HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Pemuda Rakyat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pemuda Rakyat. Tampilkan semua postingan

Kamis, 15 Agustus 2019

Pemuda Kiri Mendesak Proklamasi

Oleh: Petrik Matanasi - 15 Agustus 2016

Presiden Soekarno bersama Acmad Aidit. [Foto/narakata.com]

Proklamasi hanya butuh keberanian Bung Karno dan Bung Hatta saja setelah pemuda-pemuda mendukungnya. Namun, tanpa pergerakan pemuda-pemuda kiri—baik yang sosialis maupun yang komunis, Proklamasi tak akan terjadi

Malam hari, 14 Agustus 1945, berita kekalahan Jepang pun sampai ke telinga para pemuda. Radio BBC London pada siang harinya telah mengabarkan soal menyerahnya Jepang kepada pasukan Sekutu di kapal USS Misouri. Kabar itu tetap sampai ke telinga pemuda Indonesia meski tentara Jepang menyita hampir semua radio milik rakyat.

Gerakan Antifasis Perlawanan anti Jepang berhasil menyembunyikan sejumlah radio. Kelompok Syahrir, Amir Sjarifoedin, dan lainnya menyembunyikan dengan baik radio-radio tersebut sehingga tetap dapat menerima kabar-kabar dari luar. Ahmad Aidit mendengar berita itu. Dia bergegas menemui Wikana, kawannya yang bekerja di untuk Kaigun (Angkatan Laut Jepang) di Jakarta dalam wadah Asrama Indonesia Merdeka.

Aidit mengusulkan sebuah pertemuan. Wikana setuju. Esoknya, pukul tujuh pagi, 15 Agustus 1945, sejumlah pemuda berkumpul di belakang areal laboratorium Bakteriologi. Hadir antara lain Chaerul Saleh, Djohar Nur, Pardjono, Armansjah, Subadio Sastrotomo , Suroto Kunto, Eri Sudewo, Syarif Thayeb, Wahidin Nasution, Nasrun, Sukarni,Karimoedin, Adam Malik, Darwis. Chaerul Saleh memimpin rapat itu.

 Kebanyakan dari mereka adalah dari Asrama Menteng 31. Sebagian dari mereka adalah pengikut Sutan Syahrir, seorang sosisalis yang anti Jepang seperti Subadio Sastrotomo. Ada juga pengagum Tan Malaka, seorang Trotsky yang beda paham dengan Stalin, seperti Adam Malik, Sukarni juga Wikana. Sementara Ahmad Aidit yang belakangan jadi Dipa Nusantara Aidit adalah komunis. Wikana meski bekerja untuk Kaigun, masih memelihara hubungannya dengan Tan Malaka yang sepanjang pendudukan Jepang bersembunyi di Bayah dengan nama samaran Husein.

Menurut Harry Poeze, yang banyak menulis Tan Malaka, rumah Sukarni bahkan pernah dikunjungi Tan Malaka menjelang Proklamasi. 

Mengancam Golongan Tua 

Hasil rapat 15 Agustus itu memutuskan, Suroto Kunto, Subadio, Wikana, dan Aidit untuk bertemu Ir Soekarno alias Bung Karno. Mereka menuntut agar kemerdekaan diumumkan. Aidit mengusulkan Bung Karno sebagai Presiden Indonesia.

 Malam itu juga, keempat pemuda tadi menemui Bung Karno di kediamannya, Pegangsaan Timur. Malam itu banyak tokoh-tokoh tua berkumpul bersama Bung Karno, yang baru saja pulang dari Saigon.

 Sebagai juru bicara pemuda-pemuda itu, Wikana mendesak Bung Karno untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia secepatnya. Jika perlu tanggal 16 Agustus 1945. Bung Karno tak bisa ambil keputusan sendiri. Dia harus bicara pada tokoh-tokoh tua. Tokoh-tokoh tua ini adalah orang-orang koperatif pada Balatentara Jepang. Belakangan mereka disebut Golongan Tua. Lalu Wikana dan kawan-kawan pemudanya disebut Golongan Muda. Wikana dan kawan-kawan pemudanya mempersilakan para Golongan Tua untuk berunding di dalam rumah.

Sementara Wikana menunggu di beranda rumah bersama pemuda lain. Lalu Mohamad Hatta alias Bung Hatta keluar dan mengatakan jika tokoh-tokoh tua para pemimpin itu enggan secepatnya memproklamasikan kemerdekaan, karena menanti penyerahan kekuasaan dari Balatentara Jepang. Pemimpin-pemimpin tua itu tak mau didesak untuk mengumumkan proklamasi.
“Kecuali jika saudara-saudara memang sudah siap dan sanggup memproklamasikannya, cobalah! Saya pun ingin lihat kesanggupan saudara-saudara...” kata Hatta pada para pemuda itu.
Dengan maksud agar mereka tidak salah langkah dan merugikan banyak pihak. Para pemuda tentu masih pada pendirian mereka.
“Jika besok siang belum juga diumumkan, kami, para pemuda akan bertindak dan menunjukan kesanggupan yang saudara kehendaki,” ancam Wikana pada golongan tua tadi.
Termasuk kepada Hatta tentunya. Hatta sendiri, sebenarnya sudah diperingati Syahrir suatu sore sepulang Hatta dari Saigon.
“Syahrir menjumpai Hatta, menceritakan kepadanya tentang cerita-cerita penyerahan itu, dan mendesaknya supaya membuat Proklamasi Kemerdekaan diluar kerangka Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dengan alasan bahwa sekutu yang menang pasti tidak mau berurusan dengan suatu negara yang disponsori Jepang,” tulis Ben Anderson dalam bukunya Revolusi Pemoeda (1988).
Argumen Syahrir itu agaknya sulit diterima oleh Hatta dan golongan tua lainnya. Golongan Tua itu berpikiran, jika bala tentara Jepang di Indonesia masih kuat. Orang-orang muda yang siap mati di masih sekitar Menteng tentu jadi harapan Syahrir. Sejak sore 14 Agustus 1945, para pemuda itu mulai bekerja demi sebuah proklamasi. Mereka rela melakukan apapun, termasuk “menculik”.



Jelang Proklamasi 

Setelah misi Wikana dan kawan-kawan gagal, para pemuda itu sepakat untuk “menculik” pentolan Golongan Tua tadi. Pagi dinihari 16 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta dibawa ke Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat.

Begitu juga Fatmawati dan Guntur yang masih kecil. Di sekitar lokasi ini, pemuda dan orang-orang Indonesia yang pernah dilatih Jepang dalam Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) siap bertindak jika kemungkinan terburuk terjadi.

Alasan penculikan itu untuk menghindari pengaruh Militer Jepang. Di Rengasdengklok, mereka berunding lagi di rumah I Siong—seorang keturunan Tionghoa. Namun, tetap saja Bung Karno enggan. Sampai akhirnya Ahmad Subardjo datang menjemput Bung Karno dan Bung Hatta.

Meski sorenya Bung Hatta, Bung Karno beserta istrinya Fatmawati dan bayinya Guntur, yang diculik itu pulang juga ke Jakarta. Di Rengasdengklok ternyata bendera Jepang Hinomaru diturunkan dan ada pernyataan kemerdekaan juga pada 16 Agustus itu. Sejumlah orang Jepang yang ditangkapi. 

Di Surabaya, menurut Abdul Haris Nasution dalam bukunya Bisikan Nurani Seorang Jenderal (1997), Heiho pimpinan Sadikin sudah mengibarkan Merah Putih di unit artileri Jepang tempat mereka bekerja. Mereka sudah dengar berita kekalahan Jepang, segera mengambil alih pimpinan di tempatnya bekerja. Pengibaran bendera Merah Putih hari itu adalah penyataan sikap juga.

Di Cirebon, sudah ada proklamasi kemerdekaan juga pada tanggal 15 Agustus 1945 oleh Dokter Sudarsono. Menurut Aboe Bakar Loebis dalam bukunya Kilas Balik Revolusi (1992), kelompok Syahrir di Cirebon adalah penyelenggara dari proklamasi itu. Naskah titipan Syahrir dibacakan oleh Dokter Sudarsono.

