HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Eksil. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Eksil. Tampilkan semua postingan

Jumat, 14 Februari 2020

Demi Kebenaran, Keadilan dan Keterbukaan


·         Masalah Mahid-eksil di luar negeri

Kitir: 
MD Kartaprawira 


Dewasa ini telah berviral status-status tentang mahid yang tidak bisa pulang kembali ke tanah air, karena dicabut paspornya oleh rejim orba/Suharto berkaitan kasus 1965.

Status-status tersebut menyatakan bahwa sudah 50 tahun kasus mahid tidak dikutak-kutik (tidak ditangani) oleh Negara. Hal tersebut tidak benar dan tidak tepat, justru menyesatkan. Kita harus obyektif terhadap fakta yang ada, yang putih harus dikatakan putih, yang hitam harus dikatakan hitam.

Seperti kita ketahui, bahwa sebagai akibat perjuangan para mahid-eksil di luar negeri dan para peduli HAM di tanah air pada era reformasi, pemerintah terpaksa mengeluarkan UU Kewarganegaraan Indonesia /2006. Maka sejak itu sesuai Pasal 42 telah terbuka “lobang” kesempatan bagi para mahid-eksil untuk mendapatkan Kewarganegaraannya kembali dalam jangka waktu 3 tahun (sampai 01 Agustus 2009). Itulah politik pemerintah (SBY) yang oleh Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin diformulasikan: “Tolak penyelesaian politik, tetapi setuju pemberian paspor/kewarganegaraan kembali kepada mahid-eksil” (bahkan juga kepada mereka yang bukan mahid-eksil).

Maka di Jerman, Belanda dan Kuba sebagian mahid-eksil telah berhasil mendapatkan kembali kewarganegaraannya. Bahkan saya pribadi pernah membantu/mendampingi seorang kawan ke KBRI Den Haag untuk mengurus masalah tersebut.

Tetapi ada banyak mahid-eksil yang menolak kebijakan berdasar UU Kewarganegaraan tersebut di atas. Alasannya a.l.:

1. Esensi kaidah kebenaran dan keadilan dalam kaitannya kasus 1965 tidak nampak dan tidak ada bau-baunya dalam UU tersebut, meskipun dalam considerannya banyak pasal-pasal HAM yang disebutkan. Bagi kami pengembalian kewarganegaraan/paspor hanyalah suatu buntut dari akibat penyelesaian masalah politik yang selalu diingkari oleh penguasa.

2. Bahkan berdasarkan Pasal 42 para mahid-eksil dimasukkan dalam satu ombyokan atau satu kotak dengan: a). orang-orang yang kehilangan kewargegarannya karena sesuatu hal selama 5 tahun atau lebih tidak melapor ke KBRI; b). Para pemberontak GAM, OPM dan lain-lainnya.
Pada hal para mahid-eksil teguh setia kepada NKRI, tidak pernah berontak, tapi dengan semena-mena dicabut paspornya oleh rejim Suhato. Dan para mahid-eksil tidak melarikan diri ke luar negeri, tapi dikirim untuk tugas belajar oleh Pemerintah sah Soekarno.

3. Dalam UU Kewarganegaraan/2006, para mahid-eksil diharuskan juga menyatakan sumpah setia kepada Negara RI. Nah ini suatu penghinaan yang menyedihkan dan memalukan. Sebab para mahid-eksil tidak pernah berontak kepada NKRI. Kami bukan anggota GAM dan OPM. Justru Suharto sendiri yang melakukan pemberontakan kepada Pemerintah sah RI melalui kudeta merangkaknya.

Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65) di Belanda tidak bisa menghalang-halangi anggotanya yang ingin memfaatkan kesempatan untuk mendapatkan kewarganegaraan kembali. Sebab hal tersebut adalah hak asasinya untuk menentukan kelanjutan kehidupan dirinya.
LPK65 sebagai satu-satunya lembaga legal di luar negeri tetap berjuang demi menegakkan kebenaran dan keadilan bagi para korban 1965.

Khusus untuk mahid-eksil LPK65 melakukan usaha-usaha terobosan atas UU Kewarganegaraan RI/2006 dengan segala cara dan jalan.

LPK65 telah berusaha untuk menyiarkan UU Kewarganegaraan/2006 beserta komentar-kritiknya melalui: website LPK65, milis-milis Nasional-list, HKSIS, Wahana dll, wawancara media-cetak dan radio, diskusi, dialog dengan pejabat dan privat. Saya sendiri telah berdiskusi dengan Bp. Hamid Awaludin (architek UU Kewarganegaraan/2006) di KBRI Moskwa ketika beliau menjabat sebagai dubesnya. Di samping itu telah saya siarkan artikel bersama kritiknya (3 seri) untuk menanggapi sosialisasi UU Kewarganegaraan/2006 yang dilakukan Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata di Den Haag. Jadi sangat disayangkan sekali sudah hampir 14 tahun orang tidak tahu hal-hal tersebut di atas (terutama mereka yang menamakan dirinya Mahid dan mereka yang sedikit banyak pernah bersinggungan dengan ilmu hukum).

Saya ( sebagai Ketum LPK65) telah berusaha keras untuk bertemu dan berdialog mengenai masalah eksil/mahid-eksil dengan Presiden Jokowi ketika tahun 2015 berkunjung ke Negeri Belanda. Tapi tidak berhasil mendapatkan undangan dalam salah satu pertemuan-pertemuan dengan masyarakat Indonesia, meski saya telah mengemis-ngemis melalui WAKAPRI KBRI Den Haag. Semoga pemerintah Jokowi bisa menyempatkan perhatiannya kepada masalah-masalah tersebut diatas. Bagaimana pun kami/mahid-eksil adalah Bangsa Indonesia.

Kalau mengenai masalah kepulangan para ex-WNI-ISIS jelas sikap saya dan mahid-eksil lainnya: TOLAK MEREKA!!! Presiden harus tegas. Mereka ini akan menyebabkan malapetaka yang lebih dahsyat kepada Negara dan bangsa - karena menyebarkan virus terorisme.

Sekian terima kasih, semoga artikel ini bermanfaat, terutama bagi penegakan kebenaran dan keadilan berkaitan sejarah tragedi nasional 1965. Salam.

Den Haag, 14 Februari 2020
  •   Tembusan/CC kepada:
Presiden Jokowi
Menteri POLHUKAM
KOMNASHAM
Para Peduli HAM
Semua fesbuker



Rabu, 12 Februari 2020

Nasib Eksil 1965: Pilih Tidak Pulang atau Dijagal Soeharto


Oleh: Petrik Matanasi - 12 Februari 2020

Anggota Pemuda Rakyat, sayap pemuda Partai Komunis Indonesia (PKI), ditahan oleh milter (30/10/65). FOTO/AP

Banyak pelajar Indonesia yang dikirim ke negara-negara Blok Timur. Peristiwa 1965 membuat mereka tak bisa pulang.

Dari Letnan Jenderal Ahmad Yani, Presiden Sukarno dapat tahu bahwa Brigadir Jenderal Suhario Padmodiwirio alias Hario Kecik telah memilih untuk belajar di Rusia. Sukarno sempat heran kenapa Hario tidak mau menjadi deputi Ahmad Yani yang menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat. Hario dan istrinya berangkat pada Januari 1965 ke Moskow, untuk belajar di War College yang diperuntukan bagi perwira tinggi.

“Tugas saya ditegaskan sebagai perwira tinggi yang ditugaskan mengikuti kuliah penuh dalam War College bernama Suworov (nama seorang jenderal besar Rusia yang termasyur dalam perang Napoleonik)… Pada waktu itu saya diterima bai sekali oleh seluruh staf Kedubes Indonesia di Moskow,” tulis Hario Kecik dalam Dari Moskwa ke Peking: Memoar Hario Kecik III (2005:49). Tak hanya Hario Kecik saja yang belajar di Rusia pada 1965.

Waruno Mahdi, kelahiran Bogor pada 1943, sudah dua tahun sekolah pada 1965 itu. Sehabis beres SMA-nya di Moskow, dia kuliah di jurusan kimia. Begitu juga Djumaini Kartaprawira, yang dikirim Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan pada 1963 dan kemudian belajar hukum di Universitas Patrice Lumumba. Selain tiga orang di atas, masih banyak lagi orang Indonesia yang sedang belajar di luar negeri, termasuk di Rusia, sebelum September 1965. Selepas belajar di negeri orang, sebagai orang yang punya gelar akademis, mereka ingin kembali dan bekerja di Indonesia.

lalu terjadilah Gerakan 30 September 1965 di Jakarta. Ketika peristiwa itu terjadi, para pelajar di Rusia macam Djumaini, Waruno, bahkan Hario tidak ikut-ikut aksi penculikan para jenderal yang dipimpin seorang Letnan Kolonel Angkatan Darat bernama Untung. Begitu pun kawan-kawan mereka yang belajar di negara-negara lainnya.

Setelah orang-orang komunis dibunuh, sisanya dibuat menderita di kamp-kamp, dan keluarganya disengsarakan di Indonesia, banyak pelajar Indonesia yang belajar di negara-negara yang terkait dengan Uni Sovyet kena getahnya. Bukan cuma yang numpang belajar, mereka yang sekedar mendatangi acara internasional di negara-negara blok timur sekitar 1965 pun tak bisa pulang ke Indonesia.
“Mereka tidak dapat pulang, baik karena paspor mereka otomatis dicabut oleh kedutaan Indonesia setempat, atau mereka memilih tidak pulang karena tahu pasti akan dipenjara, disiksa atau bahkan dibunuh,” tulis Henri Chambert-Loir dalam Sastra dan Sejarah Indonesia (2018:72).
Ibrahim Isa berbicara mewakili Indonesia dalam konferensi Trikontinental di Kuba sekitar Januari 1966. Kewarganegaraannya dicabut. Ia dicap mendapat cap agen Gestapu. Chalik Hamid yang dikirim ke Albania untuk belajar sinematografi pun hilang status kewarganegaraannya. Ada banyak lagi yang bernasib seperti keduanya.

