Muhammad Ridha
PERDEBATAN di IndoPROGRESS mengenai apa yang perlu
dilakukan setelah pemilu 2019, penting untuk dilanjutkan. Kepentingan ini
mengingat kita membutuhkan perspektif umum yang dapat memfasilitasi terciptanya
kondisi yang mencukupi untuk memajukan posisi gerakan sosialis Indonesia yang selama
ini termarjinalkan dalam proses politik negara. Dengan kata lain, perspektif
yang mengupayakan mengubah situasi dibandingkan sekadar untuk memahami situasi
itu sendiri.
Dengan resiko menyederhanakan argumen, setidaknya ada dua
posisi utama yang muncul dalam perdebatan yang ada. Pertama adalah
mereka yang melihat perlunya terlibat dalam ruang politik yang tersedia, yang
dengannya berkonsekuensi untuk mengambil posisi keberpihakan tertentu dalam
konfigurasi konflik kelas berkuasa. Atau posisi kedua, yang lebih
memprioritaskan untuk membangun kekuatan sendiri yang implikasinya tentu
berupaya sekuat mungkin untuk melepaskan diri (otonom) dari pertarungan yang
ada.
Tanpa bermaksud mengulang-ulang posisi yang akan saya ajukan
(lihat argumen saya pada tahun 2014, Menuntut
Logika Yang Lebih Dan Respon Taktis Politik Marxis Indonesia/), kita bisa
keluar dari logika biner ini jika kita menempatkan agenda intervensi sebagai
bagian dari strategi pembangunan kekuatan politik rakyat pekerja. Yang
diperlukan kemudian adalah posisi taktis intervensi apa yang harus diacu tanpa
harus larut dalam situasi pertarungan yang ada.
Poin utama dari posisi intervensi bukan semata tentang
keberpihakan atau sebatas dukung-mendukung posisi politik kelas berkuasa yang
sekarang tengah berada dalam kepemimpinan Jokowi. Berbeda dengan argumen Airlangga
Pribadi bahwa intervensi ditujukan untuk membangun “basis sosial”,
menurut saya intervensi justru ditujukan untuk mendorong politisasi “basis
sosial” gerakan rakyat itu sendiri yang secara nyata telah melakukan respon
spontan terhadap politik negara yang menindas. Dalam kerangka ini, intervensi
ditekankan sebagai pengupayaan inklusi agenda rakyat pekerja dalam politik
negara.
Gagasan ini mungkin terdengar mirip dengan argumen Mudhoffir
dan Rakhmani tentang “penguatan institusi publik dalam memberikan
layanan dasar.” Perbedaannya terletak pada upaya penguatan tersebut dilakukan
bukan dengan otonomi atas dasar “kemurnian gerakan progresif.” Penguatan
institusi publik adalah hasil dari proses yang relasional dimana gerakan rakyat
perlu secara strategis mempertarungkan kepentingannya dalam politik negara itu
sendiri. Dalam proses yang relasional ini, kita tidak dapat memungkiri bahwa
dalam perkembangan politik tertentu gerakan rakyat dapat membuat aliansi dengan
beberapa elemen kelas berkuasa. Tentu dengan prasyarat bahwa aliansi ini dapat
memenangkan kepentingan gerakan rakyat itu sendiri.
Keterlibatan dengan platform politik rakyat pekerja menjadi
krusial ketika kita menilik karakter pertarungan elit yang ada sekarang. Saya
tentu mengakui bahwa pembelahan politik yang menjadi dasar pertarungan adalah
pembelahan yang bersifat artifisial. Akan tetapi, sayangnya, pembelahan yang
artifisial ini tetap memiliki efektivitas politik dimana perhatian serta
kesadaran massa rakyat tetap dapat dimobilisasi oleh kuasa elit yang bertarung.
Disinilah kita menemukan kita menemukan fenomena yang
mengkhawatirkan dari situasi konflik terkini, alih-alih mendorong
kepentingannya sendiri, konflik yang ada justru mendorong massa untuk
mempromosikan kepentingan yang diusung oleh elit yang dominan. Atau dengan kata
lain, dalam konstelasi pertarungan sekarang, narasi kelas-kelas dominan
masihlah menjadi narasi yang satu-satunya dalam menjawab problem struktural
massa rakyat itu sendiri. Keberadaan platform rakyat pekerja dalam politik
negara dapat berguna untuk menampik dislokasi kesadaran ini sekaligus sebagai
referensi
Pertanyaannya kemudian, mengapa harus intervensi terhadap
kelas berkuasa sekarang? Ada dua alasan untuk itu: pertama, potensi
krisis kapitalisme global di masa depan. Krisis kapitalisme global yang banyak
diprediksi pada dua-tiga tahun ke depan[1] tentu
akan berimbas pada konstelasi politik negara. Seiring krisis, maka kuasa kelas
berkuasa juga akan melemah. Dengan absennya platform politik rakyat pekerja
dalam negara, pelemahan ini dapat berarti dua hal: bagi kalangan elit, maka ini
semakin membukakan peluang untuk terjadinya akomodasi dan negosiasi antar
mereka. Sementara bagi kalangan massa rakyat, krisis akan menjadi justrifikasi
untuk pengetatan sumber daya negara untuk didistribusikan kepada rakyat. Dengan
semakin rentannya kondisi sosial karena imbas pengetatan, kesadaran
konservatisme-reaksioner massa (atau beberapa pihak menyebutnya sebagai
fasisme) yang telah dipupuk dalam situasi pertarungan elit berpeluang untuk
meluap dan akhirnya menjadi ekspresi perlawanan utama terhadap kekuasaan
negara. Disinilah kemudian krisis kapitalisme berpotensi menjadi stimulan bagi
kebangkitan kekuatan anti rakyat pekerja.
