mataku hanya untuk yang kukasihi, tidak untuk diperlihatkan kepada mereka yang memusuhi diriku

Tiga belas tahun hidup di penjara bukanlah sebentar. Mia berpindah dari Penjara Sleman, ke Benteng Vredeburg, lalu ke Penjara Wirogunan, dipindah lagi ke Pelantungan, sampai akhirnya pada 1978, ia bisa bebas dari Penjara Bulu, Semarang.

Selama 13 tahun Mia dipenjara tanpa pengadilan, setelah Orde Baru tumbang, atas desakan masyarakat internasional, Mia dan kawan-kawannya yang bernasib serupa dibebaskan secara bertahap. Di tahap awal, Mia masih berstatus tahanan kota, sebelum akhirnya diijinkan bepergian di dalam provinsi meski waktu dibatasi. Baru kemudian boleh pergi ke luar provinsi, paling lama dua minggu, dengan izin dan surat jalan dari RT, RW, Kelurahan dan Kodim. Sejak itulah, label ET (Eks Tapol) tertera manis di KTPnya, sebuah stigma terhadap tapol 1965 dan keluarganya. Dampaknya tidak sedikit, label itu menimbulkan diskriminasi terhadap mereka sebagai warga negara. Untuk label ini, Mia terus berjuang agar tidak ada lagi label ET , namun terus dipersulit oleh pemerintah. Bila sudah lolos di RT, RW, hambatannya selalu di tingkat kecamatan. Baru pada tahun 2006, KTP Mia bersih dari label ET.

Masa lalu Mia memang penuh luka, namun bagi Mia kebenaran harus terus ditegakkan, makanya merawat ingatan adalah penting. Kepada Sudjojono yang tak pernah menjenguk ia beserta anak-anaknya hingga meninggalnya pada tahun 1986, tak membuat Mia menaruh dendam. ”Semuanya adalah sejarah,” ujar Mia. Masih banyak kenangan baik tentang Sudjojono, yang masih tersimpan rapi di benak Mia. ”Rhino sedang menggembala kambing sambil nyanyi lagu-lagu rohani di dekat asrama Realino. Di sela lagu-lagu itu tiba-tiba ia menyanyi lagu ’Internasionale’ yang digubah Ki Hajar Dewantoro itu. Seorang biarawan mendekat, tanya namanya. ”Apa Bapakmu masih ada?” Rhino bilang, ”Sudah pergi, Romo....” Lalu ditanya lagi, ”Siapa namanya?” Rhino menjawab, ”Sudjojono.”

”Jadi, Romo itu tahu mengapa Rhino hafal lagu ’Internasionale’,” kata Mia.

Oleh banyak seniman, Mia dipandang punya kemampuan melukis yang garis-garisnya tak kalah dengan Sudjojono. ”Dulu kalau Bapak melukis, saya disuruh nungguin di sebelahnya. Lama-lama saya lihat, oo... melukis itu gampang ternyata,” kenang Mia.

Pengalaman hidup yang berat justru membuat Mia bertambah kuat, kala pertama kali bertemu dengan anak sulungnya, Bayu Sutedja, yang baru dibebaskan setelah 9 tahun dipenjara, Mia menyambutnya dengan semangat “C’est la vie.Inilah Hidup”

Keingingan Mia hanya satu, agar ada rehabilitasi nama eks tapol 1965, ”Dulu saya menunggu Orde Baru runtuh, lalu menunggu sampai Pak Harto meninggal, sekarang saya menunggu rehabilitasi nama eks tapol 65....”

Meski usia teus bertambah, Mia tidak berhenti berjuang, ia tuliskan kisah hidupnya melalui untaian kata dan tulisan. Usia tak pernah jadi hambatan bagi Mia untuk kebenaran dan keadilan yang ia damba. Sebelum kita lanjutkan kisahnya, kita nikmati dulu lagu yang satu ini (lagu dan iklan)

Mia akhirnya tutup usia. ia berpulang di usia 91 tahun, meninggalkan 8 anak, 20 cucu, dan 11 cicit. Seorang diri Mia Bustam berhasil membesarkan dan mengentaskan 8 anaknya menjadi orang-orang yang kuat dan berani menghadapi hidup, sekeras apa pun.