Ambil resiko pulang sama saja menjerumuskan diri ke neraka Orde Baru. Dalam alam pikiran Orde Baru, pelajar yang menimba ilmu di negara-negara komunis sama belaka dengan komunis. Tak hanya itu, mereka juga dianggap terlibat dalam G30S.

Tentu saja ini bertentangan dengan apa yang diakui Djumaini Kartaprawira.
 “Mahasiswa yang dikirim dari Indonesia ke Moskow tidak semuanya kiri, Bung,” aku Djumaini Kartaprawira dalam wawancaranya dengan Martin Aleida, seperti termuat dalam buku Tanah Air Yang Hilang (2017:291).
Menurut Djumaini, selain yang dikirim Lembaga pemerintah, ada pula mahasiswa dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan juga Nahdatul Ulama (NU). Ketika Sukarno dilengserkan ada juga kelompok mahasiswa kanan pro-Orde Baru semacam Komite Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang tinggal di Moskow. Bahkan pelajar dari golongan Pemuda Rakyat, bernama Suwarno, dihajar babak belur oleh kelompok kanan di Moskow.

Waruno Mahdi yang masih muda waktu itu tak ingin ikut-ikutan berpolitik. Tapi, keadaan bukan hanya tak membiarkannya pulang ke Indonesia sehingga ia terpaksa berpolitik. Begitu yang diakui Waruno Mahdi kepada Martin Aleida dalam Tanah Air Yang Hilang(2017:37). 
 Mahdi mengaku: “Kelompok kami tidak masuk komunis, tidak masuk nasionalis, walaupun tetap pro-Sukarno.”

Tak semua pelajar suka berpolitik, bahkan awam politik. Fokus pada studi adalah hal paling penting.
“Banyak diantara mereka awam politik. Mereka hanya memenangkan beasiswa pemerintah, seperti anak muda yang pintar dikirim belajar ke Delft, Belanda, pada era Habibie,” tulis Tommy Lebang dalam Sahabat lama, era baru: 60 tahun pasang surut hubungan Indonesia-Rusia (2010:120)
Di Kedutaan Besar Indonesia di Moskow, menurut Djumaini, yang keras adalah atase militernya. Duta besar Manai Sophian, ayah dari Sophan Sophian, tidak bisa berbuat apa-apa. Manai Sophian tentu tahu diri bahwa yang berkuasa adalah militer. Sebagai orang sipil, ia tak ada artinya di hadapan orde baru. Orang macam Djumaini merasa tidak aman untuk pulang ke Indonesia. Menjadi pelarian di luar negeri alias eksil lebih mulia daripada membungkuk di hadapan rezim militer Soeharto. Jika pun mereka tak ingin di Rusia lagi, pilihannya bukan Indonesia, tapi negara-negara Eropa yang liberal. Djumaini memilih kuliah dan akhirnya bekerja.

Jangankan orang muda terpelajar macam Djumaini, Hario Kecik yang jenderal pun harus berpikir panjang untuk pulang. Hario Kecik baru pulang pada 1977, setelah 12 tahun di Rusia. Begitu sampai di Indonesia ia dipenjara. Tuduhan komunis yang pernah dilayangkan kepadanya tak pernah terbukti. Ia hanya pengikut Sukarno.


Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Windu Jusuf

Rabu, 22 Januari 2020

Rony Marton, Dari Orang Eksil 65 Jadi Bintang Pop Cekoslowakia


January 22, 2020 - by Juke Carolina - Wo/Men We Love

Sebuah wawancara dengan Rony Marton, orang eksil Indonesia yang menjadi bintang pop di Cekoslowakia pada 1970an.


Nama Rony Marton mungkin tidak tenar di Indonesia, tetapi pada tahun 1970-an di Cekoslowakia, Rony mengundang perhatian publik sana.

Ia adalah pelajar Indonesia yang berkuliah di Eropa ketika Jenderal Soeharto mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno pada tahun 1965. Kala itu, pemerintahan Orde Baru melarang ratusan pelajar pro-Soekarno seperti Rony untuk pulang ke tanah air. Ini memicu pembersihan paling parah kaum intelektual sepanjang sejarah Indonesia.

Soeharto memimpin selama 32 tahun di bawah rezim Orde Baru, yang kemudian ditumbangkan dengan tudingan korupsi besar-besaran dan isu pelanggaran hak asasi manusia.

Setelah menyelesaikan studi di Cekoslowakia, Rony menjadi penyanyi pop pada sekitar tahun 1970. Laki-laki itu baru bisa kembali ke Indonesia seusai mundurnya Presiden Soeharto pada 1998.

Juke Carolina dari Global Voices Indonesia mewawancarai Rony, yang membagikan kisah perjalanannya dari Asia ke Eropa, dan bagaimana ia mendulang ketenaran di Cekoslowakia.

Global Voices: Halo, Pak Rony. Terima kasih sebelumnya karena sudah memberi kesempatan bagi Global Voices untuk melakukan wawancara ini. Boleh diceritakan bagaimana Anda bisa menjadi pelajar di Cekoslowakia?

Rony Marton (RM): Nama asli saya Jaroni Surjomartono, saya lahir di Kudus pada tahun 1943, tetapi dibesarkan di Solo, Jawa Tengah, sejak saya kanak-kanak.

Setelah lulus SMA, saya kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM), mengambil  jurusan Ekonomi Perusahaan. Sesudah lulus dari kampus Bulak Sumur di Yogyakarta, saya mendaftar beasiswa ke Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi untuk menjadi mahasiswa di Jepang. Tetapi, program beasiswanya sudah berakhir. Lalu saya mengikuti tes dan pelatihan selama dua bulan sebelum akhirnya saya menerima sebuah telegram yang menyatakan saya mendapat beasiswa di Cekoslowakia pada 1963.

Apa yang terjadi setelah Anda tiba di Eropa, dan peristiwa apa yang membuat Anda tidak bisa kembali ke Indonesia?

Bersama 35 mahasiswa Indonesia lainnya, kami mengikuti kursus bahasa Ceko selama sepuluh bulan. Selepas kursus, kami masuk kuliah di kampus-kampus yang kami pilih. Saya masuk University of Economics di Praha (Vysoká Škola Ekonomická VŠE).

Pada 1965, saya terpilih sebagai ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Cekoslowakia. Seiring kudeta 30 September 1965 terhadap Presiden Soekarno oleh Kolonel Suharto dan antek-anteknya, semua paspor anggota PPI dicabut sekitar pertengahan tahun 1966.

Kedutaan besar Indonesia di Praha tidak memperpanjang paspor-paspor yang kedaluwarsa. Sekitar 100 dari 200 anggota PPI kemudian memutuskan untuk meninggalkan asosiasi pelajar kami dan bergabung dengan kelompok yang dibentuk oleh Kedutaan Besar Indonesia di Praha, yang juga dinamai PPI. Paspor orang-orang yang bersekutu dengan Kedutaan Besar lantas bisa berlaku kembali.

Apa yang terjadi pada Anda dan pelajar-pelajar lain yang dilarang kembali ke Tanah Air?

Permasalahan yang kami hadapi mencakup permohonan izin tinggal bagi yang tidak lagi memegang paspor berlaku, izin supaya bisa menyelesaikan studi, dan perihal akomodasi untuk pelajar. Itu adalah tiga permintaan yang kami ajukan kepada pemerintah Cekoslowakia.

Beberapa minggu setelah mengajukan permintaan-permintaan tersebut, kami mendapat jawaban memuaskan, yang sejujurnya melebihi harapan kami. Pertama, kartu tinggal kami diperpanjang masa berlakunya (bahkan tanpa memegang paspor Indonesia) sampai studi kami selesai. Izin tinggal di asrama mahasiswa juga diperpanjang. Kedua, sesudah lulus, kami bisa memilih untuk tetap tinggal di Cekoslowakia atau pindah ke negara lain (agi mereka yang ingin pindah, pemerintah Cekoslowakia akan mengatur dokumen perjalanan  berdasarkan hukum PBB. 

Di Cekoslowakia, kami mendapat perlindungan sebagai pengungsi di bawah naungan Palang Merah Internasional di Cekoslowakia). Bagi para pelajar yang mau menetap di Cekoslowakia, mereka mendapat izin tinggal permanen.

Kondisi-kondisi ini sangat baik dan memungkinkan kami menyelesaikan studi serta melanjutkan hidup dengan tenang. Saya pribadi merasa berutang serta berterima kasih pada pemerintah Cekoslowakia kala itu, yang tidak melupakan tradisi historis mereka sejak 1930an, ketika Republik Cekoslowakia memberi perlindungan bagi warga Yahudi dan siapa pun yang menentang kekejaman Nazi di Jerman. 

Generasi muda harus terbuka terhadap dialog sebelum menentukan sikap. Ambil jarak dari segala bentuk fanatisme dan radikalisme. Pelajari sejarah negeri; jadilah peka terhadap apa pun yang tampak mengancam demokrasi dan kemanusiaan.

Apa yang terjadi pada keluarga Anda di Indonesia, serta relasi Anda dengan warga Indonesia lain yang tinggal di Praha pada masa pemerintahan Orde Baru?

Segera setelah paspor kami dicabut pada akhir 1966, kontak kami dengan Kedutaan Besar Indonesia terputus dan kami dijauhi oleh warga Indonesia lain di Cekoslowakia. Para pelajar pro-Soeharto tidak mau berbaur dengan kami—pihak anti-Soeharto.

