January 22, 2020 - by Juke Carolina - Wo/Men We Love
Sebuah wawancara dengan Rony Marton, orang eksil
Indonesia yang menjadi bintang pop di Cekoslowakia pada 1970an.
Nama Rony Marton mungkin tidak tenar di Indonesia, tetapi
pada tahun 1970-an di Cekoslowakia, Rony mengundang perhatian publik sana.
Ia adalah pelajar Indonesia yang berkuliah di Eropa
ketika Jenderal Soeharto mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno pada
tahun 1965. Kala itu, pemerintahan Orde Baru melarang ratusan pelajar
pro-Soekarno seperti Rony untuk pulang ke tanah air. Ini memicu pembersihan
paling parah kaum intelektual sepanjang sejarah Indonesia.
Soeharto memimpin selama 32 tahun di bawah rezim Orde
Baru, yang kemudian ditumbangkan dengan tudingan korupsi besar-besaran dan isu
pelanggaran hak asasi manusia.
Setelah menyelesaikan studi di Cekoslowakia, Rony menjadi
penyanyi pop pada sekitar tahun 1970. Laki-laki itu baru bisa kembali ke
Indonesia seusai mundurnya Presiden Soeharto pada 1998.
Juke Carolina dari Global Voices Indonesia mewawancarai
Rony, yang membagikan kisah perjalanannya dari Asia ke Eropa, dan bagaimana ia
mendulang ketenaran di Cekoslowakia.
Global Voices: Halo, Pak Rony. Terima kasih sebelumnya
karena sudah memberi kesempatan bagi Global Voices untuk melakukan wawancara
ini. Boleh diceritakan bagaimana Anda bisa menjadi pelajar di Cekoslowakia?
Rony Marton (RM): Nama asli saya Jaroni
Surjomartono, saya lahir di Kudus pada tahun 1943, tetapi dibesarkan di Solo,
Jawa Tengah, sejak saya kanak-kanak.
Setelah lulus SMA, saya kuliah di Universitas Gadjah Mada
(UGM), mengambil jurusan Ekonomi Perusahaan. Sesudah lulus dari kampus
Bulak Sumur di Yogyakarta, saya mendaftar beasiswa ke Kementerian Riset dan
Pendidikan Tinggi untuk menjadi mahasiswa di Jepang. Tetapi, program
beasiswanya sudah berakhir. Lalu saya mengikuti tes dan pelatihan selama dua
bulan sebelum akhirnya saya menerima sebuah telegram yang menyatakan saya
mendapat beasiswa di Cekoslowakia pada 1963.
Apa yang terjadi setelah Anda tiba di Eropa, dan
peristiwa apa yang membuat Anda tidak bisa kembali ke Indonesia?
Bersama 35 mahasiswa Indonesia lainnya, kami mengikuti
kursus bahasa Ceko selama sepuluh bulan. Selepas kursus, kami masuk kuliah di
kampus-kampus yang kami pilih. Saya masuk University of Economics di Praha
(Vysoká Škola Ekonomická VŠE).
Pada 1965, saya terpilih sebagai ketua Perhimpunan
Pelajar Indonesia (PPI) di Cekoslowakia. Seiring kudeta 30 September 1965
terhadap Presiden Soekarno oleh Kolonel Suharto dan antek-anteknya, semua
paspor anggota PPI dicabut sekitar pertengahan tahun 1966.
Kedutaan besar Indonesia di Praha tidak memperpanjang
paspor-paspor yang kedaluwarsa. Sekitar 100 dari 200 anggota PPI kemudian
memutuskan untuk meninggalkan asosiasi pelajar kami dan bergabung dengan
kelompok yang dibentuk oleh Kedutaan Besar Indonesia di Praha, yang juga
dinamai PPI. Paspor orang-orang yang bersekutu dengan Kedutaan Besar lantas
bisa berlaku kembali.
Apa yang terjadi pada Anda dan pelajar-pelajar lain yang
dilarang kembali ke Tanah Air?
Permasalahan yang kami hadapi mencakup permohonan izin
tinggal bagi yang tidak lagi memegang paspor berlaku, izin supaya bisa
menyelesaikan studi, dan perihal akomodasi untuk pelajar. Itu adalah tiga permintaan
yang kami ajukan kepada pemerintah Cekoslowakia.
Beberapa minggu setelah mengajukan permintaan-permintaan
tersebut, kami mendapat jawaban memuaskan, yang sejujurnya melebihi harapan
kami. Pertama, kartu tinggal kami diperpanjang masa berlakunya (bahkan tanpa
memegang paspor Indonesia) sampai studi kami selesai. Izin tinggal di asrama
mahasiswa juga diperpanjang. Kedua, sesudah lulus, kami bisa memilih untuk
tetap tinggal di Cekoslowakia atau pindah ke negara lain (agi mereka yang ingin
pindah, pemerintah Cekoslowakia akan mengatur dokumen perjalanan
berdasarkan hukum PBB.
Di Cekoslowakia, kami mendapat perlindungan sebagai
pengungsi di bawah naungan Palang Merah Internasional di Cekoslowakia). Bagi
para pelajar yang mau menetap di Cekoslowakia, mereka mendapat izin tinggal
permanen.
Kondisi-kondisi ini sangat baik dan memungkinkan kami
menyelesaikan studi serta melanjutkan hidup dengan tenang. Saya pribadi merasa
berutang serta berterima kasih pada pemerintah Cekoslowakia kala itu, yang
tidak melupakan tradisi historis mereka sejak 1930an, ketika Republik
Cekoslowakia memberi perlindungan bagi warga Yahudi dan siapa pun yang
menentang kekejaman Nazi di Jerman.