Sementara di Jakarta masih belum Proklamasi. Bung Hatta dan Bung Karno tiba di Jakarta lagi sekitar senja tanggal 16 Agustus 1945. Malamnya, di rumah perwakilan Kaigun di Jakata, Laksamana Maeda, Bung Karno bersama tokoh lain dan sebagian pemuda berkumpul.

Laksamana Maeda yang kenal Wikana dan tokoh tua Indonesia lain merelakan rumahnya. Barangkali Laksamana Maeda memakai pengaruhnya agar pihak Rikugun (Angkatan Darat) tidak mengganggu acara yang esok akan dilakukan oelh Wikana dan kawan-kawannya. Mereka rapat hingga dinihari. Di situ, naskah Proklamasi ditulis oleh Bung Karno. Naskah itu lalu diketik rapi oleh Sayuti Melik. Esok paginya, sebuah peristiwa besar disiapkan para pemuda. Tak hanya yang terpelajar.

Menurut Vintje Sumual, dalam Pemimpin Yang Menatap Hanya Ke Depan (1998), pemuda-pemuda yang biasa mangkal di sekitar Pasar Senen pun bersiaga di jalanan. Banyak diantara mereka adalah orang-orang Sulawesi pimpinan Jan Rapar.

Laksamana Maeda adalah pelindung dari orang-orang Sulawesi yang ada di Jakarta. Sementara pemuda terpelajar, juga yang sudah jadi PETA, di sekitar Jalan Pegangsaan Timur 56. Wikana dan kawan-kawannya mempersiapkan acara. Mereka mengundang orang-orang yang belakangan jadi saksi Proklamasi Indonesia. Semua akhirnya aman tanpa gangguan.

Pengeras suara disiapkan pagi itu. Sebuah tiang disiapkan beserta bendera Merah Putih yang dijahit Fatmawati. Semua siap. Bung Karno nyaris tak bisa membacakan Proklamasi karena demam. Wikana sempat khawatir. Namun, Bung Karno akhirnya membacakan juga naskah bersejarah bagi Bangsa Indonesia itu.

Setelah Proklamasi dibacakan pada pukul 10.00 oleh Bung Karno, Latief Hendraningrat, komandan kompi di batalyon PETA Jakarta, yang hadir di sana jadi pengerek bendera. Sementara yang lain menyanyikan Indonesia Raya mengawal naiknya Bendera Merah Putih ke arah langit. Akhirnya usaha keras pemuda-pemuda kiri, mulai yang sosialis hingga komunis itu sukses.

Indonesia berutang jasa para Wikana, Sukarni, Adam Malik, Subadio Sastrotomo dan nama-nama lain yang panjang jika disebut satu persatu.
Pastinya, Indonesia juga berutang kepada D.N Aidit, Sang Ketua PKI terakhir.

Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti

D.N. Aidit ikut serta merencanakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Sabtu, 04 Mei 2019

Utati Koesalah Ditahan tanpa Diadili


Penulis: (TS/M-1) - Sabtu, 04 Mei 2019, 20:03 WIB

Utati Koesalah - MI/SUMARYANTO BRONTO

PEREMPUAN kelahiran 1944 ini menjalani tahanan hingga 11 tahun. Ironisnya, Utati yang kala dijebloskan ke penjara berusia 22 tahun, tidak pernah menjalani persidangan.

Ditahan atas tuduhan terkait dengan PKI pun dirasakan sangat membingungkannya karena ia hanya mengikuti kegiatan kesenian di organisasi Pemuda Rakyat.

Diceritakan Utati yang kini berusia 75 tahun, semula ia mengajar di sebuah sekolah dasar sembari bersekolah sore di sebuah sekolah menengah. Ia bergabung dengan Pemuda Rakyat karena ingin menyalurkan hobi menari dan menyanyi. "Saya hanya ingin menyalurkan hobi saya berkesenian saja, tidak tahu itu terkait dengan politik atau tidak," tuturnya.

Saat awal penangkapan, Utati menuturkan jika petugas mengatakan hanya bermaksud meminta keterangan selama tiga hari. Kenyataannya ia ditahan seterusnya di penjara wanita Bukit Duri yang kini sudah tidak ada lagi.
Di penjara itu, Utati menyaksikan banyak anak-anak tapol yang ikut dibawa ke penjara dan tumbuh besar di sana. Anak-anak itu menjadi penghiburan bagi para tapol. Namun kemudian, dibuat aturan jika anak di atas umur 3,5 tahun harus keluar dari penjara.

Masa-masa awal di penjara tentu saja membawa rasa kecewa, bahkan frustrasi bagi Utati. Ia sempat murung dan malas untuk melakukan apa pun.

Beruntung, ia mampu menyemangati diri sendiri dan mencoba beradaptasi dengan keadaan. Keberadaan teman sebaya dan anak-anak kecil cukup mampu membawa sedikit suasan ceria dan mengalihkan sejenak dari derita.

Di sisi lain, ia pun memang harus tetap berjuang untuk bisa hidup dipenjara. Ia mengikuti kegiatan membuat kerajinan tangan, seperti membuat renda dan kristik.
"Saya harus berusaha untuk bisa tidak mati di situ. Waktu itu kami diizinkan kerja tangan, seperti ngrenda, kristik, dititipkan pada ibu ibu yang besuk untuk dijual, kalau laku bisa untuk beli gula, sabun, dan lainnya," tutur Utati.
Utati akhirnya bisa merasakan lagi udara bebas di usia 33 tahun. Namun, ia keluar dalam keadaan sakit amandel dan sulit berjalan. Maka, Utati pun berupaya dulu untuk sembuh.

Setelah bisa berjalan, ia langsung pulang menemui ibunya. Sang ibu yang sudah berpikir tidak akan pernah bertemu lagi dengan anaknya pun terkejut bercampur senang. Utati lalu menikah dengan sesama eks tapol, yakni Koesalah Soebagyo Toer yang merupakan adik dari sastrawan Pramoedya Ananta Toer. (TS/M-1)

Rabu, 01 Mei 2019

Pelajar SMK Produksi Film Pendek Tragedi ‘65


SM/dok PENGAMBILAN GAMBAR : Pelajar SMK HKTI 2 Purwareja Klampok melakukan pengambilan gambar film "Buru" di sekitar wilayah Banjarnegara, baru-baru ini.(60)

BANJARNEGARA – Pelajar di bawah fasilitasi Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga kembali memproduksi film bertema tragedi ’65. Tahun ini SMK HKTI 2 Purwareja Klampok, Banjarnegara. Di bawah bendera ekstrakurikuler sinematografi, Hika Production memproduksi fiksi pendek berjudul Buru yang pengambilan gambarnya dilakukan di wilayah Kecamatan Susukan dan Purwareja Klampok, 27-28 April.

Sutradara film ini, Supangat mengatakan, selain harus mempelajari literasi dan referensi tentang sejarah Indonesia tahun 1965, ia dan teman-temannya juga menyiapkan set film dengan latar tahun 1979 yang cukup berat.
“Berat memang, tapi kami jadi berkesempatan belajar banyak hal, yang bahkan tidak kami pelajari di sekolah,” ujar siswa kelas X jurusan Teknik Komputer Jaringan (TKJ) ini.
Film yang tengah masuk paskaproduksi ini berkisah tentang pemuda bernama Kodri. Selain dikenakan wajib lapor sepekan dua kali ke Koramil, pemuda yang sempat menjadi anggota organisasi Pemuda Rakyat. Setelah bebas dan pulang dari Pulau Buru masih diawasi, dicurigai, bahkan disepelekan. Sebelum diasingkan ke Pulau Buru, Maluku, Kodri rajin beribadah dan mengajar anak-anak mengaji. Pun setelah pulang dari Pulau Buru, bedanya, ia mengajar mengaji anak-anak di langgar sambil diawasi tentara.

Kompetisi Pelajar

Sampai akhirnya, Kodri yang hanya tinggal bersama ibunya, bertemu Daryo, teman lama sesama bekas tahanan politik di Koramil saat wajib lapor. Bahkan Daryo meminta Kodri menikahi Sri, adiknya. Kodri tak menolak tawaran Daryo setelah mendapat restu ibunya.