Orang tua saya di Indonesia hanya mendengar kabar kepelikan yang saya hadapi waktu itu sekitar dua atau tiga tahun setelah kejadian September 1965. Mereka sedih, namun mereka cukup lega setelah mengetahui kami bisa terus tinggal dan melanjutkan studi (mereka mengira Soeharto akan dimakzulkan dalam lima atau sepuluh tahun dan digantikan dengan pemerintahan yang demokratis).

Dalam perjalanan pulangnya setelah berziarah ke Makkah, ibu saya mengunjungi saya di Praha dan meminta saya untuk tidak pulang ke Indonesia untuk sementara, lantaran apa yang dilakukan keluarga Soeharto di kampung kami di Solo. Ia (menurut pengakuannya) menerima ketidakhadiran saya, dan cucu-cucunya, selama kami aman sampai Orde Baru diruntuhkan. Ibu saya adalah orang yang apolitis, tetapi ia mampu menilai betapa brutal dan serakahnya rezim Orde Baru saat itu.

Bisa Anda ceritakan bagaimana Anda kemudian menjadi bintang pop di Cekoslowakia?

Saya memang sudah suka musik, main gitar, dan menyanyi sejak masih jadi pelajar di Indonesia. Di sekolah (SMA) di Solo, saya adalah pemimpin band di sekolah, dan juga memimpin paduan suara yang terdiri dari delapan perempuan. Di rumah, saya memimpin band gambus (kini lebih dikenal sebagai dangdut) dan band dengan aneka aliran musik.

Waktu kuliah di UGM, ada lomba menyanyi waktu kegiatan plonco. Saya ikut dan menang. Saya sempat direkrut sebagai penyanyi di sebuah band bernama GAMA. Waktu itu band tersebut sangat populer di kalangan mahasiswa.

Walaupun ada beberapa orang Cekoslowakia pada awal abad 20 yang tinggal dan terinspirasi dengan kepulauan Indonesia, seperti pujangga dan penulis Konstantin Biebl, pengetahuan publik Cekoslowakia seputar Indonesia masih terbatas. Jadi, di mana pun saya tampil, butuh waktu untuk memberi tahu mereka tentang Indonesia dan sejarahnya.

Salah satu hal paling berkesan sepanjang karier saya terjadi pada konser saya pada musim panas tahun 1975. Ketika itu 4.000 pelajar bernyanyi bersama saya saat saya menyanyikan lagu Batak, Sing Sing So, di panggung terbuka. Saya juga pernah berkolaborasi dengan penyanyi Ceko dan penyanyi Slowakia untuk merekam beberapa lagu di piringan hitam.

Sejak 1986, saya lebih sedikit tampil dalam konser. Sekarang, saya hanya bernyanyi untuk acara amal atau sekadar bersenang-senang.

Anda adalah bagian dari “generasi intelektual yang hilang” akibat politik Orde Baru. Bagaimana komentar Anda tentang itu dan apa harapan Anda untuk masa depan Indonesia?

Berdasarkan pengalaman kami pada 1965, ada banyak faktor yang menimbulkan macam-macam dampak. Politik Orde Baru melarang kami untuk pulang. Bila kami pulang, kami akan berakhir di penjara atau ditembak penembak jitu [catatan penulis: selama Orde Baru, ada kelompok penembak jitu elite yang dikenal dengan sebutan Petrus.
 Mereka dikerahkan oleh rezim berkuasa untuk membungkam kritik dengan alasan “menjaga ketertiban umum”]. Dengan berada di luar negeri, kami terlindungi dari aksi ekstrayudisial dan penghilangan paksa.

Saya melihat penghilangan generasi intelektual dari sudut pandang positif. Bagi saya, waktu dan harapan akan masa depan menyembuhkan luka lama. Untuk generasi muda Indonesia, saya berharap mereka dapat terus memiliki pemikiran kritis terhadap hal-hal yang masih belum terungkap di Indonesia, mampu mengumpulkan informasi, dan terbuka terhadap dialog sebelum menentukan sikap mereka terhadap hal-hal tertentu. Ambil jarak dari segala bentuk fanatisme dan radikalisme.

Pelajari sejarah negeri kita sehingga kamu tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang dilakukan generasi terdahulu. Jadilah peka terhadap fenomena apa pun yang tampak mengancam demokrasi dan kemanusiaan.      

Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Inggris di Global Voices, sebuah komunitas internasional dengan ragam bahasa untuk para blogger, jurnalis, penerjemah, akademisi, dan aktivis HAM. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Patresia Kirnandita.

Senin, 30 September 2019

Mencari suara yang dibungkam


  • Wawancara dengan Francisca C. Fanggidaej


Francisca C. Fanggidaej
Foto dari koleksi pribadi

Lahir di pulau Timor pada tahun 1925. Ia adalah seorang wartawan, turut mendirikan Yayasan Studi Asia di Amsterdam dan menjadi salahsatu pengurusnya.

Fanggidaej adalah anak seorang pegawai tinggi yang bekerja untuk Belanda di jaman kolonial dan yang dirumah hanya boleh berbicara dalam bahasa Belanda.

Setelah Perang Dunia II, ia aktif dalam perjuangan Indonesia untuk kemerdekaan. Pada tahun 1949 ia menjadi ketua organisasi pemuda yang bernama Pemuda Rakyat. Tak lama sesudah itu, ia memulai karirnya sebagai wartawan yang memungkinkannya untuk melakukan perjalanan ke seluruh dunia.

Pada tahun 1957 ia ambil bagian dalam Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia mewakili golongan karya (bukan partai politik). Dengan fungsi ini Francisca Fanggidaej dikirim ke Chili pada tahun 1965 untuk menghadiri kongres organisasi wartawan internasional.

Dalam perjalanan ini, di Indonesia telah terjadi kudeta sehingga Francisca tak mungkin kembali ke tanah-airnya. Sebagai seorang eksil mula-mula ia berdiam di Cina selama duapuluh tahun. Sejak tahun 1985 ia tinggal dan bekerja di Negeri Belanda.

Dengarlah beberapa fragmen dari wawancara ini:
Bagian 1 - tentang Pesindo, 25 sec. (mp3, 403 Kb)
Bagian 2 - tentang perubahan dalam Pesindo, 51 sec. (mp3, 804 Kb)
Bagian 3 - tentang World Youth Festival II, 1951, 52 sec. (mp3, 825 Kb)

Selasa, 20 Agustus 2019

Kisah Hidup Ibrahim Isa


Oleh Bonnie Triyana

Fidel Castro di antara Ibrahim Isa dan Francisca Fangidaej. (Dok. Ibrahim Isa).

Fidel Castro memilihnya sebagai wakil Indonesia dalam sebuah konferensi di Kuba. Guru Gus Dur ini dicabut kewarganegaraannya.

Lelaki yang rambutnya memutih itu duduk di hadapan saya. Jarak kami berdua dibatasi sebuah meja, dengan dua cangkir kopi terletak di atasnya. Ketika pembicaraan dimulai, dia tampak berhati-hati. Saya lebih banyak bertanya, dia menjawab seperlunya. Rupanya jarak di antara kami berdua lebih dari sekadar ukuran meja pada sebuah kafe yang terletak di stasiun sentral Amsterdam itu. Ibrahim Isa, lelaki yang saya temui pada sebuah hari di bulan Juni 2004 itu, seperti sedang menahan diri supaya tak terlalu lepas menderas cerita.

Mungkin dia cemas. Barangkali juga sedang berhati-hati menghadapi seorang pemuda yang belum dikenalnya. Terlebih pertanyaan yang dilontarkan kepadanya lebih banyak mengenai kisah terdamparnya dia di negeri orang karena peristiwa G30S 1965. Peristiwa yang selalu disangkut-pautkan pada PKI itu mulai terbuka untuk dibicarakan, tapi bagi sebagian orang, ia adalah kisah yang tabu, juga membikin was-was.

Itulah kisah pertemuan saya dengan Ibrahim Isa untuk kali pertama. Tiga tahun kemudian, kami bertemu lagi di kota yang sama tanpa ada lagi jarak dan perasaan was-was darinya. Yang menarik diperhatikan adalah sikap yang sama juga ditempuh oleh orang-orang lain yang nasibnya sama seperti Ibrahim Isa. Trauma terlalu dalam tertanam. Tak mudah hidup sebagai penyintas walau jauh dari negeri sendiri, tempat dari mana ancaman berasal.

Kedatangan Isa ke Belanda didahului kisah yang panjang. Bermula ketika dia bertugas sebagai perwakilan Indonesia untuk Organisasi Internasional Setiakawan Rakyat Asia-Afrika (OISRAA) di Kairo, Mesir pada September 1960. Menurut Isa, tugas utama OISRAA adalah menggalang dan menyelenggarakan kegiatan solidaritas untuk melawan kolonialisme, imperialisme dan rezimapartheid kulit putih di Afrika Selatan.

Menurut Isa, OISRAA adalah organisasi masyarakat sipil bangsa Asia-Afrika yang mengusung semangat Dasasila Bandung, hasil Konferensi Asia-Afrika di Bandung 1955. Sebagai aksi praksis keputusan KAA 1955 itu, gerakan masyarakat sipil dari negara Asia-Afrika yang sudah lebih dahulu merdeka membantu menggalang solidaritas bagi pembebasan negeri-negeri yang masih dijajah.

Dari Kairo, dia menjalin kontak dengan banyak gerakan pembebasan di negeri-negeri Asia-Afrika. Salah satu peristiwa besar yang turut dipersiapkannya adalah Konferensi Trikontinental, yang melibatkan negeri-negeri di tiga benua: Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Konferensi diselenggarakan di Havana, Kuba, Januari 1966.

