HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Amnesty International. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Amnesty International. Tampilkan semua postingan

Selasa, 10 Desember 2019

Pemerintah Akan Telekonferensi dengan Profesor AS soal Pembentukan KKR


Kompas.com - 10/12/2019, 20:09 WIB
Penulis : Ihsanuddin
Editor : Icha Rastika

Kepala Kantor Staf Kepresidenan Moeldoko saat ditemui di kantornya, Gedung Bina Graha, Istana Kepresidenan, Jakarta pada Senin (4/11/2019).(KOMPAS.com/RAKHMAT NUR HAKIM).

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah berencana menggelar telekonferensi dengan salah satu profesor di Amerika Serikat ( AS) terkait pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR).
"Kita ingin perkuat pandangan dari dunia luar seperti apa. Hari Rabu kalau enggak salah kita akan telekonferensi dengan salah satu profesor Amerika yang ahli di bidang KKR itu," kata Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (10/12/2019).
Moeldoko mengatakan, pemerintah tengah mencari formula terbaik terkait pembentukan KKR.

Pemerintah ingin pembentukan KKR ini nantinya bisa benar-benar efektif untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
"Ya itu makanya kita cari formula yang terbaik," kata Moeldoko.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD memastikan, pemerintah akan mendengarkan semua pihak terkait penyelesaian kasus HAM masa lalu ini, termasuk kelompok aktivis ham.
"Ya aktivis HAM iya. Kita dengarkan semua. Kalau mendengarkan satu kan enggak sempat juga. Semua didengar," ujar dia.
Kompas.Com 

Kamis, 17 Oktober 2019

Amnesty Internasional Sebut 9 Isu HAM yang Harus Diprioritaskan Jokowi-Ma'ruf


Kompas.com - 17/10/2019, 18:54 WIB
Penulis : Deti Mega Purnamasari
Editor : Diamanty Meiliana

Manajer Riset Amnesty International Indonesia Papang Hidayat di Kantor Ombudsman RI, Rabu (10/7/2019).(KOMPAS.com/Ardito Ramadhan D)

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Ma'ruf Amin periode 2019-2024 diminta untuk memprioritaskan penyelesaian 9 isu HAM. Peneliti Amnesty Internasional Papang Hidayat menyebutkan, tidak hanya oleh pemerintah, tetapi juga oleh parlemen yang baru.

"Berdasarkan puluhan tahun riset dan monitoring situasi di Indonesia, kami hasilkan 9 isu HAM yang harus diselesaikan pemerintah dan parlemen," kata Papang dalam diskusi Proyeksi 5 Tahun Pemerintahan Mendatang bertema HAM di kawasan Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Kamis (17/10/2019)
Kesembilan isu HAM tersebut adalah sebagai berikut:

1. Hak Atas Kebebasan Berekspresi Papang mengatakan, pihaknya khawatir ruang-ruang sipil untuk kebebasan berekspresi akan semakin terbatas. Baik itu ekspresi politik, religius, maupun estetis yang dilakukan dengan cara damai.
"Indonesia sampai sekarang adalah salah satu negara terbaik dalam rezim HAM internasional untun meratifikasi semua konvensi HAM pokok. Dari 9 instrumen HAM pokok, Indonesia sudah ratifikasi 8. Tapi implementasi dan kepatuhannya jauh," kata dia
Hal ini membuat pihaknya prihatin. Salah satu contohnya adalah karena masih didapati aparat yang berperilaku represif.

2. Hak Atas Kebebasan Berpikir, Berkeyakinan, Beragama, dan Berkepercayaan Papang menyebutkan, pihaknya terus mencatat banyaknya pelanggaran terhadap hal tersebut. Dia menilai, agama minoritas di Indonesia mengalami diskriminasi sistemik.
"Kami juga telah mencatat adanya penutupan dan pengambilalihan tempat ibadah oleh otoritas setempat," kata dia.
3. Memastikan Akuntabilitas Atas Pelanggaran HAM oleh Aparat Keamanan   
"Kami terus menerima laporan tentang pelanggaran HAM serius oleh polisi dan militer, termasuk pembunuhan di luar hukum, penggunaan kekuatan yang tak perlu, penyiksaan atau merendahkan martabat lainnya," kata Papang.
Menurut dia, tak ada mekanisme independen, efektif, dan tak memihak untuk menangani aduan masyarakat tentang perilaku buruk aparat tersebut.

4. Menetapkan Pertanggungjawaban Atas Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Jokowi, kata dia, telah berjanji untuk meningkatkan penghormatan terhadap HAM, termasuk mengatasi semua pelanggaran HAM di masa lalu melalui sistem peradilan untuk akhiri imunitas.
"Hal ini belum terealisasi. Menurut beberapa pejabat tinggi, pemerintah akan membentuk mekanisme non-yudisial untuk menyelesaikannya. Namun kelompok-kelompok penggiat HAM dan para korban prihatin proses tersebut dapat menghalangi upaya untuk menuntut kebenaran dan keadilan," kata dia.
5. Menjunjung Tinggi Hak Perempuan dan Anak Perempuan Papang menilai, pemerintah masih gagal dalam mengambil langkah efektif untuk memberi keadilan, kebenaran, dan reparasi bagi perempuan dan anak perempuan yang menjadi korban pelanggaran HAM masa lalu.

6. Menhormati HAM Papua
"Papua semakin memburuk. Periode kedua Jokowi dimulai dari situasi Papua yang tidak membaik," kata dia.
Oleh karena itu, kata dia, pihaknya meminta agar ada langkah yang ditempuh untuk memastikan bahwa seluruh aparat keamanan yang terlibat dalam pelanggaran HAM di Papua bertanggung jawab.

7. Memastikan Akuntabilitas Pelanggaran HAM di Sektor Bisnis Kelapa Sawit Papang mengatakan, pihaknya menemukan kasus kerja paksa, pekerja anak, pemotongan gaji, dan pembayaran sewenang-wenang di bawah upah minimum regional (UMR).
"Indonesia memiliki kewajiban untuk menghormati dan melindungi HAM dalam konteks kegiatan perusahaan melalui peraturan, pengawasan, investigasi, ajudikasi, dan hukuman," kata dia.
8. Menghapus Hukuman Mati untuk Semua Kejahatan Papang menilai, Jokowi bernafsu dalam mengeksekusi mati para terpidana narkoba.
Namun, walaupun tak ada eksekuti mati yang dilakukan sejak 2016, tetapi pengadilan Indonesia terus menjatuhkan hukuman mati baru terhadap kejahatan yang berkaitan dengan narkoba.
 "Penggunaan hukuman mati untuk pelanggaran terkait narkoba adalah masalah khusus, karena kejahatan tersebut tidak memenuhi standar kejahatan paling serius," kata dia.
9. Akhiri Pelecehan, Intimidasi, Serangan, dan Diskriminasi LGBTI Sejak awal 2016, terdapat inisiatif yang terencana dan konstan dari para politisi untuk menepikan orang-orang LGBTI di Indonesia.
"Mereka dijustifikasi dengan tafsir nilai-nilai keagamaan yang melabeli LGBTI sebagi pendosa atau sakit jiwa," kata dia.

Sabtu, 27 Juli 2019

Upaya Kosong Rekonsiliasi Pembantaian ’65


27 Juli 2019

©Rizky/Bal

Penyelesaian kasus Pembantaian 1965-1966 (Pembantaian ’65) adalah pekerjaan yang pelik hingga saat ini. Rupanya di Indonesia, lebih mudah untuk memasukkan unta ke dalam lubang jarum daripada menyelesaikan kasus Pembantaian ’65. Dilansir dari Historia, pada tahun 2016 lalu International People’s Tribunal (IPT), sebuah LSM internasional, merilis laporan akhir. Berdasar laporan tersebut, setidaknya terdapat 10 bukti tindak kejahatan yang dilakukan Indonesia dalam kasus Pembantaian ’65.
 Bukti tindak kejahatan tersebut diperoleh melalui penyelidikan IPT 65, badan turunan dari IPT. Meskipun tidak memiliki kekuatan hukum apapun, keputusan IPT adalah langkah maju bagi penyelesaian pelanggaran HAM.

