HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Plantungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Plantungan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 23 Oktober 2019

Tokoh Gerwani, SOBSI, dan BTI yang Ditangkap Karena Membela Sukarno


Oleh: Indira Ardanareswari - 23 Oktober 2019

Seorang anggota Pergerakan Wanita Indonesia (Gerwani) berbicara di sebuah upacara untuk memperingati pendirian organisasi. (wikimedia commons/Suara Indonesia. 25 January 1954)

Sejumlah aktivis perempuan yang ditangkap setelah PKI dinyatakan terlarang disebut “tapol perempuan masa epilog”.
 “Memang aku pengurus pusat organisasi yang sekarang dilarang, tapi aku tak tahu dan tak ada urusan dengan penculikan jenderal-jenderal itu. Itu perang politik tinggi. Orang awam takkan tahu atau mengerti.”
Itu adalah renungan Sulami, mantan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), pada malam terakhir sebelum ia tertangkap polisi militer. Seperti ia tuturkan dalam Perempuan - Kebenaran dan Penjara (1999: hlm. 14) yang disunting oleh Koesalah Soebagyo Toer, Sulami sudah masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak akhir tahun 1965.

Setelah melakukan gerakan bawah tanah selama kurang lebih dua tahun, Sulami akhirnya ditangkap Corps Polisi Militer (CPM) pada bulan Juli 1967. Informasi ini sedikit berbeda dengan yang dipaparkan Sudjinah, kawan seperjuangannya. Ia menyebut bahwa dirinya dan Sulami ditangkap berbarengan pada tanggal 17 Februari 1967, hanya lokasi penangkapannya yang berbeda.

Sulami digelandang menuju markas Kodam Jaya dan tiba sekitar pukul dua pagi. Di sana, kawan-kawan seperjuangannya sesama aktivis Gerwani dan organsiasi lain sudah lebih dahulu ditahan. Di antara pengurus kantor pusat Gerwani yang ditahan aparat setelah peristiwa G30S, ia termasuk yang paling akhir ditangkap.


Ditahan Dulu Baru Diadili

Seperti para aktivis Gerwani lainnya, Sulami dan Sudjinah dijebloskan ke penjara Bukit Duri tanpa pengadilan. Penjara perempuan Bukit Duri adalah bekas sekolah Tionghoa di Jalan Gunung Sahari Jakarta, yang khusus menampung tahanan politik perempuan. Para tahanan menjulukinya “rumah setan” karena penyiksaan luar biasa yang terjadi di dalamnya.

Sulami dan Sudjinah ditempatkan di sel sempit yang penuh bercak darah di setiap sudut tembok. Dari tempat itu, mereka dapat menyaksikan kekejaman dan kekerasan seksual yang dilakukan para interogator kepada tapol perempuan di seberangan sel tahanan. Menurut Sulami, kekerasan itu mirip dengan yang dilakukan oleh serdadu Jepang pada tahun 1942.
“Sekilas muncul dengan bayangan mata saya serdadu-serdadu Jepang yang sedang menghajar pemuda-pemuda pejuang Indonesia dengan kekejaman tanpa batas. Orang digebug, disetrum, ditanam sampai pingsan, ditekuk dengan tong berduri besi […] sampai mati kaku, orang perempuan diperkosa beramai-ramai,” kenangnya getir (hlm. 16).
Menurut pengakuan Sudjinah kepada Fansisca Ria Susanti dalam Kembang-Kembang Genjer (2006: hlm. 159), ia dan Sulami, serta dua tahanan perempuan lain: Sri Ambar (Ketua Seksi Perempuan SOBSI) dan Suharti Harsono (Sekretaris Seksi Perempuan BTI) tidak pernah dituduh terlibat dalam peristiwa 1 Oktober 1965 yang menewaskan tujuh orang petinggi militer.

Sulami dan kawan-kawannya justru ditahan atas tuduhan melakukan tindakan makar dan subversi. Keempat perempuan itu dijuluki “tapol perempuan masa epilog” dan dikumpulkan dalam satu sel yang terpisah dari tahanan lain, berdekatan dengan sel narapidana kriminal.
“Mereka diisolasi di Blok C. Blok ini diperuntukan bagi aktivis masa epilog. Ini sebutan bagi para aktivis yang masih melakukan kegiatan pasca 1965, setelah PKI dinyatakan terlarang,” tulis Ria Susanti (hlm. 159).
Sulami ditahan di Bukit Duri tanpa kejelasan nasib selama lebih dari sembilan tahun. Menurutnya, pemerintah baru membawa kasus mereka ke muka pengadilan pada tanggal 1 Januari 1976, beberapa tahun setelah Bung Karno wafat.



Gara-gara Membela Sukarno

Sebelum diangkat menjadi Sekretaris DPP Gerwani, Sulami pernah menjabat sebagai Ketua Gerwani cabang Surabaya. Saskia Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan (2010: hlm. 221) menyebut Sulami sebagai sosok yang keras dan radikal.

Selama masa pendudukan Jepang, Sulami bergabung ke dalam Pemuda Putri Indonesia (PPI) dan sempat turun ke medan perang menjadi tentara. Di tahun-tahun berikutnya, ia mulai berkenalan dengan pemikiran aktivis perempuan sekaligus penganut Marxis, Clara Zetkin, melalui ceramah-ceramah Sukarno.

Ketimbang menjadi pendukung PKI, Gerwani dan para kadernya lebih tepat disebut sebagai pembela Sukarno. Ketua DPP Gerwani, Umi Sardjono bahkan menolak ketika ada yang menyebut Gerwani sebagai onderbouw PKI.

Kepada Fransisca Ria Susanti, Umi menjelaskan bahwa keputusan Gerwani untuk berafiliasi dengan PKI atau tidak, sebenarnya baru akan diputuskan pada bulan Desember 1965.

Ketika pecah peristiwa berdarah di pengujung bulan September 1965, Sulami mengaku segera meninggalkan semua pekerjaannya dan mulai hidup berpindah-pindah sembari melakukan kerja-kerja bawah tanah.

Menurut penelusuran Wieringa, kerja bawah tanah memulihkan kekuasaan Sukarno yang dilakukan Sulami dan kawan-kawannya sangat rapi sehingga sering luput dari pantauan tentara. Ia bertugas membawa dan menyelundupkan pamflet yang dicetak oleh Sri Ambar untuk diberikan kepada Sudjinah. Mereka kemudian mendistribusikan salinan pamflet itu dengan sangat terorganisasi.
“Kami selalu membela Presiden, maka ketika pihak militer terutama Jenderal Soeharto berusaha mendongkel Bung Karno, kami berusaha membelanya,” kata Sudjinah kepada Wieringa (hlm. 437).
Menurut Wieringa, Sukarno pun tidak berpangku tangan dan tetap berusaha melindungi aktivis perempuan melalui serangkaian pidato kenegaraan. Namun, cara ini sia-sia karena posisi Sukarno yang sudah sangat lemah dan mustahil menginspirasi rakyat. Sampai akhirnya pada Maret 1967, aksi pemakzulan Sukarno dari jabatan Presiden memulai perburuan sisa-sisa aktivis perempuan seperti Sulami yang dianggap memicu ekses negatif bagi Orde Baru.

Selama dalam penahanan, terkadang Sulami, Sudjinah, dan dua orang lainnya “dibon” atau dibawa keluar untuk diinterogasi di tempat terpisah. Meski tuduhan yang ditujukan kepada Sulami dan Sudjinah berbeda dari anggota Gerwani lain, tapi nasib mereka tak lebih mujur. Selama “dibon”, Sulami dipaksa mengakui kerja-kerja bawah tanahnya.
“Saya diberondong pertanyaan tentang sebuah siaran terkenal yang tersebar luas, yaitu Pendukung Komando Presiden Soekarno (PKPS). Isinya mendukung komandonya untuk menyelesaikan peristiwa G30S sesuai hukum, mencegah timbulnya korban rakyat yang tak berdosa dan mencegah terjadinya perang saudara,” tulis Sulami dalam memoarnya (hlm. 23-24).
Akan tetapi, baik Sulami maupun Sudjinah tetap bungkam. Bahkan Sudjinah mengaku lebih baik mati disiksa ketimbang buka mulut. Keduanya berkeras hanya akan bicara di pengadilan.

Pengadilan Sandiwara?

Medio 1970-an, Orde Baru menetapkan Sulami dan Sudjinah sebagai terdakwa tindakan makar dan subversi yang bertanggung jawab di balik penerbitan dan penyebaran buletin PKPS. Bersama Sri Ambar dan Suharti, mereka dibawa ke hadapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Yan Ipul & Associates sebagai pembela.

Proses pengadilan itu memakan waktu lama. Vonis baru jatuh empat tahun kemudian, yakni di awal tahun 1980. Sulami dijatuhi hukuman kurungan seumur hidup atau 20 tahun penjara. Sementara Sudjinah divonis hukuman kurungan selama 18 tahun, dan Sri Ambar serta Suharti masing-masing 15 tahun.

Tidak seperti aktivis Gerwani lainnya yang ditahan di kamp Plantungan di Kendal, keempatnya ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang. Ternyata Suharti menjadi yang paling akhir bebas dari tahanan pada tahun 1984, lantaran dituding aktif dalam rapat CC PKI pada 28 September 1965.

Dalam memoarnya yang terbit satu tahun setelah Orde Baru tumbang, Sulami mengutarakan keheranannya. Ia menganggap tuduhan aksi subversi itu hanya mengada-ada karena dilakukan saat Sukarno masih berkuasa. Selain itu, proses peradilan yang dijalaninya seolah hanya akal-akalan pemerintah Orde Baru.
“Apakah memang ada yang namanya pengadilan sandiwara? Kalau memang aku bersalah seperti ditudingkan oleh para interogator di awal penahananku, mengapa tidak dari dulu aku diadili? Bukankah menurut mereka, aku bersalah?” tulisnya.

Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Irfan Teguh

Sulami dan tiga orang kawannya ditangkap tahun 1967, dan baru diadili pada 1976.

Rabu, 09 Oktober 2019

Sepotong Ingatan dari Kamp Yang Berubah


Rosa Panggabean - 09 Oct 2019

Pendem Ambarawa Fortress - Rosa Panggabean

Pada September 1965, beredar rumor bahwa terdapat sejumlah oknum tentara yang merencanakan kudeta terhadap kepemimpinan Presiden Soekarno. Merespon rumor tersebut, enam Jenderal dan satu Perwira diculik dan dibunuh pada 1 Oktober 1965. Militer Indonesia kemudian menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai pihak yang melakukan kudeta.

Sejak itu, pembersihan terhadap komunis dilakukan di seluruh negeri; diperkirakan antara 500 ribu hingga tiga juta orang menjadi korban pembunuhan, dan banyak diantaranya merupakan tahanan politik (tapol).
Stigma komunis terhadap para bekas tahanan politik terus berlangsung hingga saat ini. Isu komunis pun timbul-tenggelam: timbul di masa pemilu, tenggelam bersama kamp-kamp yang berevolusi menjadi tempat yang sama sekali baru.

Dari penjara menjadi tempat hiburan

Tak ada lagi sisa-sisa yang menunjukkan bahwa kawasan yang terletak di pinggir Kali Ciliwung Jakarta itu dulunya rumah tahanan negara untuk perempuan. Setelah terjadi peristiwa 1965, Penjara Bukit Duri menjadi tempat penampungan bagi para perempuan yang dituduh komunis atau terkait dengan komunisme.

Untuk mengurangi kelebihan penghuni penjara, pemerintahan Soeharto mendirikan penjara khusus tapol perempuan di Plantungan, Jawa Tengah, pada 1971. Hal ini membuat sebagian tapol penghuni Bukit Duri dipindahkan ke Plantungan.

Plantungan merupakan daerah dataran tinggi yang memiliki sumber daya alam berupa air panas. Suara gemericik aliran sungai Kali Lampir menambah kesan syahdu lokasi tersebut. Siapa sangka, wilayah agraris yang damai tersebut menyimpan kenangan yang sangat ingin dilupakan para mantan penghuninya.

Pada tahun 1871, pemerintah kolonial Belanda pernah mendirikan rumah sakit lepra di kawasan tersebut. Pada 1965, Plantungan kemudian dijadikan kamp untuk para tapol perempuan. Mereka yang dibuang di sana didatangkan dari berbagai tempat di Indonesia, meskipun sebagian besar berasal dari Jawa. Kawasan kamp tahanan tersebut terdiri dari beberapa bangunan rumah dinas, serta sebuah lapangan olahraga.

Pada tahun 1979, semua tahanan dipulangkan dari Plantungan. Sebuah banjir bandang terjadi tak lama setelah itu, menyebabkan Kali Lampir yang berada persis di sebelah kawasan kamp meluap. Seluruh bangunan kamp tahanan luluh lantak dan hanya menyisakan tiga pilar batu saja.

Rosa Panggabean

Pada 1980-an, bangunan penjara Bukit Duri diubah menjadi kompleks pertokoan. Plantungan pun diubah menjadi tempat wisata pada 2010. dengan air panas sebagai daya tarik utama. Pemandian air panas tersebut bahkan menjadi salah satu sumber pendapatan warga setempat.

Rosa Panggabean

Secara fisik, baik bangunan penjara wanita Bukit Duri dan Plantungan memang telah berubah. Namun, kenangan para tahanan politik yang sempat mendiami tempat itu terus membekas hingga akhir hayat mereka.

Nani Nurani Affandi

Ia dipenjara selama enam tahun di LP Bukit Duri.

Rosa Panggabean

Kisahnya berawal pada 1962, saat Nani masih berusia 21 tahun. Ia bergabung sebagai seorang penari dan penyanyi di Istana Kepresidenan Cipanas yang terletak di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Pada Juni 1965, Nani ikut menari dalam perayaan ulang tahun PKI—yang sebenarnya jatuh pada tanggal 23 Mei—di gedung pertemuan Roxy Cianjur. Seusai mengisi acara tersebut, ia pindah ke Jakarta mengikuti kakaknya sembari mencari pekerjaan.

Semenjak kepindahannya ke Jakarta, Nani menjadi incaran Corps Polisi Militer (CPM) Cianjur tanpa alasan jelas. Meski demikian, ia tak kunjung ditangkap karena jarang pulang ke kampung halaman. CPM akhirnya baru menangkap Nani pada 23 September 1968, saat ia pulang ke Garut untuk hari raya.

Ia dituduh ikut bernyanyi di Lubang Buaya pada malam 1 Oktober 1965, saat terjadi pembunuhan terhadap keenam Jenderal dan satu Perwira. Setelah ditahan di Gedung Ampera Cianjur, Nani dipindahkan ke Penjara Bukit Duri pada 29 Januari 1969.

LP Bukit Duri terdiri dari kamar berukuran 5×4 meter dan 2×2 meter berisi ranjang beton untuk tempat tidur para tahanan. Pada saat Nani tiba, lapas tersebut sudah dihuni sekitar 150 orang. Nani mengingat terdapat dua lapis pintu yang menjadi penjagaan Lapas Bukit Duri: sebuah pintu kayu, yang terbuat dari jati, serta sebuah pintu besi. Lapas tersebut dikelilingi tembok beton yang sangat tinggi. Ada pula sebuah aula yang dibagi dua antara narapidana sipil dan tahanan politik. Sementara pemeriksaan para tahanan terjadi di aula penjara.

Saat berada di penjara Bukit Duri, ia sempat dipanggil petugas lapas untuk memata-matai tapol perempuan lain. Ia menolak tawaran tersebut setelah mengingat pesan orang tuanya: bahwa ia bukan siapa-siapa lagi apabila menjadi seorang pengkhianat.

Nani sejatinya berasal dari keluarga kaya dan terpandang di Cianjur. Keluarganya sempat berunding untuk memberi jaminan agar Nani keluar dari penjara. Namun, mantan penari istana tersebut bersikeras agar tidak ditebus karena yakin ia tidak bersalah. Ia sempat ditawari pula untuk “ditebus” dengan menikahi seorang tentara, meski ia tolak mentah-mentah. Nani akhirnya keluar dari LP Bukit Duri pada 19 November 1975, karena didiagnosis menderita sakit liver serta depresi.

Darminah

Darminah pindah ke Papua bersama suaminya pada tahun 1962 sebagai seorang sukarelawan Front Nasional. Setelah kejadian 1 Oktober 1965, mereka yang tergabung dalam Front Nasional dituduh melakukan pergerakan, pelatihan, serta diskusi di Papua. Ketika ditangkap, Darminah tengah hamil sembilan bulan.

Rosa Panggabean

Bersama suami dan anaknya yang baru berusia tiga bulan, Darminah pun diberangkatkan ke Jakarta dengan kapal. Ia kemudian berpisah dengan suaminya setelah tiba di Jakarta. Setelah itu ia berpindah-pindah dari LP Bukit Duri Jakarta hingga Plantungan, Jawa Tengah. Pada akhirnya, Darminah menjalani hukuman di kamp tahanan selama 13 tahun.

Pada tahun 1966, Darminah dan anaknya masuk LP Bukit Duri. Menurut Darminah, persediaan makanan di LP Bukit Duri cukup sulit. Ia beruntung karena ada seorang napi tua yang kerap memberi anaknya lauk untuk makanan. Para tapol di LP Bukit Duri memasak sendiri makanan mereka; ketika mereka tidak mencuci bayam dengan bersih, terkadang masih ada kotoran dan pupuk yang masih melekat di sayur makanan mereka.

Ketika anaknya berusia tiga tahun, Darminah pun menitipkannya kepada seorang teman. Selama di LP Bukit Duri, Darminah hanya bertemu sekali dengan suaminya yang ternyata ditahan di LP Salemba. Pada tahun 1971, Darminah dipindahkan ke Plantungan, sementara suaminya dipindahkan ke LP Nusakambangan.

Setelah setengah tahun di Plantungan, Darminah menerima surat yang mengabarkan suaminya telah meninggal di Nusakambangan.

Endang

Yosephina Endang Lestari ditangkap saat berusia 20 tahun dan dipulangkan di usia 34. Pada tahun 1964, Endang memulai perkuliahannya di IKIP. Karena berasal dari keluarga miskin, Endang masuk kampus dengan biaya terbatas. Karena alasan finansial pula, Endang memutuskan masuk organisasi Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) karena ingin mendapat pinjaman buku dari senior-senior yang ada di organisasi tersebut.

Rosa Panggabean

Pada malam 27 November 1965, cuaca di luar rumahnya gerimis. Malam itu, ia didatangi banyak laki-laki dari Puterpra (Perwira/Bintara Urusan Teritorial dan Perlawanan Rakyat). Pada dini hari, Endang dibawa ke kantor CPM untuk diperiksa. Ketika pemeriksaan terjadi, para tentara mencari cap Gerwani di tubuhnya. Endang pun disuruh melepas semua pakaiannya, namun tidak ada yang menemukan cap tersebut.

“Saya tidak dijamah pada saat itu. Kalau dijamah, saya lebih baik mati daripada malu selamanya”, ujarnya saat diwawancara.