Konferensi Trikontinental adalah kegiatan terakhir yang diselenggarakan Isa dalam posisinya sebagai warga negara Indonesia resmi. Mengapa demikian?
Karena setelah konferensi tersebut kewarganegaraannya dicabut secara sepihak. Sedangkan untuk terang-terangan pulang ke tanah air pun mustahil, karena cuma dua kemungkinan mengancam di depan mata: dibui atau mati. Maka menjadi “orang klayaban” begitu kata Gus Dur menjuluki orang-orang seperti Ibrahim Isa, jalan terbaik untuk bertahan hidup.

Dalam masa-masa persiapan Konferensi Trikontinental itu, Isa harus bolak-balik perjalanan Kairo-Havana-Jakarta. Dia bahkan masih nekat pulang pada minggu kedua Oktober 1965 untuk menghadiri Konferensi Internasional Anti-Pangkalan Militer Asing (KIAPMA), 17 Oktober 1965. Konferensi tersebut dibuka oleh Presiden Sukarno dan dihadiri beberapa negara yang aktif dalam upaya pembebasan negeri di Asia-Afrika.

Selesai KIAPMA, Isa kembali ke Kairo dan tak lama setelah itu balik lagi ke Havana, menyiapkan Konferensi Trikontinental. Di sinilah ketegangan bermula. Pemerintah Indonesia mengirim delegasi lain di bawah pimpinan Brigjen TNI Latief Hendraningrat, yang pernah jadi pengerek bendera Merah Putih pada saat Proklamasi kemerdekaan. Isa dan kawan-kawan heran sekaligus curiga pada kedatangan delegasi yang mengklaim membawa mandat pemerintah untuk menjadi wakil dalam Konferensi Trikontinental itu.

Perdebatan pun terjadi. Isa merasa dialah yang berhak mewakili Indonesia dalam Konferensi Trikontinental, sementara itu Latief pun mengaku memiliki tugas resmi mewakili Indonesia. Ternyata dualisme delegasi Indonesia sampai ke telinga Fidel Castro. Tapi Castro sudah punya sikap politik: Ibrahim Isa cum suis adalah delegasi resmi Indonesia yang berhak mewakili dalam Konferensi Trikontinental.

Sebagai wujud dukungan itu, Castro menyempatkan diri untuk bertandang ke hotel Habana Libre, tempat Isa dan kawan-kawannya tinggal. Menurut Isa pertemuan itu murni inisiatif Castro. Selain Isa, ada dua anggota delegasi lain dari Indonesia, Francisca Fangidaej dan Umar Said, dua jurnalis kawakan yang aktif dalam Persatuan Wartawan Asia Afrika (PWAA). Pertemuan itu terabadikan dalam dua lembar foto yang memperlihatkan suasana penuh ketegangan: Castro tampak menggenggam telepon, Isa bertopang dagu dan Francisca bersedekap.

Setelah keputusan itu, maka konflik semakin meruncing. Kedua delegasi tetap ikut konferensi. Tak lama setelah itu, Isa dinyatakan bukan warga negara Indonesia lagi. Dicap pengkhianat. Paspornya dicabut semena-mena. Hidupnya berubah, menjadi seorang pelarian politik walaupun dia menyangkal sebutan itu karena tak pernah merasa lari dari negerinya. Dia bertugas atas nama bangsa dan negaranya.

Isa dan keluarga kemudian pindah ke Tiongkok. Berkumpul dengan beberapa eksil dari Indonesia lainnya. Di negeri itu dia menetap selama 20 tahun, sejak 1966 sampai 1986, di mana dia menjadi saksi pergolakan politik Tiongkok masa revolusi kebudayaan. Sebagaimana banyak kaum eksil Indonesia lainnya di Tiongkok pada masa itu, Isa dan keluarganya tinggal di sebuah desa di Nanchang.

Sejak 1986, Isa dan keluarga boyongan pindah ke Belanda. Tak lama kemudian mereka mendapatkan kewarganegaraan Belanda. Kabar beredar, dalam rangka normalisasi hubungan Indonesia-Tiongkok, orang-orang yang dianggap bakal mengganggu hubungan kedua negara itu harus dilokalisir. Isa menuturkan kepada saya bahwa pihak pemerintah Indonesialah yang mengajukan hal itu sebagai syarat kepada pemerintah Tiongkok. Saya belum menemukan informasi baik yang mendukung maupun membantah keterangan tersebut.

Anak Meester Cornelis

Ibrahim Isa bin Isa Gelar Datuk Sinaro Panjang lahir di Meester Cornelis (Jatinegara) 20 Agustus 1930, berbarengan pada masa malaise mendera Hindia Belanda. Dari nama dan gelarnya, ayah kandung Isa berdarah Minangkabau. Sedangkan ibunya, Nila Utama, yang biasa dipanggilnya “Mak”, berasal dari Mukomuko, Bengkulu.

Isa senior bekerja sebagai guru. Posisinya itu membuat anak-anaknya bisa menempuh pendidikan di sekolah dasar bagi anak-anak Belanda, Europeesch Lagere School (ELS). Isa pun sempat mengenyam pendidikan di ELS. Satu hari saja! Karena Isa kecil yang anak bontot itu tak fasih berbahasa Belanda sebagaimana saudara-saudara kandungnya yang lain. Jarak umurnya dengan kakak-kakaknya terpaut jauh, sehingga menurutnya dia kehilangan kawan untuk berbicara bahasa Belanda dan lebih sering menggunakan bahasa Melayu dengan kawan-kawan sepermainannya.

Tak bisa terus di ELS, Isa pindah sekolah ke Vervolgschool di bilangan pasar Mencos. Menurut Isa, sekolah ini didirikan oleh pemerintah kolonial untuk sekadar menciptakan lulusan siap kerja sebagai pegawai rendahan dalam birokrasi kolonial. Tapi belum lagi usai sekolah, Jepang keburu datang.
Sekolah berbau Belanda bubar. Isa pindah ke sekolah Muhammadiyah.
Ketika Jepang hengkang, Isa remaja bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Dalam usia remaja pula, menurut pengakuan Isa, dia melek politik. Buku politik pertama yang dibacanya adalahDari Penjara ke Penjara karya Tan Malaka yang dia pinjam dari SM. Sjaaf, wartawan salah satu pendiriBerita Indonesia, surat kabar pertama setelah Indonesia merdeka. Kelak Sjaaf jadi kakak ipar Isa.

Karier politik Isa justru bermula ketika dia bekerja sebagai guru di sekolah perguruan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS). Pergaulannya semakin luas. Debut pertamanya dalam kegiatan internasional bermula ketika dia ditugasi oleh Panitia Persiapan Kongres Pemuda Sedunia untuk mewakili Indonesia dalam sebuah pertemuan persiapan kongres pemuda itu di Kopenhagen, Denmark pada 1952.

Namun setahun sebelum berangkat Isa muda kena ciduk razia Agustus 1951 yang kemudian dikenal sebagai peristiwa Razia Soekiman. Soekiman adalah Perdana Menteri dari Masyumi. Keputusannya merazia anggota PKI karena ada kasus penyerbuan kantor polisi di Tanjung Priok oleh orang-orang yang mengenakan kaos bersimbol palu arit. Tak lama masuk sel, Isa bisa dibebaskan dan berangkat ke Denmark setahun kemudian.

Salah satu murid Isa di sekolah perguruan KRIS adalah Abdurrachman Wahid (Gus Dur). Ada kisah menarik soal satu ini. Ketika Gus Dur menjadi presiden, dia mengadakan kunjungan ke Belanda pada 2000 yang lampau. Kepada stafnya dia mengatakan bahwa dia ingin bertemu dengan “Engku Isa”, gurunya semasa sekolah. Engku Isa yang dimaksud Gus Dur adalah Ibrahim Isa. Maka bertemulah guru dan murid ini setelah berpuluh tahun tak bersua.
 “Saya kagum pada daya ingat Gus Dur,” kata Isa kepada saya.

Setiap kejadian yang dialaminya selalu berbuah menjadi sebuah tulisan. Tulisan itu dia sirkulasikan sendiri melalui mailing list (jaringan email) kepada kolega-koleganya. Belakangan Isa akrab dengan media sosial dan menggunakan facebook sebagai medium menyebarkan tulisannya. Tentu saja untuk pria seumurnya, dia sangat aktif. Yang lucu, kalau tak boleh dibilang menggelikan, ucapan ulang tahun kepada kawan-kawan terdekatnya pun disebarkannya sebagaimana dia menyebarkan tulisan-tulisan seriusnya.

Tak jarang tulisan-tulisannya itu mendapatkan kritik. Beberapa bahkan terkesan merendahkan. Namun dia tak reaktif menimpalinya. Dari beberapa kritik itu ada juga yang membuat saya bertanya-tanya apakah tuduhan-tuduhan yang diarahkan kepadanya itu benar? Dalam soal kepindahan para eksil dari Tiongkok ke Belanda misalnya. Agak kurang pantas disebutkan di sini terlebih ketika Isa sudah wafat dan tak punya hak untuk mengimbangi tuduhan itu berdasarkan versinya sendiri.

Rahasia Isa

Dia tak pernah terbuka pada saya apakah dia anggota PKI atau tidak. Dia hanya menjawab bahwa dia seorang Sukarnois. Tak lebih, tak kurang. Tapi Isa memang punya hubungan dekat dengan Njoto, pemimpin PKI dan juga redaktur terkemuka di Harian Rakjat. Njoto memang aktif sebagai salah satu ketua OISRAA bersama Utami Suryadarma, ketua umumnya.

Sebagian orang bisik-bisik, kalau Isa jauh lebih beruntung dari eksil lain: keluarganya lengkap. Tak ada istilah derita jauh dari anak dan istri. Semua lengkap mendampingi. Tapi mungkin derita, seperti juga nasib kata Chairil Anwar, adalah kesepian masing-masing. Ia tak terlihat sekilas dari luar.Sawang sinawang, begitu ungkapan orang Jawa.