Akan tetapi, meski telah ada inisiatif internasional untuk pengusutan kasus Pembantaian ’65, namun sikap pemerintah terlihat enggan menanggapi hasil pengusutan tersebut secara substansial. Seperti yang dilansir dari laman resmi IPT 65, Kejaksaan Agung tidak segera menindaklanjuti fakta temuan IPT sebagai bukti hukum. Sikap itu dipertegas oleh kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kedua pasangan calon presiden pada debat bertopik Hukum, HAM, dan Terorisme tak menyinggung kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Termasuk peristiwa  Pembantaian ’65, salah satu kasus pelanggaran HAM berat menurut Komnas HAM.

Menanggapi hasil penyelidikan IPT 65 tersebut, BALAIRUNG mewawancarai Usman Hamid selaku Direktur Amnesty International untuk Indonesia dan Aktivis HAM. Ia terus mendesak pemerintah untuk mengusut peristiwa tersebut melalui upaya rekonsiliasi. Guna mendapatkan gambaran yang lebih jernih terhadap pengusutan dan rekonsiliasi peristiwa Pembantaian ’65, berikut hasil wawancara BALAIRUNG.

Apa itu rekonsiliasi? Mengapa hal tersebut penting untuk dilakukan?

Rekonsiliasi adalah pemecahan masalah terhadap sistem yang menindas. Biasanya dilakukan setelah masyarakat melalui penindasan itu dalam periode yang cukup panjang. Baik itu di bawah kediktatoran militer, atau totalitarian komunis. Rekonsiliasi juga bermakna mengubah dan meninggalkan sistem antikemanusiaan yang bekerja dalam suatu negara-bangsa. Misalnya, atas nama antikomunisme di masa Orde Baru (Orba), seluruh pranata hukum, politik, badan peradilan, dan keamanan diorientasikan untuk membenarkan praktik-praktik antikemanusiaan. Praktik itu ditujukan terhadap siapapun yang dituduh komunis, baik yang betul-betul anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) atau sekadar dianggap komunis. Pembenaran itu dilakukan dengan beragam cara seperti doktrin, dogma dan segala bentuk propaganda yang diciptakan hingga masuk ke seluruh sistem pendidikan. 

Sejak kapan wacana rekonsiliasi ini hadir?

Pada tahun 1998 sebenarnya sudah muncul wacana rekonsiliasi. Upaya itu kemudian dirumuskan hingga mendetail berupa identifikasi bentuk-bentuk penyimpangan di masa Orba seperti penyalahgunaan kekuasaan, kekerasan, hingga pelanggaran HAM. Selain mengidentifikasi, upaya tersebut juga mendorong proses pengungkapan kebenaran tentang apa yang terjadi di masa lalu. 

Apa tujuan dari rekonsiliasi?    

Rekonsiliasi adalah bagian dalam perbaikan sejarah yang telah menyimpang dan diseragamkan di masa lalu. Rekonsiliasi ditujukan untuk memperbaiki seluruh sistem yang salah dan memberi keadilan kepada korban. Upaya rekonsiliasi berusaha mengakhiri sebuah sistem penindasan struktural terhadap mereka yang dicap komunis. Sebuah persoalan yang coba dipecahkan tapi tidak pernah berhasil dilakukan. Usaha-usaha untuk melawan propaganda sebenarnya telah muncul sejak awal Orba tapi tidak pernah berhasil.

Siapa saja terlibat dalam rekonsiliasi?

Rekonsiliasi ditujukan kepada korban langsung. Para korban tersebut harus mendapatkan pengakuan atas apa yang mereka alami. Tentu saja, mereka yang paling bertanggung jawab atas penyimpangan di Orba harus didorong melakukan pertanggungjawaban.

Kemudian, dalam konteks Pembantaian ’65 kenapa permasalahan tersebut masuk sebagai pelanggaran HAM berat menurut Komnas HAM, dan membutuhkan rekonsiliasi?

Barangkali peristiwa  Pembantaian ’65 merupakan peristiwa paling gelap dalam sejarah hak asasi Indonesia modern karena menyangkut ratusan ribu hingga jutaan orang yang mengalami ketidakadilan. Mereka dibunuh, dihilangkan paksa, diusir, diperkosa, dan disiksa. Mereka juga mengalami kekerasan struktural selama bertahun-tahun dalam bentuk diskriminasi sosial, ekonomi, dan stigmatisasi politik. Contohnya, Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1975 tentang Perlakuan Terhadap Mereka yang Terlibat G.30.S/PKI. Peraturan tersebut membersihkan seluruh pranata pemerintahan dari orang-orang yang dituduh komunis atau dituduh terkait dengan Peristiwa Pembantaian ’65. Kalau mengutip Sulami (Alm.) Ini adalah suatu bentuk pelanggaran berat HAM yang tiada taranya.

Dalam hukum internasional Statuta Roma, peristiwa  Pembantaian ’65 jelas melanggar Pasal 7. Artinya ia termasuk suatu kejahatan yang bisa diadili dimana saja karena termasuk pada kejahatan melawan kemanusiaan. Bahkan, dalam tindak tertentu sejumlah akademisi menimbang-nimbang kemungkinan ini bukan sekedar kejahatan kemanusiaan tapi juga genosida politik. Peristiwa Pembantaian ’65 sebagai kejahatan kemanusiaan dan sudah dituangkan dalam laporan penyelidikan Komnas HAM yang bersifat projustitia. Sedangkan kesimpulan bahwa peristiwa Pembantaian ’65 adalah genosida politik masih menjadi perbincangan di kalangan akademisi.

Anda mengatakan rekonsiliasi bertujuan menghadirkan keadilan untuk para korban. Apa keadilan yang diharapkan?

Keadilan dalam pengertian yang seutuh-utuhnya. Keadilan yang menuntut para pelakunya diadili, terutama yang paling bertanggung jawab, misalnya Soeharto. Ada pula keadilan yang bersifat restoratif. Keadilan yang bukan saja menghukum pelaku tetapi juga memperbaiki kehidupan korban. Ada restorasi tanggung-jawab yang dibebankan kepada para pelaku dalam undang-undang restitusi. Tapi ada juga, dan ini yang saya kira lebih penting, restorasi yang dijadikan pertanggungjawaban negara dalam bentuk kompensasi. Dalam pengalaman Afrika Selatan, kompensasi dapat berupa pengembalian tanah yang dirampas, atau dalam kasus Argentina adalah pengembalian rumah yang dirampas. Jadi pengembalian hal-hal yang pernah dimiliki oleh para korban, entah itu pekerjaan, pendidikan, atau kesehatan. 

Bagaimana langkah konkret untuk menghadirkan keadilan tersebut?

Pendekatan terhadap pemenuhan keadilan ini setidaknya memiliki empat komponen. Pertama, mendorong proses pencarian kebenaran. Proses ini berusaha mencari tahu apa yang salah dalam sistem politik yang kerap menindas di masa lalu. Mencari tahu alasan PKI yang semula resmi tiba-tiba dilarang. Mencari tahu mengapa komunisme sebagai sebuah kerangka analisis untuk memahami kondisi sosial masyarakat itu tiba-tiba menjadi sangat tabu. Kemudian, lebih jauh lagi, mencari tahu alasan penanaman kebencian kepada tertuduh komunis atau paham komunisme itu sendiri selama puluhan tahun lewat film, sastra, pendidikan, peradilan, dan kebijakan pemerintah. 

Kedua, keadilan hukum. Proses penyelidikan tidak semata ditujukan untuk melihat pola dari kekerasan sistematis yang dilakukan oleh negara atau kekuasaan. Penyelidikan juga menghendaki pertanggungjawaban kriminal perorangan karena tindakan membunuh dan menyiksa bagaimanapun juga adalah sebuah kejahatan. 

