HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Jumat, 28 Juni 2019

Memori Media tentang Soeharto, G30S, dan Peristiwa 1965


Hendaru Tri Hanggoro | 28 Juni 2019

Memori media menghadirkan Soeharto sebagai sosok protagonis dan antagonis dalam G30S dan peristiwa setelahnya.

Menpangad Letjen TNI Soeharto menerima delegasi KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), salah satu organisasi anti-komunis. (Perpusnas RI).

Media mempunyai kekuatan untuk merekonstruksi, membentuk, atau mengubah persepsi dan penilaian orang terhadap sejarah. Era keterbukaan dan kebebasan informasi sejak 1998 mendorong media merekacipta narasi tentang suatu peristiwa sejarah dan tokohnya. Selain itu, perkembangan teknologi informasi turut berpengaruh terhadap penciptaan narasi lain.  

Narasi itu terbentuk dari memori kolektif para agen memori, yaitu pelaku, saksi, dan para pengamat peristiwa sejarah. Media kemudian mengembangkan memori kolektif menjadi memori media melalui tiga langkah.

Pertama, media mengartikulasikan memori itu dalam bentuk bahasa. Kedua, menyajikan bingkai sosial di mana memori tersebut bertempat. Dan ketiga, menyajikan aktivitas mengingat tersebut dalam bentuk narasi kepada khalayak. Seringkali memori media sampai ke khalayak dalam bentuk narasi dramatis, mengejutkan, dan kompleks.
“Memori media dilihat sebagai bentuk memori kolektif yang termediasi,” kata Muhammad Aswan Zanynu, doktor anyar lulusan Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI) dalam sidang promosi doktoralnya di kampus UI, Depok, Jawa Barat, 26 Juni 2019.

Memori Media vs Sejarah

Sedangkan memori kolektif dapat digambarkan sebagai rekonstruksi masa lalu dalam perspektif masa kini. Menurut Zanynu, memori kolektif berbeda dari sejarah. 
 “Sejarah membatasi diri pada peristiwa, kejadian, atau aktivitas manusia pada masa lampau. Sementara memori kolektif lebih terfokus pada memori manusia atas masa lalu yang digunakan oleh masyarakat untuk melihat eksistensi mereka saat ini.”
Melalui disertasinya, “Memori Dalam Narasi Media Berita Daring Indonesia: Peran Soeharto pada Peristiwa 1965”, Zanynu berupaya mengungkap bagaimana media daring Indonesia mengajukan memori medianya masing-masing tentang peran Soeharto dalam peristiwa 1965 setelah berlalu setengah abad. 

Zanynu mengumpulkan 27 artikel dari enam media daring selama kurun tiga bulan, dari September sampai November 2015. Artikel-artikel pilihannya memuat tema G30S dan Peristiwa 1965 dengan beberapa kriteria. Antara lain mengangkat Soeharto sebagai tokoh utama dalam penceritaan, menyebut Soeharto dalam latar kisah, dan mengaitkan tokoh lain atau peristiwa sekitar 1965 dengan Soeharto.

Zanynu tidak banyak mengupas identitas dan latar belakang media-media daring tersebut. Dia juga mengaku tidak membahas dinamika ruang redaksi media ketika memori media tersebut diproduksi. 
 “Penelitian ini membatasi diri pada narasi atau teks yang memuat memori atas Soeharto, G30S, dan Peristiwa 1965,” kata Zanynu.
Memori media menempatkan Soeharto sebagai sosok utama dalam skenario G30S. 
 “Boleh jadi karena Soeharto tampil sebagai ‘pemenang’ dalam pertarungan kekuasaan tahun 1965—1966, dia kemudian terlihat masuk akal ketika digiring masuk pusat narasi,” terang Zanynu.
Analisis Zanynu terhadap 27 artikel media daring berujung kepada dua narasi besar tentang peran Soeharto dalam Peristiwa 1965. Soeharto sebagai protagonis dan antagonis. Kedua peran ini bergantung dari bagaimana media memilah dan memilih agen memori kolektif.
“Mereka yang pro-Soeharto mendudukkan tindakan Soeharto sebagai aksi patriotik, penangkapan dan pembunuhan massal dilihat sebagai konsekuensi yang tak terelakkan. Sementara mereka yang kontra-Soeharto, mencurigai tindakan tersebut sebagai aksi ambil untung yang menghalalkan segala cara untuk menggulingkan Sukarno,” terang Zanynu.
Peran protagonis Soeharto muncul ketika media menarasikan Soeharto menghentikan rencana G30S. Sebaliknya, peran antagonis Soeharto terlihat saat media menarasikan Soeharto telah mengetahui rencana G30S dan mengambil untung setelah rencana tersebut gagal.

Merawat Konsensus

Zanynu juga mengungkapkan bahwa setidaknya ada sembilan fragmen topik dalam 27 artikel media daring termaksud. Contohnya Soeharto memimpin serangan balasan terhadap G30S dengan cepat, Soeharto sebagai sosok anti-komunis, Soeharto memanfaatkan peran CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat) dan Marshall Green, kecenderungan Soeharto pro-Barat, Soeharto menuding Tiongkok sebagai negara di balik skenario G30S, dan indikasi keterlibatan Soeharto dalam pembunuhan massal pasca G30S.    

Zanynu menjelaskan bahwa 27 artikel media daring tersebut berhenti pada narasi pembunuhan massal. Keseluruhan artikel juga tidak menyebut pertarungan politik Soeharto dan Presiden Sukarno. Narasi lain tentang Peristiwa G30S sebagai upaya pembersihan komunis dari bumi Indonesia juga tidak hadir dalam 27 artikel tersebut.
 “Peristiwa ini semata-mata dilihat sebagai aksi kudeta dan kontra kudeta,” kata Zanynu. 
 Hal ini tidak lepas dari kepentingan dan tujuan media dalam menghadirkan memori medianya masing-masing tentang Soeharto, G30S, dan Peristiwa 1965. Memori media cenderung mengarah kepada tujuan merawat konsensus dan melindungi kepentingan mereka.

Memori media memang tidak menampilkan Soeharto dan peristiwa sekitar G30S secara hitam putih. Ada pertimbangan data, fakta, dan interpretasi apik dari media dalam menghadirkan memori medianya.
“Sisi abu-abu dari isu, tokoh, ataupun suatu peristiwa juga ditampilkan, tetapi pada batasan yang tidak terlalu jauh keluar dari konsensus masyarakat atau batas-batas kesepakatan para elite,” kata Zanynu.
Memori media hadir dalam format yang dapat ditebak dan tunduk pada pola tertentu. 
 “Dia dipilih dengan sejumlah pertimbangan yang memenuhi kriteria konten media,” kata Zanynu. Pragmatisme juga mengalasi pilihan suatu isu dan penghadiran peran tokoh ketika memori tersebut berpotensi mengundang reaksi negatif.
Misalnya dalam memori media tentang Soeharto, G30S, dan Peristiwa 1965, media mempertahankan ‘konsensus’ bahwa PKI dan CIA, sebagai dalang aksi G30S. Meski memori media telah menempatkan Soeharto dalam dua peran besar, historiografi G30S tentang konflik internal Angkatan Darat tidak muncul secara eksplisit di dalam memori media. Di sini terjadi kontradiksi memori media. Media daring ternyata tidak selalu menghadirkan memori kolektif yang lengkap dan beragam.

Pemunculan CIA dan PKI sebagai dalang G30S cukup aman bagi kepentingan media. Menghadirkan Soeharto secara eksplisit sebagai dalang G30S akan membuat partai kuat pendukung Soeharto seperti Gerindra dan Golkar bereaksi keras. Begitu pula jika menghadirkan memori konflik internal tentara.

Menyikapi keadaan ini, memori media kemudian menyentuh kepentingan lain, yaitu isu pelanggaran Hak Asasi Manusia sekitar Peristiwa 1965. Di sinilah memori media kembali menghadirkan sosok Soeharto sebagai orang paling bertanggung jawab.

Memori media terhadap Soeharto, G30S, dan peristiwa 1965 tidak muncul setiap saat. Tetapi memori ini akan berkelanjutan dan berulang kembali bila ada momen tentang hal tersebut.
“Misalnya media hanya akan mengangkat isu 1965 pada bulan September akhir atau Oktober awal atau pada saat di mana orang bercerita tentang komunis dan sebagainya. Di luar waktu itu tidak ada,” kata Zanynu.
Karena itu media masih mempunyai kesempatan untuk mereproduksi memorinya tentang suatu peristiwa sejarah dan tokohnya secara lebih lengkap dari waktu ke waktu seiring perubahan kondisi zaman.