Satu hari sebelum meninggal, persis di hari pertama tahun 2011, Mia Bustam menyampaikan keinginannya untuk menambah satu bab tentang Soeharto pada naskah buku yang baru selesai digarapnya. Buku lanjutan kisah hidupnya, yang sekali lagi menuturkan kekejaman rezim Orde Baru terhadap lawan politiknya.
“Aku masih ingin nambah satu bab tentang Soeharto di buku yang baru selesai kutulis,” ujarnya lirih, nyaris tak terdengar. Dia kesulitan berbicara karena lendir di paru-parunya. Bicara dua menit, suaranya kembali hilang. Tangannya terlalu gemetar untuk memegang pena. Tak ada yang bisa dilakukannya selain berbaring di ruang tamu Nasti, anak keduanya, yang diubah menjadi kamar perawatan.
Ketika masih sehat, Mia Bustam tinggal di rumah sederhana berpagar tanaman dan bunga tak jauh dari rumah anak keduanya itu. Untung naskah terakhirnya sudah selesai ditulis, meski masih ingin menambah satu bab tentang Soeharto. Mungkin tak terlalu penting. Orang sudah banyak tahu tentang sepak terjang penguasa Orde Baru itu.

Akhirnya sampailah kita di penghujung acara kita, Perempuan Pelita. Mia Bustam, sosok perempuan tangguh ini, semangatnya akan terus bersama kita. Perjuangan sepanjang usia adalah perjuangan luar biasa dan patut kita jadikan contoh. Ya, buat sahabat marsinah, saya akhirnya undur diri dan seluruh kerabat kerja marsinah fm mengucapkan terimakasih, salam setara, sampai jumpa kamis ddepan di jam yang sama, di Perempuan Pelita, Marsinah 106 FM


Kamis, 27 Januari 2011

Akhir Perjalanan Mia Bustam


27 Januari 2011


Di kampung kandang, pemakaman asri yang entah kenapa menggunakan bunga plastik sebagai aksesori di atas pusara, se­orang perempuan usia 90 tahun dimakamkan, Senin, 3 Januari lalu.
“Ia juru taman yang hebat. Kawan sealumni saya,” ujar seorang perempuan setengah baya berbaju hitam, menunjuk pada peti yang mulai diturunkan.

 Seorang frater muda memanjatkan doa, mengantar jiwa menuju kekekalan. Di sebelahnya, terpancang di atas gundukan tanah yang baru digali, bersandar salib kayu baru dengan gurat cat putih di atasnya: Fransiska Emanuela Sasmiati, Lahir 04-06-1920, Meninggal 02-01-2011. Orang-orang lebih mengenalnya sebagai Mia Bustam.

Mujiati, perempuan berbaju hitam yang berbisik ke saya, tak bercanda saat menyebut Mia sebagai juru taman. Ia hanya mengungkap kenangan tentang “peran” Mia saat berada di Plantungan, penjara perempuan di Cilacap Jawa Tengah, tempat ratusan perempuan yang dituding sebagai kader maupun simpatisan Partai Komunis Indonesia –pasca insiden Gerakan 30 September 1965–ditempatkan belasan tahun, tanpa pernah diadili. Mujiati dan Mia adalah bagian dari mereka, sehingga Mujiati menyebut Mia sebagai kawan satu alumni dari Plantungan.
“Ia dipercaya menata taman (saat di Plantungan). Dan taman yang ia tata selalu tampak terawat dan bagus,” kenang Mujiati.
Mia mencecap dinginnya Penjara Pelantungan, hanya karena keaktifannya di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi budaya ounderbow PKI.