Meski semestinya hidup bahagia dengan Sri yang sedang mengandung, namun hidup Kodri tampak semakin berat. Bukan karena beban ekonomi, tapi kekhawatiran dan kecemasan yang terus membayangi sebagai eks-tapol. Menurut Taufik Setyo Pambudi, dalam memerankan tokoh Kodri, ia juga harus ikut membaca literasi yang dipelajari para kru selain menonton beberapa film pendek tema ’65 yang memang tidak banyak.
 
“Pada dasarnya, saya senang dunia akting, makanya ketika lolos casting, saya menjadikan peran ini sebagai tantangan,” ujar pria yang pernah belajar teater saat SMA.
Produser yang juga guru pembina ekskul sinema, Anggiriani Agustin Puspitasari mengatakan, skenario film ini ditulis dari kisah nyata seorang mantan tapol dari Purbalingga.
“Ketika saya tawarkan pada anak-anak, mereka antusias dan menyatakan berani memfilmkan. Ya masa saya takut? Lagi pula, sekolah juga mendukung,” tutur guru pengampu pelajaran seni tari ini.
Film yang direncanakan berdurasi 15 menit ini dipersiapkan untuk diikutkan pada program Kompetisi Pelajar se-Banyumas Raya Festival Film Purbalingga (FFP) 2019, yang akan digelar pada 6 Juli – 3 Agustus 2019. (K35-60)

Rabu, 26 Desember 2018

Pembunuhan Massal 1965: Bermula dari Aceh, Diulangi selama DOM


Oleh: Irma Garnesia, Jess Melvin - 26 Desember 2018
  • Buku '65 yang Terbit pada 2018
Anggota Pemuda Rakyat, sayap pemuda Partai Komunis Indonesia (PKI), ditahan oleh milter (30/10/65). FOTO/AP

The Army and the Indonesian Genocide merekonstruksi peristiwa pembantaian 1965-66 melalui dokumen-dokumen resmi militer.
Suatu hari pada 2010, saya kembali dari bekas gedung arsip setempat bersama sekardus fotokopian dokumen. Saya tak menyangka 3.000 halaman dokumen yang saya peroleh bisa mengubah sejarah. 

Dari setumpuk halaman dokumen itulah saya menyusun disertasi yang diujikan di Universitas Melbourne pada 2014 dan diterbitkan oleh Routledge dengan judul The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder, empat tahun kemudian. Saya merekonstruksi narasi bikinan TNI mengenai peristiwa 1965 berdasarkan catatan, rekaman, dan hasil wawancara dari 70 korban yang selamat, eksekutor, dan saksi mata dari aksi genosida yang terjadi di Aceh.

Lebih dari setengah abad, TNI mengisahkan pembantaian 1965 yang menewaskan sekitar satu juta warga sipil tak bersenjata sebagai perlawanan spontan masyarakat. Versi militer menyebut aksi-aksi pembantaian itu sebagai “Operasi Penumpasan” untuk menghabisi musuh bebuyutan TNI—Partai Komunis Indonesia—hingga ke akar-akarnya.

Tiga ribu halaman dokumen yang saya juluki “Berkas Genosida Indonesia” itu mampu meruntuhkan propaganda pemerintah Indonesia tentang pembunuhan massal 1965-66 dan membuktikan keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di dalamnya. Berkas Genosida Indonesia juga menunjukkan sebuah koordinasi tingkat tinggi dan terpusat di balik rangkaian pembunuhan 1965-66 yang bisa ditelusuri rantai komandonya hingga ke Soeharto di Jakarta.

Saya menempatkan operasi militer 1965-66 sebagai tindakan genosida, seturut definisi yang diatur dalam Konvensi Genosida 1948. Pada bab pertama Mechanics of Mass Murder, saya menjelaskan bagaimana rentetan peristiwa dan rekaman yang ditemukan dalam Berkas Genosida Indonesia menunjukkan keterlibatan TNI dalam operasi penumpasan yang bertujuan menghancurkan—sebagian atau keseluruhan—sebuah kelompok nasional, etnis, ras atau agama. 

Di Balik Narasi Hari Kesaktian Pancasila

Sesuai narasi resmi negara Indonesia, 1 Oktober 1965 diperingati sebagai hari ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) meluncurkan percobaan kudeta terhadap bangsa Indonesia lewat aksi “Gerakan 30 September” (G30S). Aksi G30S sendiri rumit untuk dijelaskan karena mengandung unsur kebenaran sekaligus fabrikasi yang dimanfaatkan TNI untuk menjustifikasi operasi penumpasan yang mereka gencarkan setelah 1 Oktober.

Sebelum fajar 1 Oktober 1965 menyingsing, sekelompok perwira menengah yang menamai diri Gerakan 30 September menculik enam perwira tinggi TNI: Jenderal Ahmad Yani, Letjen S. Parman, Letjen Haryono, Letjen Suprapto, Mayjen Pandjaitan, Mayjen Sutoyo Siswomiharjo. Satu perwira lagi, Pierre Tendean, diciduk lantaran disangka Jenderal AH Nasution oleh tim eksekutor.

Penculikan ini rupanya diketahui oleh pimpinan PKI, D.N. Aidit dan seorang pihak lain yang tak dikenal. Namun, Aidit sedikit pun tidak memberi tahu rekan-rekan separtai tentang rencana ini.

Para jenderal diculik karena diduga bakal mengkudeta Presiden Sukarno. Kudeta ini disebut-sebut akan didukung Badan Intelijen Amerika (CIA) yang tak senang menyaksikan kedekatan Sukarno dan PKI. Setelah aksi penculikan dan pembunuhan dini hari Oktober itu, TNI mengumumkan PKI telah melakukan percobaan kudeta serta menciptakan pemberontakan berskala nasional. Selang beberapa hari setelahnya, TNI kembali menyebarkan kabar bahwa PKI dan para simpatisannya akan membantai umat Islam

Karena propaganda TNI inilah, kemarahan masyarakat terhadap kelompok ‘ateis’ dan komunis memuncak, lalu meledak dalam aksi-aksi kekerasan yang berujung pada banjir darah di beberapa daerah.

Pembunuhan massal 1965-66 kerap dibingkai sebagai kekerasan horizontal akibat kemarahan masyarakat terhadap kekejaman PKI. Dalam bingkai tersebut, TNI dielu-elukan sebagai pihak yang telah berhasil menyelamatkan negara dari rongrongan komunis. 

Kenyataannya, narasi semacam itu telah mengaburkan fakta-fakta di lapangan. Meski benar kelompok G30S menculik dan membunuh enam perwira tinggi dan seorang letnan pada dini hari 1 Oktober, namun operasi tersebut tak punya hubungan langsung baik dengan PKI maupun kelompok-kelompok lainnya yang jadi korban keganasan operasi militer 1965-66. Fakta-fakta yang ditemukan memang kontras dengan klaim yang digembar-gemborkan TNI. Misalnya, kendati tujuh perwira militer dibunuh, tak satu pun yang dimutilasi. Tak ditemukan pula rencana PKI untuk membantai warga Muslim. 

Bukti-bukti kawat diplomatik antara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan para diplomat di Jakarta justru mengungkapkan bahwa para perwira tinggi TNI sengaja menanti sebuah peristiwa yang bisa dijadikan dalih untuk mengambinghitamkan PKI dan menggulingkan Sukarno melalui kudeta militer.

Meski sebelumnya tak ditemukan bukti perencanaan genosida oleh TNI, rupanya ada perintah pembunuhan massal secara sistematis antara 1 hingga 14 Oktober. TNI sengaja menciptakan kondisi yang memungkinkan mereka mengumumkan darurat militer dan merebut kekuasaan. 

Operasi Berdikari dan Justifikasi TNI

Menurut Berkas Genosida Indonesia, TNI secara resmi mengkoordinasikan persiapan operasi militer di Sumatera yang dimulai pada April 1965 melalui sebuah kampanye yang dikenal di internal TNI sebagai “Operasi Berdikari”. Operasi ini diaktifkan pada pagi hari 1 Oktober, ketika TNI seolah masih menimbang-nimbang respons yang tepat terhadap G30S. Agar operasi bisa dimulai, darurat militer di seluruh Sumatera harus diumumkan dan struktur komando militer baru di Aceh (dikenal sebagai Komando Pertahanan Daerah/Kohanda) juga wajib diaktifkan.