Berbagai macam cerita berseliweran tentang dia. Minor maupun mayor. Mungkin itu justru membuatnya terlihat sebagai seorang manusia biasa. Bukan malaikat, apalagi iblis. Mungkin juga berbagai macam komentar yang terlontar tentangnya karena dia aktif mencurahkan komentar-komentarnya yang disebarnya sendiri melalui jaringan email (mailing list) dan belakangan melalui media sosial facebook.

“Isa kalau cerita soal pengalaman eksil di Tiongkok nggak usah dipercaya, kalau dia cerita soal Asia Afrika, dia bisa dipercaya,” kata seseorang kepada saya.

Saya belum sempat mengkonfirmasi beberapa kisah kepada Isa, namun sayang dia keburu wafat pada 16 Maret 2016. Selamat jalan, Pak Isa.

Senin, 23 Mei 2016

Lukman, Kisah Tapol Pulau Buru

23 Mei 2016   17:51


visualdocumentationproject.wordpress.com
“Saya tidak terima! Saya manusia bukan binatang. Saya berada disini selama bertahun- tahun tanpa pernah diadili. Adili dan tunjukkan kesalahan saya. Saya tidak terima!” 
Pagi hari pertengahan tahun 1978 itu, Lukman duduk termangu diatas dingklik kayu sambil sesekali menghisap rokok kreteknya. Lelaki berusia empat puluh tahun itu merasa gamang hendak kemana. Haru-biru politik ahir september 1965 telah menyeretnya kemari. Tempat ini bernama pulau Buru, penjara tahanan politik ex G30S PKI. Dia hanya segelintir dari ribuan tapol lainnya yang tidak ada urusannya dengan PKI.

Juni 1965 Lukman baru saja bekerja di Penerbitan itu. Dia bekerja sebagai penterjemah buku-buku asing terutama dari negeri-negeri Timur, seperti Yugoslavia, Rumania atau Cekoslovakia. Dia tidak asing dengan negara-negara itu karena pernah mendapat beasiswa dari pemerintah Rumania untuk belajar Kesusasteraan Rumania di Bucharest, dan sering mengunjungi pertunjukan musik di negara-negara Balkan tersebut.

Lalu terjadilah “Peristiwa berdarah” tersebut. Ternyata pemilik penerbitan tersebut pernah membantu dana penerbitan salah satu buku berhaluan “kiri” sehingga seluruh karyawan penerbitan itu digelandang ke “Guntur” untuk diperiksa. Sejak itu, ia tidak pernah lagi menginjakkan kakinya dirumahnya hingga saat ini.  Catatan di paspor dan beasiswa dari negara berhaluan “kiri” membuatnya mendapat tempat “istimewa” bagi para pemeriksanya.

Setiap hari selama berjam-jam, dia diinterogasi dengan puluhan pertanyaan yang sama dan berulang-ulang. Tak jarang dia disiksa secara fisik dan mental. Berbulan-bulan dia mengalami siksaan tersebut karena tidak mau mengakui perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Tapi ahirnya dia tidak tahan lagi. Manusia memang lebih suka mendengar “apa yang ingin didengarnya” daripada “kebenaran” Dia seorang seniman, dan dia menyihir mereka dengan “bualan segi-tiga Moskwa-Bucharest-Jakarta” “Segi-tiga” itu katanya kalah cepat dengan “poros Peking-Jakarta” yang lebih dahulu melakukan gerakan melalui Aidit.

Kabar pengakuan tersebut, sontak membuat semuanya gempar. Para interogator itu mendapat kenaikan pangkat istimewa, dan membuat mereka semakin bernafsu “ingin mendengar apa yang mereka ingin dengar” dari tahanan lain!

Walaupun Lukman hanya satu-satunya yang bukan “geng” Poros Peking-Jakarta, kasusnya segera ditutup, dan dia tetap dikirim ke pulau Buru sebagai tapol tanpa pernah diadili.

Posisinya yang “istimewa” tersebut membuat tak ada satupun keluarga atau teman yang berani menjenguknya. Perlu waktu yang lama baginya untuk bisa menerima keadaannya itu. Delapan tahun yang lalu dia mendengar kabar isterinya telah menikah lagi, tidak berapa lama setelah kematian ibunya yang sudah lama menjanda itu. Adiknya yang sedang mengambil magister Teknik Industri di Moskow, juga tertahan tidak bisa pulang. Paspor Indonesianya dicabut oleh KBRI Moskow sehingga menjadi warga-negara tak bertuan, melanglang buana ke negara-negara Timur yang menerima suaka politik tanpa bisa memiliki “ID” di negara tersebut.

Kepada ex tapol tersebut, pemerintah memberikan opsi, tetap tinggal di pulau buru,  menjadi transmigran ke kalimantan, atau kembali ketempat asal. Tetapi pada KTP mereka tetap ditandai dengan catatan khusus seperti penyandang lepra, yang membuat mereka tidak akan pernah bisa diterima bekerja, bahkan sebagai kuli bangunan sekalipun!

Lukman memutuskan kembali ke Jakarta. Kini dia telah berdamai dengan dirinya. Dia sudah bisa menerima keadaannya dan menganggapnya sebagai takdir jalan hidup anak manusia. Hatinya sudah beku, pikirannya mungkin sudah tumpul, tetapi api jiwanya tidak pernah padam.  
        
Saat ini hasrat menulisnya seolah tidak tertahankan. Semua hasil tulisannya selama menjadi tapol telah disita. Tetapi mereka lupa, dia seorang seniman. Raganya bisa terkurung, tapi jiwanya tidak akan pernah lupa, dan selalu bebas pergi kemana saja dia mau.

Api jiwanya akan menuliskan kembali seluruh buah pikiran, perasaan hati dan imajinasinya yang selama ini terkekang. Dia tahu tulisannya tidak akan pernah berani diterbitkan oleh penerbit manapun, tetapi dia akan mengakalinya dengan memakai nama samaran.  

Masa yang lalu biarkanlah berlalu, tidak usah lagi melihat kebelakang. Bukankah kata orang life’s begin fourty?

Bahagia itu adalah ketika kita berani mengiklaskan sesuatu hal yang tidak mampu untuk kita robah...


Sabtu, 28 November 2015

Sidik Kertapati, Pejuang yang Terasingkan


28 November 2015   16:35 - Ciput Putrawidjaja*


Banyak pejuang (dan pahlawan) yang terbuang, terpinggirkan, terasingkan atau bahkan sengaja dihilangkan dari lembaran sejarah Indonesia, lantaran pilihan politik yang berbeda dengan pemerintah yang berkuasa. Salah satunya adalah SIDIK KERTAPATI.

Dilahirkan di Klungkung Selatan, Bali pada tahun 1920, Sidik Kertapati merupakan salah seorang pemuda yg terlibat dalam gerakan-gerakan pemuda yg mempersiapkan proklamasi kemerdekaan RI. Sejak masa mudanya, Sidik telah menyatu dengan nasib rakyat kecil yang menderita di bawah penjajahan Hindia Belanda dan kemudian Jepang. Kepeduliannya itu membuat Sidik menceburkan diri dalam berbagai kegiatan perjuangan pemuda melawan penjajahan dan untuk kemerdekaan.

Salah satunya adalah Gerindom (Gerakan Indonesia Merdeka), dimana Sidik menjadi anggota Dewan Eksekutif, yang berjuang untuk berdirinya Negara Indonesia Merdeka. Gerindom didirikan oleh pemuda-pemuda revoluioner anti fasis sebagai reaksi pembubaran PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat).
Berpusat di Jalan Menteng 31 Jakarta, Gerindom banyak melakukan kegiatan-kegiatan membangun jaringan-jaringan bawah tanah pemuda revolusioner anti fasis dengan massa tani, buruh, pegawai kantor, mahasiswa dan angkatan bersenjata. Gerindom juga melakukan hubungan dengan tokoh-tokoh gerakan revolusioner lainnya, misalnya Wikana, Chaerul Saleh dan lain-lainnya dengan pedoman kerja sistem sel dan machtvorming.

Proklamasi Kemerdekaan RI

Menjelang Proklamasi 17 Agustus 45 Sidik melibatkan diri dalam organisasi Angkatan Pemuda Indonesia (API), yang bermarkas juga di Menteng 31. Pada tanggal 16 Agustus 1945, Sidik Kertapati bersama-sama dengan pemuda-pemuda revolusioner lainnya, seperti Sukarni, Wikana, Chaerul Saleh, Aidit, Sidik Kertapati, Darwis, Suroto Kunto, AM Hanafie, Djohar Nur, Subadio, dan lain-lain, melakukan berbagai persiapan menghubungi sel-sel di bawah tanah untuk mempersiapkan kekuatan rakyat dalam menghadapi segala kemungkinan berkaitan dengan rencana Proklamasi Kemerdekaan.

Pada 19 September 1945, Sidik bersama aktivis pemuda lainnya berhasil mengumpulkan 200.000 orang di Lapangan Ikada Jakarta untuk mendengarkan pidato Bung Karno yg hanya berdurasi 10 menit saja, namun mampu menggugah semangat rakyat untuk mendukung kemerdekaan bangsa Indonesia. Sehari sesudahnya, pada tanggal 20 September 1945, pasukan Kempetai Jepang mengepung gedung Jalan Menteng 31 dan melakukan penangkapan Sidik Kertapati dan pemimpin pemuda lainnya.

Selanjutnya mereka ditahan di markas Kempetai (di gedung Mako POM Guntur sekarang) dan kemudian dipindahkan ke penjara Bukitduri. Dari penjara tersebut, Sidik berhasil melarikan diri dan kembali bergabung dengan tokoh-tokoh API lainnya membangun gerakan perlawanan rakyat untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan RI.