Ia ditangkap dan ditahan di Polres Sleman pada 23 November 1965, persis pada hari ulang tahun anaknya yang ke-3. Sebuah truk tentara datang menjemputnya. Dari Polres Sleman, ia dipindahkan ke Benteng Vredenburg pada pertengahan 1966, lalu menghuni Penjara Wirogunan sampai tahun 1971. Setelah itu berpindah-pindah dari Penjara Pelantungan, Weleri, Kendal, dan terakhir di Penjara Perempuan Bulu, Semarang. Setelah 13 tahun hidup dari penjara ke penjara, Mia dibebaskan pada 27 Juli 1978.

Sasmiyarsi Sasmoyo, istri wartawan senior Aristides Katoppo, berkisah bagaimana anak-anak Mia harus berpindah pengasuhan antarkerabat karena kepergian sang ibu. Anak sulung Mia, Tedja Bayu, ikut jadi pesakitan dan berakhir dengan dibuang ke Pulau Buru akibat aktivitasnya saat itu di Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Sementara itu, tujuh anak lainnya, sempat diasuh oleh ibu Sasmiyarsi.

“Ibu kemudian meminta saya untuk merawat anak nomor tiga dan empat,” ujar perempuan yang akrab dipanggil Mimis ini.
Mimis adalah saudara tiri Mia. Keduanya sama-sama memiliki darah Raden Ngabehi Sasmojo, namun lahir dari rahim ibu yang berbeda.

Mimis mengenang bagaimana keluarga besar Keraton Mangkunegaran menentang hubungan Mia dengan Sudjojono, pelukis kelahiran Kisaran, Sumatera Utara, yang kelak dikenal sebagai “bapak pelukis modern Indonesia.”

Darah biru keraton sulit menerima Mia berhubungan dengan seorang lelaki yang hidup di lingkungan keluarga bohemian, komunitas kuli kontrak yang sarat dunia keras dan tak peduli lembaga perkawinan.


Terpikat Sudjojono


Tidak direstuinya hubu­ng­an Mia dan Sudjojono oleh pihak keluarga juga di­kisahkan oleh Hersri, aktivis Lekra, yang turut terlibat dalam pengerjaan buku memoar Mia, Sudjojono dan Aku (Pustaka Utan Kayu, 2006).

Namun Mia yang memiliki nama kecil Sasmiya Sasmoyo ini, bukan perempuan yang pantang menyerah. Pertemuannya dengan pelukis berambut gondrong yang pernah terang-terangan memuji kecantikannya di depan sang ayah ini, benar-benar membuatnya jatuh cinta. Di usianya yang ke-23, tak lama setelah perjumpaanya dengan Sudjojono, keduanya pun memutuskan menikah di Solo.

Sudjono sangat dikenal dalam kumpulan aktivis seniman. Ia motor penggerak Seniman Indonesia Muda (SIM) dan Lekra.

Tahun 1955, Sudjojono duduk sebagai anggota DPR dari Fraksi Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun, ketika duduk sebagai wakil rakyat inilah Sudjojono justru mengkhianati cinta Mia saat menjalin hubungan dengan penyanyi seriosa Rose Pandanwangi. Ia meminta kebesaran hati Mia untuk dimadu. Namun Mia menolak, terlebih saat kampanye pemilunya, Sudjojono menjanjikan perjuangan hak-hak perempuan, termasuk menentang poligami.
Akibat petualangan cintanya, Sudjojono kemudian tak hanya kehilangan cinta Mia, tetapi juga dipecat dari PKI. Tahun 1959, keduanya resmi berpisah.

Pada tahun yang sama, Mia disahkan menjadi anggota Lekra dalam Kongres di Solo. Ia kemudian memutuskan menggunakan nama Mia Bustam, bukan lagi Sasmiya Sasmojo. Bustam adalah moyang dari garis ibunya atau ayah dari pelukis besar Sarief Bustaman (Raden Saleh).