Setelah diperiksa, Endang kemudian berpindah-pindah tahanan, dimulai dari Benteng Vredeburg dari Desember 1965 hingga April 1966. Selama di Benteng Vredeburg ia hanya diperiksa sekali dan ditanya petugas, “Kamu mau menggulingkan pemerintah Soekarno yang sah ya?”. Endang menjawab tidak, karena ia hanya orang kecil.

Rosa Panggabean

Dari Yogyakarta, Endang kemudian dipindahkan lagi ke Ambarawa antara tahun 1966-1968. Di sana ia ditempatkan di Bastion wanita Benteng Pendem Ambarawa. Ia sempat membuat catatan-catatan kecil untuk mencatat dari mana dan kemana ia dipindahkan. Namun catatan tersebut disita ketika ia dipindahkan dari salah satu kamp ke kamp lainnya.

Endang ingat saat di Ambarawa, para tahanan tinggal di Bastion. Ketika keluarga datang membesuk, mereka dipisahkan sawah dan kawat berduri dengan jarak sekitar 30 meter; komunikasi antara para tahanan dan keluarga yang menjenguk pun harus berlangsung dengan berteriak-teriak. Para keluarga biasanya menanyakan kebutuhan para tapol, kemudian mengirimkan barang kebutuhan para tapol lewat petugas.

Karena Endang berasal dari keluarga miskin, ayah yang menjenguknya pun tidak dapat membawa apa-apa. Untuk memenuhi sejumlah kebutuhan pokok, Endang membuat kerajinan dan menjualnya lewat petugas. Hasil penjualan kerajinan yang ia buat kemudian ditukar dengan gula, sabun, atau kebutuhan pokok lainnya.

Endang berpindah-pindah tahanan hingga akhirnya ia dikembalikan ke Yogyakarta pada tahun 1979.

Sri Moehajati

Seharusnya, masa depan Sri Moehajati muda begitu cemerlang. Saat itu, ia masih berusia 24 tahun dan bersekolah sebagai mahasiswa kedokteran Universitas Gadjah Mada pada 1965. Selama menjadi mahasiswa, ia juga menjadi anggota CGMI. Alih-alih menjadi dokter, Sri Moehajati malah menjadi tahanan politik (tapol) dan berpindah-pindah tahanan selama lima tahun.

Rosa Panggabean

Ayah dari Sri Moehajati adalah Moehadi, seorang pengusaha sabun yang juga pengurus Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Anggota Dewan Perancang Daerah Yogyakarta pada saat itu. Ayahnya ditangkap pada November 1965, dan tak berapa lama kemudian Sri Moehajati dan ibunya, Musriah, juga menyusul ditangkap polisi. Pada saat ditangkap, ibunya harus kontrol dua minggu sekali ke rumah sakit akibat sakit ginjal.

Semenjak diperiksa dan ditahan, Sri Moehajati selalu bersama ibunya. Ia dan ibunya berpindah-pindah dari Benteng Vredeburg, Lapas Wirogunan, hingga Benteng Pendem Ambarawa. Ia terakhir kali bertemu dengan sang ayah saat ia dan ibunya ditahan di Benteng Vredeburg; ayahnya kemudian hilang setelah itu. Saat itu, ayahnya berpesan kepada Sri Moehajati untuk menggantikan dirinya menjaga keluarga.

Rosa Panggabean

Pada tahun 1966, Sri Moehajati dan ibunya dipindahkan ke Benteng Ambarawa. Di benteng peninggalan Belanda inilah Sri Moehajati harus berpisah dengan sang ibu. Sri Moehajati dipindahkan ke Lapas Bulu Semarang, sementara ibunya dipulangkan. Pada akhirnya, Sri Moehajati menghabiskan 1,5 tahun di Lapas Bulu Semarang sebelum akhirnya dipulangkan ke Yogyakarta pada 1970.

Heryani Busono Wiwoho

Heryani Busono Wiwoho bisa dibilang sebagai seorang intelektual. Ia dan suaminya, Herman Busono, adalah dosen yang tergabung dalam organisasi Himpunan Sarjana Indonesia (HSI). Heryani adalah pengajar di IKIP Yogyakarta, sementara suaminya mengajar di fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Ketika Heryani dan suaminya ditangkap, mereka harus meninggalkan empat orang anak.

Rosa Panggabean

Selama 13 tahun, Heryani berpindah-pindah kamp tahanan dari Yogyakarta hingga Plantungan, Kendal, Jawa Tengah. Pada mulanya ia ditahan di Wirogunan, lalu berpindah ke Ambarawa, Bulu Semarang, sebelum berakhir di Plantungan. Heryani Busono dipulangkan pada 1978.

Di Benteng Pendem Ambarawa, Heryani sempat diminta membuatkan lirik lagu dari seorang tentara yang juga menjadi tahanan politik, Juwito. Heryani membuatkan lirik berjudul Lagu Untuk Anakku yang bercerita tentang kerinduan terhadap anak-anaknya.

ROSA PANGGABEAN is a freelance photographer based in Jakarta, Indonesia. She previously worked for an Indonesian photo agency and a local newspaper as a staff photojournalist. During that time, she covered many issues, from daily life, politics, sports, to major disasters. Her works have been published in local and international publications through Reuters syndication.

Senin, 07 Oktober 2019

Bagaimana Nasib Gerwani Setelah G30S?


Oleh: Indira Ardanareswari - 7 Oktober 2019
                                             
Gerwani menunjukkan dukungan mereka untuk masuknya Papua sebagai bagian dari Republik Indonesia. FOTO/Istimewa

Pasca G30S, sejumlah organisasi onderbouw PKI bernasib nahas, termasuk Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang ribuan anggotanya menjadi tahanan politik Orde Baru.

Narasi G30S berkembang dengan begitu rumit. Banyak sisi gelap yang entah kapan akan benar-benar terungkap. Akibatnya, tafsir tentang peristiwa yang dianggap sebagai awal kemunculan rezim Orde Baru ini menjadi sangat beragam.

Kabut sejarah ini salah satu mengaburkan dan menguburkan peran serta nasib para perempuan yang tergabung dalam Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), organisasi perempuan yang berafiliasi dengan PKI.

Selama Orde Baru berkuasa, masyarakat sempat percaya bahwa Gerwani merupakan sarang perempuan cabul yang suka menyiksa sambil melakukan ritual seks. Mereka dianggap sebagai penebar teror yang dijuluki “Kuntilanak di siang bolong.”
“Kepada wartawan Angkatan Bersenjata dilaporkan bahwa orang-orang kalap [yang kemasukan roh jahat] dari Pemuda Rakyat dan Gerwani […] telah melakukan tindakah teror dengan berbagai cara,” tulis surat kabar Angkatan Bersenjata (11/10/1965).
Beberapa catatan menyebutkan bahwa Gerwani baru benar-benar mendekat ke arah PKI setelah Pemilu 1955. Berkat dukungan Gerwani, PKI mendulang banyak suara perempuan dan berhasil menduduki peringkat ke empat.

Menurut Amurwani Dwi Lestariningsih dalam Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan (2011, hlm. 53), keberhasilan PKI dalam pemilu secara tidak langsung juga menguntungkan Gerwani.


Dengan membonceng PKI, Gerwani berhasil menempatkan enam anggotanya di kursi DPR. Mereka adalah Suharti Suwarno, Salawati Daud, Suwardiningsih, Maemunah, Umi Sardjono, dan Nyonya Mugdigdo.

Setelah peristiwa berdarah pada 1 Oktober 1965, Gerwani yang banyak memperjuangkan kesejahteraan perempuan dan anak-anak itu harus ikut celaka. Para gadis yang pernah mengikuti pelatihan calon kader Gerwani di daerah ikut terseret menjadi korban salah tangkap yang berujung penyiksaan oleh Corps Polisi Militer (CPM).


Kebingungan Jelang Tragedi

Telah begitu banyak penelitian ilmiah yang dilakukan untuk menguak nasib nahas para anggota Gerwani pasca G30S. Salah satu peneliti terkemuka yang konsisten menelaah Gerwani adalah Saskia Eleonora Wieringa, Profesor Gender dan Perempuan serta Hubungan Sesama Jenis dari Universitas Amsterdam.

Menurut Wieringa seperti terdapat dalam buku Penghancuran Gerakan Perempuan (2010, hlm. 425), Gerwani sebagai organisasi tidak pernah terlibat kudeta pada 1 Oktober 1965. Pada 30 September malam, justru terjadi kebingungan dalam internal Gerwani di tingkat pusat. Suharti Suwarno datang ke kantor pusat Gerwani sambil membawa pesan dari partai, yakni dibutuhkan beberapa tenaga perempuan untuk mengurus konsumsi bagi peserta pelatihan Operasi Ganyang Malaysia di Lubang Buaya dan Halim.

Aktivitas penyediaan konsumsi itu pada kenyataannya kacau balau. Para perempuan tidak bisa memasak lantaran tidak ada dapur umum yang berfungsi. Begitu pagi menjelang, sejumlah perempuan yang dikirim ke Lubang Buaya kembali lagi ke kantor Gerwani dengan wajah kebingungan sambil membawa cerita pembunuhan yang simpang siur.

Salawati Daud, salah seorang pucuk pimpinan Gerwani dan anggota DPR dari PKI, mengayuh sepedanya menuju gedung DPR untuk mencari informasi. Setelah ditelusuri, pada malam itu ternyata Gerwani bukan satu-satunya organisasi perempuan yang mengirimkan anggotanya ke Lubang Buaya dan daerah Halim.