Berjuang Dengan Gerilya Bersenjata

Ketika Belanda datang membonceng pasukan Sekutu ke Indonesia, Sidik Kertapati bergabung dalam Laskar Rakjat Djakarta Raja (LRDR). Pada 22-24 November 1946, berlangsung kongres yang membentuk federasi dari berbagai laskar perjuangan rakyat yg ada menjadi Laskar Rakjat Djawa Barat (LRDB). Sidik Kertapati terpilih memimpin organisasi, bersama Astrawinata dan Armunanto.

LRDB tidak setuju dengan hasil persetujuan Linggarjati, menolak hijrah ke Yogyakarta dan memutuskan bergerilya melawan pasukan Belanda dan belakangan melawan DI/TII di wilayah Jawa Barat. Selama bergerilya inilah, Sidik sempat terkena peluru musuh yang sampai akhir hayatnya tetap bersarang di tubuhnya.

Berjuang di Parlemen


Selepas pengakuan kedaulatan RI, Sidik melanjutkan perjuangannya di akar rumput untuk membela kepentingan kaum tani melalui organisasi Sarekat Kaum Tani Indonesia (SAKTI) yang dipimpinnya, yang kemudian berfusi dengan organisasi2 petani lainnya menjadi Barisan Tani Indonesia (BTI).

Perjuangan politiknya tersebut dilanjutkan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebagai anggota parlemen dari fraksi independen, Sidik terkenal dengan "mosi Sidik Kertapati" yang menggugat kebijakan menteri dalam negeri Mr. Mohamad Roem dalam peristiwa Tanjung Morawa di Sumatra Utara pada 16 Maret 1953. Akibat dari mosi ini Kabinet PM Wilopo meletakkan jabatan pada 2 Juni 1953.

Menjadi Eksil Akibat Peristiwa G30S

Peristiwa G30S pada tahun merubah drastis jalan hidup Sidik Kertapati. Karena aktifitas politiknya di dalam BTI, yg berafiliasi dengan PKI (Partai Komunis Indonesia, Sidik akhirnya terpaksa meninggalkan tanah air dan terpaksa puluhan tahun menjalani kehidupan sebagai seorang eksil (exile) untuk menghindari penangkapan dari pemerintah ORBA pasca G30S. Sidik terpaksa berpisah jauh dari isteri tercintanya, S. Rukiah yang seorang pengarang perempuan Indonesia ternama, yang juga jadi korban pemerintah ORBA dan meninggal pada tahun 1996, dan seluruh keluarganya.

Pasca runtuhnya ORBA, dengan bantuan sejumlah mahasiswa yang berempati, pada tahun 2002 Sidik Kertapati akhirnya dapat pulang kembali ke tanah air. Sidik Kertapati meninggal dunia pada usia 87 tahun pada 12 Agustus 2007 dan dimakamkan di Jakarta, masih dalam status Warga Negara Belanda.

Buku "Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945" Karya Sidik Kertapati"

Legacy: Buku "Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945"

Pengalamannya selama masa menjelang dan sesudah proklamasi kemerdekaan RI diabadikan dalam buku "SEKITAR PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945”, yang sudah tiga kali dicetak. Selama masa rezim Orba (1967-1998) buku ini, sebagaimana banyak buku perjuangan revolusioner Indonesia menghilang dari peredaran atau dilarang terbit oleh pemerintah saat itu. Hingga pada tahun 2000, Penerbit Pustaka Pena mencetak ulang karya Sidik Kertapati.

Bagaimana sambutannya dapat dicuplik dari resensi surat kabar “Rakyat Merdeka” 13 Agustus 2000: “Tujuh belas Agustus pekan depan, Republik Indonesia genap 55 tahun. Tanpa terasa negeri ini sudah merdeka lebih dari setengah abad. Buku yang ditulis Sidik Kertapati ini mengungkap saat-saat bersejarah menjelang dan sesudah Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945. Banyak peristiwa penting yang terjadi dalam rentang waktu tersebut, yang tidak diketahui oleh generasi kini.

Gedung Juang Menteng 31, misalnya, tidak banyak generasi sekarang yang tahu kenapa gedung ini dipelihara dan dilestarikan. Gedung tua yang terletak di kawasan Menteng Jakarta Pusat ini dulunya punya andil dalam proses perjuangan bangsa menuju proklamasi.
Di gedung itulah para pejuang kita mengasah otak dan menyatukan pikiran untuk menumpas penjajahan.
“Keistimewaan buku ini, mampu mengungkapkan secara lengkap nama-nama yang terlibat langsung dalam perjuangan di sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 serta menyebut apa peranan masing-masing pemuda ini. Perjuangan kemerdekaan kita adalah perjuangan yang berdarah dari bangsa yang terjajah melawan dan menggulingkan penjajahnya”.

Sumber:

Ciput Putrawidjaja , Praktisi Inovasi dan Inkubasi Bisnis Teknologi Kelautan
Direktur Badan Pengelola Marine Science Techno Park Universitas Diponegoro (MSTP UNDIP)

Selasa, 27 Oktober 2015

Konflik Vertikal dan Horizontal Terjadi Pada Kasus Korban 65


27 Oktober 2015 | Luvina Soenmi

Tom Iljas [Foto: Dok. LBH Padang]

DUA KALI Tom Iljas diusir pemerintah Indonesia. Paspornya pernah dicabut dari Indonesia lantaran huru-hara 1965. Dan 50 tahun kemudian, ia kembali terusir dari Indonesia karena berziarah ke makam orangtuanya di Padang.

Tahun 1960, Tom Iljas mendapat tugas belajar di Peking Institute of Agricultural Mechanization, China. Ia lulus tahun 1965, tepat ketika huru-hara sedang berguncang di Indonesia. Tiba-tiba paspornya ditahan imigrasi. Ia sama sekali tak tahu apa yang terjadi di Indonesia. Selama 18 tahun ia terlempar jadi manusia tanpa kewarganegaraan, hingga akhirnya diterima sebagai warganegara Swedia.

Pada 15 Oktober 2015, ia dideportasi oleh imigrasi. Pada 10 Oktober, Tom Iljas bersama keluarga berangkat ke kampung halamannya, Salido, Painan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, untuk berziarah ke makam keluarga. Perjalanan sekitar tiga jam dari kota Padang.
Esoknya mereka berziarah ke makam ibunda Tom Iljas di pemakaman Kampung Salido. Selanjutnya, mereka meneruskan perjalanan menuju sebuah lokasi yang diyakini penduduk desa sebagai pemakaman massal tempat di mana ayah Tom Iljas berada.

Karena tidak tahu persis lokasi pemakaman massal korban peristiwa 1965, Tom dan keluarga mengajak dua penduduk desa untuk menunjukkan lokasi tersebut. Sampai di lokasi, anggota keluarga Tom Iljas meminta izin kepada pemilik tanah yang baru untuk berdoa. Pemilik tanah bilang agar mereka minta izin pada kepala kampung yang juga sedang ada di tempat itu. Kepala kampung tidak mengizinkan. Karena itu, Tom Iljas beserta keluarga memutuskan pulang dan membatalkan ziarah ke makam ayah Tom Iljas.

Setelah mengantar dua penduduk desa pulang ke rumahnya, rombongan melanjutkan perjalanan ke Padang. Dalam perjalanan, tiba-tiba mobil mereka dihadang oleh mobil polisi berpakaian preman. Mereka menutup jalan dan mengambil kunci mobil. Tom Iljas dan keluarga dibawa ke Polres Pesisir Selatan untuk diinterogasi.

Selama proses interogasi, dari dokumen tertulis, disebutkan bahwa tidak ada pasal yang dikenakan pada Tom Iljas. Namun polisi terus menyatakan bahwa rombongan adalah pembuat film dokumenter di Padang tentang kekejaman terhadap PKI. Keluarga mengalami penekanan dan penggeledahan selama proses pemeriksaan. Mobil digeledah, semua barang disita. Polisi meneror dengan cara membentak dan menggebrak meja. KTP dan Paspor ditahan.

Kewarganegaraan Tom Iljas lah yang kemudian mereka persoalkan. Kapolres Pesisir Selatan menyatakan rombongan dilepas tapi warga asing akan diperiksa terlebih dahulu. Pada 12 Oktober pukul 15.00 rombongan dinyatakan bebas semua. Tom Iljas, karena berstatus warga negara asing (Swedia), dibawa ke imigrasi terkait pemeriksaan administrasi.

Saat diperiksa, Tom Iljas menjelaskan kepada petugas imigrasi bahwa kunjungan yang dilakukannya adalah kunjungan pulang kampung untuk berziarah ke makam orangtua. Ia juga menyatakan keinginan pulang kampung untuk mendokumentasikan tentang kampung halamannya dan diperlihatkan kepada anak-anaknya di Swedia yang belum pernah sekalipun ke kampung halaman orangtuanya.

Pihak imigrasi mempersoalkan alat dokumentasi yang digunakan rombongan Tom Iljas (bukan dipegang oleh Tom Iljas). Pihak imigrasi menyatakan bahwa jika untuk dokumentasi pribadi, harusnya menggunakan kamera HP saja dan menurutnya visa kunjungan wisata tidak boleh dibuat untuk mendokumentasikan (merekam) perjalanan wisata.

Pada 15 Oktober 2015, pihak imigrasi memutuskan Tom Iljas dideportasi dan kena daftar cekal.