G30S tidak menyatakan niat untuk menggulingkan pemerintah hingga sore hari 1 Oktober. Namun, dalam korespondensi internal militer, sejak pagi hari 1 Oktober para petinggi TNI telah menyatakan G30S sebagai gerakan kudeta. G30S sendiri mengklaim tindakannya menculik para jenderal sebagai upaya untuk memperingatkan Sukarno akan rencana kudeta TNI.

Di sisi lain, bukti-bukti yang ditemukan menunjukkan bahwa D.N. Aidit mengetahui rencana G30S, bahkan hadir di Pangkalan Udara Halim pada 1 Oktober. Namun, tak ada bukti bahwa Aidit mengkomunikasikan skenario penculikan G30S ke PKI atau elemen-elemen partai lainnya sebelum 1 Oktober. Dengan kata lain, tuduhan PKI terlibat dalam G30S—baik sebelum maupun sesudah 1 Oktober—tidak terbukti.

Pertanyaan yang semestinya diajukan bukanlah “apakah PKI terlibat dalam G30S?”, melainkan “sudah tepatkah cara TNI merespons G30s?”

Dimulai dari Aceh

Selama bertahun-tahun, kesulitan utama dalam membuktikan keterlibatan TNI di balik genosida 1965-66 adalah kekurangan bukti dokumen yang mampu menggugurkan sejarah 1965 versi militer.

Sebelum penemuan Berkas Genosida Indonesia pada 2010, para peneliti terus berdebat soal apakah TNI menyembunyikan bukti baru atau pernahkah TNI mengeluarkan perintah untuk melakukan pembantaian massal. 

Diskursus akademik pasca-1965 tentang peristiwa G30S beserta pembunuhan massal yang menyertainya ikut menguatkan klaim-klaim TNI. Sejak dulu, ada rasa enggan di lingkaran akademik untuk menempatkan pembantaian 1965 sebagai kampanye militer yang sistematis, terstruktur, dan terpusat. 

Laporan-laporan akademik awal seperti yang ditulis oleh Lucien Rey (1966), serta Ruth McVey dan Benedict Anderson (1971), terang-terangan menyoroti peran TNI dalam pembunuhan 1965-66. Posisi ini didukung para pengkaji genosida seperti Leo Kuper (1981) dan Frank Chalk dan Kurt Jonassohn (1990), yang sejak awal bermaksud memasukkan pembantaian massal 1965-66 ke dalam kategori kekerasan genosida.

Laporan-laporan perdana ini juga tak bebas dari masalah karena mengandalkan kesaksian tentara dan materi propaganda TNI yang bisa diakses khalayak. Laporan-laporan tersebut belum bisa membuktikan keterlibatan TNI dalam aksi kekerasan massal 1965-66, apalagi niat TNI untuk menghabisi komunisme. Kesulitan memperoleh bukti bahwa militer langsung mengomandoi pembunuhan memunculkan sebuah "problem pembuktian".

Lambat laun, terbangunlah asumsi bahwa bukti semacam itu memang tak pernah ada. Celah inilah yang akhirnya melahirkan narasi-narasi seputar pembunuhan massal yang cocok dengan versi TNI. Lambat laun terbangunlah asumsi bahwa bukti semacam itu memang tak pernah ada. Celah inilah yang akhirnya melahirkan narasi-narasi seputar pembunuhan massal yang cocok dengan versi TNI. 

Namun, ada pula beberapa peneliti yang menolak tunduk pada narasi dominan bikinan serdadu. Peneliti seperti Robert Cribb (1991), Saskia Wieringa (1995), Geoffrey Robinson (1995), Bonnie Triyana (2002), John Roosa, Ayu Ratih, dan Hilmar Farid (2004) mengandalkan metode sejarah lisan untuk mengungkap sejumlah kasus peran militer dalam pembantaian.

Meski begitu, ada beberapa kerumitan terkait bukti yang perlu diurai. Dalam The Road to Power (1982), Ulf Sundhaussen meletakkan tanggung jawab atas monopoli kekuasaan dan kekerasan selama penumpasan komunis di pundak TNI. Namun, Sundhaussen juga menyadari betapa sulit membuktikan pembantaian direncanakan oleh Soeharto dan kroco-kroconya. Singkatnya, hampir mustahil menyatakan mereka mendalangi semua kejadian ini.Meski begitu, ada beberapa kerumitan terkait bukti yang perlu diurai. 

Sundhaussen mencatat kekerasan massal pertama kali meledak di Aceh. Tak lama setelah rumor tentang pembantaian terhadap umat Islam di Yogyakarta sampai ke telinga masyarakat Aceh, warga setempat sigap ‘berjihad’ memerangi siapa pun yang diduga komunis.

Dalam Problems in the Historiography of the Killings in Indonesia (1991), Robert Cribb menyatakan pembantaian massal di Aceh disebabkan oleh kekerasan bermotif agama. Bagi Cribb, pembantaian 1965 adalah cermin dari sejarah Aceh yang berlumur darah. 

Saya menemukan analisis yang sedikit berbeda dalam disertasi Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia (1978). Crouch mencatat pembantaian besar-besaran di Aceh meletus pada Oktober. Meskipun jumlah anggota PKI di Aceh sangat kecil, umat Islam di Aceh memandang PKI sebagai ancaman bagi agama mereka. Dalam pandangan Crouch, relasi antara tentara dan warga sipil anti-komunis selama pembantaian berpijak pada kesamaan tujuan, alih-alih rantai komando yang terpadu.

Crouch melihat peristiwa tersebut sebagai perlawanan rakyat untuk mempertahankan agama, sementara pihak militer ia gambarkan sebagai aktor yang mengakhiri perlawanan tersebut.

Yang tak kalah penting adalah benang merah penghubung studi Crouch dan Cribb. Crouch melandaskan analisisnya pada disertasi Sundhaussen (1971), sedangkan Cribb mengutip penelitian Crouch. Tiga studi ini mengacu pada narasumber yang sama: Brigadir Jenderal Ishak Djuarsa, orang yang paling bertanggung jawab atas genosida di Aceh.

Kesimpulan yang saya ambil berbeda dari Cribb dan Crouch: pembantaian massal 1965-66 dilakukan secara terorganisir dan terstruktur oleh tentara yang memprovokasi penduduk dengan sentimen agama dan etnis. 

Menumpas Hingga ke Akar-akarnya

Sebelum penemuan Berkas Genosida Indonesia, sulit rasanya membuktikan TNI mendalangi pembantaian 1965. Selama pembantaian berlangsung, TNI memang sempat mengobarkan propaganda yang memperlihatkan dukungan terhadap aksi-aksi pemusnahan PKI. Sayangnya, materi propaganda saja tidak cukup bisa membuktikan bahwa TNI juga mengomandoi pembantaian. 

Salah satu produk propaganda TNI dapat dijumpai dalam sebuah karikatur yang diterbitkan surat kabar Angkatan Bersenjata pada 8 Oktober 1965. Karikatur tersebut menggambarkan seorang pria berpeci dan mengenakan kemeja bertuliskan "Rakjat dan ABRI.” Sang pria digambarkan menghantamkan kapak pada batang pohon yang dilabeli "G.30.S" sementara pada akar pohon terdapat tulisan "PKI." Terdapat pula tulisan “Basmi [mereka] sampai ke akar-akarnya!'

Menurut Berkas Genosida Indonesia, pada tengah malam 1 Oktober 1965, Panglima Antar Daerah Sumatra Letnan Jenderal Ahmad Mokoginta memerintahkan agar "segenap anggota Angkatan Bersendjata untuk setjara tegas/tandas, menumpas contra-revolusi ini dan segala bentuk penchianatan2 dan sematjamnja sampai keakar2nja.” Para petinggi TNI juga menggambarkan operasi ini sebagai upaya untuk memusnahkan GESTOK, nama lain Gerakan 30 September. 