Ketiga adalah reparasi yaitu suatu usaha untuk memperbaiki kondisi kehidupan korban sebelum peristiwa terjadi. Bisa saja yang semula punya rumah, hanya karena ia dituduh PKI kemudian rumahnya dirampas dan ia kehilangan itu selama puluhan tahun. Perampasan tersebut juga termasuk pekerjaan, keluarga dan lainnya. Reparasi ini bisa dalam bentuk materiel atau nonmateriel. Kompensasi materiel adalah, yang telah saya jelaskan sebelumnya, harta benda, pekerjaan, dan aset korban. Sedangkan kompensasi moral berarti negara atau pemerintahan yang berkuasa wajib meminta maaf kepada para korban. Selain permintaan maaf institusional dari negara dan pemerintah, pelaku secara individual juga memiliki tanggung jawab moral untuk meminta maaf. Korban pun juga difasilitasi untuk mendengarkan pengakuan tersebut dan menimbang-nimbang apakah pemberian maaf bisa diberikan kepada para pelaku. 

Keempat, memastikan bahwa sistem yang menindas itu betul-betul dihapuskan. Ini ditujukan supaya tidak mengundang peristiwa serupa terulang serupa di masa depan. Entah itu menghapus kebijakan seperti Undang-undang atau menghapus lembaga negara yang merepresi seperti Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban.

Bagaimana negara harus meminta maaf? Permintaan maaf seperti apa yang harusnya diberikan?

Tentu saja pemberian maaf harus didahului dengan menentukan siapa yang harus meminta maaf dan siapa yang berhak memberikan maaf. Nah, sebelum menentukan kedua predikat tersebut, harus terlebih dulu diidentifikasi perbuatan apa yang hendak dimaafkan itu. Jadi apa kesalahan persisnya? Membunuh? Menyiksa? Merampas rumah? 

Seringkali, wacana elite di dalam diskursus politik Indonesia mereduksi pertanyaan mendasar ini seolah-olah sudahlah saling memaafkan. Pemberian maaf menurut para elite tadi tidak didahului dengan satu proses dimana perbuatan yang hendak dimintakan maafnya itu dikenali terlebih dahulu. Proses identifikasi itu dalam hukum dikenal sebagai penyelidikan dan pencarian fakta yang kemudian diakui sebagai sebuah kejahatan. 

Kemudian kita bertanya apakah pelaku menyadari dan mengakui kejahatannya sebagai sebuah kesalahan lalu berjanji untuk tidak mengulanginya? Dalam pengalaman banyak negara termasuk Afrika Selatan, pemberian maaf terjadi dalam situasi yang sangat emosional, sangat dramatis. Tetapi sebagian lagi justru mengakibatkan kemarahan yang luar biasa karena ketidaktulusan dalam meminta maaf. Permintaan maaf yang tulus inilah yang belum ada di Indonesia. 

Dalam kasus lain, yaitu kasus kejahatan kemanusiaan di Aceh, bagian kecil dari proses tersebut baru saja dimulai. Berlangsung proses dengar kesaksian yang difasilitasi oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh di Pendopo Gubernur Provinsi Aceh.Ada sekitar 14 orang yang memberikan kesaksian dari mulai penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, sampai dengan penyiksaan seksual. Tapi sayangnya belum terlihat ada dukungan penuh dari pemerintah khususnya pemerintah pusat.

Kalau dari tingkatan masyarakat, tantangan apa yang ditemui dalam proses rekonsiliasi?

Saya kira prasangka politik yang negatif terhadap komunisme. Tantangannya adalah menghapus prasangka masyarakat yang percaya pada kejahatan komunis atau partai komunis. Jadi ini yang berat, mengubah cara pandang. Dulu, saya sempat diyakinkan oleh teman-teman pendukung pemerintahan sekarang bahwa ada keinginan untuk memasukkan rekonsiliasi ke dalam agenda revolusi mental. Untuk berhasil, revolusi mental juga memerlukan perubahan pikiran. Tapi yang terjadi tidak demikian.

Saya kira ada beberapa teman yang berseloroh ini sebenarnya bukan revolusi mental tapi méntal (terpental-Jawa). Usaha untuk melakukan revolusi pikiran itu sudah jauh terlempar jadi benar-benar méntal. Revolusi pikiran dibutuhkan dan dapat dimulai dengan merombak sistem pendidikan. Kawan saya, Hilmar Farid, sedang bekerja keras untuk mendorong perubahan-perubahan epistemik itu di sektor pendidikan, terutama kebudayaan.

Dari pengamatan saya, ada dua kelompok yang saya kira cukup sulit untuk menerima upaya rekonsiliasi seperti angkatan bersenjata dan beberapa kelompok keagamaan. Mengapa perlawanan tersebut terjadi?

Pertama-tama tentu saja karena merekalah yang ikut memproduksi penyeragaman sejarah. Mereka memproduksi narasi tidak seimbang bahwa PKI adalah dalang tunggal penculikan dan pembunuhan perwira militer. Penyeragaman sejarah itu terutama datang dari kalangan militer yang belum berubah hingga hari ini. Malahan itu ditransfer tiap tahun di dalam dunia kemiliteran seperti Akademi Militer atau bahkan, pada tingkat tertentu, Akademi Kepolisian. Sampai saat ini TNI maupun Polri masih kelihatan menempatkan ideologi itu sebagai ancaman dalam pengertian Orde Baru. 

Kesalahan memahami sejarah juga terjadi dalam faksi islam konservatif. Mereka masih mewarisi pandangan sejarah yang manipulatif baik setelah maupun sebelum kemerdekaan Indonesia. Saya kira Merle C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008) menulis dengan baik proses islamisasi di Jawa itu berbenturan secara langsung dengan kekuatan-kekuatan kiri meskipun dalam barisan kiri terdapat banyak tokoh Islam. Antara fakta sejarah dan identitas pelaku sejarah itu dikaburkan hingga akhirnya hari ini sulit untuk diterangi kembali. Ditambah dengan elite-elite lama dari kelompok keagamaan yang menolak rekonsiliasi ini sebenarnya bagian dari pelaku di masa lalu. Entah saat itu ia merencanakan penyerangan terhadap pemuda-pemuda rakyat atau mereka ikut melakukan pembunuhan-pembunuhan itu secara langsung.

Dapat diambil kesimpulan bahwa beberapa elite yang terang-benderang menolak agenda rekonsiliasi ini memang tidak memiliki jarak dengan masa lalu. Sehingga rekonsiliasi menjadi sulit terwujud selain karena larangan resmi terhadap komunisme dalam TAP MPRS dan Kepres No. 28 Tahun 1975, disebabkan juga karena dua kubu itu. Militer, khususnya TNI AD, dan Islam konservatif masih tidak berjarak dengan masa lalu. 

Sebenarnya ada faksi lain yang sedang tumbuh dalam diri keduanya. Kalau di kalangan militer kita lihat orang seperti Letnan Jenderal (Letjen) Agus Widjojo dan Letjen Agus Wirahadikusumah. Di kalangan Islam ada tokoh-tokoh seperti Gus Dur dan Kyai Imam Aziz, salah satu ketua Pengurus Besar NU. Mereka adalah orang-orang yang mendukung proses rekonsiliasi. Sayangnya tokoh-tokoh tersebut sampai kini belum menemui keberhasilan karena kekurangan dukungan dan kekuatan politis. Begitulah perjuangan HAM. Selalu terlihat sulit dan kompleks sampai kita bisa memenangkannya.

Apa kepentingan kedua kalangan tersebut dalam melanggengkan narasi antikomunis?

Saya kira keuntungan paling minimum dari pelestarian narasi kebencian ini adalah terhindar dari proses pertanggungjawaban. Misalnya, mereka yang berasal dari lingkar keluarga pelaku kejahatan tentu saja diuntungkan dengan membendung upaya rekonsiliasi. Orang semacam itu memilih untuk hidup di dalam kegelapan supaya masa lalunya tidak diketahui oleh masyarakat. Bisa jadi untuk menjaga posisinya yang sekarang secara formal dihormati. 