Pada tahun 1964, dalam catatan Hersri Memoar Pulau Buru, Mia pernah memamerkan karyanya bersama perempuan pelukis lainnya, yakni S Ruliyati, Kartika Effendi, dan istri Edy Sunarso.

Namun, menurut FX Rudy Gunawan, penyunting untuk memoar Mia Dari Kamp ke Kamp: Cerita Seorang Perempuan (VHR dan Spasi, 2008); Mia lebih identik sebagai inspirator aktivis perempuan yang tangguh, ketimbang seorang perupa.
 “Sikap politiknya sangat jelas,” ungkap Rudy.
Ketanggguhan Mia memang tiada banding. Ketika pertama kali bertemu lagi de­ngan Tedja Bayu, anak sulungnya, yang baru dibebaskan dari penjara, Mia hanya berujar ringan, “Inilah hidup!”
Pengalaman telah menempanya sedemikian rupa menjadi pribadi yang sangat kuat. Kemarin, saat jasad ibu dari delapan anak, eyang dari 20 cucu, dan eyang buyut dari 11 cicit itu diturunkan ke liang lahat, Tedja Bayu mengucapkan salam perpisahan yang indah. “Selamat Jalan Ibu. Tugas sejarah Ibu sudah selesai. Kami yang akan meneruskannya.”

Sinar Harapan, 4 Januari 2011


Kamis, 19 April 2007

Tahun-Tahun Bersama Sudjojono


April 19, 2007  - Oleh Ade Tanesia

ilustrasi: Lukisan karya Sudjojono

Kalau orang bertanya, apakah aku masih mencintai Sudjojono? Aku jawab tidak, yang tertinggal hanya iba padanya.

Wanita itu Mia Bustam namanya. Usianya kini sudah 84 tahun, tapi ingatannya masih cemerlang. Dalam sejarah seni rupa modern Indonesia, nama Mia Bustam hanya lamat-lamat terdengar. Tak banyak orang tahu bahwa wanita ningrat itu istri pertama pelukis besar Indonesia, S Sudjojono. Dialah pendamping sosok Sudjojono di masa ”bapak seni lukis modern Indonesia” itu melahirkan pemikiran dan karya-karya terbaiknya.

Pertama kali saya jumpa dengannya di tahun 1980-an. Dua puluh lima tahun telah berlalu, toh tak banyak yang berubah dalam dirinya. Ia masih cantik. Saat bertemu dengannya, semangatnya untuk berkarya masih membara.
“Kartika Affandi sudah memberikan saya kanvas dan cat. Ingin sekali melukis lagi. Selama ini saya juga menyulam. Mau lihat karya sulam saya?” ungkap Ibu Mia sembari masuk kamar mengambil karya sulamnya.
“Saya sedang membuat silsilah keluarga,” lanjutnya memperlihatkan sulaman gambar pohon silsilah.
“Nanti di bulatan ini akan saya taruh foto anak-anak dan cucu saya. Tapi Sudjojono saya taruh di bawah saja. Hanya tulisan Ayah: S Sudjojono. Di bawahnya saya taruh daun-daun yang mengering, karena cintanya pun sudah kering,” ungkapnya sambil tertawa lirih.
Matanya lalu menerawang jauh saat ia mulai bercerita tentang tahun-tahun penuh keindahan dan kegetiran bersama Sudjojono. Saat itu ia masih menyandang nama pemberian orang tuanya: Sasmiya Sasmojo. Gedung Bataviasche Kunstkring (sekarang gedung bekas kantor imigrasi) di Jalan Teuku Umar, Jakarta, menjadi saksi pertemuan pertamanya dengan Sudjojono.