Sekitar 70 perempuan berusia 13-16 tahun berkumpul di Lubang Buaya pada malam menjelang 1 Oktober. Selain Gerwani, sebagian besar dari mereka berasal dari beberapa organisasi onderbouw PKI, seperti Pemuda Rakyat, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), dan Barisan Tani Indonesia (BTI). Bahkan, ada juga kelompok istri prajurit Cakrabirawa. Kelompok-kelompok perempuan ini dikerahkan langsung oleh pimpinan-pimpinan daerah atas nama PKI tanpa melalui Federasi Perempuan.
“Perintah Partai yang semacam itu sudah sangat biasa terjadi, maka tidak seorang pun yang mempertanyakan kebenarannya,” ungkap Wieringa.


Kampanye Anti-Gerwani dan Pendukung Sukarno

Setelah peristiwa 1 Oktober 1965 yang kemudian dikenal dengan sebutan Gestapu, para pimpinan Gerwani baik di tingkat pusat maupun di daerah langsung menjadi incaran CPM. Menurut Annie Pohlman dalam Women, Sexual Violence and the Indonesian Killings of 1965-66 (2014), Ketua Gerwani Umi Sarjono dan Sekjen Gerwani Kartinah menjadi dua dari beberapa pucuk pimpinan Gerwani yang pertama kali ditangkap.

Saat itu, Umi Sarjono sedang menghadiri sidang Parlemen yang diadakan pada 1-17 Oktober 1965. Sebelum masa reses, ia mendengar kabar bahwa telah terjadi pembunuhan dan pembakaran di kantor-kantor Gerwani. Rumah-rumah para aktivis Gerwani yang juga dijadikan kantor cabang tidak luput terkena amuk massa.

Umi, Kartinah, dan beberapa anggota Gerwani lainnya lantas diizinkan berlindung di Senayan. Tidak lama kemudian mereka didatangi polisi militer dan dibawa ke markas Kodam Jaya.

Meskipun tidak diperlakukan kasar, Kartinah mengaku mendapat tekanan mental yang sangat kuat. Di sana, mereka harus menyaksikan penyiksaan terhadap anak-anak muda sambil dipaksa mengakui keterlibatan Gerwani di Lubang Buaya yang menurutnya tidak beralasan.
“Saya dijebloskan ke Bukit Duri. Saya tidak pernah tahu kenapa saya dipenjara,” ujar Kartinah kepada Fransisca Ria Susanti dalam Kembang-Kembang Genjer (2006, hlm. 73).
Pada 5 Oktober 1965, surat kabar milik militer dan beberapa organisasi keagamaan memberitakan dugaan kekerasan seksual yang dialami para petinggi militer di Lubang Buaya. Para anggota Gerwani yang kebetulan berada di lokasi saat terjadi pembunuhan, dijadikan tersangka yang kemudian disambung dengan kampanye anti-Gerwani yang disebar melalui surat kabar pada 11 Oktober 1965.

Akibatnya, sejumlah organisasi perempuan menjadi sangat ketakutan. Federasi Perempuan Kowani dan persatuan istri polisi Bhayangkari secara berurutan memecat perempuan-perempuan yang pernah terlibat aktivitas sosial-politik Gerwani. Secara resmi, Gerwani dikeluarkan dari keanggotaan Kowani pada 29 Oktober 1965.


Penangkapan para pimpinan Gerwani terus berlangsung sampai Desember 1965. Sebagian besar dari mereka yang ditangkap di Jakarta dan sekitarnya langsung dijebloskan ke penjara perempuan Bukit Duri tanpa melalui proses peradilan.

Namun, tidak sedikit dari mereka yang berhasil kabur sebelum ditangkap, seperti halnya yang dilakukan salah seorang pimpinan cabang Gerwani bernama Sudjinah. Ia bersama perempuan-perempuan lain lantas bergabung dengan barisan pendukung Sukarno dan secara intensif melakukan kampanye dari bawah tanah.
“Situasi menjadi begitu buruk, kami tidak dapat berharap apa pun selain Sukarno memegang kekuasaannya kembali serta mengakhiri segala pembunuhan. Maka kami sebarkan pamflet ke berbagai tempat,” ungkap Sudjinah sebagaimana dikutip Wieringa.
Di tahun-tahun berikutnya, dakwaan terhadap Gerwani beralih. Mereka tidak lagi dikait-kaitan dengan peristiwa di Lubang Buaya, melainkan karena aksi mereka mendukung pemulihan pemerintahan Sukarno.




Berakhir di Plantungan

Sampai tahun 1967, ribuan anggota Gerwani dipenjarakan di pelbagai wilayah Indonesia. Oleh Orde Baru, Gerwani diklasifikasikan sebagai tahanan politik golongan B, bersama dengan anggota Lekra dan sejumlah organisasi pelajar seperti IPPI dan CGMI. Jumlah mereka mencapai sekitar 34 ribu orang.

Amurawani Dwi Lestariningsih dalam makalah “Perempuan dalam Pasungan Politik” yang terhimpun dalam Malam Bencana 1965: Dalam Belitan Krisis Nasional (2012, hlm. 463) menyebut bahwa sebagian besar aktivis Gerwani sempat berpindah dari satu penjara ke penjara lain sebelum akhirnya menghabiskan sisa harinya di Plantungan, Jawa Tengah.

Sejak April 1971, tahanan politik perempuan yang dikirim ke Plantungan terbagi dalam tiga gelombang. Gelombang pertama dari beberapa wilayah di Pulau Jawa. Gelombang kedua berasal dari Jawa Barat, Kalimantan, dan Sumatra. Sedangkan gelombang terakhir adalah rombongan dari penjara Bukit Duri di Jakarta.

Keadaan mereka tidak seluruhnya buruk, namun setiap kali terjadi interogasi para tentara merobohkan kondisi mental mereka dengan penyiksaan dan pelecehan seksual.
“Para tentara biasa membuka-buka rok dengan kaki, di bawah meja, ketika mereka duduk di atas kursi dan berhadap-hadapan dengan para tapol perempuan,” tulis Anna Mariana dalam Perbudakan Seksual: Perbandingan Antara masa Fasisme Jepang dan Neofasisme Orde Baru (2015, hlm. 124).
Menurut pengakuan Kartinah, ibu-ibu Gerwani yang tidak tersentuh gagang pecut hanya mereka yang pernah menjabat sebagai anggota parlemen. Kondisi para pimpinan ini terbilang mujur, karena ditempatkan di sebuah sel khusus sehingga tidak perlu berdesak-desakan dengan tapol perempuan lainnya.

Penahanan yang dialami para perempuan Gerwani berlangsung hingga belasan tahun. Sejak tahun 1977 hingga 1979, setelah merasa cukup “dibina” dan dinilai bebas dari ajaran komunis, para anggota Gerwani secara bertahap mulai dibebaskan. Kendati demikian, masih ada saja sebagian perempuan yang dianggap belum “bersih” dan harus menjalani penahanan di tempat lain.


Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Irfan Teguh

Para anggota Gerwani kerap mendapat siksaan dan pelecehan seksual saat diinterogasi oleh tentara.

Minggu, 22 September 2019

Cara Gerwani Lawan Kekerasan Seksual dan Kawin Paksa


Oleh: Indira Ardanareswari - 22 September 2019

Seorang anggota Gerakan Wanita Indonesia berbicara di sebuah upacara untuk memperingati pendiri organisasi Gerwani Suara Indonesia 25 Jan 1954. FOTO/wikipedia

Gerwani memerangi poligami dan nikah paksa. Pernikahan Sukarno dengan Hartini membuat posisinya sulit.

Sebagai negara baru, Indonesia tahun 1950-an diwarnai perdebatan tentang berbagai peraturan pemerintah. Organisasi perempuan yang tengah tumbuh kala itu juga turut meramaikan persilangan pendapat. Salah satu topik yang santer dibicarakan ialah pengesahan Peraturan Pernikahan No. 19 tahun 1952.

Menurut isinya, PP No.19/1952 memberikan hak kepada pegawai negeri untuk menunjuk lebih dari satu istri untuk menerima uang pensiun. Organisasi-organisasi perempuan progresif yang semakin sadar akan pentingnya monogami dalam negara modern merasa keberatan atas isi peraturan yang dinilai memfasilitasi poligami itu.

Sebelumnya, Menteri Urusan Agama juga sudah mengesahkan Peraturan Pernikahan No.22 tahun 1946 yang berisi peraturan tentang pendaftaran pernikahan dan talak talik. Peraturan ini kembali disempurnakan satu tahun kemudian dengan penambahan imbauan kepada pejabat sipil agar tidak mencatat pernikahan di bawah umur.

Namun kenyataannya, serangkaian peraturan di tahun-tahun awal kemerdekaan tersebut tetap mendapat penolakan dari organisasi perempuan. Mereka berpendapat pemerintah tidak benar-benar beritikad melindungi hak perempuan. Serangkaian perundingan melalui pembentukan komisi penyelidik hukum perkawinan pada tahun 1950 tidak berhasil menyatukan pendapat.

Cora Vreede-de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian (2008, hlm. 198-199) menyatakan pemerintah merasa kesulitan meratakan kepentingan yang bersifat agama dan netral. Selain itu, beberapa organisasi perempuan sekuler periode 1950-an yang benar-benar memperjuangkan isu ini kesulitan memperbesar pengaruh di hadapan parlemen.

Di antara organisasi-organisasi perempuan barangkali hanya Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang memiliki akses eksklusif tersebut. Dengan bantuan PKI, Gerwani memberikan perhatian lebih kepada isu kekerasan seksual dan kawin paksa untuk mendorong pengesahan apa yang mereka sebut sebagai Undang-Undang Perkawinan Demokratis.
Antara Emansipasi dan Kepentingan Politik

Dalam kongres tahun 1954, Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) merombak kebijakan organisasinya menjadi lebih radikal dan beralih nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Dalam Penghancuran Gerakan Perempuan (2010, hlm. 245), Saskia Wieringa menandai periode ini sebagai masa-masa paling feminis bagi Gerwani.