Keuntungan lain yang didapatkan sebenarnya bersifat materiel. Ada hubungan lukratif antara Organisasi Masyarakat (Ormas) tertentu dengan struktur teritorial mulai dari Komando Daerah Militer (Kodam), Komando Resort Militer (Korem), Komando Distrik Militer (Kodim), Komando Rayon Militer (Koramil), sampai tingkat desa. Untuk yang semacam itu masyarakat mungkin lebih mengerti kaitannya. Hubungan yang saling menguntungkan tersebut memunculkan bisnis-bisnis ilegal seperti narkotika, tambang, pembalakan liar. Jika tidak, bisa juga berbentuk bisnis-bisnis kecil seperti diskotik, parkir atau jasa keamanan. 

Jadi intinya, penolakan terhadap komunis atau sikap antikomunis itu terlebih muncul karena memang ada keuntungan baik materiel dan nonmateriel yang didapatkan oleh kedua kelompok tersebut. Keuntungan materiel berupa keuntungan komersial dari komodifikasi ketakutan massal terhadap PKI dan paham komunisme. Keuntungan immateriel berupa perasaan aman karena terlindung dari perbuatan masa lalu dan kemungkinan pertanggungjawaban apabila ada upaya pengusutan. Impunitas dari pengusutan tak hanya dinikmati oleh kelompok Islam reaksioner dan Militer saja. Beberapa orang yang mendaku dirinya budayawan juga terkadang bermain aman dan menikmati privilese-privilese mereka di bawah bendera antikomunisme. Tapi untuk kelompok yang satu ini perlu satu wawancara lagi untuk tuntas membahasnya. Hahaha.

Penulis: Hanif Janitra
Penyunting: Cintya Faliana


Jumat, 21 Juni 2019

Diskusi Publik: Seni sebagai Alat Advokasi HAM


Jumat, 21 Juni 2019

Dari Kiri ke kanan. Usman Hamid, S.T Wiyono, DIdik Dyah, Gigok Anurogo

Sekber’65 berkerjasama dengan Amnesty International Indonesia, Kethoprak Srawung Bersama (KSB), dan Kampungnesia UNS menggelar diskusi rutin Forum Generasi Muda (FGM). Diskusi yang bertajuk Diskusi dan Kumpul Bareng Obrolan Generasi Muda ini berlangsung di Ruang Seminar FISIP UNS Surakarta.

Diskusi publik ini merupakan bagian dari sebuah event terkait dengan kegiatan mempromosikan hak asasi manusia dalam sebuah acara Pementasan Ketoprak “PRAHARA” yang dilaksanakan pada hari Senin, 24 Juni 2019 dengan mengangkat isu tentang HAM.  Bagaimana upaya dari dua hal yang berbeda yaitu HAM dan seni menjadi satu, bagaimana sebuah kesenian menjadi bagian dari upaya mempromosikan advokasi atau bagian lebih penting dan menjadi sebuah instrumen sebagai upaya mewujudkan hak asasi manusia. 

Nara Sumber pertama di mulai dari Ibu Didik dari SekBer ’65  yang membahas persoalan HAM di negara kita yang selama ini kita lihat memang belum selesai,
 “Bukan karena waktu tapi memang tidak ada niatan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tentang pelanggaran HAM yang muncul di Indonesia dan akhirnya habis terseleksi oleh alam.” ujar beliau.    “Peristiwa atau tragedi 1965 dan banyak lagi peristiwa lain, ini mengubah 180 derajat kondisi sosial-politik di Indonesia yang tentu warnanya berbeda. Pelanggaran-pelanggaran HAM terus bermunculan mulai ada peristiwa tragedi Mei, ada Talangsari, ada penculikan-penculikan, kemudian sampai yang terakhir adalah masalah di Papua.” tambahnya.

Narasi selanjutnya hadir oleh pemaparan S.T Wiyono-budayawan Solo menjelaskan dengan gamblang tentang esensi kesenian yang bisa digunakan dalam mengkapanyekan persoalan HAM.

“Bagaimana menyambungkan kesenian dengan HAM tersebut?Pertama, diharapkan semua sudah sangat memahami tentang fungsi,  esensi dan manfaat kesenian bagi kita semua, khususnya generasi muda”.
 “Dalam kesenian banyak hal yang bisa kita petik, ada dua atau tiga macam kesenian.  Kesenian, yang pertama adalah ungkapan ekspresi dari jiwa dan perasaan serta emosi yang kita sampaikan lewat media seni. Contoh, melalui gerak disebut tari, melalui pakai gitar disebut music, melalui vokal disebut puisi dan lain-lain.  Ketroprak sendiri ada gerak, musik ada tokoh atau lakonnya.  Seniman yang baik selalu berkarya karena dia terpanggil untuk menyampaikan sesuatu hal kepada masyarakat atau orang banyak.” tuturnya.

Beliau menambahkan, “Jadi, inilah kesenian yang saat ini berkembang.  Kesenian yang bisa menjadi media untuk berkomunikasi dan advokasi.  Saat ini, ada namanya Mitra Forum Komunikasi Media Tradisi, dimana kesenian sebagai media untuk menyampaikan suatu hal, bagaimana kesenian menjadi media untuk memberi edukasi tentang HAM kepada masyarakat dan sudah terbukti beberapa kali dengan membuat 3 sampai 4 kali naskah dimana penonton itu menganggap lebih terasa pesannya dari pada cuma sekedar berbicara atau pidato.  Jadi sebetulnya kesenian sangat fleksibel/luwes untuk menyampaikan pesan penting.” pungkasnya.

Narasumber selajutnya yang juga merupakan Seniman dan Budayawan Surakarta sekaligus Anak korban tragedi 65, Gigok Anurogo, menceritakan pengalamannya di masa muda dimana trauma dan ketakutan terus menghantui dikarenakan cap Tapol yang disematkan pemerintah saat itu kepada orang tuanya. 

Pengalaman pahit itu menjadikannya terus konsisten dalam mengkapanyekan HAM dalam setiap karya-karyanya. “Berkesenian memang harus memihak, dan saya memilih untuk berpihak rakyat yang selalu menjadi objek penderitaan dari para penguasa para politikus dan sebagainya.” tegasnya. 

Sedangkan Usman Hamid yang menjabat sebagai Direktur Amnesty International Indonesia mengatakan, “Banyak masalah di Indonesia yang memunculkan ke khawatiran bahwa Indonesia sedang mengalami kemunduran, misalnya dengan Pilkada DKI ketika itu sentimen anti Cina nya sangat tinggi sekali termasuk sentimen terhadap non muslim, kasus tentang penolakan warga petani terhadap pabrik semen, belum lagi yang menolak bandara internasional di Jogja yang menimbulkan kriminalisasi.”

Dia juga menambahkan, “Perlunya dimunculkan seni bisa membuat orang memberi jeda pada kesehariannya, pada keberisikan dunia ini dengan merasakan sesuatu, dengan membaca lukisan, dengan mendengarkan teater atau dengan mendengarkan musik.”

Diskusi ini penuh sesak dihadiri oleh kalangan mahasiswa, anak dan cucu korban pelanggaran HAM 65, seniman dan budayawan. Diharapkan melalui diskusi ini semakin memacu nalar kritis para generasi muda terhadap kebijakan pemerintah yang dirasa melanggar HAM. (dok.sekber65)