Bataviasche Kunstkring merupakan gedung kesenian milik pemerintah kolonial Belanda. Ayahanda Mia Bustam, Raden Ngabehi Sasmojo, bekerja sebagai concierge dan tinggal bersama keluarganya di paviliun gedung. Dari beranda muka paviliunnya itu, Mia Bustam yang saat itu berumur 22 tahun mengamati seorang pria sedang bercakap-cakap dengan ayahnya. Pria berambut agak gondrong itu lalu menoleh dan tersenyum padanya. Sontak hati Mia Bustam berdebar sembari bertanya dalam hati: ”Siapakah pria itu?”

Dari ibundanya, Mia Bustam tahu bahwa pria itu bernama Sudjojono, seorang pelukis dari Sunter. Cinta pada pandangan pertama itu rupanya yang terjadi di antara mereka.
”Mas Djon tak terlalu tampan, tapi saya tidak akan pernah lupa senyumnya. Selain itu kebetulan saya suka baca, jadi kita bisa berdiskusi beragam topik,” kenangnya.
Pertemuan itu berlangsung pada 1943 dan pada tahun yang sama Sudjojono melamarnya, akhirnya mereka menikah di Solo, Jawa Tengah.

Dari Solo, pasangan pengantin baru ini tinggal di Jalan Kawi, Jakarta. Saat itu Sudjojono bekerja di Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) yang dipimpin oleh empat serangkai, Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hadjar Dewantoro, dan KH Mansjur.

Sejak bulan-bulan pertama pernikahannya dengan Sudjojono, Mia makin tahu bahwa dia merajut hidupnya dengan seniman yang memegang keras prinsip. Pernah suatu kali Sudjojono bersitegang dengan Bung Karno karena perbedaan pendapat.
“Saat itu Poesat Tenaga Rakyat sering mengadakan pameran. Salah satunya adalah pameran pelukis Kartono Yudokusumo. Ketika itu Sudjojono membuat tulisan di katalognya. Dalam tulisannya ia berpendapat bahwa ”bakat melukis Kartono Yudokusumo sangat besar, bisa dikatakan sama dengan bakat Basuki Abdullah”.
Membaca tulisan itu, Basuki Abdullah sangat marah dan mengadu pada Bung Karno serta menuntut agar kalimat itu dicoret. Bung Karno menyampaikannya pada Sudjojono seraya minta agar kalimat itu dibuang saja. Kontan Sudjojono menolak karena ia merasa punya alasan kuat atas pendapatnya.

Perdebatan makin memanas, akhirnya pendiri Persagi itu menyatakan mundur dari Poesat Tenaga Rakyat.
”Hari itu Mas Djon pulang cepat. Saya heran kok dia sudah pulang padahal baru pukul 11. Akhirnya saya tahu bahwa dia keluar dari Pusat Tenaga Rakyat dan tentu gaji sebesar Rp 100 juga hilang. Meskipun kala itu sedang hamil anak pertama, saya tidak marah atau takut. Tenang saja, karena menjadi istri Sudjojono harus siap menghadapi apa pun yang ia lakukan. Bahkan waktu itu Bung Karno mengutus Affandi dan Dullah untuk membujuk Mas Djon agar bekerja kembali dan gajinya masih diantar selama tiga bulan. Tapi selama kalimat itu masih dicoret, Mas Djon tetap menolak,” tuturnya menghela napas, seakan peristiwa itu baru saja berlangsung.
Kekuatan hati Mia tentunya berasal dari cintanya yang sangat besar pada Sudjojono. Masih di masa dirinya mengandung anak pertama, ia mendengar pengakuan suaminya mengenai cerita dibalik lukisan Di Depan Kelambu Terbuka. Pengakuan itu bermula dari komentar Sanusi Pane yang mengatakan bahwa wanita dalam lukisan itu seperti menyimpan derita. Lalu Mia pun bertanya pada sang suami: ”Siapakah sebenarnya wanita itu?” Ternyata wanita itu adalah seorang pekerja seks di daerah Senen yang kerap menjadi langganan Sudjojono di masa bujangnya.