Mahkamah Internasional, Pemutus Kasus Perselisihan Antarbangsa

28/6/2019, 14.46 WIB  
Penulis: Hari Widowati
Editor: Hari Widowati

Mahkamah Internasional tidak memiliki kewenangan untuk menyelesaikan permintaan dari individu, organisasi non-pemerintah, korporasi atau entitas swasta.

Suasana sidang di Mahkamah Internasional pada 27 Agustus 2018. DOKUMENTASI ICJ

Sidang majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan untuk menolak permohonan pasangan calon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2019. Prabowo menyatakan, ia akan berkonsultasi dengan tim hukumnya untuk melihat upaya hukum lain yang mungkin dilakukan.

 Koordinator Lapangan Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat (GNKR) Abdullah Hehamahua mengatakan, pihaknya akan melaporkan hasil keputusan MK ke mahkamah internasional.
"Kami akan laporkan ke peradilan internasional, karena mereka bisa mengaudit forensik terhadap IT KPU bagaimana bentuk-bentuk kecurangan situng," kata mantan penasihat KPK ini seperti dikutip Antara, di Jakarta, Kamis (27/6).
Mungkinkah persoalan sengketa hasil Pilpres 2019 ini dibawa ke Mahkamah Internasional? Berdasarkan penelusuran Katadata.co.id, Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ) adalah lembaga peradilan yang didirikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1945.

Lembaga yang berkantor pusat di Den Haag, Belanda ini beranggotakan negara-negara yang menjadi anggota PBB. Mahkamah ini memiliki 15 hakim dengan masa jabatan hakim 9 tahun.

Fungsi utama Mahkamah Internasional adalah untuk menyelesaikan sengketa antarnegara-negara anggota. Lembaga ini juga memberikan pendapat atau nasihat kepada badan-badan resmi dan lembaga khusus yang dibentuk oleh PBB. Dalam pelaksanaan tugasnya, Mahkamah Internasional mengacu pada konvensi-konvensi internasional untuk menetapkan perkara yang diakui oleh negara-negara yang sedang bersengketa.

ICJ juga berpedoman pada kebiasaan internasional yang menjadi bukti praktik umum yang diterima sebagai hukum. Selain itu, ICJ menggunakan asas-asas umum yang diakui oleh negara-negara yang mempunyai peradaban. Mahkamah Internasional juga bisa menggunakan keputusan-keputusan kehakiman dan literatur dari penerbit terkemuka dari berbagai negara, sebagai pedoman tambahan dalam menentukan peraturan hukum.

Menurut keterangan di situs resmi ICJ, hanya negara-negara anggota yang bisa mengajukan kasusnya ke Mahkamah Internasional.
"Mahkamah Internasional tidak memiliki kewenangan untuk menyelesaikan permintaan dari individu, organisasi non-pemerintah, korporasi atau entitas swasta lainnya," tulis Mahkamah Internasional di situsnya.
Mahkamah Internasional juga tidak bisa memberikan nasihat atau opini hukum kepada pihak-pihak tersebut ketika bermasalah dengan pemerintah di negara masing-masing.

Penyelesaian Sengketa Bisa Diajukan Melalui Tiga Cara Mahkamah Internasional juga tidak bisa berinisiatif menyidangkan kasus sengketa antarnegara.
"Majelis hanya bisa menyidangkan suatu perselisihan jika diminta oleh satu negara atau lebih," demikian pernyataan ICJ.
Negara-negara yang mengajukan penyelesaian sengketa juga harus memiliki akses ke Mahkamah Internasional dan menerima yurisdiksinya. Dengan kata lain, negara-negara yang bersengketa harus mau menerima pertimbangan yang diberikan oleh Mahkamah.

Ada tiga cara yang bisa diikuti negara yang ingin mengajukan kasus sengketanya dengan negara lain ke Mahkamah Internasional. Pertama, dengan kesepakatan khusus (special agreement). Dua negara atau lebih yang bersengketa bersama-sama mengajukan kasus tersebut ke Mahkamah Internasional dalam suatu kesepakatan.

Kedua, melalui klausul khusus dalam traktat perjanjian (clause in a treaty). Ada lebih dari 300 traktat berisi klausul-klausul yang digunakan oleh salah satu negara untuk menerima yurisdiksi Mahkamah Internasional ketika terjadi sengketa atau perbedaan interpretasi mengenai penerapan traktat tersebut.

Ketiga, adanya deklarasi unilateral (unilateral declaration). Negara-negara yang mengajukan kasus sengketanya ke Mahkamah Internasional bisa memilih menggunakan deklarasi unilateral yang sesuai dengan yurisdiksi Mahkamah dan mengikuti bagi negara lainnya.

Mahkamah Internasional Hasilkan 3.674 Keputusan Sejak 1949 Kasus-kasus apa saja yang sudah pernah disidangkan atau diputuskan di Mahkamah Internasional? Berdasarkan data ICJ, ada 3.674 keputusan yang telah dikeluarkan Mahkamah sejak beroperasi pada 1946 hingga 2015.

Kasus sengketa pertama yang ditangani Mahkamah Internasional adalah sengketa di Selat Corfu antara Inggris dan Albania pada 1947 yang merupakan era Perang Dingin (Cold War). Pada saat itu dua kapal Angkatan Laut Kerajaan Inggris rusak akibat ditembak oleh tentara Republik Albania. Beberapa tentara AL Inggris juga tewas dalam insiden tersebut. Pada 1949, Mahkamah Internasional memerintahkan Albania membayar ganti rugi kepada Inggris sebesar 843.947 poundsterling.

 Namun, ganti rugi ini baru dibayarkan Albania pada 1996. Kasus terakhir yang diputuskan pada 16 Desember 2015 adalah perselisihan antara Nikaragua dan Kosta Rika. Nikaragua membangun jalan raya (Route 1856) di sepanjang Sungai San Juan yang merupakan perbatasan Nikaragua dengan Kosta Rika. Nikaragua menempatkan tiga kano dan pasukan militernya di wilayah tersebut sehingga Kosta Rika menilai kedaulatan wilayahnya telah dilanggar.

Pembangunan jalan itu juga disebut menyebabkan kerusakan lingkungan di wilayah Kosta Rika. ICJ memutuskan Nikaragua dan Kosta Rika harus berunding untuk memutuskan ganti rugi bagi Kosta Rika atas kerusakan yang ditimbulkan oleh proyek jalan tersebut.

Keputusan yang dihasilkan oleh Mahkamah Internasional bersifat mengikat dan harus dipatuhi oleh negara-negara yang bersengketa. Tidak ada peluang bagi mereka untuk melakukan banding atas keputusan tersebut.

KataData 

Rabu, 26 Juni 2019

Soeharto dan Dua Anak Buahnya yang Pelaku 'Makar', Untung & Latief


Oleh: Petrik Matanasi - 26 Juni 2019

Abdul Latief dan Untung. tirto.id/Fuad

Pelaku penting G30S, Abdul Latief dan Untung, adalah bekas bawahan Soeharto. Kepada keduanya, Soeharto tak bisa menolong dalam kasus makar. 

Jenderal (Kehormatan) Luhut Binsar Panjaitan telah membuktikan diri sebagai bekas atasan yang baik kepada Mayor Jenderal Soenarko, mantan Danjen Kopassus yang dituduh makar. Perkara makar bukan perkara main-main. Hukumannya bisa hukuman mati ditambah catatan buruk dalam sejarah tentunya. Tidak banyak jenderal seperti Luhut. Jenderal Soeharto pun tidak bisa berbaik hati kepada bekas bawahannya seperti Luhut. Meski kondisi antara Luhut saat ini dan Soeharto dahulu tentu berbeda.

Dulu Soeharto tak bisa berbaik hati kepada Letnan Kolonel Untung dan Kolonel Abdul Latief. Tentu karena keduanya pelaku penculikan petinggi Angkatan Darat (Letnan Jenderal Ahmad Yani dan para stafnya) dan cap kepada kedua perwira menengah Angkatan Darat itu adalah "kader PKI sisa pelarian PKI Madiun". Tak mungkin ada penjaminan sebagai tahanan kota atau semacamnya. Untung harus menerima hukuman mati karena perkara G30S. Sedangkan kepada Abdul Latief, bawahannya yang lain, Soeharto tak bisa menghalaunya dari hukuman penjara selama belasan tahun. Hal terbaik untuk Latief adalah bisa terhindar dari regu tembak.