Tema kongres meliputi masalah kemerdekaan dan perdamaian serta emansipasi bagi perempuan dan anak-anak. Gerwani menuntut pemerintah segera menghapus segala bentuk imperialisme dan peraturan kolonial yang merugikan perempuan. Pada saat bersamaan, Gerwani juga menyatakan diri sebagai organisasi perempuan sekuler yang melampaui perbedaan-perbedaan ideologi.
“Dengan dihilangkannya sikap sektarian, baik dalam organisasi maupun cara kerjanya, Gerwani akan mempunyai kesempatan lebih besar untuk menjalankan tanggung jawabnya sebagai gerakan wanita yang menghimpun massa luas dalam misi perjuangan bagi hak-hak perempuan dan anak-anak,” kata ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gerwani, Umi Sarjono, seperti dikutip dari Wieringa.
Berkat resolusi tersebut, jumlah anggota Gerwani melompat tajam pada tahun-tahun berikutnya. Menurut catatan Amurwani Dwi Lestariningsih dalam Gerwani: kisah tapol wanita di Kamp Plantungan (2011, hlm. 47), pada tahun 1955, jumlah anggota Gerwani sudah mencapai lebih dari 400 ribu perempuan yang menyebar di lebih dari 40 cabang di seluruh Jawa.

Tecatat pada 1956, jumlah anggota Gerwani terus meningkat sekitar 100 ribu orang tiap tahunnya. Kampanye anti-tindak kekerasan seksual dan kawin paksa diselingi pula dengan sosialisasi program-progran organisasi. Akibatnya, pada 1963, Gerwani menjadi organisasi perempuan terbesar di Indonesia yang diklaim memiliki 1,5 juta orang pengikut.

Dalam setiap kampanye Gerwani, salah seorang anggota yang bernama Suwarti bertugas menguraikan panjang lebar langkah perjuangan kelompoknya. Dengan meniru strategi PKI, Gerwani berusaha keras menunjukan bahwa sosialisme merupakan solusi untuk menangkal praktek pernikahan di bawah umur.
“Meningkatnya kawin anak-anak disebabkan karena membumbungnya harga-harga dan bertambahnya kemiskinan di desa-desa, demikian halnya dengan perkembangannya pelacuran,” tulis Suwarti dalam laporannya.
Laporan Suwarti kemudian dijadikan dasar untuk mendorong pemerintah agar melekaskan perumusan Undang-Undang Perkawinan Demokratis untuk mengganti Peraturan Pernikahan No.19/1952. Namun, tuntutan yang disodorkan kepada komisi penyelidik hukum perkawinan pada 1954 ini tidak berjalan mulus. Pernikahan kedua Presiden Sukarno dengan Hartini pada bulan Juni malah mempersulit posisi Gerwani.

Saskia Wieringa mengkritisi sikap kompromi yang ditunjukan Gerwani sangat tidak mencerminkan ideologi awal mereka. Akibat tekanan politik dari PKI, Gerwani bersusah payah menahan sikap radikalnya dan mengisolasi diri dari federasi perempuan agar dapat mengabaikan fakta bahwa Presiden mereka telah berpoligami.




Memulai Kampanye Besar

Sejak tahun 1954, Gerwani dan PKI pada dasarnya memang lebih kerap berjalan beriringan ibarat suami-istri yang sudah terikat perjanjian. Tidak jarang Gerwani mendapat tekanan dari PKI agar keduanya memiliki resolusi yang sama.

PKI dengan berbagai cara mulai melancarkan dukungan untuk membantu melahirkan narasi “keluarga komunis” di tingkat sosial. Salah satu caranya ialah dengan turut mengecam isu-isu yang selama ini dimusuhi Gerwani: poligami, kekerasan seksual, dan perkawinan paksa.

Sejak permulaan tahun 1955, organ PKI Harian Rakjat (26/1/1955) mewartakan dengan berapi-api kasus pernikahan paksa yang menimpa seorang gadis bernama Maisuri. Disebutkan, gadis remaja ini dipaksa menikahi seorang kiai yang sudah memiliki tiga istri dan 12 anak.

Maisuri mengaku tidak mengenal sang kiai. Dia hanya diberitahu bahwa pernikahan itu sudah mendapat persetujuan dari sang ayah. Maisuri akhirnya memilih kawin lari dengan pacarnya. Tak lama, pasangan ini tertangkap dan dikenai hukuman kurungan enam bulan.

Sampai akhir 1955, Harian Rakjat terus menggali kasus Maisuri melalui serangkaian artikel panjang. Tidak sekedar memberitakan, koran ini juga menunjukan kecaman keras terhadap pernikahan paksa. Berangkat dari kasus ini, Gerwani mulai menyisir kasus-kasus di daerah untuk memperkuat dasar tuntutan mereka terkait peraturan pernikahan.

Pada 1956, DPP Gerwani Umi Sarjono menginstruksikan para kader dari Jawa dan Jakarta untuk menghimpun laporan tentang tindak kekerasan dan pengabaian hak perempuan. Ratusan kasus tumpah ruah ke atas meja Umi. Sebagian besar kasus ini tidak bisa terselesaikan selama bertahun-tahun akibat kurangnya pengetahuan soal hukum. Ditambah lagi, perihal adat dan agama sering menjadi kendala.

Menyikapi angka kasus yang sangat besar, Gerwani pusat mulai memberikan pelatihan dan mediasi ke daerah-daerah. Masih pada tahun yang sama, Suwarti bersama dua rekannya yang lain, Kartinah dan Darmini, diberi tugas untuk menyusun kurikulum kursus pelatihan selama 15 hari.

Selain bertujuan mengatasi isu pelanggaran hak perempuan, pelatihan tersebut ternyata juga bertujuan mencetak kader. Kampanye anti-tindak kekerasan seksual dan kawin paksa ala Gerwani hampir selalu diselingi dengan sosialisasi program-progran organisasi. Berkat hal inilah jumlah anggota Gerwani naik pesat sepanjang tahun.

Menurut catatan Amurwani Dwi Lestariningsih dalam Gerwani: kisah tapol wanita di Kamp Plantungan (2011, hlm. 47), pada tahun 1955, jumlah anggota Gerwani sudah mencapai lebih dari 400 ribu perempuan yang menyebar di lebih dari 40 cabang di seluruh Jawa.

Tercatat sejak tahun 1956, jumlah anggota Gerwani terus meningkat sekitar 100 ribu orang tiap tahunnya. Dengan demikian tidak mengherankan jika pada 1963, Gerwani sudah menjadi organisasi perempuan terbesar di Indonesia yang diklaim memiliki 1,5 juta orang pengikut.

Dengan memanfaatkan ratusan ribu aktivis yang tersebar di pelosok, Gerwani masuk ke kampung-kampung untuk memberikan pelatihan tentang hak perempuan berlandaskan sosialisme. Mereka menggunakan data-data tentang kemiskinan yang kaitkan dengan kasus Maisuri untuk menunjukan dampak pernikahan tanpa konsensus.

Selain kasus Maisuri, Gerwani juga mengisi materi kampanyenya menggunakan kasus Attamimi, seorang saudagar Arab yang didakwa memperkosa dan membunuh gadis belia di Jawa Timur. Seperti kasus terdahulu, kasus Attamimi juga mendapat perhatian berkat publikasi surat kabar organ PKI plus kampanye besar pada 20 Juni 1956 untuk menuntut hukuman mati terhadap Attamimi.
“Jika mereka meminta kami menulis petisi tentang kasus Attamimi atau Maisuri otomatis kami melakukannya,” ungkap Suwarni salah seorang pimpinan cabang Gerwani, seperti dikutip dari Wieringa.
Dari buku Pergolakan Ideologi Gerakan Perempuan di Indonesia dalam Transformasi Sosial (2004, hlm. 27) ditemukan bahwa hampir tidak ada organisasi perempuan selain Gerwani yang berani mempersoalkan hukuman Attamimi. Akibatnya, Gerwani kerap kali dipandang terlalu keras sehingga memancing antipati sebagian kelompok Islam Jawa Timur.

Melalui perwakilan nyonya Mudigdo, Gerwani membawa tuntutannya hukuman mati ke muka persidangan di Besuki, Jawa Timur. Di daerah yang dikenal sebagai basis komunitas Islam itu mereka disambut dengan rasa kebencian dan dituding anti-Islam.
“Ketika kami berjalan melalui lorong-lorong kampung, para wanita memperlihatkan wajah tidak bersahabat. Mereka mengucapkan doa-doa sambil menutup pintu,” ungkap nyonya Mudigdo dalam wawancara dengan Wieringa.

Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Windu Jusuf

Gerwani membela korban perkosaan dan menuntut sang pelaku dihukum mati.

Selasa, 18 Juni 2019

Jalan Revolusi Umi Sardjono, Pejuang Kemerdekaan & Pemimpin Gerwani


Oleh: Indira Ardanareswari - 18 Juni 2019

Umi Sardjono. FOTO/tirto.id

Kisah Umi Sardjono, pejuang kemerdekaan dan aktivis perempuan yang terlupakan setelah prahara 1965.

Nama Umi Sardjono mungkin kurang terdengar gaungnya dalam sejarah Indonesia populer. Kesaksiannya sepanjang era pergerakan, revolusi, hingga masa pemerintahan Sukarno terbungkam oleh tuduhan-tuduhan para penguasa Orde Baru atas gerakan-gerakan yang diasosiasikan dengan G30S. Umi Sardjono merupakan ketua umum Gerwani, organisasi perempuan progresif yang terkena imbas konflik politik masa itu.