Wanita itu bernama Adhesi sebuah nama yang diberikan oleh salah seorang langganannya yang lain. Terdorong oleh rasa kasihan dan keinginan agar perempuan itu keluar dari kehidupan gelapnya, Sudjojono membawa Adhesi ke rumah orang tuanya di Sunter. Walaupun tidak menikah secara legal, mereka hidup seperti layaknya suami istri. Tentu peristiwa ini membuat kedua orang tua Sudjojono, Pak Sindhudarma dan Ibu Marijem, sangat terpukul, tapi toh akhirnya mereka tetap menerima.

 Untuk menandai perubahan kehidupan perempuan pelacur itu, Sudjojono mengubah nama Adhesi menjadi Miryam. Sementara Miryam berperan sebagai ”ibu rumah tangga” yang mengurusi dirinya dan orang tuanya, Sudjojono bekerja menjadi guru di Ardjoenaschool dengan gaji 35 gulden, jumlah yang cukup besar di masa itu.

Selang beberapa waktu, Sudjojono keluar dari pekerjaannya dan mendirikan sekolah untuk anak-anak nelayan di Sunter yang diberi nama Poelasara. Tentu gaji 35 gulden hilang, dan ternyata Miryam tidak mampu hidup melarat. Ia akhirnya lari dari Sunter dan kembali hidup sebagai pelacur di Senen. Beberapa kali Sudjojono berusaha menjemputnya dan membawanya pulang, tetapi Miryam terus kabur. Setelah empat kali, akhirnya Sudjojono tidak lagi berusaha mencarinya, karena mungkin itulah jalan yang dipilih oleh Miryam. Akibat hubungannya dengan Miryam, rupanya Sudjojono tertular penyakit gonorrhoe.
“Saat mendengar ia mengidap penyakit itu, saya langsung mengelus anak yang ada dalam kandunganku. Rasanya campur aduk, antara takut dan juga kasihan sama wanita itu. Tapi Mas Djon langsung bilang bahwa sebelum menikah ia telah memeriksakan dirinya ke dokter dan dinyatakan negatif. Aku lega dan memang ke delapan anakku sehat semua,” tutur Mia lebih lanjut.
Kegalauan hati kerap timbul dalam hatinya, tetapi saat itu kejujuran Sudjojono selalu sanggup menenangkan hatinya. Mia Bustam teringat pada lukisan Sayang Aku Bukan Anjing, di mana dirinya dilanda rasa cemburu yang hebat. Lukisan itu berkisah tentang dua anjing mereka yang berkelahi memperebutkan tulang. Namun kepala anjingnya diganti dengan kepala Sudjojono dan seorang wanita bernama Patty, salah seorang Ah murid sanggar yang didirikan oleh Sudjojono saat tinggal di Jalan Segaran, Jakarta.

Awalnya Mia Bustam tidak masalah dengan lukisan itu sampai muncul sebuah ulasan di koran Kedaulatan Rakyat. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa judul lukisan itu sebenarnya Sayang Kami Bukan Anjing. Dituliskan pula seandainya mereka anjing maka akan lebih gampang untuk bersatu, tapi berdasarkan moral Sudjojono tidak akan meninggalkan istrinya.
“Sewaktu saya baca Koran Kedaulatan Rakyat itu, langsung saja muka saya panas, karena yang saya tahu lukisan itu berjudul Sayang Aku Bukan Anjing. Korannya langsung saya uwel-uwel. Pikir saya berarti ada apa Mas Djon dengan Patty. Berhari-hari saya ngambek dan Mas Djon sangat bingung. Tapi akhirnya dia mengaku juga bahwa dia pernah tertarik dengan Patty. Kalau Mas Djon sudah cerita, saya sudah tenang,” ujar Mia.
***
Memasuki masa perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Sudjojono dan seniman Indonesia lainnya tidak tinggal diam. Mia Bustam masih ingat mereka sibuk membuat poster-poster perjuangan, dan yang terkenal adalah karya poster Bung Ayo Bung.
Ada cerita menarik di balik poster itu.