Tak Menyangkal Kedekatan, tapi Menuduh yang Bukan-Bukan

Soeharto tidak munafik soal hubungannya dengan Untung alias Kusman.    
 “Saya mengenal Untung sudah lama dan sejak menjadi komandan Resimen 15 di Solo, di mana Untung menjadi salah satu komandan kompi di Batalyon 444,” aku Soeharto dalam autobiografi Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (1989: 123) yang disusun Ramadhan K.H. 
Lebih lanjut kata Soeharto, Untung adalah kader dari Alimin, salah satu tokoh senior PKI. Cerita yang banyak beredar antara Soeharto, Latief, dan Untung, seperti dicatat Asvi Warman Adam dalam Menguak Misteri Sejarah (2010: 112) adalah Soeharto hadir ketika Untung menikah di Kebumen, Jawa Tengah; begitu pun ketika anak Latief disunat. Soal Latief, Soeharto juga mengenalnya sejak zaman Revolusi.
“Soeharto kenal dengan saya karena saya bergabung dengan brigadenya,” aku Abdul Latief dalam buku Pleidoi Kol. A. Latief (2000: xxxviii-xxxix).
Waktu Serangan Umum 1 Maret 1949, Latief juga terlibat. Ketika Soeharto berjaya sebagai perwira penting di Jawa Tengah, Latief berada di Jawa Tengah pula. Dia kerap menjadi komandan batalion. Setelah G30S, nama Latief sudah cemar. Soeharto, kata Latief, pernah menyatakan bahwa Latief adalah pelarian dari pemberontakan Madiun 1948. Padahal, menurut Latief, di masa-masa pecahnya Peristiwa Madiun, dirinya tak berada di Jawa Timur dan berada di sekitar Wonosobo-Temanggung sebagai Medan Brigade IV dengan pangkat mayor.

Di malam jahanam penculikan para jenderal 30 September 1965—yang dikenal sebagai G30S—seperti diakui Soeharto dalam autobiografinya, Latief tidak jauh dari Soeharto, di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD).
“Kira-kira pukul 10 malam saya sempat menyaksikan Kolonel Latief berjalan di depan zaal (ruang) tempat Tomy (Hutomo Mandala Putra, anak laki-laki bungsu kesayangan daripada Soeharto) dirawat,” aku Soeharto (hlm. 118).
Soeharto tak menjelaskan lagi apa persisnya yang dilakukan bekas anak buahnya itu. Latief sendiri mengakui dalam bukunya, sebelum jenderal-jenderal diculik dirinya melaporkan soal langkah-langkah terhadap perwira yang dianggap terlibat Dewan Jenderal. Latief melaporkannya di sekitar tempat Tomy dirawat.
“Dengan laporan saya ini, berarti saya mendapat bantuan moril, karena tidak ada reaksi dari beliau,” tutur Latief dalam bukunya (hlm. 129).
Malam itu Kolonel Latief tak diapa-apakan, setidaknya tidak dihalang-halangi, oleh Soeharto. Apa yang disebut Latief itu seolah-olah menunjukkan bahwa Soeharto sebetulnya tahu soal pengamanan (yang ternyata penculikan) terhadap Letnan Jenderal Ahmad Yani dan kawan-kawan oleh pasukan penculik yang berada di bawah komando Letnan Kolonel Untung.

Soeharto berpuluh tahun berjaya sebagai presiden dan pahlawan. Sementara Latief, meski tak diberi hukuman mati, harus hidup merana di penjara dan baru bebas di hari tuanya.

Kontra-Narasi Orba

Setelah Soeharto lengser barulah muncul narasi-narasi yang menggoyahkan narasi Orde Baru soal G30S dan Soeharto. Termasuk narasi soal Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Di zaman Orde Baru, Soeharto seolah-olah jadi pahlawan nomor satu melebihi tokoh lainnya dalam serangan umum atas kota Yogyakarta itu. Sesudah bekas komandannya itu tumbang, Latief baru bisa menyerangnya. Tentu saja lewat buku Pleidoi Kol. A. Latief.

Latief mencatat dalam pleidoinya, ketika 1 Maret 1949, dia diperintahkan Soeharto—yang masih letnan kolonel—menyerang daerah Malioboro. Ketika terjebak dalam pertempuran sengit dengan tentara Belanda dalam serangan balasan, pasukan Latief terdesak dan akhirnya mundur.
“Setelah dapat keluar kota, di desa Sudagaran atau Kuncen kira-kira antara pukul 12.00 siang bertemulah saya dengan Komandan Wehrkreisse Letnan Kolonel Soeharto,” aku Latief (hlm. 95). “Waktu itu beliau sedang beristirahat menikmati makan soto babat.”

Setelah Latief melaporkan hasil serangan umum yang selama 6 jam menguasai kota Yogyakarta itu, Latief bukannya disuruh istirahat sebentar untuk bersama-sama makan soto babat, tapi malah dapat perintah baru. Soeharto memerintahkan Latief menghadang tentara Belanda yang akan bergerak ke Kuncen. Latief harus pusing karena para anak buahnya hanya tersisa 10 orang, sementara yang lain masih tersebar. Latief tampaknya tidak sakit hati kepada Soeharto. Ketika berdinas di Divisi Diponegoro, Latief pernah ditawari untuk memimpin orang-orang Madura dari daerah Situbondo, Jember, dan Bondowoso dalam Batalyon 408 di Jawa Tengah.

Ketika akan dilaksanakan Operasi Trikora Pembebasan Irian Barat, Latief sebetulnya hendak diikutkan oleh Soeharto yang jadi panglima operasi dengan pangkat mayor jenderal. Latief hendak dijadikan Komandan Brigade Infanteri Penerjun ke Irian Barat.
“Karena saya akan sekolah Seskoad dibatalkan harus sekolah dulu,” ujar Latief (hlm. xxxi). Selulus dari Seskoad, Latief menjadi komandan Brigade Infanteri (Brigif) I di Kodam Jakarta Raya. Panglima Kodam kala itu adalah Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah. Latief menyusun sendiri pasukan itu.
Di antara Latief dan Untung, hanya Untung yang kemudian ikut Soeharto. Untung memimpin pasukan raider dari Jawa Tengah. Dalam Trikora, meski tak terang-terangan mengalahkan tentara Belanda dengan telak, Angkatan Darat berjaya. Setidaknya Untung dapat Bintang Sakti bersama Mayor Leonardus Benjamin Moerdani.

Penulis: Petrik Matanasi | Editor: Ivan Aulia Ahsan 
Soeharto menuduh Latief sebagai pelarian PKI Madiun dan kader Alimin.


Senin, 24 Juni 2019

Pementasan Kethoprak Srawung Bersama (KSB) "Prahara"


  • Sumilaking Pedhut Anggemeng

Senin, 24 Juni 2019

Pentas Ketoprak Srawung Bersama: Pembelaan Bagi Para Korban yang Tersisih

Solo- Sebuah pementasan ketoprak berjudul Prahara (Sumilaking Pedhut Anggemeng) dengan sutradara Ahmad Dipoyono diselenggarakan oleh Ketoprak Srawung Bersama (KSB) dan Sekber 65 di Teater Kecil Institut Seni Indonesia, Surakarta Senin 24 Juni 2019. Pementasan ini merupakan pementasan yang dilakukan kelima kalinya dan ini merupakan pementasan dengan menggunakan bahasa Indonesia.

Didik Dyah selaku pimpinan pertunjukan dari Sekber 65 menyatakan bahwa pementasan kali ini sengaja menggunakan bahasa Indonesia agar semakin memperluas penonton dan sejarah yang diketahui lebih banyak orang.