Generasi muda harus terbuka terhadap dialog sebelum
menentukan sikap. Ambil jarak dari segala bentuk fanatisme dan radikalisme.
Pelajari sejarah negeri; jadilah peka terhadap apa pun yang tampak mengancam
demokrasi dan kemanusiaan.
Apa yang terjadi
pada keluarga Anda di Indonesia, serta relasi Anda dengan warga Indonesia lain
yang tinggal di Praha pada masa pemerintahan Orde Baru?
Segera setelah paspor kami dicabut pada akhir 1966,
kontak kami dengan Kedutaan Besar Indonesia terputus dan kami dijauhi oleh
warga Indonesia lain di Cekoslowakia. Para pelajar pro-Soeharto tidak mau
berbaur dengan kami—pihak anti-Soeharto.
Orang tua saya di Indonesia hanya mendengar kabar
kepelikan yang saya hadapi waktu itu sekitar dua atau tiga tahun setelah
kejadian September 1965. Mereka sedih, namun mereka cukup lega setelah
mengetahui kami bisa terus tinggal dan melanjutkan studi (mereka mengira
Soeharto akan dimakzulkan dalam lima atau sepuluh tahun dan digantikan dengan
pemerintahan yang demokratis).
Dalam perjalanan pulangnya setelah berziarah ke Makkah,
ibu saya mengunjungi saya di Praha dan meminta saya untuk tidak pulang ke
Indonesia untuk sementara, lantaran apa yang dilakukan keluarga Soeharto di
kampung kami di Solo. Ia (menurut pengakuannya) menerima ketidakhadiran saya,
dan cucu-cucunya, selama kami aman sampai Orde Baru diruntuhkan. Ibu saya
adalah orang yang apolitis, tetapi ia mampu menilai betapa brutal dan
serakahnya rezim Orde Baru saat itu.
Bisa Anda ceritakan
bagaimana Anda kemudian menjadi bintang pop di Cekoslowakia?
Saya memang sudah suka musik, main gitar, dan menyanyi
sejak masih jadi pelajar di Indonesia. Di sekolah (SMA) di Solo, saya adalah
pemimpin band di sekolah, dan juga memimpin paduan suara yang terdiri
dari delapan perempuan. Di rumah, saya memimpin band gambus (kini
lebih dikenal sebagai dangdut) dan band dengan aneka aliran musik.
Waktu kuliah di UGM, ada lomba menyanyi waktu kegiatan
plonco. Saya ikut dan menang. Saya sempat direkrut sebagai penyanyi di
sebuah band bernama GAMA. Waktu itu band tersebut sangat
populer di kalangan mahasiswa.
Walaupun ada beberapa orang Cekoslowakia pada awal abad
20 yang tinggal dan terinspirasi dengan kepulauan Indonesia, seperti pujangga
dan penulis Konstantin Biebl, pengetahuan publik Cekoslowakia seputar Indonesia
masih terbatas. Jadi, di mana pun saya tampil, butuh waktu untuk memberi tahu
mereka tentang Indonesia dan sejarahnya.
Salah satu hal paling berkesan sepanjang karier saya
terjadi pada konser saya pada musim panas tahun 1975. Ketika itu 4.000 pelajar
bernyanyi bersama saya saat saya menyanyikan lagu Batak, Sing Sing So, di
panggung terbuka. Saya juga pernah berkolaborasi dengan penyanyi Ceko dan
penyanyi Slowakia untuk merekam beberapa lagu di piringan hitam.
Sejak 1986, saya lebih sedikit tampil dalam konser.
Sekarang, saya hanya bernyanyi untuk acara amal atau sekadar bersenang-senang.
Anda adalah bagian
dari “generasi intelektual yang hilang” akibat politik Orde Baru. Bagaimana
komentar Anda tentang itu dan apa harapan Anda untuk masa depan Indonesia?
Berdasarkan pengalaman kami pada 1965, ada banyak faktor
yang menimbulkan macam-macam dampak. Politik Orde Baru melarang kami untuk
pulang. Bila kami pulang, kami akan berakhir di penjara atau ditembak penembak
jitu [catatan penulis: selama Orde Baru, ada kelompok penembak jitu elite yang
dikenal dengan sebutan Petrus.
Mereka dikerahkan
oleh rezim berkuasa untuk membungkam kritik dengan alasan “menjaga ketertiban
umum”]. Dengan berada di luar negeri, kami terlindungi dari aksi ekstrayudisial
dan penghilangan paksa.
Saya melihat penghilangan generasi intelektual dari sudut
pandang positif. Bagi saya, waktu dan harapan akan masa depan menyembuhkan luka
lama. Untuk generasi muda Indonesia, saya berharap mereka dapat terus memiliki
pemikiran kritis terhadap hal-hal yang masih belum terungkap di Indonesia,
mampu mengumpulkan informasi, dan terbuka terhadap dialog sebelum menentukan
sikap mereka terhadap hal-hal tertentu. Ambil jarak dari segala bentuk
fanatisme dan radikalisme.
Pelajari sejarah negeri kita sehingga kamu tidak
mengulangi kesalahan-kesalahan yang dilakukan generasi terdahulu. Jadilah peka
terhadap fenomena apa pun yang tampak mengancam demokrasi dan kemanusiaan.
Artikel ini pertama
kali dipublikasikan dalam bahasa Inggris di Global
Voices, sebuah komunitas internasional dengan ragam bahasa untuk para
blogger, jurnalis, penerjemah, akademisi, dan aktivis HAM. Diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia oleh Patresia Kirnandita.
0 komentar:
Posting Komentar