Bagi TNI, istilah “menumpas” bukan kiasan. Setelah memerintahkan warga sipil untuk membantu militer memusnahkan G30S dan para simpatisannya pada 4 Oktober, Panglima Kodam I/Aceh tur kelilling daerah pada 7 Oktober untuk memastikan agar aparat sipil dan warga setempat menghabisi siapapun yang dianggap punya hubungan dengan PKI. TNI juga membentuk kelompok-kelompok paramiliter (death squad) yang siap melaksanakan perintah di lapangan. Kelompok-kelompok inilah yang lantas melakukan pembantaian di seantero Aceh pada 7-13 Oktober. TNI memantau jalannya operasi ini dan mencatat perkembangannya dalam peta yang saya sebut sebagai “Peta Kematian”. 

Komando maut ini berlanjut dengan pembentukan “zona perang” pada 14 Oktober yang bertujuan memusnahkan PKI (sebagai sasaran utama) dan rakyat biasa yang diduga simpatisan. Sejak itulah proses pengganyangan secara sistematis dan terstruktur resmi dimulai dan dikendalikan langsung oleh militer.
Military death map for Aceh


“Peta kematian.” Angka yang dilingkari menunjukkan lokasi pemusnahan. (Dokumentasi pribadi Jess Melvin)

DOM Aceh: Sekuel Pembantaian 1965-66

Siapa sangka jika operasi militer 1965 bakal menyebar ke seantero Aceh dan berulang lagi dalam rangkaian operasi pembasmian GAM (1976-2005)?

Minat mendalami konflik separatis di Aceh mengantarkan saya pada topik yang sangat berlainan namun berhubungan erat: pembunuhan massal 1965-66. Sebagaimana yang saya tunjukkan dalam Mechanics of Murder, ada banyak kesamaan mencolok antara pembantaian 1965-66 dan Daerah Operasi Militer (DOM). 

Konflik bersenjata di provinsi paling barat Indonesia ini berawal ketika Hasan di Tiro, seorang cicit ulama terkemuka dari Pidie, memproklamasikan kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976. Sejak itu, TNI memperlakukan seluruh penduduk sipil Aceh sebagai kombatan yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. Hingga 2005, konflik yang berlangsung nyaris selama 30 tahun ini tercatat telah menewaskan sekitar 15.000 warga sipil.
Infografik Aceh 1965


Intensitas konflik kembali meningkat pada 2003. Empat tahun sebelumnya, gerakan pro-demokrasi di Aceh yang turut melengserkan Orde Baru bermutasi menjadi gerakan pro-referendum. Sejak itu, TNI kembali melancarkan serangan brutal kepada para aktivis dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Perang berhenti sejenak karena Tsunami melanda Aceh pada 24 Desember 2004. Namun, padamnya konflik tak membuat militer berhenti mencurigai siapapun yang mereka cap pengkhianat. 

Dari berkas-berkas yang ada, saya menyatakan mulai percaya diri untuk menyusun narasi kronologis yang akurat tentang aksi genosida di Aceh, yang rangkaian peristiwanya bisa dilacak dari aktivitas militer sebelum dan selama pembantaian. Saya berharap agar dokumen-dokumen yang saya peroleh dapat dikembangkan sebagai bukti pembantaian sistematis di Aceh sepanjang 1965-66, tak terkecuali operasi militer di tingkat kabupaten dan kecamatan di Banda Aceh, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Barat, Aceh Selatan, dan Aceh Tengah. Tak sedikit pula, kumpulan dokumen yang mencatat pembersihan aparat birokrasi di seluruh provinsi pasca-pembantaian.

Saya berusaha menyajikan bukti-bukti betapa TNI dengan kesadaran penuh melakukan pembantaian massal; bagaimana angkatan bersenjata merintis koordinasi dan memobilisasi pemerintah sipil serta masyarakat luas untuk ikut serta dalam kekejaman yang luar biasa, lantas mengambinghitamkan PKI sebagai musuh bersama. Keterlibatan yang bersifat kelembagaan ini awalnya tak disangkal TNI dan aksi genosida sendiri dijalankan sebagai kebijakan resmi aparat negara. Lewat dokumen-dokumen yang ada, The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Murder berusaha memetakan koordinasi kebijakan tersebut di tingkat nasional, provinsi, kecamatan, hingga desa. 

Akhirnya, saya berharap Mechanics of Mass Murder akan memantik pertanyaan-pertanyaan baru yang mendorong kita agar lebih kritis memahami sebuah peristiwa, sehingga tak menelan mentah-mentah cerita resmi dari rezim yang berkuasa. 

__________

Pembantaian 1965-66 adalah salah satu episode terburuk dalam sejarah Indonesia yang membentuk identitas kita sebagai bangsa. Meskipun telah lewat 50 tahun lebih, proses rekonsiliasi dan pengungkapan kebenaran kasus ini masih mengalami hambatan besar. 
Tirto menayangkan serial khusus berupa nukilan atau ringkasan buku-buku akademik tentang pembantaian 1965-66 yang terbit sepanjang 2018. Serial ini terdiri dari empat artikel, ditayangkan setiap hari mulai Rabu (26/12/2018) hingga Sabtu (29/12/2018). Artikel ini adalah tulisan pertama. 
"Pembunuhan Massal 1965: Bermula dari Aceh, Diulangi selama DOM" adalah ringkasan dari bab pendahuluan The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder yang diterbitkan Routledge. Disarikan oleh Irma Garnesia dan dikoreksi oleh JessMelvin. Bukunya dapat dibeli melalui situs web resmi Routledge.

Penulis: Irma Garnesia & Jess Melvin
Editor: Windu Jusuf
Sumber: Tirto.Id

Jumat, 21 Desember 2018

Sejarah Kotagede: Gelap-Terang Hubungan PKI dan Muhammadiyah

Oleh: Petrik Matanasi - 21 Desember 2018

Anggota Pemuda Rakyat, sayap pemuda Partai Komunis Indonesia, ditahan oleh milter (30/10/1965). FOTO/AP

Kotagede pernah "merah" sebelum G30S. Setelah Oktober 1965 orang-orang kiri dipersekusi dan Muhammadiyah berjaya.
Kotagede menjadi perbincangan dalam beberapa hari terakhir. Pemicunya adalah soal pemotongan nisan salib di pemakaman umum Jambon, Purbayan pada Senin (17/12/2018). 

Direktur Riset SETARA Halili Hasan mengaitkan peristiwa itu sebagai tengara munculnya sikap intoleransi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemerintah Provinsi DIY, menurutnya, harus memberikan perhatian lebih untuk merekonstruksi toleransi di DIY.
"Pemprov harus memberikan perhatian lebih tentang bagaimana merekonstruksi toleransi tidak hanya di permukaan, tapi pada lapis terdalam toleransi di level hidup keseharian masyarakatnya," ujar Halili saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (19/12/2018).
Pada akhir 1950-an hingga pertengahan 1960-an, Kotagede pernah mengalami situasi ketegangan akibat konflik politik dan persaingan merebut simpati rakyat antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Muhammadiyah. PKI dan Muhammadiyah kala itu sama-sama kuat. 

Tapi setelah G30S berhasil dipadamkan dan orang-orang kiri ditangkapi, Muhammadiyah muncul sebagai kekuatan dominan di Kotagede. Tokoh-tokoh Muhammadiyah kemudian merangkul orang-orang yang dituduh PKI dan berusaha "mengislamkan" mereka.

Dua Jago dalam Satu Kandang

PKI masuk ke Kotagede tak lain berkat peranan tokoh Sarekat Islam (SI) asal Surakarta. “PKI masuk ke Kotagede dibawa oleh seorang tokoh Sarekat Islam dari Surakarta dan segera mendapat dukungan besar,” begitu yang tertulis dalam Ngesuhi Deso Sak Kukuban: Lokalitas, Pluralisme, Modal Sosial Demokrasi (2002: 25). 

PKI memang laris manis di kecamatan yang sekarang termasuk wilayah Kota Yogyakarta itu. Bahkan pada 1924 Kongres PKI pernah diadakan di sana, meski katanya ada orang-orang yang risih dengan kongres tersebut. Hingga menjelang 1965, PKI boleh dibilang sama kuat dengan Muhammadiyah. 

Sebelum 1965, keduanya ibarat dua ayam jago dalam satu kandang. Mereka saling mengungguli dengan cara beradab, terutama di lapangan kebudayaan.