Pementasan ketoprak ini bercerita tentang kondisi warga di zaman Amangkurat dimana Adipati Condolo, Bupati Kabupaten Segoro Yoso dianggap banyak melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), seperti melakukan penghilangan paksa, penggusuran dan kejahatan kemanusiaan. Masyarakat yang hidup disana melakukan protes tentang pelanggaran HAM ini. Ada seorang perempuan yang kehilangan suaminya, ada laki-laki yang kehilangan anaknya dan ada sejumlah penggusuran yang terjadi disana. Semuanya memakan korban. Ini merupakan inti cerita dari pementasan ketoprak. Pementasan ini memang sengaja mengambil cerita tentang kehidupan yang dianggap relevan dengan kondisi para korban 65 dan korban pelanggaran HAM


Ketoprak Srawung Bersama merupakan ketoprak yang menaungi para korban pelanggaran HAM termasuk korban 65. Ahmad Ramdon selaku ketua panitya pertunjukan mengatakan bahwa pementasan ini bukan hanya sebagai perayaan seniman dalam mengapresiasi seni pertunjukan, namun juga menjadi bagian penting dalam merawat sejarah.
“Pementasan ini membuktikan bahwa sejarah bukanlah milik penguasa tapi milik kita semua, ini terlihat dari banyaknya anak-anak muda yang selalu datang di setiap pertunjukan ketoprak yang diadakan Kethopral Srawung Bersama (KSB),” ujar Ahmad Ramdon.   
Wakil walikota Solo yang diwakili oleh Agus Sutrisno dari bagian pengembangan Walikota Solo juga mengapresiasi dengan pementasan ketoprak ini. Saat ini Solo sedang mengembangkan kota kreatif, bahkan Solo baru saja mendapatkan penghargaan sebagai 1 dari 10 kota kreatif dari Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).  
“Kota Surakarta membangun bersama jejaring dunia sebagai kota kreatif, dan malam ini ada pertunjukan ketoprak, semoga pementasan ini bisa mendongkrak kreativitas komunitas dan seniman di Solo,” ujar Agus Sutrisno.
Pimpinan proyek Ketoprak dari Sekber 65, Didik Dyah mengatakan bahwa ketoprak Srawung Bersama (KSB) merupakan ketoprak modern yang berisi para seniman tradisional dan modern agar variatif pementasannya dan disaksikan banyak orang.

Hal ini terbukti dengan banyaknya penonton yang menonton pertunjukan, lebih dari 500 penonton hadir dan menonton. Kebanyakan adalah anak-anak muda yang datang karena ingin mengetahui sejarah 65 dan sejarah pelanggaran Hak Asasi Manusia. Cerita, kisah dan lakon yang disajikan adalah yang selama ini menjadi bagian dari perjuangan korban terutama korban 65. Masyarakat yang datang diharapkan mendapatkan cerita sejarah yang utuh, maka pementasan ketoprak ini bisa menjadi referensi agar memahami sejarah tentang kebenaran dan keadilan. Pengalaman sejarah kehidupan yang dibagikan dalam ketoprak adalah proses bagaimana menyajikan dan proses belajar dari kehidupan korban.

Dimas Suko, seorang mahasiswa dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo menyatakan bahwa ketoprak ini selain membawa anak-anak muda untuk memahami sejarah juga menjadi media pengingat atas banyaknya persoalan yang relevan hingga sekarang, seperti persoalan 65 dan pelanggaran HAM. Sedangkan sejumlah anak muda yang datang dari Yogyakarta menyatakan bahwa ketoprak ini membawa anak muda untuk belajar sejarah masa lalu.

Selain pementasan ketoprak, penonton yang datang juga disuguhi dengan keroncong HAMKRI Surakarta, nyanyian Paduan Suara Dialita dari Jakarta dan tembang-tembang dari Lansia asal Yogyakarta, Kiprah Perempuan (KIPPER). Pementasan ini merupakan bagian dari Program Peduli yang diadakan Sekber 65 dengan didukung Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) dan The Asia Foundation.

Abdi Suryaningati, perwakilan dari The Asia Foundation mengatakan bahwa program Peduli sudah dilakukan selama 5 tahun ini. Banyak yang belajar bagaimana perjuangan para Lansia, para korban 65 yang selama ini disingkirkan dan dimarjinalkan secara politik.
“Pementasan ini merupakan acara yang sangat penting karena kita merupakan warga bangsa dan berproses bersama dalam membentuknya. Dan pertunjukan ini selalu berhasil mengajak anak-anak muda. Anak muda adalah ujung terdepan yang selanjutnya akan memastikan bahwa tidak ada peminggiran bagi siapapun.” 
red-Sekber 65

PKI dan Pabrik Semen Kendeng Utara


Handoko Widagdo
Penulis Indonesiana

Judul: Dendam
Penulis: Gunawan Budi Susanto
Tahun Terbit: 2019
Penerbit: Cipta Prima Nusantara            
ISBN: 978-602-5982-41-5

Jika sebuah fakta tak bisa dimuat dalam sejarah, maka sastra mengambil alihnya. Sastra sering lebih jujur dan lebih berani mendokumentasikan sebuah fakta yang tak disukai oleh pemegang kuasa. Banyak fakta yang terpaksa tak muncul melalui sejarah, karena fakta tersebut mencemarkan penguasa, atau bahkan mengancam keberlangsungan kekuasaan sang penguasa. Saat hal tersebut terjadi, sastra tampil mengemban tugasnya. Sastra merangkul fakta-fakta dari pihak yang kalah supaya tetap ada dalam dokumentasi masa. 
Contohnya adalah novel “Dendam” karya Gunawan Budi Susanto ini.

Novel “Dendam” memuat dua fakta yang tak disukai oleh para penguasa. Fakta menunjukkan bahwa banyak orang-orang di sekitar Blora yang menjadi korban kebengisan G30S 1965 dan korban berdirinya parbik semen di Pegunungan Kendeng di bagian utara Jawa Tengah. Jika kebegingan G30S sudah berjalan lebih dari 50 tahun, kasus pabrik semen di Pegunungan Kendeng baru beberapa tahun. Namun kedua fakta itu tak disukai oleh para penguasa. Jadi wajarlah jika beritanya cepat menghilang dari panggung sejarah. Hanya sesekali saja muncul jika ada gawe besar di tingkat provinsi atau nasional. Misalnya pemilihan umum.

Fakta menunjukkan bahwa paska G30S 1965, terjadi pembersihan yang membabi-buta di Blora dan sekitarnya. Operasi Kikis telah mengambil siapa saja yang dianggap sebagai antek PKI. Akibatnya banyak orang-orang yang tidak tahu menahu menjadi sasaran operasi ini. Mereka dipanggil, ditahan, dipenjara dan kemudian diberi stempel sebagai seorang anggota OT – organisasi terlarang, selama hidupnya. Saat kembali ke masyarakat, mereka dicap sebagai pengkhianat negara. Geraknya dibatasi, anak cucunya diawasi.

Pembangunan pabrik semen di pegunungan kapur di utara Jawa Tengah mengundang kontrovesi. Sebab pembangunan ini bisa berakibat kepada rusaknya alam di bagian utara Jawa Tengah. Sebagai tempat yang memiliki peran penting secara hidrologi dan menjadi tempat hidup dari banyak petani kecil, Pegunungan Kendeng sangat rentan untuk dieksploitasi. Menyadari hal tersebut, dengan dipelopori oleh ibu-ibu, rakyat di wilayah ini melakukan penolakan. Upaya penolakan bahkan sampai memakan korban nyawa.

Dendam berhasil menggabungkan dua fakta penderitaan masyarakat di sekitar hutan jati di wilayah Blora dan sekitarnya menjadi jalinan kisah yang menggambarkan kekuatan manusia-manusianya. Menderita? Tentu. Penderitaan yang mereka alami, khususnya yang dituduh sebagai bagian dari sebuah partai yang memberontak bahkan menggores sampai ke generasi ketiga. Penderitaan tak hanya dialami oleh mereka yang dituduh langsung, tetapi juga berakibat kepada keluarganya. Murdani, seorang pemuda dan juga ayah yang baik, kembali menjadi suka selingkuh karena penderitaan psikologi sang istri yang secara tidak sengaja mendengar percakapan ayah dan ibunya.

Dalam sebuah percakapan di sebuah malam antara Ibu dan Ayah Rini. Sang istri mengungkapkan kekhawatirannya bahwa “aib” yang ditanggungnya, yaitu diperkosa saat diinterogasi, suatu saat akan diketahui oleh anaknya. Sang suami berupaya meyakinkan istrinya bahwa hal itu bukan aib. Karena istrinya tak bisa menolak nasip yang harus diterimanya. Itu bukan kesalahannya. 
Secara tidak sengaja Rini mendengar percakapan mereka. Setelah mendengar cerita ini, Rini kehilangan gairahnya untuk bercinta dengan Murdani. Akibatnya Murdani mencari pelepasan nafsunya di luar rumah. Tidak tersalurkannya nafsu birahi Murdani, menyebabkan keretakan keluarga Murdani – Rini. Makin lama keretakan itu semakin besar, sampai akhirnya Rini memutuskan untuk meninggalkan desa dan menjadi TKW ke Hongkong.