Pada 1950, bersama S.K. Trimurti dan Tris Metty, seorang karib dari Laskar Wanita Indonesia (Laswi), Umi mantap mendirikan Gerwis sebagai wadah gerakan revolusi perempuan. Sepanjang empat tahun kiprahnya, Gerwis telah mengadakan kongres sebanyak dua kali. Hingga saat beralih nama menjadi Gerwani pada 1954, organisasi bentukan pikir Umi dan kawan-kawan seperjuangannya itu telah berkembang sangat pesat dengan jumlah anggota ratusan ribu perempuan.
“Gerwani akan mempunyai kesempatan lebih besar untuk menjalankan tanggung jawabnya sebagai gerakan wanita yang menghimpun massa luas dalam misi perjuangan hak-hak perempuan dan anak-anak”, kata Umi dalam kongres Gerwani 1954, seperti dikutip dari Saskia E. Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pasca Kejatuhan PKI (2010: 232).
Pencapaian Gerwani di bidang emansipasi perempuan lantas hancur seketika begitu terjadi guncangan politik 1965. Annie Pohlman dalam Women, Sexual Violence and Indonesian Killings of 1965-66 (2014) mencatat, Umi Sardjono dan Kartinah yang saat itu menjabat sekretaris jenderal Gerwani merupakan dua dari beberapa perempuan pertama yang ditangkap pasca-peristiwa 30 September 1965 .

Umi Sardjono kemudian dibawa untuk diinterogasi di Bukit Duri kemudian berakhir di Plantungan. Sepanjang penahanan, Umi dipaksa mengakui keterlibatan Gerwani dalam aksi penyiksaan para jenderal di Lubang Buaya. Namun ia kukuh menolak. 

“Tentu saja saya menolak tuduhan tersebut karena sudah sangat jelas bahwa mereka tidak memiliki bukti keikutsertaan kami [Gerwani] di Lubang Buaya. Hal ini terjadi terus berulang-ulang,” tutur Umi kepada Pohlman dalam sebuah wawancara pada 2005.
Akibat minimnya ulasan sepak terjang Umi Sardjono, tidak banyak yang tahu dari mana asal keteguhan seorang Umi Sardjono. Sikap keras Umi Sardjono kemungkinan merupakan buah hasil perjuangannya sebelum Kemerdekaan.


Jalan Revolusi

Umi Sardjono lahir dengan nama Suharti Sumodiwirdjo di Salatiga pada 24 Desember 1923. Ayahnya, Ruslan Sumodiwiryo adalah seorang juru tulis Kawedanan Salatiga. Suharti menjadi perempuan beruntung pada zamannya, karena kebetulan orang tuanya berpikiran modern. Suharti beserta kakak perempuannya diizinkan mengenyam bangku sekolah di Hollandsch-Inlandsche School (HIS).

Menurut peneliti dan aktivis Ruth Indiah Rahayu, seperti umumnya gadis-gadis yang melek huruf pada zaman kolonial, Suharti tumbuh dewasa dengan membaca Habis Gelap Terbitlah Terang karya Kartini. Hal ini mendorongnya untuk melibatkan diri dalam aktivitas organisasi pergerakan nasional, Partai Indonesia Raya (Parindra).

Di saat yang besamaan, Suharti ternyata juga mengidolakan Surastri Karma Trimurti alias S.K. Trimurti, wartawan perempuan yang di kemudian hari menjabat menteri perburuhan di kabinet Amir Syarifuddin. Fransisca Ria Susanti dalam Kembang-Kembang Genjer mencatat pertemuan antara Suharti dan S.K. Trimurti baru terjadi di Blitar sekitar 1943. Kebetulan keduanya ditahan di penjara yang sama di Blitar (2006, hlm. 59).

Suharti dan Trimurti langsung akrab bagai kakak-adik. Keduanya saling bertukar gagasan perjuangan buruh dan gerakan perempuan progresif. Suharti banyak belajar dari Trimurti, bahkan tak ragu lagi memanggil Trimurti yang lebih tua 11 tahun dengan julukan Yu Tri (sebutan untuk kakak perempuan). Selepas keluar dari penjara, keduanya ditampung di rumah Ibu Wardoyo (Ibu kandung Bung Karno), atas inisiatif Walikota Blitar.

Pada 1945, bersama-sama Trimurti, Suharti membentuk Barisan Buruh Wanita (BBW) yang berdiri di bawah Barisan Buruh Indonesia (BBI). Berdasarkan kongres di Kediri pada 1945, Trimurti terpilih sebagai ketuanya, sementara Suharti mendampingi sebagai wakil.

Keduanya semakin lengket tatkala Suharti mengutarakan misinya kepada Trimurti untuk menarik lebih banyak peran serta perempuan dalam Revolusi Indonesia. 
“Saya terjun ke politik karena ingin bergabung di organisasi. Dulu organisasi perempuan lain diskriminatif karena posisi sosial. Maka saya ingin dirikan organisasi perempuan sendiri. Saya ajak teman. Kami dirikan Gerwis, lalu Gerwani,” kata Suharti dalam sebuah wawancara dengan majalah Historia.



Gerakan Bawah Tanah dan Nama “Perjuangan”

Nama Suharti Sumodiwirdjo terukir di atas sebuah pusara di pemakaman Umum Cipinang Asem, Jakarta Timur, sejak 2011. Kembali mengutip tulisan Ruth Indiah Rahayu, nama Umi Sardjono didapatnya selama bergabung dalam gerakan bawah tanah melawan Jepang.

Selama aktivitas perjuangannya bersama Parindra, Suharti sempat mendapatkan pelatihan gerakan bawah tanah untuk menumbangkan Jepang. Ketika berjuang, Suharti lebih kerap menggunakan nama Umi sebagai nama samaran.

Sekitar 1943, Umi ditugaskan di Blitar. Di sanalah hati Umi tertambat kepada seorang pemuda bernama Sukisman, seorang pemimpin komunis sebelum Musso. Mereka pun menikah dan tak pernah dikaruniai anak.

Menyandang status istri tak lantas membuat perjuangan Umi kendor. Bersama Sukisman, Umi melanjutkan gerakan bawah tanahnya. Mereka membuka warung makan di depan markas tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Blitar yang kerap dijadikan pos penghubung antara para aktivis dengan gerakan komunis bawah tanah. Dari sinilah Umi berhasil menjaring informasi-informasi penting untuk melumpuhkan Jepang.

Sekitar 1944, warung Umi dan suaminya dikepung tentara Jepang. Mereka dituduh membantu aksi pemberontakan PETA yang dipimpin Supriyadi. Bersama sang suami, Umi ditangkap dan dijebloskan ke penjara di Blitar, tempat di mana ia berkawan dengan Trimurti.

Kepada Ruth Indiah Rahayu, Umi sempat menceritakan hari-harinya di dalam penjara Jepang. Ia bersama-sama tahanan lain dipukuli dalam posisi digantung terbalik tanpa diberi makan atau minum dan dipaksa minum air kencingnya sendiri selama berhari-hari.

Sepanjang kisahnya, tidak sedikitpun perasaan gusar ditunjukan Umi. Justru sebaliknya, Umi malah mengatakan kepada Ruth, “Barangkali air kencing itu yang membuat saya tetap sehat, sama dengan tahanan lainnya”.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Umi berhasil bebas dari rumah tahanan Jepang dan berlindung di rumah ibu kandung Sukarno. Kendati demikian, perjuangan Umi belum usai. Serangan Belanda terhadap Republik Indonesia kembali memaksa Umi memaggul senjata.

Menurut penuturan Sri Sukatno, mantan sekretaris DPD Gerwani DKI Jakarta, kepada penulis Lilik HS, Umi bergabung dengan Laswi dan kembali ke garis depan sepanjang Perang Kemerdekaan. 
“Waktu itu saya masih kecil. Kaget sekali melihat ada seorang perempuan masuk rumah, pakai baju tentara dan sepatu lars. Itulah Umi Sardjono!” kenang Sri Sukatno.
Semenjak menikah, Umi memang sudah menyandang nama dewasa suaminya, Sardjono, di belakang nama samaran yang lantas menjadi bagian penting perjuangannya. Nama inilah yang menjadi sumber semangat sekaligus identitas perjuangan seorang Umi. Ia terus mempertahankan nama perjuangannya dalam Pemilu 1955 saat ia mewakili Partai Komunis Indonesia.

Sumber: Windu Jusuf
Penulis: Indira Ardanareswari

Pada zaman Jepang, warung Umi kerap menjadi pos penghubung antara aktivis dengan gerakan komunis bawah tanah

Rabu, 20 Maret 2019

Dialita, Suara Hati Perempuan Penyintas G30S


March 12, 2018 | imajinasijoker



Dialita: “Dunia Milik Kita” (2016)

Boleh jadi ini sentimental: beberapa tahun setelah saya berpisah dengan pacar pertama sewaktu masih SMA, setiap angkutan kota di kampung halaman mendadak hadir sebagai pengingat. Saya mengenang detik-detik yang biasanya dianggap remeh dan bagaimana hal itu kemudian bisa sedemikian jelas dikonstruksi oleh ingatan. Lalu saya menyadari betapa lucu (atau tragis) cara ingatan manusia bekerja. Ketika saya merasa sudah genap melupakan, kenangan-kenangan masa lalu datang menyergap layaknya sekumpulan bajingan yang merampok kesadaran — bahwa ada yang belum selesai, kecuali saya berani menghadapinya sendiri.