Sepengakuan Asnawi dalam Suara di Balik Prahara (2011), demi mengimbangi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dekat dengan PKI, Muhammadiyah punya Sanggar Bulus Kuning di Kotagede (hlm. 114). 

Pada masa itu dua organ Muhammadiyah di bidang kepemudaan, Pemuda Muhammadiyah dan Nasyiatul Aisyiyah (NA), aktif dalam berkesenian. Mereka bersaing dengan dua onderbouw kepemudaan PKI, Pemuda Rakyat dan Gerakan Wanita Gerwani (Gerwani). Organ yang disebut terakhir sangat aktif berkegiatan di sekitar Kotagede. 

Menurut Asnawi, Gerwani bukan lawan sepadan NA. NA sendiri lebih dikenal dengan kesenian angklungnya.

Memang ada ketegangan sebelum 30 September 1965 di sana. Maksudnya, jika orang-orang Islam melakukan pengajian, maka orang-orang yang berseberangan dan dicap merah biasanya bikin latihan ketoprak atau kumpul-kumpul. 
“Paling itu saja. Jadi sekedar perang kata-kata saja lewat karya. Tidak ada kejadian bentrokan fisik,” tutur Asnawi.

G30S: Titik Balik

Sampai kemudian pecahlah peristiwa 30 September 1965. Pembantaian para jenderal di Jakarta itu pun lalu menjalar buta ke daerah-daerah. 

Jelang 30 September itu, menurut Mutiah Amini dalam tulisannya bertajuk "Komunis di Kota Santri: Politik Lokal Kotagede pada 1950-1960an" yang termuat di buku Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an (2011), ada 800-an pemuda bersenjata yang sudah dilatih kemiliteran. Daerah Kotagede kala itu sudah dianggap basis Pemuda Rakyat (hlm. 288-289). 

Suherjanto dalam Suara di Balik Prahara memperkuat temuan Mutiah Amini. Di sebelah timur Jalan Kemasan, menurutnya, adalah pusat latihan Pemuda Rakyat (hlm. 104). 
“Mereka hanya berkeliling Kotagede dengan berlari dan bernyanyi sambil menyandang senjata layaknya tentara. Sementara itu, para simpatisan PKI yang merupakan penduduk Kotagede, pada 1 Oktober 1965 tidak tampak keluar rumah untuk melakukan aktivitas,” tulis Mutiah Amini. 
Kelompok yang berseberangan dengan pemuda itu tentu mengawasi mereka, dengan mengerahkan anak-anak usia sekolah dasar. Para Pemuda Rakyat bersenjata tadi pada 4 Oktober 1965 bukannya show of force di Kotagede, mereka malah meninggalkan Kotagede.

Sementara itu, nun jauh di Jakarta pada 1 Oktober 1965, pentolan Pemuda Muhammadiyah, Lukman Harun, berhasil membujuk Letnan Kolonel Haji Sudarsono Prodjokusumo, yang kala itu Kepala Piket di Mabes Hankam, untuk melakukan pembentukan Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (Kokam). Sudarsono juga diminta melatih anggota-anggotanya. 

Sudarsono adalah komandan Kokam pertama. Disebut-sebut, Kokam mendapat latihan dari RPKAD. Tak heran, baretnya mirip baret pasukan khusus yang kini bernama Kopassus itu.

Menurut Mutiah Amini, ketegangan terjadi satu-dua hari saja. Setelahnya datanglah pasukan dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). RPKAD tak hanya bertindak sebagai pasukan bantuan penjaga keamanan, tapi juga turun tangan menangkapi tokoh-tokoh PKI. 

Komandan RPKAD kala itu adalah Kolonel Sarwo Edhi Wibowo. Dia berada di daerah di mana gerombolan telah membuat istri Letnan Kolonel Sugiono dan istri Brigadir Jenderal Katamso kehilangan suami mereka.

Informasi soal kudeta di Jakarta amat simpang-siur di tanggal 1 Oktober itu. Suherjanto termasuk salah satu yang bingung. Banyak orang di luar ibu kota dapat berita dari radio. Musuh mereka menjadi jelas setelah RRI diduduki pasukan Sintong Pandjaitan. Sebagai insan Muhammadiyah, Suherjanto ikut serta membantu aparat (militer).
“Mulailah ada pencidukan orang-orang merah itu. Yang diciduk waktu itu laki-laki maupun perempuan. Semua. Yang PKI, yang Gerwani, yang Pemuda Rakyat, semua diciduk,” kata Suherjanto.
Amini mencatat, pada 17 November 1965 ditemukan daftar penduduk yang hendak diculik dan dua hari setelahnya lubang besar (untuk mengubur mayat) ditemukan di Gedong Kuning. Seperti di tempat lain, sejak awal Oktober 1965, PKI beserta organisasi terkaitnya pun kena sikat. Hingga Desember 1965, sebanyak 200 orang buruh perak dan juragan mereka kena tangkap.

Muhammadiyah Berjaya

Setelah 1965, Kotagede tentu jadi daerah bebas PKI. Setidaknya Muhammadiyah berjaya di sana. "Dakwah berkembang pesat di Kotagede," aku Asnawi. 

Di mata Asnawi, indikasinya adalah semakin bertambahnya jumlah masjid. Sebelum 1965, hanya ada Masjid Gede dan Masjid Perak. Setelahnya tiap kampung punya masjid dan musala sendiri. 
“[Setelah 1965] orang-orang Muhammadiyah di Kotagede mencoba melakukan rekonsiliasi,” tambah Asnawi.

Infografik Kotagede pernah merah


Orang-orang Muhammadiyah menemui tokoh-tokoh PKI, dengan dakwah ala A.R. Fachrudin yang sejuk dan persuasif. “Kami tidak menganggap bahwa semua yang PKI harus dimusuhi,” kata Suherjanto dalam Suara di Balik Prahara (hlm. 108-109). 

Mereka memulai dari tokoh-tokoh yang terkait dengan PKI, lalu ke orang-orang biasa yang tidak lagi jadi tahanan politik (tapol). Jika ada yang tidak mau, akan diawasi. Kalau mencurigakan, tinggal dilaporkan.

Seingat Suherjanto, ketika mereka hendak dimasukkan ke Islam, ada yang menolak. Tapi banyak juga yang menerima. Mereka yang dari keluarga Muslim lebih mudah menerimanya, tapi yang bukan berasal dari keluarga Islam biasanya akan sulit. Pendekatan orang-orang Muhammadiyah di sana, menurut Suherjanto, adalah pendekatan personal dan kekeluargaan.

Pilihan hidup para tapol atau orang-orang yang dianggap dekat dengan PKI atau sekadar dituduh PKI sangatlah terbatas. Tidak punya agama di era ketika PKI dibenci adalah masalah besar. Tentu saja banyak tapol yang membiarkan dirinya Islam. Mereka yang tidak mau masuk Islam dapat memilih agama lain. Berstatus "Islam KTP" atau "Kristen KTP" mungkin bisa membuat hidup mereka lebih aman.

Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan

Sumber: Tirto.Id 

Selasa, 02 Oktober 2018

Pembantaian Ulama dan Santri: Darah di Madiun September 1948

Selasa 02 Okt 2018 05:01 WIB
Red: Muhammad Subarkah

Pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. Foto: gahetna.n


pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, bukanlah membela diri seperti dikatakan Aidit

Oleh: Andy Ryansyah, Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Seorang antropolog Amerika, Robert Jay, yang mulai tahun 1953, turun ke Jawa Tengah menggambarkan kekejaman PKI. “Mereka menggunakan kekuatan mereka untuk melenyapkan bukan saja para pejabat pemerintah pusat, tapi juga penduduk biasa yang merasa dendam.
Mereka itu terutama ulama-ulama tradisionalis, santri dan lain-lain yang dikenal karena kesalihan mereka kepada Islam. Mereka ini ditembak, dibakar sampai mati, atau dicincang-cincang, kadang-kadang ketiga-tiganya sekaligus. Masjid dan madrasah dibakar, rumah-rumah pemeluknya dirampok dan dirusak.”