Kamis, 07 Maret 2019

Penangkapan terhadap Refleksi Akademis Mencederai Negara Hukum & Demokrasi

Mar 7, 2019 



Robertus Robet, seorang dosen dan aktivis HAM ditangkap di rumahnya sekitar pukil 11.45 malam pada Kamis, 6 Maret 2019 dan dibawa ke Mabes Polri atas tuduhan UU ITE terkait orasi dalam aksi damai Kamisan, 28 Februari lalu.
Alasan penangkapan adalah pasal 45 ayat (2) Jo pasal 28 ayat (2) UU No 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 tahun 2009 tentang ITE dan atau/ Pasal 14 ayat (2) jo Pasal 15 UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 207 KUHP.
Aksi Kamisan tersebut menyoroti rencana pemerintah untuk menempatkan TNI pada kementerian-kementerian sipil. Rencana ini jelas bertentangan dengan fungsi TNI sebagai penjaga pertahanan negara sebagaimana diatur Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 & amandemennya, UU TNI & TAP MPR VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Hal ini juga berlawanan dengan agenda reformasi TNI. Memasukan TNI di kementerian-kementerian sipil juga mengingatkan pada dwi fungsi ABRI pada masa Orde Baru yg telah dihapus melalui TAP MPR X/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyemangat dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara dan TAP MPR VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan POLRI.
Robet tidak sedikitpun menghina institusi TNI. Dalam refleksinya Robet justru mengatakan mencintai TNI dalam artian mendorong TNI yang profesional. Baginya, menempatkan TNI di kementerian sipil artinya menempatkan TNI di luar fungsi pertahanan yang akan mengganggu profesionalitas TNI seperti telah ditunjukkan di Orde Baru.
Pasal-pasal yang dikenakan adalah pasal-pasal yang selama ini kerap disalahgunakan untuk merepresi kebebasan berekspresi (draconian laws) dan sungguh tidak tepat, Pasal 207 KUHP berbunyi “barang siapa dengan sengaja di muka umum menghina suatu penguasa atau
badan hukum akan diancam pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan. Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 dalam pertimbangannya mengatakan “dalam masyarakat demokratik yang modern maka delik penghinaan tidak boleh lagi digunakan untuk pemerintah (pusat dan daerah), maupun pejabat pemerintah (pusat dan daerah).” Bagian lain putusan tersebut mengatakan “Menimbang bahwa dalam kaitan pemberlakuan pasal 207 KUHPidana bagi delik penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana, halnya dengan penghinaan terhadap penguasa atau hadan publik (gestelde macht of openbaar lichaam) lainnya, memang seharusnya penuntutan terhadapnya dilakukan atas dasar pengaduan (bij klacht).
Sedangkan pasal 28 ayat (2) jo, UU ITE mengatur “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).”
Penangkapan kepada Robertus Robet adalah ancaman kebebasan sipil di masa reformasi. Kami memandang:
Pertama, Robet tidak menyebarkan informasi apapun melalui elektronik karena yang dianggap
masalah adalah refleksinya. Kedua, refleksi yang memberikan komentar apalagi atas kajian akademis atas suatu kebijakan tidak dapat dikategorikan sebagai kebencian atau permusuhan. Ketiga, TNI jelas bukan individu dan tidak bisa “dikecilkan” menjadi kelompok masyarakat tertentu karena TNI adalah lembaga negara.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas kami menyatakan
1. Penangkapan terhadap Robertus Robet tidak memiliki dasar dan mencederai negara hukum dan demokrasi
2. Oleh karenanya Robertus Robet harus segera dibebaskan demi hukum dan keadilan.
Jakarta, 7 Maret 2019
Tim Advokasi Kebebasan Berekspresi (KontraS, YLBHI, LBH Jakarta, Imparsial, Indonesian Legal Roundtable, Lokataru Kantor Hukum dan HAM, AJAR, Amnesty Internasional Indonesia, Protection Internasional, hakasasi.id, Perludem, Elsam, sorgemagz.com, Solidaritas Perempuan, Jurnal Perempuan)
Kontak:
Yati Andriyani 0815-866664599
Arif Maulana 0817-256167
Asfinawati 0812-8219830

Sumber: Amnesty Indonesia 

Kamis, 18 Oktober 2018

Aksi Kamisan 4 Tahun Jokowi: Agenda HAM Dianggap Tak Penting

Tim, CNN Indonesia | Kamis, 18/10/2018 21:04 WIB


Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis, 4 Agustus. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyatakan tak ada perubahan yang berarti dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAMdalam empat tahun masa pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.

Padahal, kata dia, penyelesaian kasus HAM itu masuk dalam salah satu janji Nawacita Jokowi. Baginya, pemerintahan Jokowi justru menghidupkan kembali developmentalism Orde Baru.

"Artinya presiden lebih mementingkan agenda ekonomi pembangunan di atas agenda lain. Agenda HAM dianggap tidak penting," ujar Usman, dalam Aksi Kamisan, di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (18/10) sore.
Aksi kali ini bertepatan dengan empat tahun masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo- Wakil Presiden Jusuf Kalla yang jatuh pada Sabtu (20/10).

Sikap abai terhadap agenda HAM itu, lanjut Usman, diperparah dengan bentuk-bentuk pelanggaran HAM baru yang secara tak langsung justru dimunculkan oleh pemerintah. 

"Kajian lain menyimpulkan pemerintahan Jokowi terlalu berorientasi ide-ide nasionalisme yang berlebihan hingga berdampak negatif pada kebebasan sipil, seperti misalnya pembubaran ormas HTI," terangnya. 
Hal ini, kata Usman, berdampak pula pada kemerosotan indeks demokrasi Indonesia. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), indeks demokrasi Indonesia yang semula 72 turun menjadi 70. 

Menurutnya, faktor yang memengaruhi kemerosotan indeks itu adalah dari permasalahan keberagaman di Indonesia yang semakin buruk.

Alasan ini merujuk dari hasil riset Economist Intelligence Unit yang juga menyebut kasus penistaan agama yang menjerat mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di tengah pemilihan gubernur DKI pada 2017. 

"Kasus lain ada lagi serangan kelompok minoritas baik agama maupun orientasi seksual," tuturnya. 

Menurut Usman, Jokowi perlu mengevaluasi janjinya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Upaya yang dapat ditempuh salah satunya dengan memastikan pertanggungjawaban TNI/polri dalam menyelesaikan masalah tersebut. 
"Selama ini tidak terlaksana dengan baik. Empat tahun Jokowi-JK bisa dikatakan masa yang kosong akan keadilan," ucapnya.
(pris/arh)

Sumber: CNN Indonesia 

Sabtu, 29 September 2018

GAGAL TOTAL Framing Gatot Tentang “Siapa PKI”, Dibantah Ahli Sejarah!

Manuel Mawengkang | 29 September 2018 

Gatot sedang membangun opini sesat dari para warga. Ia mengatakan bahwa kekuatan yang menghentikan kewajiban penayangan film G30SPKI adalah PKI. Ia juga mengatakan pencabutan TAP MPRS dilakukan oleh pengaruh PKI. Tapi semuanya itu GAGAL TOTAL. Gus Dur bukan PKI!
Yunus Yosfiah menteri penerangan saat itu BUKAN PKI. Habibie itu BUKAN PKI! Penjelasan ini menampar nalar bocor dari Gatot. Mantan militer kok malah nyerang orang nasionalis? Gara-gara Gatot, Prabowo makin tenggelam 
Yuk disimak videonya.


Transkrip

Rosiana Silalahi: Pak Gatot kan seorang mantan panglima TNI yang punya data tentang kebangkitan PKI. Tidak mungkin seorang Panglima TNI asal bicara soal bagaimana gerakan ini ada secara nyata di masyarakat. Pak Gatot bagaimana Anad menjelaskan bahwa ada indikasi yang kuat dan ini bukan paranoia atau isapan jempol?

Gatot Nurmantyo: Ya saya sampaikan bahwa peristiwa G30SPKI itu rangkaiannya bukan hanya TNI saja. Tapi umat Islam dan tokoh-tokoh agama, khususnya NU, Banser dan sebagainya yang menjadi korban yang cukup banyak di berbagai daerah. Kemudian mari kita lihat.
Suatu kekuatan yang luar biasa setelah reformasi itu bahwa yang saya katakan tadi. Akar budaya nasionalisme kita mulai dihilangkan dulu. Itu sistem.
Seperti pendidikan Bahasa Indonesia, agama, civics dan budi pekerti yang tadinya merupakan pelajaran pokok yang apabila nilai merah kita tidak bisa naik kelas, itu dihilangkan.
Yang kedua sejarah tentang pemberontakan G30SPKI dihilangkan. Kalau bukan kekuatan besar itu, apa tujuannya?

Rosiana Silalahi: Jadi pelajaran itu dihilangkan, Anda melihat ini juga bagian dari taktik mereka yang terafiliasi PKI?

Gatot: Iya strateginya seperti itu!

Rosiana Silalahi: Tidakkah itu terlalu serius pak? Terlalu paranoia?