Ingatan adalah barang mewah di sini. Setiap upaya mengingat adalah pemberontakan melawan sebuah rezim yang otoriter, sebab di dalam ingatan tersimpan serangkaian peristiwa muram yang mampu melahirkan kesadaran untuk berjuang. Sejarah dipelintir, realitas ditekuk, sementara ingatan kolektif ditentukan oleh buku pelajaran di sekolah. Selain apa-apa yang ada di buku pelajaran adalah kebohongan, dan siapa saja yang ngototberkata sebaliknya dan berusaha melakukan rekonsiliasi dianggap sebagai pendusta jahat yang layak disiksa dan dihilangkan.

Album Dunia Milik Kita adalah sebuah rekaman musik yang berupaya untuk menyajikan suara-suara yang dibungkam pada masa lalu, suara-suara yang dipaksa sunyi karena dosa kolektif dari sebuah asosiasi yang dianggap dan dituduh terlibat dalam peristiwa 1965, dari kelompok yang dicap sebagai komunis dan pengkhianat. Saat rezim pemerintahan Orde Baru yang otoriter itu tumbang, suara-suara yang dulunya dipaksa sunyi, dipaksa hilang, dan dipaksa bungkam, sekarang kembali hadir dengan cara yang tegas, segar, dan kuat. Paduan suara Dialita (Di atas lima puluh tahun) merupakan bebunyian kolektif dari masa lalu, bebunyian yang dipaksa sunyi oleh rezim Orde Baru setelah peristiwa 1965. Dialita beranggotakan para ibu tangguh dan perkasa yang pernah ditahan, dipenjara, diasingkan, dan dihukum melakukan kerja paksa tanpa pernah tahu kesalahannya — cuma karena mereka dituding terlibat dalam peristiwa 1965.

Formasi album ini terdiri dari sepuluh lagu lawas yang diaransemen ulang beberapa musisi lintas-generasi, yang juga hadir untuk mengiringi paduan suara Dialita. Dengan segala kerendahan hati yang ada, saya memohon agar siapa saja yang mendengarkan album ini untuk menganggap nama-nama musisi lintas-generasi di sini (Sisir Tanah, Prihatmoko Catur, Nadya Hatta, Lintang Radittya, Kroncongan Agawe Santosa, Frau, dan Cholil Mahmud) sebagai sesuatu yang tidak signifikan, menempatkan mereka sebagai sekadar figuran saja, agar mampu menangkap kenikmatan, keindahan, dan kesadaran album ini secara maksimal. Album ini juga berperan sebagai sebuah arsip sejarah karena menghadirkan kembali suara dari seniman-seniman besar Indonesia yang disingkirkan dari manuskrip sejarah cuma karena mereka tercatat sebagai anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), para maestro musik yang ditangkap pada masa pemerintahan Orde Baru dan beberapa di antaranya harus meringkuk dalam kamp kerja paksa di Pulau Buru, Kepulauan Maluku, Indonesia.

Berkumpul untuk bernyanyi, bercerita, dan berbagi pengalaman bertahan hidup adalah upaya yang terus-menerus dilakukan oleh keluarga penyintas tragedi kelam 1965 untuk merawat harapan. Bernyanyi memberikan keluarga penyintas sebuah kapasitas suara untuk bicara dan didengar bahwa mereka masih hidup dan menolak lupa, apalagi dibungkam dan dipaksa menyerah-kalah. Ibu-ibu tangguh dan perkasa dalam paduan suara Dialita adalah monumen hidup yang berusaha menuliskan sejarah baru agar bisa diingat selamanya. Melalui album ini, Dialita tidak sedang mengasihani diri sendiri. Dialita tegak bersuara untuk menyanyikan lagu-lagu dari masa lalu dengan tegas, sesuatu yang membikin mereka kuat menghadapi jahatnya stigma, kejamnya sel penjara, dan bengisnya perlakuan diskriminasi. Suara-suara yang dihadirkan oleh album ini merupakan titik tengah pertemuan antara semangat masa lalu dan estetika seni masa kini: sebuah kumpulan musik yang segar dengan susunan teks dan komposisi nada yang berasal dari momen-momen kelam di masa lampau.

Dua sosok yang sangat berjasa mengumpulkan arsip dokumentasi dan mencatat lagu-lagu dari dalam penjara adalah Ibu Utati dan Ibu Mudjiati (dua anggota Dialita yang pernah dipenjara di Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan), di mana keduanya mencoba menuliskan kembali lirik-lirik yang tidak lagi utuh dalam ingatan, kemudian secara perlahan berhasil menggenapi bagian-bagian yang terpenggal, lalu diberi notasi nada dan selanjutnya disalin ke dalam lembar partitur secara sederhana, lantas partitur-partitur sederhana yang jauh dari sempurna itu diperkenalkan dan dipelajari bersama kawan-kawan mereka dalam paduan suara Dialita.

Dialita membuka Dunia Milik Kita dengan trek Ujian — jawara dan favorit saya di album ini — yang ditulis oleh Ibu Siti Jus Djubariah dan diaransemen ulang oleh Frau. Saya ingin menuliskan sesuatu yang indah untuk mendeskripsikan lagu ini, namun jujur saja — setiap kali mendengarkan lagu ini, jantung persegi saya terenyuh dan rasa-rasanya hampir mustahil menahan air mata untuk tidak merembes keluar. Lagu ini lahir di dalam Penjara Bukit Duri, sebuah tempat di mana ratusan perempuan dan lelaki, tua dan muda, yang berasal dari berbagai macam serikat pekerja dan organisasi mahasiswa, ditahan karena dituding telah melakukan kesalahan yang entah apa. Para perempuan dan lelaki yang ada di tempat tersebut dipenjara tanpa pernah tahu apa kesalahan mereka dan tanpa proses pengadilan.

“Dari balik jeruji besi, hatiku diuji,” baris lirik awal Ujian mengabarkan semangat para tahanan politik yang dipecundangi oleh rezim pemerintahan pada masa itu, mereka yang dipenjara tetapi menolak untuk larut dalam kekalahan, “apa aku emas sejati atau imitasi?”.
Suara denting piano yang dimainkan Frau sebagai musik pengiring berhasil meruapkan atmosfer sendu dari manusia-manusia yang sedemikian tegar dan kuat menahan derita.

Saya selalu membayangkan bahwa Ujian ditulis dengan keteguhan dan sisa-sisa harapan sebagai upaya untuk tetap tegar menghadapi gelapnya kehidupan di balik jeruji besi penjara yang pengap. Hidup di penjara tanpa pernah tahu kapan bisa bebas adalah salah satu bentuk lain dari vonis kematian. Banyak sekali tahanan politik yang melewati masa remajanya dengan ketidak-pastian di dalam penjara. Ibu Siti adalah seorang guru yang ditangkap dan ditahan di Penjara Bukit Duri pada tahun 1965. Kemudian, pada pertengahan 1971, Ibu Siti — bersama dengan puluhan tahanan lainnya — dikirim ke Kamp Plantungan, Kendal, Jawa Tengah, dan sempat dipindahkan ke Penjara Bulu, Semarang, Jawa Tengah, sebelum akhirnya “dibebaskan” pada tahun 1978. Lagu ini menjadi salah satu penyemangat dan upaya untuk tetap waras bagi para tahanan politik yang direnggut-paksa kebebasan dan hak-haknya oleh Orde Baru.

Nomor Salam Harapan — karya Ibu Zubaedah Nungtjik AR dan Ibu Murtiningrum (keduanya adalah tokoh Gerwani [Gerakan Wanita Indonesia]) yang diaransemen ulang oleh Cholil — berfungsi sebagai doa yang tulus, semacam niat untuk membesarkan hati yang dipersembahkan kepada kawan-kawan sesama tahanan politik yang sedang berulang-tahun di Penjara Bukit Duri. (“Salam harapan padamu kawan: semoga kau tetap sehat sentosa. Bagai gunung karang di tengah lautan, tetap tegar didera gelombang.”)
Musik hadir sebagai medium kebersamaan dan bentuk lain dari kebahagiaan di tengah-tengah keterbatasan dan penindasan. Menurut beberapa artikel yang saya baca, ada tradisi menarik yang selalu dilakukan di dalam penjara tersebut: setiap ada yang berulang tahun, semua tahanan politik bakal berdiri berjajar di depan sel penjara yang bersangkutan pada pagi-pagi buta untuk bersama-sama menyanyikan sebuah lagu sebagai ucapan selamat dan memberikan sekuntum bunga apa pun yang bisa dipetik dari halaman penjara sebagai hadiah. Cholil membikin lagu ini tetap sederhana dan bersahaja, namun tidak menghilangkan ketulusan dan keteguhan yang menjadi karakter para ibu penyintas tragedi 1965.

Kemudian ada materi Di Kaki-kaki Tangkuban Perahu ciptaan Putu Oka Sukanta dan Michiel Karatem yang dibuka dengan desir angin dan suara gitar, kemudian suara-suara lirih mulai terdengar untuk mengabarkan semangat para petani yang tidak akan pernah mati. Aransemen ulang lagu ini yang digarap oleh Sisir Tanah, Lintang, dan Frau berhasil menyulap saya untuk sepenuhnya luruh, tenggelam dalam rasa syukur dan rindu sekaligus sukacita menggairahkan yang mirip dengan perasaan senang-gembira saat berdiri memandang hamparan sawah dan mendengarkan suara angin bergesekan dengan padi. 
“Malam dijemput suara kecapi,” baris teks puitik lagu ini layak dibaca dan dipahami dengan serius, “siang dibernasi suara aksi; di sini juang dipadu membina dunia baru nan jaya”. 
Latar belakang yang diabadikan oleh Putu dan Michiel dalam lagu ini adalah situasi yang harus dihadapi oleh para petani di kaki Gunung Tangkuban Perahu saat melawan dan menolak Undang-Undang Pokok Agraria pada dekade ‘60an. Saat itu, para petani pejuang Tangkuban Perahu melakukan aksi protes sambil tetap bekerja merawat sawah mereka di bawah terik mentari sianghari, sementara pada malamhari, mereka berdiskusi sembari menikmati alunan kecapi dalam momen kebersamaan yang hangat.