Penderitaan tidak berhenti kepada pasangan Murdani – Rini. Tapi juga berakibat kepada anak perempuan semata wayang mereka – Tinuk. Tinuk yang memergoki ayahnya membawa selingkuhan ke rumah menjadi labil. Ia benci mati kepada ayahnya. Untunglah Tinuk bertemu dengan orang-orang yang mampu membantunya bangkit. Tinuk menjadi gadis yang kuat dan tabah. Bahkan menjadi seorang yang ikut berjuang mendampingi ibu-ibu yang menentang pembangunan pabrik semen.

Posisi Perempuan

Buku ini menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki. Sejajar dalam hal kesadaran akan dirinya, dalam hal kehendak untuk menentukan nasipnya sendiri dan kemauannya untuk melakukan kewajibannya kepada keluarga, masyarakat dan negara. Tidak ada sub-ordinasi laki-laki terhadap tokoh-tokoh perempuan.

Ada tiga tokoh utama perempuan dalam novel ini. Ketiga tokoh itu saling berhubungan keluarga. Ketiganya adalah perempuan mandiri dan berani mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Mereka adalah perempuan-perempuan yang peduli kepada kemanusiaan.

Tokoh utama perempuan bernama Rini – Puspitarini Sekaringati. Rini adalah seorang gadis yang terpaksa mengikuti orangtuanya pindah ke desa di dalam hutan jati. Orangutanya pindah ke desa di dalam hutan karena dituduh tersangkut dengan ontran-ontran G30S 1965. Rini sudah mengalami penderitaan bahkan sejak masih bersekolah di SD di kota. Ia selalu diejek teman-temannya sebagai anak PKI. Rini menikah dengan Murdani, anak lurah Watulandep. Perjumpaan Murdani dengan Rini telah mengubah hidup Murdani yang begajulan, menjadi seorang pemuda yang bertanggung jawab. Bahkan akhirnya ia menjadi Kepala Desa Watulandep.

Kedewasaan Rini dan keberanian Rini untuk mengungkapkan siapa dia sesungguhnya telah membuat Murdani semakin yakin bahwa Rini adalah jodohnya. Orangtua dan kakak-kakak perempuan Murdani juga sangat suka kepada Rini. Rini menikah dengan Murdani dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama Tinuk.

Ketika mengetahui bahwa suaminya selingkuh, Rini memutuskan untuk pergi ke Hongkong menjadi TKW. Tindakan ini menunjukkan bahwa perempuan harus berani menentukan masa depannya sendiri. Mandiri.

Tokoh perempuan kedua yang ditampilkan dalam novel ini adalah Tinuk. Tinuk adalah anak semata wayang pasangan Murdani – Rini. Tinuk sangat disayang oleh ayah dan ibunya, serta kedua pasangan kakek-neneknya. Sayang sekali, saat Tinuk SMA, secara tak sengaja ia menyaksikan ayahnya membawa perempuan ke kamar ibunya. Tinuk menjadi marah kepada ayahnya dan tidak mau lagi berbicara dengan Murdani. Untunglah saat ia kuliah, ia bertemu dengan Pak Sus, seorang dosen yang sekaligus penulis. Tinuk menemukan kembali sosok bapak pada diri Pak Sus. Melalui interaksi dengan Pak Sus inilah Tinuk menjadi seorang gadis dengan pemikiran dan tindakan yang dewasa. Di sela-sela kuliahnya Tinuk membaktikan dirinya untuk mendukung ibu-ibu yang menolak pendirian pabrik semen di Blora dan Rembang.

Tokoh perempuan ketiga dalam novel ini adalah ibunya Rini. Ibunya Rini adalah seorang yang sangat peduli kepada kesejahteraan masyarakatnya. Saat muda ia aktif memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan di kampungnya. Namun ia dan suaminya ditangkap karena dituduh bergabung dengan PKI. Ibu Rini mengalami perlakuan yang sangat kejam. Ia diperkosa. Meski pada akhirnya ia tidak dipenjara, tetapi luka perih itu terus dibawanya dalam sisa hidupnya.

Ia terpaksa “membunuh” suaminya supaya anaknya bisa hidup dengan lebih tenteram. Ia terpaksa mengatakan kepada Rini bahwa ayahnya sudah meninggal. Dengan “menghilangkan” sosok sang ayah, diharapkan Rini tidak mendapatkan cibiran dan siksaan kejam dari teman-temannya di sekolah.

Penderitaan ibu Rini yang terberat adalah karena ia merasa tidak bersih. Ia merasa dirinya penuh dosa. Ia tidak bisa lagi melayani suaminya di tempat tidur, saat suaminya kembali dari tahanan. Ia juga sangat khawatir aibnya suatu hari akan diketahui oleh Rini.

Meski menghadapi situasi yang sangat buruk, ibu Rini tetap tegar menghadapi hidup. Ia membesarkan Rini dengan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga Rini tumbuh menjadi seorang gadis yang berkepribadian sangat kuat.

Ketiga tokoh perempuan di atas sama-sama mengalami penderitaan batin yang sangat berat. Namun ketiganya mampu mengatasi penderitaan dengan gagah perkasa. Mereka tidak menyerahkan masalahnya kepada laki-laki.

Pengakuan dan Pengampunan Sebagai Solusi

Usulan yang diberikan oleh Gunawan Budi Susanto untuk mengatasi persoalan-persoalan masa lalu adalah pengakuan dan pengampunan. Pengakuan akan kejadian-kejadian masa lalu akan membuat semuanya menjadi terang benderang. Selanjutnya adalah pengampunan. “Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti” – Keangkaramurkaan akan hancur oleh pengampunan. 
Akankah luka bangsa ini akibat tragedi 1965 suatu saat akan selesai dengan cara pengakuan dan pengampunan?

Keberanian para tokohnya untuk menceritakan secara gambling apa yang pernah dihadapinya membuat kelegaan. Ibu Rini mengakui secara terbuka kejadian perkosaan yang dialaminya kepada Rini dan Tinuk. Pengakuan ini membuat sang Ibu lega. Ia tak lagi dibebani masa lalu. Berdamai dengan diri sendiri. Ia tak lagi menyimpan dendam.

Pengakuan sang ibu ini menyadarkan Rini bahwa ia mempunyai andil terhadap kembalinya keberandalan Murdani. Bagaimanapun kesalahan tidak hanya bisa dilimpahkan kepada Murdani.

Bagian penutup novel ini sungguh sangat menarik. Saat rekonsiliasi keluarga Rini sudah terjadi, tiba-tiba mereka mendapat khabar bahwa Murdani ditangkap polisi karena dituduh berjudi. Saat Rini dan Tinuk menengoknya ke penjara, mereka bertemu dengan si perempuan selingkuhan Murdani yang juga menengok. Sang selingkuhan berlari kecil sambal terisak meninggalkan Murdani saat mengetahui keluarganya menengok. Dan…Murdanipun pingsan. Akankah Rini dan Tinuk mengamuk dan memukuli Murdani? Ataukan mereka akan memberi pengampunan kepada Murdani?  Di sini kehebatan Gunawan Budi Susanto. Kita diberikan kebebasan untuk berimajinasi tentang nasip Murdani. 

Kita diberikan kebebasan untuk merangkai sendiri bagaimana adegan berikutnya di ruang tahanan itu.

Posisi Intervensi Gerakan Rakyat Pasca Pemilu 2019

Muhammad Ridha

Kredit ilustrasi: Yohanes Andreas Iswinarto

PERDEBATAN di IndoPROGRESS mengenai apa yang perlu dilakukan setelah pemilu 2019, penting untuk dilanjutkan. Kepentingan ini mengingat kita membutuhkan perspektif umum yang dapat memfasilitasi terciptanya kondisi yang mencukupi untuk memajukan posisi gerakan sosialis Indonesia yang selama ini termarjinalkan dalam proses politik negara. Dengan kata lain, perspektif yang mengupayakan mengubah situasi dibandingkan sekadar untuk memahami situasi itu sendiri.

Dengan resiko menyederhanakan argumen, setidaknya ada dua posisi utama yang muncul dalam perdebatan yang ada. Pertama adalah mereka yang melihat perlunya terlibat dalam ruang politik yang tersedia, yang dengannya berkonsekuensi untuk mengambil posisi keberpihakan tertentu dalam konfigurasi konflik kelas berkuasa. Atau posisi kedua, yang lebih memprioritaskan untuk membangun kekuatan sendiri yang implikasinya tentu berupaya sekuat mungkin untuk melepaskan diri (otonom) dari pertarungan yang ada.