Seorang narasumbernya bercerita kepada Robert Jay, “Soalnya begini Mas. Kami mulai mendengar kabar itu dari Madiun. Ulama-ulama dan santri-santri mereka dikunci di dalam madrasah, lalu madrasah-madrasah itu dibakar. Mereka itu tidak berbuat apa-apa, orang-orang tua yang sudah ubanan, orang-orang dan anak-anak laki-laki yang baik. Hanya karena mereka itu muslim saja. Orang dibawa ke alun-alun kota, di depan masjid, kemudian kepala mereka dipancung. Parit-parit di sepanjang jalan itu digenangi darah setinggi tiga sentimeter, Mas.”

Di Madiun, Sin Po menulis laporan dari saksi mata. Sesudah perebutan kekuasaan menyusul tindakan pembersihan,

“Semoea pemimpin Masjoemi dan PNI ditangkep atawa diboenoeh dengan tida dipreksa poela. Kekedjaman di Kota Madiun djadi memoentjak, koetika barisan ‘warok’ ponorogo masoek kota dengen bersendjata revolver dan klewang. Di mana ada terdapat orang-orang Masjoemi, PNI atawa jang ditjoerigakan, zonder banjak tjingtjong lagi lantas ditembak. Belon poeas dengan ini tjara, korban itoe laloe disamperi dan klwangnja dikasi bekerdja oentoek pisahken kepalanja sang korban dari toeboehnja.
Kedjadian atawa pemboenoehan stjara ini dilakoekan di berbagai bagian dari kota dan sakiternja, hingga dalam tempo beberapa hari sadja darah manoesia telah membandjiri kota Madioen. Soenggoe keadahan sangat mengerihkan teroetama djika orang melihat dengen mata sendiri, orang-orang jang diboenoeh pating gletak di sepandjang djalan sampe bebrapa hari tida ada jang mengangkat.”

Sin Po 1 Oktober 1948, memberitakan, ” pembrontakan communist itoe ditoedjoekan kerna kaoem FDR-PKI merasa tida soeka pada Masjoemi dan banjak sekali orang-orang jang Masjoemi di daerah jang didoedoekin oleh communist telah diboenoe dengen kekedjaman.”

Di Madiun, Sin Po menulis laporan dari saksi mata. Sesudah perebutan kekuasaan menyusul tindakan pembersihan,
Serangan ke Pesantren Sabilul Muttaqien

Belakangan tim koran Jawa Pos yang terdiri atas Maksum, Sunyoto, dan Zainuddin, mewawancarai saksi-saksi hidup, baik tokoh-tokoh yang turut dalam operasi penumpasan, maupun para korban yang luput dari aksi pembantaian oleh kaum komunis. Hasil wawancaranya mengungkap PKI memakan korban, khususnya kiai. Salah satu yang menjadi sasaran adalah Pesantren Sabilul Muttaqien atau yang lebih dikenal dengan Pesantren Takeran.

Bersamaan dengan kudeta terhadap pemerintah, pendukung PKI mengincar tokoh-tokoh dari Pesantren Takeran yang dianggap sebagai musuh utama mereka. Sebab, Pesantren Takeran pimpinan Kiai Imam Mursjid Muttaqien yang masih berusia 28 tahun itu adalah pesantren yang paling berwibawa di kawasan Magetan..

Massa PKI ditangkap di Madiun 1948.

Pada tanggal 17 September 1948, tepatnya hari Jumat Pon, Kiai Hamzah dan Kiai Nurun yang berasal dari Tulungagung dan Tegal Rejo berpamitan kepada Kiai Imam Mursjid. Kepergian Kiai Hamzah dan Kiai Nurun ke Burikan itu ternyata untuk yang terakhir kalinya. Sebab pada hari Sabtu Wage, 18 September 1948, Pesantren Burikan diserbu oleh PKI, dan tokoh-tokoh pesantren serta para santri, termasuk Kiai Hamzah dan Kiai Nurun yang masih ada di pesantren tersebut, diseret ke Desa Batokan yang letaknya hanya 500 meter dari Pesantren Burikan. Kiai Hamzah dan Kiai Nurun termasuk diantara para korban yang dibantai oleh PKI di lubang pembantaian Batokan.

Seusai shalat Jumat tanggal 17 September 1948, Kiai Imam Mursjid didatangi oleh tokoh-tokoh PKI. Muhammad Kamil kenal dengan beberapa orang di antara tokoh PK yang datang itu, seperti Suhud dan Ilyas alias Sipit. 
“Sipit sebenarnya santri Mas Imam Mursjid. Tapi entah mengapa dia bisa menjadi PKI,” ujar Kamil,salah seorang saksi mata.
Sipit sendiri, menurut Kamil, ketika itu dikenal sebagai kepala Takeran yang kemana-mana selalu membawa senapan. Tetapi sejak jauh hari, Kiai Imam Mursjid sudah mulai meragukan kesetiaan Sipit. Hal itu terungkap dari pernyataan Kiai Imam Mursjid kepada Kamil tentang iktikad baik Sipit. 
“Waktu itu saya sudah mengatakan bahwa Sipit tak bisa dipercaya lagi, sebab Sipit sudah tak sembahyang lagi,” ujar Kamil mengingat-ingat.
Waktu didatangi oleh tokoh-tokoh PKI, Kiai Imam Mursjid diajak keluar dari mushalla kecil di sisi rumah Kamil. Menurut Kamil, Kiai Imam Mursjid akan diajak bermusyawarah mengenai Republik Soviet Indonesia dengan PKI-nya. Keberangkatan Kiai Imam Mursjid bersama orang-orang PKI itu tentu saja merisaukan warga pesantren, sebab warga pesantren tak menduga bahwa Kiai Imam Mursjid akan menurut begitu saja diajak berunding oleh PKI.

Kiai Zakaria, salah seorang saksi yang diwawancarai Tim Jurnalis Islam Bersatu (JITU), yang saat kejadian masih jadi santri (13 tahun) di pesantren Sabilil Muttaqin, bercerita,

“Salah satu pendiri pesantren Sabilil Muttaqin, Kiai imam mursyid didatangi oleh Suhud. Suhud adalah seorang camat PKI. Mobilnya hitam.
Di sisinya, berdiri dua orang yang satu membawa standgun dan satu lagi membawa karaben. Di hadapan santri-santri, Suhud membaca, ‘innallaha laa yughoyyiruma bi koumin hatta laa yughoyyiruma bin anfusihim’. Jadi dia itu mau melakukan perubahan di Indonesia. Lalu Kiai Imam Mursyid diculik olehnya. Kata Suhud, pak Kiai mau diajak berunding. Pak Kiai dibawa ke sana (sambil menunjuk arah Gorang Gareng). Tapi sampai sekarang tidak ada datanya dimana beliau disedani (dibunuh)”. [8]

Waktu itu para santri di Takeran berkumpul dengan perasaan was-was terhadap rencana kepergian kiai mereka bersama PKI. Setelah Suhud menenangkan suasana dngan dalilnya, di depan pendapa pesantren Kiai Imam Mursjid dinaikkan ke mobil. Tetapi sebelum mobil berangkat, Imam Faham, saudara sepupu Kiai Imam Mursjid sekaligus santri yang setia, meminta kepada PKI agar diperkenankan ikut naik mobil mendampingi pemimpinnya. Permohonan Imam Faham itu dikabulkan oleh PKI dan mereka pun meluncur keluar kawasan pesantren.

Iskan, salah seorang saksi mata, juga menyatakan bahwa Pesantren Takeran sudah dikepung oleh ratusan orang PKI.
“Setelah Mas Imam Mursjid dibawa dengan mobil, saya melihat orang-orang PKI sudah berdiri melingkari pesantren. Mereka rata-rata berpakaian hitam dengan memakai ikat kepala merah dan bersenjata,” ujar Iskan sambil menitikkan air mata mengenang gurunya yang sangat dipatuhi itu.
Menurut Iskan, sebelum itu pihak PKI memang sudah mengancam, jika Kiai Imam Mursjid tak mau menyerah dan mendukung mereka, maka pesantren akan dibumihanguskan. Mungkin, menurut Iskan, apabila Jumat itu Kiai Imam Mursjid tak berhasil dibawa PKI, bisa dipastikan pesantren akan dibakar dan dengan demikian korban akan sangat besar. Iskan menduga, Kiai Imam Mursjid mau ikut PKI untuk menghindari terjadinya korban yang lebih besar di antara para pengikutnya.