Lintasan perjalanan Dunia Milik Kita kemudian dilanjutkan oleh trek Padi Untuk India: sebuah lagu yang bisa menjadi arsip sejarah karena mendeskripsikan kontribusi Indonesia untuk dunia global di masa lalu, tepatnya pada tahun 1946 saat India mengalami krisis pangan yang cukup parah di bawah penjajahan kolonial Inggris. Meskipun pada saat itu Indonesia merupakan bangsa bau kencur yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya, sebagai bentuk solidaritas kepada negara yang masih terjajah, Indonesia berhasil mengirimkan bantuan berupa 700 ton beras ke India setelah sempat diadang oleh Belanda dengan aksi pembakaran dan pengeboman gudang penyimpanan beras di Kota Banyuwangi, Jawa Timur. Lagu yang ditulis oleh A. Alie (tidak ada catatan sejarah yang merekam sosoknya di dunia seni Indonesia) ini diaransemen ulang oleh Sisir Tanah dan berhasil memaksimalkan keriangan melodi lagu ini tanpa harus terdengar rumit. Saya bisa mendengar ritme perjuangan yang menyenangkan dan merasakan semangat solidaritas kemanusiaan di dalamnya.

Lagu berikutnya yang berjudul Taman Bunga Plantungan (karya Ibu Zubaedah) diaransemen ulang dengan begitu indah oleh Kroncongan Agawe Santosa. Lagu yang tercipta di Kamp Plantungan pada tahun 1971 ini merupakan tanda cinta dan persahabatan para tahanan politik, menceritakan sebuah taman kecil yang dibangun dengan swadaya oleh para tahanan politik di Kamp Plantungan pada masa itu. Kamp Plantungan merupakan bekas rumah sakit yang dibangun pada masa penjajahan kolonial Belanda untuk para penderita penyakit lepra / kusta. Kondisi kamp ini mirip lapangan jagal yang dipenuhi “benda-benda ajaib” di mana tidak jarang ditemukan potongan-potongan jari tangan atau jari kaki para penderita lepra / kusta yang sempat dirawat di sana.

Bebunyian kolektif yang disuarakan oleh Dialita melalui rekaman album ini adalah representasi dari ratusan ribu tahanan politik Indonesia yang dipenjara tanpa proses pengadilan apa pun. Hak sipil para tahanan politik tersebut sengaja dicabut, identitas dan jati diri mereka dilecehkan, serta hak asasi mereka diludahi. Para tahanan politik itu dicap sebagai komunis, seolah-olah hal itu merupakan dosa asal (original sin) yang tidak layak untuk diampuni. Di Indonesia, ada semacam upaya sistematis untuk menjadikan segala sesuatu yang terkait dengan komunisme sebagai pesakitan menjijikkan. Keseluruhan album ini pada dasarnya bukanlah sekadar usaha untuk menolak lupa saja, melainkan juga sebuah upaya kolektif untuk menempatkan kembali sebuah konteks dari satu waktu di masa lalu. Dialita tidak sedang menuntut dengan amarah dan dendam kesumat, namun mereka bernyanyi dengan tegas untuk merayakan ingatan dan kenangan, serta memberikan suara dan perspektif dari satu-dua peristiwa sejarah yang pernah dipaksa bungkam oleh penguasa agar generasi mendatang bisa belajar dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Nomor Kupandang Langit (ciptaan Koesalah Soebagyo Toer, diaransemen ulang oleh Lintang dan Frau) memberikan pengalaman musikal dan efek magis yang serupa dengan Ujian. Terinspirasi oleh pohon beringin pencekik di halaman Rutan (Rumah Tahanan) Salemba, Jakarta, Koesalah berusaha menjaga kewarasan sekaligus juga untuk menyemangati kawan-kawan sesama tahanan politik di sana dengan menciptakan Kupandang Langit. Bagi saya, Kupandang Langit memiliki efek magis yang dramatis — semacam menyeruput secangkir kopihitam pahit hangat saat hujan menderas seharian di luar kandang dan menyadari bahwa ada hal-hal yang tidak bisa saya lawan, bahwa ada sesuatu yang tidak bisa saya selamatkan. Meski begitu, ada semacam kesadaran bahwa saya toh masih punya kekuatan untuk mengakhiri tragedi dengan tangisan tidak berkesudahan perihal betapa buruknya hidup ini, atau dengan kebanggaan bahwa sampai pada titik akhir yang paling getir sekalipun, saya tidak memundurkan kaki setapak pun darinya. Dan kebanggaan semacam itu, tentunya, tidak muncul dari fatalisme yang pasrah menerima nasib apa adanya, melainkan lahir dari keberanian untuk mengafirmasi kehidupan seutuhnya: amor fati — yang tragis dan yang manis.

Formasi album Dunia Milik Kita selanjutnya dihuni oleh dua lagu yang punya konteks politik penting sebagai perwujudan dari sikap perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme di masa lalu: (1) materi Viva Ganefo yang ditulis oleh Asmono Martodipoero dalam bahasa Spanyol untuk merespons penyelenggaraan Pesta Olahraga Negara-Negara Berkembang [GANEFO: Games of the New Emerging Forces] pada dekade ‘60an dan diaransemen ulang oleh Sisir Tanah; dan (2) trek Asia Afrika Bersatu yang diciptakan oleh Sudharnoto untuk menyambut penyelenggaraan Konferensi Asia–Afrika pada 18-24 April 1955 di Gedung Merdeka, Kota Bandung, Jawa Barat, dan lagu ini diaransemen ulang oleh Prihatmoko, Nadya, dan Lintang.

Dua lagu yang menggenapi perjalanan album ini adalah Lagu Untuk Anakku (aransemen ulang oleh Cholil) dan Dunia Milik Kita (aransemen ulang oleh Lintang dan Cholil). Nomor Lagu Untuk Anakku disusun bersama oleh Ibu Heryani Busono Wiwoho (lirik) dan Mayor Djuwito (notasi musik) saat dipenjara oleh tentara di Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) Kelas II Ambarawa, Semarang, Jawa Tengah, untuk menyuarakan kegelisahan tentang nasib anak-anak Indonesia yang mendadak harus kehilangan orangtua karena dipenjara, diasingkan, atau dibunuh oleh rezim pemerintahan otoriter pada saat itu. Sementara materi Dunia Milik Kita karangan Sudharnoto, yang mulai ditulis pada saat reformasi politik Indonesia sedang terjadi dan selesai bertepatan dengan perayaan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia pada 10 Desember 1998, menyampaikan gagasan besar tentang satu bangsa yang terdiri dari berbagai macam identitas yang berbeda-beda.

Album ini berhasil membikin suasana hati saya campur-aduk: berkali-kali saya dibikin sedih, hancur, dan menangis, untuk kemudian dikuatkan dengan harapan dan semangat yang menggembirakan sewaktu memutarnya kencang-kencang di dalam kandang. Ibu-ibu tangguh dan perkasa yang tergabung dalam paduan suara Dialita adalah pohon rindang yang mampu memberikan ketenangan dan keteduhan magis layaknya kasih sayang dari nenek dan ibu saya sendiri. Suara vokal Dialita mungkin saja bergetar dan tidak merdu, namun ada sesuatu yang membikin jantung saya luruh dan terenyuh ketika mendengarkannya — serupa perasaan sentimental saat melihat hujan untuk pertama kalinya setelah musim kemarau berkepanjangan.

Pada akhirnya, Dialita dan Dunia Milik Kita-nya merupakan ketulusan estetis yang mahategar dan memesona, bebunyian kolektif dari orang-orang yang menolak menyerah-kalah ketika dipaksa tunduk oleh otoritas bangsat. Suara yang ada di dalamnya mewartakan luka dengan tegas, sekaligus juga memberikan harapan serta rasa nyaman dan aman. Ini adalah resep mujarab dengan takaran yang pas — seperti pelukan ibu yang menghangatkan, atau semacam aroma tubuh sang kekasih sehabis bercinta tetapi belum sempat mandi — yang memberikan hasrat dan harapan sebagai fondasi untuk melakukan aksi perjuangan melawan kondisi brengsek hari ini yang semakin tidak baik-baik saja.

— Daftar lagu Dunia Milik Kita —
1) Ujian [Frau]
2) Salam Harapan [Cholil Mahmud]
3) Di Kaki-kaki Tangkuban Perahu [Sisir Tanah, Lintang Radittya, dan Frau]
4) Padi Untuk India [Sisir Tanah]
5) Taman Bunga Plantungan [Kroncongan Agawe Santosa]
6) Viva Ganefo [Sisir Tanah]
7) Lagu Untuk Anakku [Cholil]
8) Kupandang Langit [Lintang dan Frau]
9) Dunia Milik Kita [Lintang dan Cholil]
10) Asia Afrika Bersatu [Prihatmoko Catur, Nadya Hatta, dan Lintang]

Salam harapan dan peluk hangat, atas-nama cinta dan anarki, untuk paduan suara Dialita dan seluruh ibu-ibu tangguh nan perkasa di luar sana. {ѧ}

Sumber: MemoriSenja