Gatot Nurmantyo: itu kan ada rangkaiannya. Kemudian habis itu tuntutan pencabutan TAP MPRS yang dibuat tahun 1966, siapa lagi kalau bukan ITU? Siapa lagi kalau bukan PKI itu?

Kemudian penghapusan sejarah pemberontakan PKI, siapa lagi kalau bukan PKI? Kemudian lagi tentang pemberhentian pemutaran film yang selama ini. Siapa yang minta kalau bukan PKI?

Rosiana Silalahi: Pak Gatot, apa yang bapak baru katakan ini sangat serius dan punya implikasi yang serius. Karena (menurut Gatot) mereka yang mencabut TAP MPRS adalah PKI, mereka yang ingin mengganti mata pelajaran sejarah itu adalah PKI.

Gatot Nurmantyo: Kalau bukan kekuatan PKI, siapa lagi itu? Apa nasionalisme yang… kan tidak dong logika berpikirnya?

Rosiana Silalahi: Baik. Apa tanggapan Anda, Bung Usman?

Usman Hamid (Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia): Saya kira logika itu terlalu lompat-lompat dan menyederhanakan masalah. Sebenarnya ada dua hal.
Yang pertama tentang film G30SPKI yang disebut sebagai pengkhianatan. Yang kedua tentang paham dari komunisme atau marxisme itu sendiri.
Untuk yang pertama, film ini tidak benar diputar selama orde baru. Itu diproduksi tahun 1981 sampai ke tahun 1998. Di era 98 ke 99 era pemerintahan Pak Habibie, seniornya Pak Gatot ini yaitu pak Yunus Yosfiah ketika itu adalah menteri penerangan, ketika itu letnan jenderal.
Dia yang mengumumkan bahwa film itu dihapuskan dari kewajiban untuk diputar setiap tahun. Jadi kalau dikatakan “yang meminta penghentian film itu adalah PKI, siapa lagi kalau bukan mereka”, itu KELIRU. Justru dari dalam pemerintahan Habibie ketika itu memang mau meninjau ulang.
Yang kedua menteri pendidikan ketika itu Pak Juwono Sudarsono di era Pak Habibie yang melakukan peninjauan ulang melalui satu tim khusus untuk memeriksa seluruh sejarah di buku sejarah yang dianggap mengandung muatan sejarah yang tidak benar.
Apakah Juwono adalah PKI? BUKAN! Orang terdidik. Profesor. Pak Yunus Yosfiah PKI? BUKAN. Jenderal angkatan darat. Jadi logika semacam itu membangun suatu insinuasi (prasangka atau tuduhan atau fitnahan) yang negatif tanpa dasar fakta yang jelas.
Di era pemerintahan Gus Dur usaha untuk mencabut TAP MPRS yang melarang marxisme, leninisme itu datang dari seorang Presiden Abdurrahman Wahid. Mantan ketua PBNU yang bertahun-tahun memimpin organisasi Islam.
Saya orang NU, ayah saya orang kampung, tapi dia kyai.

Itu Gus Dur yang mengajukan untuk penghapusan TAP MPRS karena dianggap menjadi dasar bagi diskriminasi terhadap begitu banyak orang yang tidak salah tapi dianggap salah.

Gus Dur bukan PKI! Gus Dur anak kyai. Gus Dur sendiri adalah kyai.

Jadi keliru kalau kemudian membangun logika lompat-lompat seolah-olah yang meminta penghapusan TAP MPRS itu PASTI PKI. ITU KELIRU FATAL. Membodohi masyarakat!

Memampuskan logika berpikir Gatot itu MUDAH! Prabowo pasti kalah.
#JokowiLagi

Begitulah gagal-gagal.

Sumber: Seword.Com 

Jumat, 20 Juli 2018

Mari belajar dari proses perdamaian Korea

Saskia E. Wieringa* 
Amsterdam | Kamis, 19 Juli 2018 |12:08 

Jeju adalah pulau yang populer di selatan daratan Korea dan telah menjadi lokasi dari acara tingkat tinggi ini sejak tahun 2001, ketika peringatan satu tahun dari pertemuan antar-Korea yang pertama diperingati. (Shutterstock / -)


Pada akhir Juni, saya menghadiri 2018 Jeju Forum for Peace and Prosperity. Jeju adalah pulau yang populer di selatan daratan Korea dan telah menjadi lokasi dari acara tingkat tinggi ini sejak tahun 2001, ketika peringatan satu tahun dari pertemuan antar-Korea yang pertama diperingati. Lebih dari 5.000 peserta menghadiri sesi dengan topik mulai dari ancaman perang dagang hingga kekerasan negara terhadap perempuan.

Di antara para pemimpin dunia yang menghadiri forum itu adalah mantan presiden Indonesia Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono. Kali ini forum itu berlangsung dua minggu setelah pertemuan antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un.

Banyak pembicara memuji peran penting Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in dalam membawa para pemimpin AS dan Korea Utara yang berperang menuju pertemuan tatap muka. Di Barat, skeptisisme berlimpah atas pembicaraan, tetapi di Jeju menjadi jelas betapa banyak harapan untuk perdamaian yang dihasilkan oleh diskusi ini, serta seberapa kuat keinginan untuk rekonsiliasi berada di jantung Korea Selatan.

Tidak ada yang mengabaikan rintangan di depan atau catatan pahit hak asasi manusia dari para pemimpin Korea Utara yang berturut-turut. Seperti yang dikatakan Ban Ki Moon, hak asasi manusia bersifat universal dan harus ditaati. Kata-kata mantan sekretaris jenderal PBB ini juga relevan untuk Indonesia, di mana para pemimpin sayap kanan kadang-kadang mengatakan hak asasi manusia hanyalah sebuah penemuan Barat.

Terlepas dari harapan untuk rekonsiliasi di Semenanjung Korea, lokasi acara ini patut dipertimbangkan. Untuk Korea Selatan tidak hanya memerangi tetangga Korea Utara, ia juga memiliki sejarah peperangan internal, karena Indonesia memiliki sekitar 1965-1966 pembunuhan massal. Mengapa forum diadakan di Jeju? Ketika pada tahun 1945 Korea dibebaskan dari pendudukan Jepang, negara itu tidak segera bersatu dan merdeka.

Persaingan antara Rusia di utara dan Amerika di selatan mengakibatkan Perang Korea, menyegel pembagian antara dua bagian.

Dalam bayang-bayang konflik global ini dan pada tahap awal Perang Dingin, Jeju menjadi panggung pembantaian. Pemuda nasionalis dan sosialis yang menginginkan kemerdekaan penuh bagi Korea yang bersatu dibingkai sebagai komunis. Ketika mereka bangkit pada 3 April 1948, sekitar 30.000 orang dibunuh secara ekstra-yudisial dalam apa yang dikenal sebagai pembantaian Jeju 4.3.

Pasukan pendudukan AS, polisi Korea dan kelompok pemuda sayap kanan bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan antara 1948 dan 1954.

Kesamaan dengan situasi Indonesia sangat jelas. Kedua negara mengalami perebutan kekuasaan setelah Jepang menyerah. Pada 1947, presiden AS-AS Harry S. Truman mengumumkan doktrinnya untuk melawan pengaruh geopolitik Soviet Rusia.
Di Korea, pasukan AS dapat langsung melakukan intervensi ketika mereka mendeteksi kemungkinan ancaman; di Indonesia mereka mencoba mempengaruhi wakil presiden saat itu, Mohammad Hatta dan para jenderal yang berpikiran sama, salah satu faktor yang menyebabkan bentrokan tahun 1948 di Madiun, Jawa Timur.

Keterlibatan Amerika juga terbukti dalam pembunuhan massal dan kejahatan massal lainnya terhadap kemanusiaan di Indonesia setelah pembunuhan enam jenderal oleh perwira berpangkat rendah pada tahun 1965.

Para hakim Tribunal Internasional 2015 tentang kejahatan tahun 1965 terhadap kemanusiaan menemukan bukti yang cukup untuk menyimpulkan bahwa pembunuhan massal berjumlah genosida. Hal ini karena meskipun korban bukan dari agama tertentu, ras atau kelompok etnis, kejahatan meluas dan sistematis terhadap kemanusiaan oleh tentara dan milisi yang dilatih oleh mereka dimaksudkan untuk menghancurkan secara keseluruhan atau sebagian kelompok nasional - anggota dan simpatisan dari sekarang Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pendukung setia Soekarno.