“Saat itu Bung Karno minta pada Sudjojono dan kawan seniman lainnya untuk membuat karya yang bisa mengobarkan semangat juang rakyat. Sementara mereka sedang berdiskusi, datanglah Chairil Anwar yang baru plesir di Senen. Ia bercerita bahwa pelacur di Senen memanggil setiap pria yang lewat dengan kata-kata “Bung Sini Bung”. Mendengar cerita lucu Chairil Anwar, para seniman itu langsung mendapat inspirasi untuk membuat karya poster dengan kalimat Bung Ayo Bung.

Pada 1946, saat pusat pemerintahan Indonesia dipindah ke Yogyakarta, banyak seniman ikut pindah, termasuk Sudjojono. Lalu pada 1947, SIM (Seniman Indonesia Muda), kelompok yang didirikan oleh Sudjojono dan kawan-kawannya di Madiun, Jawa Timur, pindah ke Solo untuk berkarya di gedung Miss Ribut. Di sana cukup banyak lukisan perjuangan diciptakan, salah satunya yang terkenal adalah Kawan-Kawan Revolusi.

 Selain itu Sudjojono juga membuat lukisan berjudul Pejuang, menggambarkan seorang pejuang asal Batak bermarga Napitupulu. Juga ada lukisan berjudul Pandanglah Mataku mengenai seorang mata-mata Belanda yang diinterogasi oleh pejuang.

Sayangnya seluruh lukisan itu akhirnya harus musnah saat terjadi peristiwa serangan Agresi Belanda II pada1948. Sebelum peristiwa itu, Sudjojono dan keluarga pindah ke Bogem, Prambanan.

Tepat pada 19 Desember, rupanya Belanda menyerang dari arah timur, artinya melewati kawasan Prambanan. Segera mereka harus mengungsi dan masih segar dalam ingatan Mia bagaimana mereka menanam sekitar 45 lukisan dan perabotan berharga lainnya di dalam tanah. Setelah perang usai, seluruh lukisan Sudjojono itu telah musnah, baik lukisan yang dibuat di zaman Persagi, zaman perjuangan, sampai lukisan terbaru yang dibuat di Bogem.

 Untung lukisan berjudul Kawan-Kawan Revolusi sempat diambil oleh Bung Karno. Namun yang juga ikut musnah adalah lukisan keluarga, termasuk lukisan potret Mia Bustam berjudul Habis Mandi. Juga lukisan Tirtosamudra, nama kain yang dikenakan oleh Mia saat dirinya baru menikah dan diperkenalkan oleh Sudjojono kepada tokoh empat serangkai. Masa Agresi Belanda II merupakan saat pahit. Tak hanya kehilangan lukisan, Sudjojono juga kehilangan ayahnya yang tertembak bedil Belanda.