Tanpa bermaksud mengulang-ulang posisi yang akan saya ajukan (lihat argumen saya pada tahun 2014, Menuntut Logika Yang Lebih Dan Respon Taktis Politik Marxis Indonesia/), kita bisa keluar dari logika biner ini jika kita menempatkan agenda intervensi sebagai bagian dari strategi pembangunan kekuatan politik rakyat pekerja. Yang diperlukan kemudian adalah posisi taktis intervensi apa yang harus diacu tanpa harus larut dalam situasi pertarungan yang ada.

Poin utama dari posisi intervensi bukan semata tentang keberpihakan atau sebatas dukung-mendukung posisi politik kelas berkuasa yang sekarang tengah berada dalam kepemimpinan Jokowi. Berbeda dengan argumen Airlangga Pribadi bahwa intervensi ditujukan untuk membangun “basis sosial”, menurut saya intervensi justru ditujukan untuk mendorong politisasi “basis sosial” gerakan rakyat itu sendiri yang secara nyata telah melakukan respon spontan terhadap politik negara yang menindas. Dalam kerangka ini, intervensi ditekankan sebagai pengupayaan inklusi agenda rakyat pekerja dalam politik negara.

Gagasan ini mungkin terdengar mirip dengan argumen Mudhoffir dan Rakhmani tentang “penguatan institusi publik dalam memberikan layanan dasar.” Perbedaannya terletak pada upaya penguatan tersebut dilakukan bukan dengan otonomi atas dasar “kemurnian gerakan progresif.” Penguatan institusi publik adalah hasil dari proses yang relasional dimana gerakan rakyat perlu secara strategis mempertarungkan kepentingannya dalam politik negara itu sendiri. Dalam proses yang relasional ini, kita tidak dapat memungkiri bahwa dalam perkembangan politik tertentu gerakan rakyat dapat membuat aliansi dengan beberapa elemen kelas berkuasa. Tentu dengan prasyarat bahwa aliansi ini dapat memenangkan kepentingan gerakan rakyat itu sendiri.

Keterlibatan dengan platform politik rakyat pekerja menjadi krusial ketika kita menilik karakter pertarungan elit yang ada sekarang. Saya tentu mengakui bahwa pembelahan politik yang menjadi dasar pertarungan adalah pembelahan yang bersifat artifisial. Akan tetapi, sayangnya, pembelahan yang artifisial ini tetap memiliki efektivitas politik dimana perhatian serta kesadaran massa rakyat tetap dapat dimobilisasi oleh kuasa elit yang bertarung.

Disinilah kita menemukan kita menemukan fenomena yang mengkhawatirkan dari situasi konflik terkini, alih-alih mendorong kepentingannya sendiri, konflik yang ada justru mendorong massa untuk mempromosikan kepentingan yang diusung oleh elit yang dominan. Atau dengan kata lain, dalam konstelasi pertarungan sekarang, narasi kelas-kelas dominan masihlah menjadi narasi yang satu-satunya dalam menjawab problem struktural massa rakyat itu sendiri. Keberadaan platform rakyat pekerja dalam politik negara dapat berguna untuk menampik dislokasi kesadaran ini sekaligus sebagai referensi 

Pertanyaannya kemudian, mengapa harus intervensi terhadap kelas berkuasa sekarang? Ada  dua alasan untuk itu: pertama, potensi krisis kapitalisme global di masa depan. Krisis kapitalisme global yang banyak diprediksi pada dua-tiga tahun ke depan[1] tentu akan berimbas pada konstelasi politik negara. Seiring krisis, maka kuasa kelas berkuasa juga akan melemah. Dengan absennya platform politik rakyat pekerja dalam negara, pelemahan ini dapat berarti dua hal: bagi kalangan elit, maka ini semakin membukakan peluang untuk terjadinya akomodasi dan negosiasi antar mereka. Sementara bagi kalangan massa rakyat, krisis akan menjadi justrifikasi untuk pengetatan sumber daya negara untuk didistribusikan kepada rakyat. Dengan semakin rentannya kondisi sosial karena imbas pengetatan, kesadaran konservatisme-reaksioner massa (atau beberapa pihak menyebutnya sebagai fasisme) yang telah dipupuk dalam situasi pertarungan elit berpeluang untuk meluap dan akhirnya menjadi ekspresi perlawanan utama terhadap kekuasaan negara. Disinilah kemudian krisis kapitalisme berpotensi menjadi stimulan bagi kebangkitan kekuatan anti rakyat pekerja.

Kedua, terkait dengan konfigurasi kekuasaan kelas berkuasa yang ada. Fleksibilitas Jokowi dalam mengakomodasi banyak pihak (dari  proponen militer Orde Baru, kelompok Islam, sampai dengan “kelompok progresif”) untuk menyokong pemerintahannya perlu dilihat secara dingin. Alih-alih melihatnya sebagai kekuatan, justru ini adalah refleksi dari keterbatasan Jokowi itu sendiri dimana ia sebagai kepala administrasi harus selalu sensitif dengan konflik sosial yang terjadi. Di sini, alih-alih melihat Jokowi sebagai kekuatan yang tertutup, kita perlu melihat ruang kemungkinan dalam politik Jokowi itu sendiri. 
Intensifikasi tuntutan serta tekanan terhadap Jokowi menjadi kunci jika kita menghendaki ada pergeseran orientasi kekuasaan kelas berkuasa sekarang.
Tantangan utama dari intervensi ini tentu terletak pada efektivitasnya. Skema intervensi yang ditawarkan sejauh ini dilakukan tanpa ada instrumen politik yang tersambung dengan struktur kekuasaan itu sendiri (baca: partai politik). 

Dengan demikian, kita akan menemukan interaksi yang tidak setara antara gerakan rakyat yang seringkali terfragmentasi dengan kelas berkuasa yang agenda serta kepentingannya sudah terorganisir dalam institusi politik yang ada. Walau begitu, keterbatasan ini bukan berarti tidak dapat diakali. Ruang politik demokratis yang ada masih memberikan ruang untuk intervensi politik di luar dominasi politik kelas berkuasa yang ada. Yang diperlukan adalah pembacaan strategis yang jeli untuk memahami ruang politik tersebut. Dalam ruang politik manakah gerakan rakyat dapat melakukan desakan dan tekanan politik rakyat perkeja yang efektif dalam struktur kekuasaan kelas berkuasa sekarang

Tentu kita tidak dalam ilusi bahwa intervensi dalam ruang-ruang tersebut akan menciptakan secara absolut dan permanen keuntungan bagi gerakan rakyat itu sendiri. Akomodasi politik kelas berkuasa terhadap tuntutan gerakan rakyat dapat memiliki wajah ganda. Disatu sisi akomodasi adalah sebentuk keberhasilan dari tekanan gerakan rakyat. Namun disisi lain ia juga dapat diartikan sebagai kooptasi untuk menundukkan tuntutan rakyat. Akan tetapi saya menilai keterbatasan intervensi ini tetap memiliki keunggulannya sendiri dalam upaya pembangunan partai politik gerakan rakyat jika dibandingkan dengan sekadar mendorong agenda politik mandiri. Pertama, intervensi memberikan pemaparan agenda politik rakyat pekerja kepada publik luas. Keterlibatan gerakan rakyat dalam institusi yang ada memungkinkan kampanye luas serta terbuka tentang kemungkinan praktis agenda politik rakyat pekerja. 

Hal ini tentu membuka peluang bagi perluasan pengaruh serta dukungan agenda politik rakyat perkerja itu sendiri. Yang  kedua, intervensi juga memberikan tekanan kepada elemen-elemen politis gerakan rakyat untuk menyegerakan pembangunan partai politik gerakan rakyat. Akomodasi ambigu kelas berkuasa terhadap politik rakyat pekerja dapat menjadi dasar yang konkrit mengenai urgensi partai politik gerakan rakyat sebagai instrumen utama mengawal secara sistematis dan permanen agenda politik rakyat pekerja dalam struktur kekuasan negara yang ada.