Melalui wawancara eksklusif dengan KBR 68 H, Tom Iljas menyatakan keinginannya kembali ke Indonesia.
“Tentu ada keinginan. Tapi sekarang sudah terlambat. Dulu keinginan itu kuat, tetapi setelah pensiun tidak ada yang bisa saya sumbangkan untuk Indonesia. Nanti jadi beban saja.”
“Tetapi ini kan sekunder. Masalah pokok seperti Pak Harto mencabuti paspor orang, itu kan salah, melanggar HAM. Itu harus dikoreksi dengan kebijakan baru, apakah bentuknya Perpres atau keputusan DPR, apa saja yang bisa menganulir keputusan itu. Jadi apakah orangtua itu mau pulang atau tidak, itu pilihan.”

PENCABUTAN paspor menyusul peristiwa Gerakan 30 September 1965 merupakan satu fenomena yang harus dihadapi warga negara Indonesia di luar negeri. Para korban ‘65 ini terpaksa hidup mengembara dari satu negara ke negara lain setelah paspor mereka dicabut oleh negara dan mereka tak bisa pulang ke Indonesia. Mereka dikirim ke luar negeri oleh Presiden Sukarno untuk melanjutkan pendidikan, sebagai utusan Indonesia dalam organisasi, maupun sebagai diplomat.

Selain Tom Iljas, peristiwa pencabutan identitas tersebut juga dialami Ibrahim Isa, kini menetap di Belanda. Pada akhir 1960, Ibrahim Isa bertugas mewakili Indonesia dalam Organisasi Kesetiakawanan Asia Afrika yang berkantor di Kairo, Mesir, bersama perwakilan dari delapan negara lain. Paspornya dicabut setelah mengikuti Konferensi Trikontinental Asia Afrika dan Amerika Latin pada 1966. Ibrahim Isa disebut Gestapu dan pengkhianat bangsa.

Dari Kuba, ia mendapat tawaran bekerja di lembaga riset Asia Afrika di Beijing, Cina dan tinggal di sana selama 20 tahun sampai 1986, sebelum akhirnya menetap di Belanda.

Hal sama menimpa Chalik Hamid. Ia berada di Tirana, Albania, untuk mempelajari kesusasteraan negara itu saat terjadi peristiwa 30 September 1965. Karena paspornya dicabut, Chalik Hamid tak bisa pulang ke Indonesia. Selama 25 tahun ia tinggal di Albania.
“Saya tinggal di sana tanpa paspor, hanya dikasih izin tinggal. Saya tidak boleh meninggalkan kota sejauh 50 kilometer. Jadi tak pernah keluar dari Albania.”
Saat terjadi kekacauan di Eropa Timur pada awal 1990-an, ia pindah ke Belanda dan menetap di sana sampai sekarang.

Lain lagi cerita Sungkono. Saat peristiwa 1965, ia berada di Moskow, sedang belajar teknik mesin dan dikirim oleh Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan sejak tahun 1962. Saat paspornya dicabut pada 1966, Pemerintah Uni Soviet masih memberikan kesempatan kepada Sungkono untuk menyelesaikan sekolah sampai tahun 1967. Ia ditawarkan bekerja dan tinggal di sana.
“Setelah lulus, keinginan kontak keluarga semakin mendalam. Saya berusaha ke Asia dan memilih Tiongkok… Pernah ke Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand untuk menjajaki pulang. Tapi tak berhasil.”
Akhirnya tahun 1981, Sungkono meninggalkan Tiongkok ke Belanda dan pada 1987, ia dan teman-temannya mendirikan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia untuk memelihara hubungan kekeluargaan mereka yang berada di luar negeri, khususnya Belanda.

Diwawancarai BBC, Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam yang menyebut para eksil sebagai “orang-orang Indonesia yang teraniaya”, mengatakan kasus masa lalu ini harus dipilah-pilah karena menyangkut berbagai hal. 
“Soal pencabutan paspor para eksil perlu dijadikan satu kasus. Kemudian kasus diskriminasi anak korban yang tak boleh menjadi pegawai negeri dan tentara pada 1981 dijadikan satu kasus lain,” katanya.
IBARRURI SUDHARSONO AIDIT adalah korban peristiwa 1965 lainnya. Ketika peristiwa itu terjadi, ia baru berusia 16 tahun dan sedang bersekolah di Moskow. Paspornya dicabut dan ia kehilangan kontak dengan keluarganya di Indonesia.

Pada acara soft launching situs 1965tribunal.org di Auditorium International Instituut voor Sociaal Geschiedeness (IISG) di Amsterdam, 17 September 2014, Ibarruri bercerita tentang paranoid warga Indonesia terhadapnya sebagai anak DN Aidit, yang dianggap tokoh PKI.
“Ketika sedang kuliah di luar negeri, saya punya teman bicara yang cukup dekat di kampus. Suatu kali, saya menunjukkan kartu identitas yang memuat nama Aidit. Waktu tahu saya anak Aidit, teman saya terdiam, kemudian lari,” katanya saat menjadi pembicara pada peluncuran situs 1965tribunal.org.
Ibu SH (85 tahun), merupakan janda dari seorang eks-tapol 1965 asal Karangasem, Solo. Ia bercerita mengenai perjuangannya menghidupi delapan putra-putrinya, sementara suaminya berada di tahanan saat peristiwa 1965.

Selama suami berada di tahanan, Ibu SH menuturkan bahwa ia harus mengambil alih peran sebagai kepala keluarga. Status sebagai istri tapol cukup mempersulitnya mendapat pekerjaan. Satu-satunya jalan yang dilakukan adalah dengan berwirausaha, mulai dari usaha ternak ayam broiler, budidaya ikan hias, hingga berdagang beras. Akhirnya Ibu SH mampu mengantar anak-anaknya hingga memperoleh gelar sarjana.

Diskriminasi tak berhenti sampai di sana. Salah seorang putranya pada awalnya diterima bekerja sebagai PNS di salah satu instansi. Namun setelah tahu ayahnya seorang tapol ‘65, tiba-tiba didiskualifikasi begitu saja. Suami Ibu SH hingga akhir hayat tidak mendapat pemulihan nama baik, uang pensiun maupun ganti rugi meski telah mengabdi puluhan tahun di TNI.

Diskriminasi terhadap korban ‘65 masih berlangsung hingga kini. Setahun belakangan, muncul kejadian pengusiran dan pembubaran pertemuan para korban ‘65.

Pertemuan korban ‘65 yang mayoritas lanjut usia, dibubarkan dan diusir paksa oleh sekelompok yang mengatasnamakan warga Bukit Cangang, Bukit Tinggi, pada 22 Februari 2015. Pertemuan tersebut dihadiri sekitar 200-an korban ‘65 dari berbagai wilayah di Sumatera Barat untuk berdialog dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Komnas HAM, serta Nursyahbani Katjasungkana, pengacara korban ‘65. Tujuannya untuk berdialog dengan lembaga negara untuk mendengar persoalan para korban, terutama kebutuhan mendesak korban ‘65 dan keluarganya.

Jelang pertemuan dimulai, tiba-tiba terdengar teriakan massa yang mengatasnamakan warga untuk membubarkan pertemuan dengan alasan tidak dihadiri lembaga negara dan tidak melibatkan seluruh warga. Padahal penyelenggara negara sudah berkoordinasi tertulis dengan kepolisian, kejaksaan, dan pihak lainnya.

Warga membubarkan acara tersebut degan memukul benda-benda sambil berteriak, “potong-potong jadi tujuh”, “bunuh sekarang”, “sudah bau tanah”, “binatang”. Warga menarik dan mendorong para korban ‘65 dari rumah pertemuan. Para lansia ketakutan, lari kocar-kacir, dan terjatuh. Aparat keamanan yang hadir menenangkan warga dan memilih setuju dengan desakan massa untuk membubarkan pertemuan, dengan alasan agar tidak memuncak menjadi tindakan kekerasan.

Kejadian serupa juga terjadi di Surakarta, 24 Februari 2015. Beberapa organisasi masyarakat, termasuk Front Pembela Islam Surakarta, melarang seminar yang diselenggarakan Sekretariat Bersama Korban ‘65 di Surakarta. Seminar dengan tema Layanan Kesehatan Korban Tragedi 1965/1966 untuk Mewujudkan Rekonsiliasi” tersebut dinilai menghidupkan kembali komunisme.

Ormas tersebut menggelar aksi demo di sekitar lokasi penyelenggaraan acara. Mereka menolak acara berbau komunis itu diselenggarakan di Kota Solo. Polisi berjaga di sekitar lokasi acara. Peserta kesulitan masuk ke lokasi. Karena itu, pihak penyelenggara akhirnya memilih membatalkan acara tersebut.

Acara Semiloka Korban ‘65 di Salatiga pada 7-8 Agustus 2015 juga batal terselenggara karena aksi intimidasi dan teror oleh sekelompok fundamentalis atas nama FPI dan GPI. Padahal acara tersebut sudah medapat izin dari pemilik Wisma LP3S, tempat acara digelar, serta Walikota Salatiga dan pihak kepolisian.

Kasus terbaru terkait peristiwa ‘65 adalah pembredelan majalah mahasiswa Lentera yang dikelola mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Majalah Lentera Edisi Salatiga Kota Merah terbit pada 9 Oktober 2015. Para jurnalis majalah tersebut melakukan penelusuran terhadap Walikota Salatiga, Bakri Wahab, yang diduga merupakan anggota PKI. Selain itu, mereka juga mengupas peristiwa pembantaian simpatisan dan terduga PKI di Salatiga dan sekitarnya dengan melakukan investigasi di beberapa titik pembantaian.