***
Tahun berganti, sampai akhirnya Sudjojono diminta jadi calon anggota DPR dari Partai Komunis Indonesia pada pemilu 1955.
“Saat jadi anggota DPR ia makin jarang melukis. Ia tinggal di Jakarta dan hanya akhir minggu saja ke Yogya,” tutur Mia.
Menurutnya, ada perubahan dalam diri Sudjojono setelah menjadi anggota DPR, jika dulu dirinya sangat rendah hati kini lagaknya menjadi pembela rakyat.
“Sejak jadi anggota DPR mungkin dia akan puas diri. Pernah ada rombongan kesenian dari Praha ke Yogyakarta. Saat itu kami datang terlambat, jadi kursi di depan sudah penuh, kami dapat kursi di belakang. Terus Mas Djon bilang, ’Wah, wakil rakyat kok duduk di belakang.’ Saya pikir, apakah wakil rakyat harus duduk di depan, kursinya diberi nama, terus dipersilakan dengan ibu jari. Dari kejadian itu saya rasanya malu sekali. Ini bukan Mas Djon yang saya kenal, dulu ia sangat rendah hati,” tutur Mia.
***
Menjadi anggota DPR, berkantor di Jakarta, rupanya menjadi awal dari kehancuran rumah tangga mereka. Sudjojono yang saat kampanye pemilu 1955 memperjuangkan hak-hak perempuan ternyata mulai berpaling pada wanita lain. Hubungannya dengan Rose Pandanwangi tidak bisa dihentikan.
“Saat itu pada 1957 akhirnya Mas Djon mengaku. Ia katakan jika kami seumpama wayang, maukah aku menjadi Sembadra.” 
Aku langsung menyahut, ”Dan Rose menjadi Srikandi?”
Lalu Mia melanjutkan tuturannya: ”Aku tidak bisa seperti Sembadra yang toleran pada Arjuna untuk mempunyai istri berlusin-lusin. Lagian kok dia membayangkan dirinya jadi Arjuna? Arjuna kok elek. Aku tidak mau poligami, yang penting cerai. Dulu dia seperti dewa bagi saya. Tapi setelah itu, dia hanya dewa yang kemudian turun derajatnya menjadi manusia biasa. Setelah menunggu kepastian selama dua tahun, akhirnya kami memutuskan berpisah pada 1959.”
Menurut Mia, hubungannya dengan wanita lain ini pula yang menyebabkan Sudjojono dipecat oleh pimpinan PKI, ia pun mundur dari Lekra.
“Setelah meninggalkan saya, Gerwani sempat mau menuntut janji-janji beliau saat kampanye. Tapi Sudjojono terus menghindar. Padahal anggota Gerwani sudah mondar-mandir di depan rumah saya,” ujar Mia.
Untuk menandai hidup barunya, mantan istri Sudjojono itu mengganti namanya menjadi Mia Bustam yang diambil dari nama leluhurnya. Saat itu belum lagi berumur 40 tahun, Mia Bustam dengan tegar hati membesarkan kedelapan anaknya seorang diri. Ia memperdalam keterampilan melukis dengan bergabung menjadi anggota di Seniman Indonesia Muda (SIM), lalu sempat aktif pula di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Setelah berpisah, Sudjojono tetap memberikan nafkah bagi kedelapan anaknya sebesar Rp 2.000 per bulan. Jumlah yang sangat minim, sehingga mereka harus makan pagi dengan tiwul, beras campur jagung. Kehidupan terus berlangsung sampai terjadi peristiwa 1965.
”Waktu itu ulang tahun anak saya yang ketiga, Watugunung, pada 23 November 1965. Tiba-tiba sebuah truk tentara berhenti di depan rumah. Saya harus naik truk dibawa tentara. Sedih sekali harus meninggalkan tujuh anak saya yang masih kecil-kecil. Saya tak sangka bahwa harus meninggalkan anak sebegitu lama,” tutur Mia lirih.
Tiga belas tahun hidup di penjara bukanlah sebentar. Mia berpindah dari Penjara Sleman, ke Benteng Vredeburg, lalu ke Penjara Wirogunan, dipindah lagi ke Pelantungan, sampai akhirnya pada 1978, ia bisa bebas dari Penjara Bulu, Semarang.

Keluar dari penjara, Mia Bustam tidak tinggal diam. Seluruh riwayat hidupnya ia tumpahkan dalam tulisan. Ia kini telah menyiapkan dua buku yang rencananya akan diterbitkan tahun ini, yaitu Sudjojono dan Aku serta Dari Kamp ke Kamp. Buku itu kelak akan menjadi sangat penting dalam kehidupan berbangsa Indonesia. Di sanalah sejarah bangsa, sejarah seni rupa Indonesia, tercatat melalui kehidupan seorang wanita yang sangat kuat, Mia Bustam.
Di akhir pertemuan, saya bertanya apakah ia memaafkan Sudjojono. Dengan tegas ia katakan, “Saya telah memaafkan dia. Sudah sejak lama. Sebagaimana saya telah mengikhlaskan masa lalu saya.”