Akhirul kalam, tanpa optimisme berlebihan, kita harus mulai menyingkirkan tendensi defeatist (rasa selalu kalah) ketika berhadapan dengan kekuasaan yang dominan. Walau kita mengakui dominasi kekuatan lawan, kita juga perlu secara taktis melihat peluang yang ada, yang sekecil apapun, dapat berguna untuk mendorong perubahan yang lebih besar. Di sini kita perlu mengingat kembali bahwa demokrasi sebagai praktik bukan sesuatu yang muncul begitu saja. Ia adalah hasil dari perjuangan politik kekuatan sosial yang ada di masyarakat. Menghendaki bahwa demokrasi dapat memenuhi kebutuhan mayoritas mensyaratkan pertarungan terhadap kekuatan dominan yang membatasi praktik demorkasi itu sendiri.

***
Muhammad Ridha, saat ini sedang studi di Northwestern University, Evanston, Illinois, AS
___


IndoProgress

Jumat, 21 Juni 2019

Diskusi Publik: Seni sebagai Alat Advokasi HAM


Jumat, 21 Juni 2019

Dari Kiri ke kanan. Usman Hamid, S.T Wiyono, DIdik Dyah, Gigok Anurogo

Sekber’65 berkerjasama dengan Amnesty International Indonesia, Kethoprak Srawung Bersama (KSB), dan Kampungnesia UNS menggelar diskusi rutin Forum Generasi Muda (FGM). Diskusi yang bertajuk Diskusi dan Kumpul Bareng Obrolan Generasi Muda ini berlangsung di Ruang Seminar FISIP UNS Surakarta.

Diskusi publik ini merupakan bagian dari sebuah event terkait dengan kegiatan mempromosikan hak asasi manusia dalam sebuah acara Pementasan Ketoprak “PRAHARA” yang dilaksanakan pada hari Senin, 24 Juni 2019 dengan mengangkat isu tentang HAM.  Bagaimana upaya dari dua hal yang berbeda yaitu HAM dan seni menjadi satu, bagaimana sebuah kesenian menjadi bagian dari upaya mempromosikan advokasi atau bagian lebih penting dan menjadi sebuah instrumen sebagai upaya mewujudkan hak asasi manusia. 

Nara Sumber pertama di mulai dari Ibu Didik dari SekBer ’65  yang membahas persoalan HAM di negara kita yang selama ini kita lihat memang belum selesai,
 “Bukan karena waktu tapi memang tidak ada niatan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tentang pelanggaran HAM yang muncul di Indonesia dan akhirnya habis terseleksi oleh alam.” ujar beliau.    “Peristiwa atau tragedi 1965 dan banyak lagi peristiwa lain, ini mengubah 180 derajat kondisi sosial-politik di Indonesia yang tentu warnanya berbeda. Pelanggaran-pelanggaran HAM terus bermunculan mulai ada peristiwa tragedi Mei, ada Talangsari, ada penculikan-penculikan, kemudian sampai yang terakhir adalah masalah di Papua.” tambahnya.

Narasi selanjutnya hadir oleh pemaparan S.T Wiyono-budayawan Solo menjelaskan dengan gamblang tentang esensi kesenian yang bisa digunakan dalam mengkapanyekan persoalan HAM.

“Bagaimana menyambungkan kesenian dengan HAM tersebut?Pertama, diharapkan semua sudah sangat memahami tentang fungsi,  esensi dan manfaat kesenian bagi kita semua, khususnya generasi muda”.
 “Dalam kesenian banyak hal yang bisa kita petik, ada dua atau tiga macam kesenian.  Kesenian, yang pertama adalah ungkapan ekspresi dari jiwa dan perasaan serta emosi yang kita sampaikan lewat media seni. Contoh, melalui gerak disebut tari, melalui pakai gitar disebut music, melalui vokal disebut puisi dan lain-lain.  Ketroprak sendiri ada gerak, musik ada tokoh atau lakonnya.  Seniman yang baik selalu berkarya karena dia terpanggil untuk menyampaikan sesuatu hal kepada masyarakat atau orang banyak.” tuturnya.

Beliau menambahkan, “Jadi, inilah kesenian yang saat ini berkembang.  Kesenian yang bisa menjadi media untuk berkomunikasi dan advokasi.  Saat ini, ada namanya Mitra Forum Komunikasi Media Tradisi, dimana kesenian sebagai media untuk menyampaikan suatu hal, bagaimana kesenian menjadi media untuk memberi edukasi tentang HAM kepada masyarakat dan sudah terbukti beberapa kali dengan membuat 3 sampai 4 kali naskah dimana penonton itu menganggap lebih terasa pesannya dari pada cuma sekedar berbicara atau pidato.  Jadi sebetulnya kesenian sangat fleksibel/luwes untuk menyampaikan pesan penting.” pungkasnya.

Narasumber selajutnya yang juga merupakan Seniman dan Budayawan Surakarta sekaligus Anak korban tragedi 65, Gigok Anurogo, menceritakan pengalamannya di masa muda dimana trauma dan ketakutan terus menghantui dikarenakan cap Tapol yang disematkan pemerintah saat itu kepada orang tuanya. 

Pengalaman pahit itu menjadikannya terus konsisten dalam mengkapanyekan HAM dalam setiap karya-karyanya. “Berkesenian memang harus memihak, dan saya memilih untuk berpihak rakyat yang selalu menjadi objek penderitaan dari para penguasa para politikus dan sebagainya.” tegasnya. 

Sedangkan Usman Hamid yang menjabat sebagai Direktur Amnesty International Indonesia mengatakan, “Banyak masalah di Indonesia yang memunculkan ke khawatiran bahwa Indonesia sedang mengalami kemunduran, misalnya dengan Pilkada DKI ketika itu sentimen anti Cina nya sangat tinggi sekali termasuk sentimen terhadap non muslim, kasus tentang penolakan warga petani terhadap pabrik semen, belum lagi yang menolak bandara internasional di Jogja yang menimbulkan kriminalisasi.”

Dia juga menambahkan, “Perlunya dimunculkan seni bisa membuat orang memberi jeda pada kesehariannya, pada keberisikan dunia ini dengan merasakan sesuatu, dengan membaca lukisan, dengan mendengarkan teater atau dengan mendengarkan musik.”

Diskusi ini penuh sesak dihadiri oleh kalangan mahasiswa, anak dan cucu korban pelanggaran HAM 65, seniman dan budayawan. Diharapkan melalui diskusi ini semakin memacu nalar kritis para generasi muda terhadap kebijakan pemerintah yang dirasa melanggar HAM. (dok.sekber65)


Halim H.D.: “Saya Lihat Buku-Buku Itu Dilarung Ibu di Sungai”




Perhelatan Biennale Jogja X bertema arsip itu dimulai di pengujung 2009. Pamflet berukuran A3 ditempelkan di papan-papan pengumuman. Bukan hanya di venue utama, Taman Budaya Yogyakarta dan Jogja National Museum, pamflet juga disebar di berbagai galeri seni dan kantong komunitas di seantero Kota Jogja.

Pamflet itu berisi ceramah tunggal seni dari seorang tokoh bernama Liem Goan Lay. Pamflet berdesain vektor dengan warna-warni itu menampilkan wajah “cainis” dengan topi pet berbintang satu ala Mao Zedong.

Sore di hari orasi seni Goan Lay itu hujan terus membasahi KM 0 Yogyakarta. Panggung kecil disiapkan. Panitia gelisah, tokoh seni dari Cina itu belum juga tampak. Apalagi, panitia tak tahu sama sekali sosok itu. Bukan saja LO tak ada, nomor kontak si pengawal tamu seni Asia ini pun tak punya.

Hanya ada beberapa orang di mimbar. Salah satunya adalah Halim H. D. Ia menggenggam kertas. Mungkin menjadi penerjemah dari orasi seni Liem Goan Lay. Maklum, seni dari negeri tirai bambu itu sedang moncer. Selain dari harga karya seni rupa mereka luar biasa mahal, juga kolektor mereka menaikkan harga karya seniman Yogya.

Sore rintik-rintik itu bagian dari performing art berbentuk orasi seni. Liem Goan Lay yang ada di pamflet tidak lain adalah Halim H.D. itu sendiri.
“Itu pekerjaan Samuel Indratma. Nama Tionghoa saya itu hanya sedikit yang tahu. Butet Kertaradjasa salah satunya. Yang lain wartawan senior KR, Ajid Hamzah,” kisah sosok yang mendaku diri secara konsisten sebagai “networker kebudayaan” ini.
“Sengaja dibikin seperti itu. Nama Liem Goan Lay itu sendiri adalah arsip hidup yang terlupa,” tutur Samuel Indratma yang menjadi kurator ruang publik Biennale Jogja X.
Pendiri Apotek Komik itu benar. Nama Liem Goan Lay itu membawa Halim H.D. mengarungi gelombang dunia buku, seni, dan kebudayaan. Dari Serang hingga Yogyakarta.