Paralel lain adalah penggunaan kelompok pemuda sayap kanan, yang didorong oleh unit-unit reguler, untuk membantu melaksanakan pembunuhan. Demikian pula korban dan orang yang selamat telah lama distigmatisasi, anggota keluarga telah didiskriminasi, dianggap "bersalah oleh asosiasi". Selama beberapa dekade, pembantaian di Jeju diam, karena kekuasaan negara dikontrol oleh mereka yang memiliki hubungan dengan pembantaian itu.

Semua ini terdengar sangat akrab di telinga orang Indonesia. Namun dari "pulau kematian", Jeju telah berubah menjadi "pulau perdamaian". Langkah besar pertama ditetapkan oleh presiden Kim Dae-jung, yang pada tahun 1998 memerintahkan penelitian resmi ke pembantaian tersebut.

Dia menandatangani Undang-Undang Khusus untuk Pencarian Fakta dan Pemulihan Reputasi. Setelah rilis laporan pemerintah, presiden saat itu, Roh Moo-hyun meminta maaf atas pembantaian pada tahun 2003.

Indonesia belum mengambil langkah ini. Permintaan maaf Presiden Roh mengarah pada pembentukan Taman Perdamaian 4.3 Jeju, Museum Peringatan Perdamaian, Forum Perdamaian, dan Institut Penelitian Jeju 4.3.

Sejak 2014, pembantaian itu setiap tahun diperingati, dengan program untuk mendidik pemuda dalam proyek perdamaian dan penelitian. Di seluruh pulau kenangan telah didirikan di mana korban diberi nama, kematian mereka tercatat. Di beberapa situs, sisa-sisa manusia telah digali dan diberi ritus yang tepat.

Apa bedanya dari Indonesia. Saya hanya tahu satu kasus - Plumbon dekat Semarang, Jawa Tengah - di mana kuburan massal ditandai dan nama-nama korban dicatat secara terbuka. Korban yang selamat dan keturunan mereka masih hidup dengan stigma, pertemuan mereka secara teratur dibubarkan oleh milisi sayap kanan. Karena iklim impunitas bagi para pelaku, kejahatan serupa terhadap kemanusiaan terus berlanjut, seperti laporan Amnesty International baru-baru ini yang direkam untuk Papua. Meskipun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia telah mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia 1965-1966, negara belum mengambil tindakan lebih lanjut.

Menghasut rekonsiliasi dan mengakui tanggung jawab negara atas kekerasan yang dilakukan di bawah angkatan bersenjata nasional bukan untuk yang lemah. Dibutuhkan keberanian dan visi untuk meminta maaf kepada para penyintas dan keturunan korban dan untuk mengambil langkah pertama menuju rekonsiliasi.

Mengatasi perbedaan yang tampaknya tidak dapat didamaikan seperti antara Korea Utara yang komunis dan Korea Selatan yang berorientasi kapitalis juga menuntut keterampilan negosiasi yang tidak biasa.

Sungguh kejutan yang menggembirakan jika para pemimpin Indonesia juga terbukti memiliki kualitas yang ditunjukkan dalam upaya rekonsiliasi di Korea - yaitu pembantaian di Jeju, dan bahwa antara kedua negara di Semenanjung Korea.

Indonesia akan menduduki kursi tidak permanen di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2019. Apa kesempatan yang lebih baik bagi Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk meminta maaf atas pembunuhan massal dan kejahatan lain terhadap kemanusiaan yang dilakukan di bawah tanggung jawab negara? Ini mungkin berarti awal dari proses rekonsiliasi yang serius sementara para pemimpin Indonesia dapat dengan bangga dan percaya diri menduduki tempat mereka di komunitas dunia.

***
Saskia E Wierenga, adalah Ketua Yayasan IPT 65, penyelenggara International People's Tribunal tentang kejahatan terhadap kemanusiaan tahun 1965, yang diadakan di Den Haag, Belanda, pada November 2015.

Senin, 25 Juni 2018

Political Killing in Indonesia

Introduction: Siswa Santoso 
Berikut di bawah adalah laporan Amnesty International yang pertama terkait dengan pembunuhan massal di Indonesia pasca 1 Oktober 1965. 
Laporan ini setahu saya diembargo oleh Amnesty International, namun saya menemukannya lewat arsip Jacques Leclerq di Kitlv [kini ub-Univ. Leiden] di Leiden. 
Izin tertulis saya peroleh untuk mengakses arsip termaksud, dan saya mengetik ulang naskah laporan, karena tidak diperkenankan mengkopi, menscan, atau memfoto naskah asli.
Dengan begitu, segala kesalahan ketik ada pada saya. enarik, penyelidik Amnesty International pada Juni 1966 sudah mengidentifikasi banyak lokasi pembantaian di pelbagai tempat di indonesia terutama Aceh, Sumatra termasuk Medan, Sungai Ular; Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan Bali. 
Tentu laporan ini tidak lagi aktual, namun barangkali ada beberapa detail yang berguna...
__________
Nr.1140:
POLITICAL KILLINGS IN INDONESIA
This report was written by a member of Amnesty International, xxxxx xxxxxx, who was in Djakarta at the beginning of June, 1966. Amnesty does not wish, because of the derivation of some of the facts, to have its name directly connected as a source.
The events of the 30th September last year – the GESTAPU – and the 1st october will presumably remain unclarified for some time. The maze of fear and exaggeration, of lies and political necessity has produced an incredible crop of stories, easily enough to fit any political premise.
However deeply the PKI [Indonesian Communist Party] were involved, and whether Peking gave more encouragement than sympathy, Indonesians have been subject since to a considerable amount of newspaper and radio coverage of accounts of proposed PKI outrage, and a large part of the economic failure of the last years have been systematically blamed on the deliberate undermining of the economy by Peking-backed communism.
Apart from scattered violence that followed immediately after the failure of the coup, the main clashes with the PKI appear to have come only after the arrival of the RPKAD [the army's elite corps of para-commandos] in Central Java towards the end of October. There was little communist resistance although it was said that the killing of PKI in Central Java started as areprisal. The even more severe outbreak in East Javacame on a wave of violence from Central Java at the beginning of November. By the end of november the wave spread to Bali, where the backlog of resentment and rivalry, and the tensions since the beginning of October, produced an emotional fever which resulted in large numbers of houses of communists and Chinese being burned.
Estimates of deaths in Bali range from the official figure of the fact-finding committee at 12,000, to those of reliable observers who quote figures of more than 60,000. At Atjeh violence appears to have been injected with the fire of a holy war. There also there was a great deal of anti-Chinese rioting according to one report no Chinese were left alive in the west coast area of the Province. A notable instance of the strength of the anti-Chinese feeling were the riots in Medan in North Sumatra, where staff of the Chinese consulate frightened by a demonstration, fired above the heads of the crowd, and thereby provoked the wreckage of the Chinese district with a loss of approximately 200 lives. In north Sumatra the army seems to have played a more active role in the attempt to eliminate the PKI – the official figures from Antara were 10,500 arrested, and many of these were shot and their bodies thrown into the Sungai Ular. Reliable information, apart from rumours, about the undoubted killings and arrests in other areas is even more difficult to obtain, although there are some Antara figures, such as the arrest of 30,000 [reported on the 20th December] from S. Kalimantan.
Total figures of any accuracy may never be known. Major General Sumarno's fact-finding committee announced on March 1st a total of 78,000 killed. This would appear, however, to be well below the figures more commonly accepted [excepts, perhaps, by the student groups]. Before Dr. Subandrio's overthrow in mid-March there were strong rumours that he wanted to have Nasution and Suharto tried for genocide, and the number of dead was mentioned at a quarter of a million. The Western press usually quote figures between 300,000 and 750,000, although up to two million has been suggested. But as one Australian journalist pointed out, one raft carrying ten bodies floating down a stream seen by ten differrent people, becomes quite easily 100 dead. A reliable informant, in Bali in late may, said that the figures quoted to him by a village headmen could scarcely make up the lowest estimates. However a Balinese theological student, at home during December, talked of whole villages being wiped out, of streets piled high with bodies and of a total there of three quarters of a million killed.
Certainly the families of the PKI or suspected PKI suffered also. Many women and children were killed. Army authorities on several occasions are reported to have said that the killing of the immediate family was done in order to stop reprisals either in the near or less immediate future. The extent of the death must often have been carried out for fear of future power to redress a balance. There was a similar uprising of the Communists in 1948. PKI members, prior to the coup, numbered in the region of three million [in the 1955 elections – the last to be held in Indonesia – they polled 16.4 per cent of the total]. Their power was perhaps not so great as it appeared, but for years it had been a bluff that was working; andthe general reaction still is 'it was them or us'.
There are official numbers of arrests, but these too seem to be underestimated. Malik mentioned a figure in April of 160,000, but by early June it was generally accepted that the figure was nearer 200,000. even this may well be an understatement. Those reported as being directly involved in the coup [some of these are communists, but many are not] are being tried by military tribunal, and reports indicate that those tried are found guilty and shot. Leaders and cadres of the PKI and its associates, containing the middle echelon of important communists, are considered a major security problem, and despite official assurances, some detainees are being summarily executed. There have been realeases, but both the prison authorities – presumably in most cases the army – and the released prisoners have found themselves in difficulties. Those being released fear the consequences of freedom, an in some cases they are demonstratably correct in their fears. Those responsible for these releases fear both an upsurge of feeling against the ex-prisoners, and perhaps even more, reprisals from them.
Rumours have been heard from different sources of the sending of prisoners from java and Bali to the outer islands, to become auxiliary soldiers and/or forced labourers [settlers?]. Food at the moment is a problem throughout most of the islands, but usually it seems that the ration of six ounces of rice a day is being given to the prisoners. Accounts of illness, insufficient water and malnutrition are current. Food has improved but here certainly were many cases of malaria in the prisons inCentral Java at the beginning of June.
The Protestant and Roman Catholic Churches have been a right of entry and access to prisoners of their own faith. Fear has stultified the sual ability of the Indonesians to care for each other, and apart from some brave exceptions, widows and children have often been totally ostracised, churches there is little effort being made; Muslims [Indonesia is 90% Muslim, though only a small amount of this is at all extreme] regard the elimination of the Communists as being in many ways part of a religious war. The political tensions still extant, even after the banning or the PKI in March and the removal of Subandrio, have effectively frightened most people too much for the usual 'gotong royong' atmosphere. The possibility of the removal of Sukarno as an alternative to the unacceptable donditions he played on the endorsement of the Bangkok Pact [despite the curbing of his powers] is the cause of further tensions, about which, particularly in Central and East Java, and within the army itself there is mounting controversy.
_____________
July, 1966
xxxxxxx xxxxxx is of Investigation Bureau