Sepekan setelah terbit, Pemimpin Redaksi Majalah Lentera, Bima Satria Putra, dipanggil Rektor Universitas Kristen Satya Wacana serta jajaran universitas lainnya. Hasil pembicaraan saat itu, dikabarkan bahwa redaksi harus menarik semua majalah yang tersisa di agen-agen. Bahkan, polisi dikabarkan secara sepihak telah menarik majalah tersebut dari peredaran dengan alasan menciptakan situasi kondusif pada masyarakat.
Puncaknya, Minggu, 18 Oktober 2015, Pemimpin Umum Lentera, Arista Ayu Nanda, Pemimpin Redaksi, Bima Satria Putra, dan Bendahara, Septi Dwi Astuti, diinterogasi di Mapolres Salatiga.

Polisi berdalih penarikan Majalah Lentera setelah menerima protes dari sejumlah organisasi masyarakat yang mempersoalkan sampul depan majalah tersebut. Cover yang dipersoalkan adalah gambar bendera palu arit. Judulnya Salatiga Kota Merah, juga dipersoalkan. Polisi minta majalah yang sudah beredar ditarik kemudian diserahkan ke Polres.

ASVI WARMAN ADAM, Sejarawan LIPI, dalam opininya untuk Koran Kompas, 30 September 2015, menulis lima episode kajian peristiwa 50 tahun tragedi 1965 dari perspektif sejarah.
“Pada tahap pertama diperdebatkan siapa di balik peristiwa itu. Fase berikutnya merupakan periode yang panjang, berupa monopoli sejarah sepanjang Orde Baru, hanya versi tunggal pemerintah yang diperbolehkan. Pada episode ketiga, korban mulai bersuara setelah Soeharto berhenti sebagai presiden tahun 1998. Tahun 2008 sudah muncul narasi baru yang utuh mengenai Gerakan 30 September (G30S), seperti ditulis John Roosa yang menjadi tonggak keempat. Episode kelima ditandai dengan pemutaran film The Act of Killing (2012) dan The Look of Silence (2014), yakni ketika para pelaku mulai berterus terang.”
Kemajuan kajian mengenai Gerakan 30 September 1065 telah menciptakan gagasan rekonsiliasi nasional dari Presiden Joko Widodo yang disampaikan saat pidato kenegaraan, Agustus 2015. Jokowi lebih memilih jalur non-yudisial karena menganggap akan sulit melakukan pembuktian dan mengungkap kebenaran atas peristiwa yang sudah terjadi 50 tahun tersebut melalui jalur pengadilan.

Di sisi lain, sejumlah aktivis hak asasi manusia, akademikus, dan jurnalis menggagas pembentukan pengadilan rakyat peristiwa 1965. Pengadilan itu akan diadakan di Den Haag, 11-13 November 2015. Nursyahbani Katjasungkana, koordinator tim pembentukan pengadilan rakyat 1965 menyatakan, International People’s Tribunal on 1965 (IPT 1965) diadakan untuk membuktikan terjadinya genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang selama ini tidak pernah diakui oleh negara.

Putusan IPT 1965 akan dikeluarkan pada tahun 2016. Hasil putusan akan diberikan kepada Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, dengan harapan akan keluar Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dengan begitu, kata Nursyahbani seperti dikutip dari situs Tempo, terbuka peluang komunitas internasional mengeluarkan desakan agar Indonesia memenuhi tuntutan dalam putusan IPT 1965.

DARI PAPARAN kasus-kasus di atas, terlihat bahwa para korban ‘65 mengalami konflik vertikal maupun konflik horizontal. Konflik vertikal terjadi pada kasus pencabutan paspor oleh Soeharto saat huru-hara 1965. Soeharto menganggap utusan Indonesia yang sekolah atau menjadi diplomat di luar negeri adalah antek-antek PKI. Praktik yang dilakukan Soeharto, dalam kasus pencabutan paspor yang menimpa Tom Iljas, Ibrahim Isa, Chalik Hamid, Sungkono, menggunakan tangan imigrasi. Konflik ini berlangsung antara negara/aparat negara, melalui tangan Soeharto maupun imigrasi (lembaga negara), dengan warganegara, baik secara individual maupun secara berkelompok.

Terkait konflik vertikal, peristiwa terbaru terjadi pada acara Ubud Writers and Readers Festival di Bali. Pada 23 Oktober 2015, panitia penyelenggara secara resmi mengumumkan pernyataan pembatalan tiga diskusi panel terkait rekonsiliasi dan pemulihan peristiwa Gerakan 30 September 1965, yakni pemutaran film The Look of Silence karya Joshua Oppenheimer dan pameran, serta peluncuran buku The Act of Living tidak dapat dilaksanakan.

Polres Gianyar mengeluarkan larangan diskusi tersebut. Kapolres Farman menyatakan masih ada larangan tentang ajaran-ajaran PKI, sesuai TAP MPRS 1966.
“Itu masih berlaku,” katanya seperti dikutip dari media Tempo. “Dan masih ada Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang pidana yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara,” tambahnya.
Rezim neo-fasistik militeristik ala Orde Baru yang menyebabkan petaka disintegrasi masih berlangsung hingga kini. Padahal aturan hukum terkait diskriminasi negara terhadap para korban 1965 sudah dihapuskan.
Mahkamah Agung dalam putusan Nomor 33 P/HUM/2011 tanggal 2 Desember 2013 telah menyatakan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1975 tentang Perlakuan Terhadap Mereka yang Terlibat G.30.S/PKI golongan C tanggal 25 Juni 1975 beserta seluruh peraturan di bawahnya sudah dihapuskan.

Keppres tersebut dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu: Pasal 27 ayat (1), pasal 28 D ayat (1) Perubahan kedua UUD 1945, pasal 28 D ayat (3) Perubahan kedua UUD 1945, Pasal 28 I ayat (2) Perubahan kedua UUD 1945; Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; Pasal 23 Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian; Pasal 17 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Pasal 26 Konvenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005.

Terkait hak politik eks PKI dan/atau keturunannya, yang pernah mengalami perlakuan diskriminatif pada masa sebelumnya, hak tersebut sudah dikembalikan sesuai dengan semangat keadilan, hukum, demokrasi dan hak asasi manusia.

Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 011-017/PUU-I/2003 yang merupakan hasil Judicial Review atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Pasal 60 huruf g. MK menyatakan Pasal 60 huruf g dalam undang-undang tersebut berbunyi: “Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam G.30.S/PKI atau organisasi terlarang lainnya” dibatalkan.

Di Indonesia, memang masih ada aturan hukum yang melarang komunis, yaitu TAP MPRS 1966 dan UU Nomor 27 Tahun 1999, seperti yang dijelaskan Polres Gianyar AKBP Farman di atas.

Tahun 2003 terjadi upaya penghapusan sedikit demi sedikit TAP MPR sebagai sumber hukum dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Selanjutnya lahir Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perudang-undangan, yang tidak memasukkan TAP MPR sebagai salah satu sumber hukum.

Namun, Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan seluruh ketetapan dalam ketentuan ini diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

Ideologi ajaran komunisme dianggap bertentangan dengan ideologi Negara Republik Indonesia sehingga TAP MPRS 1966 tetap dipertahankan. Ketetapan ini dinyatakan memiliki semangat “aturan dasar bernegara” untuk menyelamatkan ideologi Pancasila dan mencegah kembali terjadinya tragedi politik seperti G.30.S/PKI.

UU No. 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara juga memuat larangan komunis di Indonesia dan masih berlaku hingga kini. Ia dapat ditemukan pada Pasal 107 a (menyebarkan ajaran komunisme dalam segala bentuk dan perwujudannya), Pasal 107 c (menyebarkan ajaran komunisme yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, menimbulkan korban jiwa dan atau kerugian harta benda), dan Pasal 107 d (menyebarkan ajaran komunisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara).

Selain konflik vertikal, para korban 1965 juga mengalami konflik horizontal, yakni terjadi antar kelompok-kelompok masyarakat di berbagai lokasi di Indonesia. Menurut Tamrin Amal Tamagola dalam makalahnya berjudul Dinamika Konflik Identitas dalam Sejarah Menuju Bangsa Berwatak, biasanya konflik horizontal ditandai oleh suatu sentimen subyektif yang sangat mendalam kental diyakini oleh para warganya, berupa sentimen kesukuan maupun sentimen keagamaan.

Konflik horizontal tersebut ditunjukkan melalui diskriminasi dan stigma antara masyarakat terhadap para korban ‘65, seperti yang dialami Ibarruri Sudharsono Aidit, anak dari DN Aidit, di mana temannya langsung lari begitu tahu bahwa Ibrarruri anak dari Aidit, dianggap tokoh PKI.

Pembubaran paksa kegiatan-kegiatan yang digelar para korban 1965 oleh sejumlah kelompok tertentu, juga menunjukkan terjadinya konflik horizontal. Seperti pembubaran acara korban ‘65 di Padang, Surakarta, dan Salatiga, seperti peristiwa yang sudah digambarkan di atas.

Timbulnya gagasan menyelenggarakan pengadilan rakyat peristiwa 1965 (IPT 1965) di Den Haag November 2015 ini merupakan wujud gerakan rakyat yang tak puas dengan penyelesaian perkara 1965 oleh negara. Janji Jokowi menuntaskan kasus pelanggaran HAM yang menimpa para korban 1965 saat kampanye tahun lalu belum terlihat realisasinya. Bahkan pada Agustus 2015, Jokowi menyatakan akan melakukan upaya rekonsiliasi non-yudisial karena menganggap proses pengadilan sangat sulit dilakukan.

Padahal tahun 2012 lalu, Komnas HAM sudah mengumumkan bahwa peristiwa 1965 merupakan pelanggaran HAM berat. Pelakunya harus dihukum. Film The Act of Killing dan The Look of Silence karya Joshua Oppenheimer semakin membuka mata terkait perlakuan para jagal di masa lalu. Mestinya Jokowi bisa lebih ‘garang’ mengungkap kejahatan masa lalu terkait peristiwa Gerakan 30 September 2015.