Di serang, keluarganya berlangganan koran. Warga kampung baca koran dan majalah, ya, di rumah. Warta Bhakti, Sketsmasa, Star Weekly, Panca Warna adalah nama-nama media yang dilahap Liem. Kamar kakaknya yang diplot sebagai perpustakaan keluarga. Letaknya paling depan.

Beruntung ia, tak ada larangan membaca apa pun yang disediakan rumah. “Saya heran sendiri dengan orangtua saya. Kok, bisa dibolehkan.

Hingga tiba masa pagebluk itu. Rumah-rumah di kampungnya digeledah tentara. Serdadu-serdadu ijo itu nyaris tiap hari menyisir rumah. Tak terkecuali rumahnya. Dan, Liem tegang betul saat membantu ibunya membungkus dan menaikkan buku-buku di plafon. Buku yang tak sanggup lagi ditampung plafon, oleh ibunya, ditenggelamkan di sungai.

Pagebluk memang menenggelamkan semuanya. Rumah yang selalu ramai dengan seni pertunjukan rakyat tiba-tiba saja senyap dan berganti dengan suasana yang menakutkan.

Rumah keluarga Liem memang menjadi terminal bagi aktivitas kader-kader PKI, Baperki, Murba, Gerwani, Pemuda Rakyat, dan Sarekat Buruh Kereta Api. Liem ingat, rumahnya pernah didatangi tokoh-tokoh seni seperti Tan Ceng Bok. Maklum, Lim Kiam Ong, kakeknya, adalah dalang golek.

Ketakutan yang dalam melumpuhkan semua yang di Serang. Liem melewati masa-masa bersekolah dengan tanpa banyak cakap dan tanpa raut bahagia. Puncak dari ketakutan itu, ia bersulih nama. Dari Pak Suardi Hadi, Kepala Sekolah SMP Negeri 3 Serang, ia mendapatkan nama baru: Halim Harja Dimulya atau Halim H.D.

Hingga ia hijrah ke Jakarta mengikuti omnya dan menonton untuk pertama kali pertunjukan WS. Rendra di Taman Ismail Marzuki (TIM).

Namun, Halim tidak berhenti di Jakarta. Ia terus berjalan ke timur. Entah koinsidensi atau tidak, ia berhenti di kota di mana Rendra berproses dengan sangat keras.

Selamat datang, Halim H. D. di Yogyakarta. SMA 1 Institut Indonesia, Yogyakarta.

Ya, di sekolah menengah inilah, kegairahan Halim dengan bacaan berupa koran, majalah, dan buku kembali membiak. Walaupun, bayangan buku-buku yang (di)tenggelam(kan) ibunya di sungai Serang tetap menghantuinya.

Pada Pak Rusdi, gurunya yang mengampuh mapel Sastra, ia berkenalan dengan majalah sastra dan budaya yang berjaya saat usia Orde Baru masih belia. Sebut saja, Horison dan Budaja Djaja. Ia menggandrungi majalah-majalah itu dengan cara terus menanti kehadirannya di kios Kidul atau Taman Garuda, ujung utara Jl. Malioboro.

Halim tanpa sadar masuk dalam gravitasi sastrawan-sastrawan Malioboro. Sebab, di tempat itulah para penulis berkumpul. Ada nama Ashadi, Umbu, Linus, dan Suwarno. Maklum, tak jauh dari Hotel Garuda itu bermarkas Persada Studi Klub (PSK) di mana Umbu menjadi presidennya.

Namun, bukan pertemuan itu yang diingatnya. Bukan pula saat ia mengasuh majalah dinding sekolah bersama Sukirman, Listyo, dan Joko Suarso.
Bukan.

Yang paling diingat Halim adalah saat ia duduk di kelas 2 SMA, ia berurusan dengan tentara.
Pasalnya, ia dengan muka polos meresensi buku Gerilya dan Subuhkarya Pramoedya Ananta Toer saat ada tugas mapel Bahasa Indonesia untuk apresiasi.

Ia diinterogasi Pak Isro B.A. Hadir pula Pak Sukamto dan Pak Rusdi. “Lha, emang kamu gak tahu siapa dan di mana itu Pram?” tanya Pak Isro. Pertanyaan yang sama dilontarkan Pak Rusdi. Halim menggeleng. Ia memang tidak tahu pemilik buku yang ia resensi itu sedang dihukum kerja paksa di Pulau Buru.

Halim mulai waswas saat tahu kakaknya di Serang dikirimi telegram oleh sekolah. Gawat. Perwakilan keluarga datang ke Yogya, selain meluruskan persoalan, juga menjewernya.

Buku-buku sastra tersisa yang ia bawa serta dalam hijrahnya dari Serang, Jakarta, hingga ke Yogya turut dibawa pulang kakaknya.
Kasus ulasan buku itu menyadarkan Halim menulis itu adalah kerja berbahaya. Kesadaran itu ia bawa hingga namanya terdaftar sebagai mahasiswa Filsafat UGM.

Ia sudah meyakinkan dirinya bahwa ia haruslah menjadi mahasiswa yang mandiri secara ekonomi. Halim pun memilih menjadi penjual buku loak.
“Saya mengambil buku bekas dari Lapangan Banteng Jakarta. Sekarung dua karung. Diangkut dengan kereta. Di jual di Filsafat UGM,” kisahnya
Di kampus Filsafat inilah Halim pertama kali menyaksikan novel Ashadi Siregar dijadikan film, Cintaku di Kampus Biru. Ashadi kemudian ia tahu adalah satu dari sekian nama yang besar di Malioboro.
Halim juga terkesan dengan nama Emha Ainun Nadjib, selain Linus Suryadi, Suwarno Pragolapati, Iman Budi, dan Yudhistira.
“Emha di periode setelah tengah 70-an menarik. Emha sangat produktif menulis. Ia tampil dengan esai berbahasa populis. Slang-slang masuk. Bukan main dia kalau menulis,” kisahnya.
 Tak lupa, tentu saja, peran Umbu Landu yang disebut Halim sebagai guru sejati. “Ia mendengarkanmu, mengajakmu ngobrol, walau kamu bukan nama besar,” lanjutnya.

Sore hari, di depan perpustakaan umum Malioboro, cerita Halim, datang lelaki menaiki sepeda onthel besar. Setelah si lelaki menyandarkan sepedanya, Umbu membisikinya, 
 “Halim, itu Darwis. Ia masih SMA.”
Bukan main kagetnya Halim. Ia mengira, Darwis itu penulis tua saat ia membaca tulisannya di Kompas. Maklum, Halim berlangganan koran Kompas dan majalah Varia saat tinggal di rumah Pak Anwar.

Memperbanyak bacaan menggiring Halim pada komitmen untuk menjadi penulis soal budaya dan sastra. Untuk memperluas cakrawala, pergaulan dilebarkan. Halim pun mulai dekat dengan Ashadi. Sosok yang ia sebut sinis yg kritis.
 “Tulisan Ashadi yang membikin saya berpikir bertahun-tahun adalah ‘Diperlukan Subversi Kebudayaan’ yang dimuat Sinar Harapan, setahun sebelum koran ini dibredel. Tulisan itu sangat menggoda. Kata itu ‘kan milik negara sejak Karno hingga Harto untuk meneror. Di kepala saya, esai Ashadi itu mengguncang,” kenang sosok yang sudah menulis sejak tahun 1971 di majalah Integritas milik ITB, Bandung ini.
Pada Rendra, Halim mengenang peristiwa pembacaan puisi tahun 1972 secara lesehan di pergelaran Kraton Yogya. Halim si pencinta koran ini diminta mengumpulkan koran bekas. 
 “Pagar dibungkus koran. Idenya berasal dari Rijal, adik Ashadi. Nah, Willy baca puisi di situ,” jelasnya.
Dari dekade ke dekade, Halim menyaksikan wajah budaya Indonesia dari dekat, dari banyak kawasan; dari Surakarta hingga Makassar. Sosok yang menamai dirinya sebagai, sekali lagi, “networker kebudayaan” ini adalah penyaksi yang fasih.

Orang pun lupa ada nama masa silamnya yang mengabur, tetapi tak pernah terkubur dan lebur bersama buku-buku malang yang diceburkan di sungai kampung halamannya di Serang, Banten. Hingga nama itu kembali tertulis di sebuah poster untuk publik seni di pengujung dekade pertama alaf ketiga.

***