Nr.1142:
...p.6:
October 1, 1965 and After then came the October 1 coup. Debate will continue for a long time on just what was attempted on that day, and particularly on what the precise relationship was between Lieutenant-Colonel Untung, the palace guard officer who attempted to seize power, and the Indonesian Communist Party which gave him at least qualified support, and on whether Peking was involved. What is clear is that the coup's defeat produced a radically new constellation of power in Indonesia, and that the army leaders who had survived the coup were able to blame it onto both the Indonesian Communists and the Chinese government. This is the explanation which has come to be accepted in Indonesia.
The Chinese in Indonesia were soon a target of army and popular hostility. Baperki, the largest organization of the Indonesian-citizen Chinese was banned in October, and its university in Djakarta was burned down. Chinese shops were burned in a number of towns inOctober and November and there were several attacks on the homes of Communist Chinese diplomats. Moreover there were occasional press demands for Chinese property to be seized. Some hundreds of Chinese reportedly left the country. But the violence directed against the Chinese was on a markedly smaller scale than that directed against the Indonesian Communists and army commanders in a number of the cities seem to have taken pains to see that no anti-Chinese rioting got under way. The tension was certainly great in this two-month period, and the number of Chinese who lost their lives asa result of mob violence – mainly in the smaller towns and rural areas, but also in one or two cities, like Makassar – probably ran to some hundreds. But the worst was still to come.
On December 19 an official at the Chinese consulate in Medan, North Sumatra, let off shots of gunfire against a group of hostile demonstrators outside. This of gunfire against a group of hostile demonstrators outside. This led the demonstrators to march on a part of the Chinese business district, which it proceeded to burn and wreck, with at least 75 and perhaps up to 200 Chinese persons losing their lives on the one day. There was similar violence, on a smaller scale, in Bandjarmasin and a great deal on the islands of Bali, Lombok and Sumbawa. Estimates can only be very general and tentative, but it seems likely that the number of Chinese who [mulai halaman 7:] hen been killed had reached four figures by the end of January 1966. this is not a particularly high figure if one bears in mind that the post-October 1965 massacres of people alleged to have had connections with the coup movement or the Communist party are thought to have cost between 200,000 and 500,000 lives [7]. 
President Soekarno's attempt to reassert his power in February, when he annouced a cabinet reshuffle which involved the dismissal of General Nasution, resulted in a temporary softening of Sino-Indonesian relations and a partial abatement of pressure on the Indonesian Chinese. But the abatement was shortlived. By March 11 President Soekarno had been forced to hand over most of his powers to General Soeharto, and it was clear that those who had brought about this change – a coalition of army officers and the KAMI and KAPPI student organizations – included some strongly anti-Chinese groups.
The Latest Phase [8]
in the period immediately after the “muffled coup: of March 11a new wave of anti-Chinese actions began, one which the Western press has almost entirely ignored. In late March the new government decided that the New China News Agency which had frequently been denounced for its attacks on the Indonesian government and army, would have to close it Djakarta office, and then that the Chinese consulates in Makassar, Bandjarmasin and Surabaja would have to close. A large number of Chinese diplomats left Indonesia around the same time.
In April KAPPI demonstrators seized Chinese language schools in a snowballing series of actions in various cities and towns actions which were justified on the grounds that these schools were centres of Communist indoctrinations. In almost every case the actions of the KAPPI groups were followed by decisions of the local military commanders that these schools would be closed; and these bans were extended in some centres to various Chinese social organizations, some of them said to be harboring fugitive Communists. By the end of April very few Chinese-language schools were open, and government statements suggested that their closing might be permanent. This was to be confirmed on May 19 when it was announced that the government had bannedthe operation of foreign - run schools apart from ones established by foreign embassies for the families of their own staffs.
On April 12 the Peking government demanded that Chinese nationals in Indonesia be permitted to return to China immediately, that emigration procedures be simplified to make this possible, and that the Indonesian governement provide ships to take them there. The Indonesian governement replied by saying that the alien Chinese were entirely free to leave the country, but only after complying with the emigration procedures which obtained, and that it was no part of Indonesia's responsibility to facilitate their travel to China.
On April 15 a rally of Indonesian-citizen Chinese was held in Djakarta, at which resolutions were passed for the closing down of all Chinese-language schools in Indonesia and the breaking of diplomatic relations with Peking. Those attending the rally went on from there to demonstrate outside the Chinese embassy, where they fought with chancery officials, wounding one of them. On the following day Djawoto, the pro-Communist Indonesian ambassador in peking, resighned from his post, denounced the Djakarta governement for its Right-oriented domestic and foreign policy and whipping up of “racist terrorism” and was granted political asylum in China. At the same time China withdrew the technicians who were building a textile mill in West Java under an aid agreement dating back to before October 1965.
by this time most of the stops were out. Radio Peking had been strident in what it ....
[7]: See especially the articles of Nicholas Turner [Guardian, April 7, 1966], of the Special Correspondent of the London Times [April 13, 1966], of C.L. Sulzberger [New York Times, April 13, 1966], of Robert Sa. Elegant [Los Angeles Times, April 22, 1966], and of Stanley Karnow [Washington Post, May 4 and 5, 1966].

Source: 
Siswa Santoso