Kedua, terkait dengan konfigurasi kekuasaan kelas berkuasa
yang ada. Fleksibilitas Jokowi dalam mengakomodasi banyak pihak (dari
proponen militer Orde Baru, kelompok Islam, sampai dengan “kelompok progresif”)
untuk menyokong pemerintahannya perlu dilihat secara dingin. Alih-alih
melihatnya sebagai kekuatan, justru ini adalah refleksi dari keterbatasan
Jokowi itu sendiri dimana ia sebagai kepala administrasi harus selalu sensitif
dengan konflik sosial yang terjadi. Di sini, alih-alih melihat Jokowi sebagai
kekuatan yang tertutup, kita perlu melihat ruang kemungkinan dalam politik
Jokowi itu sendiri.
Intensifikasi tuntutan serta tekanan terhadap Jokowi
menjadi kunci jika kita menghendaki ada pergeseran orientasi kekuasaan kelas
berkuasa sekarang.
Tantangan utama dari intervensi ini tentu terletak pada
efektivitasnya. Skema intervensi yang ditawarkan sejauh ini dilakukan tanpa ada
instrumen politik yang tersambung dengan struktur kekuasaan itu sendiri (baca:
partai politik).
Dengan demikian, kita akan menemukan interaksi yang tidak
setara antara gerakan rakyat yang seringkali terfragmentasi dengan kelas
berkuasa yang agenda serta kepentingannya sudah terorganisir dalam institusi
politik yang ada. Walau begitu, keterbatasan ini bukan berarti tidak dapat
diakali. Ruang politik demokratis yang ada masih memberikan ruang untuk
intervensi politik di luar dominasi politik kelas berkuasa yang ada. Yang
diperlukan adalah pembacaan strategis yang jeli untuk memahami ruang politik
tersebut. Dalam ruang politik manakah gerakan rakyat dapat melakukan desakan
dan tekanan politik rakyat perkeja yang efektif dalam struktur kekuasaan kelas
berkuasa sekarang
Tentu kita tidak dalam ilusi bahwa intervensi dalam
ruang-ruang tersebut akan menciptakan secara absolut dan permanen keuntungan
bagi gerakan rakyat itu sendiri. Akomodasi politik kelas berkuasa terhadap
tuntutan gerakan rakyat dapat memiliki wajah ganda. Disatu sisi akomodasi
adalah sebentuk keberhasilan dari tekanan gerakan rakyat. Namun disisi lain ia
juga dapat diartikan sebagai kooptasi untuk menundukkan tuntutan rakyat. Akan
tetapi saya menilai keterbatasan intervensi ini tetap memiliki keunggulannya
sendiri dalam upaya pembangunan partai politik gerakan rakyat jika dibandingkan
dengan sekadar mendorong agenda politik mandiri. Pertama, intervensi
memberikan pemaparan agenda politik rakyat pekerja kepada publik luas.
Keterlibatan gerakan rakyat dalam institusi yang ada memungkinkan kampanye luas
serta terbuka tentang kemungkinan praktis agenda politik rakyat pekerja.
Hal ini
tentu membuka peluang bagi perluasan pengaruh serta dukungan agenda politik
rakyat perkerja itu sendiri. Yang kedua, intervensi juga memberikan
tekanan kepada elemen-elemen politis gerakan rakyat untuk menyegerakan
pembangunan partai politik gerakan rakyat. Akomodasi ambigu kelas berkuasa
terhadap politik rakyat pekerja dapat menjadi dasar yang konkrit mengenai
urgensi partai politik gerakan rakyat sebagai instrumen utama mengawal secara
sistematis dan permanen agenda politik rakyat pekerja dalam struktur kekuasan
negara yang ada.
Akhirul kalam, tanpa optimisme berlebihan, kita harus mulai
menyingkirkan tendensi defeatist (rasa selalu kalah) ketika
berhadapan dengan kekuasaan yang dominan. Walau kita mengakui dominasi kekuatan
lawan, kita juga perlu secara taktis melihat peluang yang ada, yang sekecil
apapun, dapat berguna untuk mendorong perubahan yang lebih besar. Di sini kita
perlu mengingat kembali bahwa demokrasi sebagai praktik bukan sesuatu yang
muncul begitu saja. Ia adalah hasil dari perjuangan politik kekuatan sosial
yang ada di masyarakat. Menghendaki bahwa demokrasi dapat memenuhi kebutuhan
mayoritas mensyaratkan pertarungan terhadap kekuatan dominan yang membatasi
praktik demorkasi itu sendiri.
***
Muhammad Ridha, saat ini sedang studi di
Northwestern University, Evanston, Illinois, AS
___
[1] Lihat
di https://www.theguardian.com/business/2019/jan/05/global-economic-crash-2020-understand-whyatau https://www.consumeraffairs.com/news/world-economists-predict-another-great-recession-by-2021-022619.html
IndoProgress
0 komentar:
Posting Komentar