Pada hari Minggu Kliwon, 19 September 1948, kurir PKI yang lain datang lagi menyampaikan pesan bahwa Kiai Imam Mursjid belum bisa pulang. Malah mereka mengatakan perundingan tersebut membutuhkan kehadiran Kiai Muhammad Noer, sepupu Kiai Imam Mursjid yang selama itu ikut memimpin Pesantren Takeran. 
“Waktu itu mereka mengatakan bahwa Mas Imam Nursjid baru bisa pulang kalau Kiai Muhammad Noer datang menjemput,” kata Kamil.
Kiai Muhammad Noer, begitu mendengar pesan dari kurir tersebut, diam-diam mendatangi markas PKI di Gorang Gareng, 6 kilometer di sebelah barat Takeran. Tapi di tengah jalan, ia ditangkap PKI dan sempat ditawan di sebuah tempat di Takeran. Kurir PKI berulang kali datang lagi ke pesantren setelah Kiai Muhammad Noer dibawa ke Gorang Gareng. Dia mengatakan bahwa Kiai Imam Mursjid dan Kiai Muhammad Noer baru bisa kembali setelah Ustadz Muhammad Tarmudji, adik Kiai Imam Mursjid yang juga sebagai tokoh pemuda, datang menjemput ke Gorang Gareng.

PKI mengatakan bahwa Kiai Imam Mursjid dan Kiai Muhammad Noer baru bisa kembali setelah Ustadz Muhammad Tarmudji, adik Kiai Imam Mursjid yang juga sebagai tokoh pemuda, datang menjemput ke Gorang Gareng.

Mendapat informasi seperti itu, Tarmudji secepatnya menyelamatkan diri. Apalagi dia juga diberi tahu bahwa dialah yang mendapat giliran dicari PKI. Meskipun tak menemukan Tarmudji, PKI terus menangkapi tokoh-tokoh pesantren seperti Ustadz Ahmad Baidawy, Muhammad Maidjo, Rofi’i, Tjiptomartono, Kadimin, Reksosiswojo, Husein, Hartono, dan Hadi Addaba’. Yang terakhir ini adalah guru pesantren yang didatangkan dari Al-Azhar, Kairo (Mesir). Saat itu, Pesantren Takeran memang sangat terkenal dan muridnya datang dari berbagai daerah termasuk dari luar Jawa.

Mereka itu akhirnya memang tak pernah kembali. Bahkan sebagian besar ditemukan sudah menjadi mayat di lubang-lubang pembantaian PKI yang tersebar di berbagai tempat di Magetan. Bahkan hingga tahun 1990, mayat Kiai Imam Mursjid tak kunjung ditemukan. Dari daftar korban yang dibuat PKI sendiri -daftar ini ditemukan oleh pasukan Siliwangi-, nama Kiai Imam Mursjid tak ada.

Pembantaian di sumur tua Cigrok

Di Desa Cigrok, sebelah selatan Takeran, terdapat sumur tua yang digunakan PKI sebagai tempat pembuangan korban-korbannya. Sumur tua Cigrok ini terletak di belakang rumah To Teruno, seorang warga yang sebenarnya bukan orang PKI. Justru dialah yang melaporkan kegiatan PKI di sumurnya itu kepada Kepala Desanya. Di dekat rumah To Teruno, tinggal pula Muslim, seorang santri yang menjadi saksi kebiadaban PKI dalam melakukan pembantaian di sumur tua itu tahun 1948.

Muslim menceritakan pada malam terjadinya penjagalan itu, semua orang tak berani keluar rumah. Malam itu, dia mendengar suara bentakan Surat, pimpinan PKI yang berasal dari Desa Petungredjo. Dia juga mendengar suara orang menjerit histeris karena dianiaya. Muslim, yang diam-diam mengintip melalui lubang dari rumahnya, melihat gerak-gerik orang-orang PKI itu dalam keremangan malam. Muslim dapat mengenali salah satu korban yang mengumandangkan adzan dari dalam sumur. Suara itu, menurutnya adalah suara K.H. Imam Sofwan dari Pesantren Kebonsari.

Achmad Idris, tokoh Masyumi di Desa Cigrok yang ketika itu sudah ditawan PKI, menyaksikan penjagalan biadab PKI dari kejauhan. Meskipun sayup-sayup, dia sangat mengenal suara adzan K.H. Imam Sofwan yang mengumandang dari dalam sumur itu, sebab Idris sering mendengarkan pengajian-pengajian K.H. Imam Sofwan.

Menurut Idris, pembantaian oleh PKI di sumur Cigrok itu tak dilakukan dengan senapan atau Klewang, akan tetapi dengan pentungan. Idris mengungkapkan para tawanan dengan tangan terikat dihadapkan ke arah timur sumur satu demi satu. Kemudian, seorang algojo PKI menghantamkan pentungan ke bagian belakang tiap tawanan tersebut.

Waktu itu, Idris mengenang, ada tawanan yang segera setelah dihantam langsung menjerit dan roboh ke dalam sumur. Tetapi ada pula yang setelah dihantam, masih kuat merangkak sambil melolong-lolong kesakitan. Tangan mereka menggapai-gapai mencari pegangan. Melihat para korban merangkak seperti itu, orang-orang PKI kemudian menyeret begitu saja dan memasukkan mereka hidup-hidup ke dalam sumur. K.H. Imam Sofwan, menurut Idris, termasuk yang tak meninggal setelah dihantam.

Hal serupa juga dialami oleh kedua putra beliau, yakni Kiai Zubair dan Kiai Bawani, yang dibantai di sumur tua Desa Kepuh Rejo, tak jauh dari sumur Cigrok.

Orang-orang PKI yang melihat bahwa ternyata ada korban yang masih hidup di dalam sumur, sama sekali tak peduli. Mereka lantas langsung menimbuni sumur tersebut dengan jerami, batu, dan tanah. Karena itu, ada pernyataan yang menyebutkan bahwa korban pemberontakan PKI tahun 1948 sebenarnya dikubur hidup-hidup. Muslim mengatakan, pada pagi hari seusai pembantaian dia mendapati lanjaran (rambatan) kacang dan jerami di kebunnya sudah habis. 
“Rupanya orang-orang PKI membabat semua itu untuk menimbuni sumur,” tutur Muslim yang diancam oleh PKI agar tutup mulut.
Yang dimasukkan ke lubang pembantaian Cigrok paling sedikit berjumlah 22 orang. Di antara para korban itu, ada K.H. Imam Sofwan, Hadi Addaba’ dan Imam Faham. Hadi Addaba’ sendiri adalah guru dari Mesir yang ditugaskan mengajar di Pesantren Takeran. Sementara Imam Faham adalah santrinya K.H. Imam Mursjid yang ikut mengiringi K.H. Imam Mursjid ketika dibawa mobil PKI. Tetapi rupanya di tengah jalan kiai dan pengawalnya itu dipisah. Imam Faham diturunkan di tengah jalan dan akhirnya ditemukan di dalam lubang pembantaian Cigrok.

Kisah lainnya, pada hari Senin Legi, 20 September 1948, tiba-tiba datang sebuah truk yang berisi orang-orang PKI baik laki-laki, maupun perempuan. Seorang perempuan sekonyong-konyong berteriak keras kepada seluruh penduduk Kauman. Dia mengatakan bahwa salah seorang anggota PKI telah mati terbunuh di Kampung Kauman.
“Di atas truk memang ada mayat yang dibungkus kain dan hanya kelihatan kakinya saja,” kata Parto Mandojo, yang ketika itu menjadi pengusaha mebel makanan di Kauman.
Dia menceritakan bahwa perempuan yang berteriak tadi menginginkan ada penduduk Kauman yang mengakui telah membunuh salah seorang anggota PKI. Namun tak satu pun penduduk Kauman yang mengakuinya karena mereka memang tak merasa pernah membunuh satu orang pun. Akhirnya rombongan PKI pergi meninggalkan ancaman akan membumihanguskan Kampung Kauman. Ini adalah taktik licik ‘mencari pembunuh’ ala PKI, karena sebenarnya, ingin menjebak lawan-lawan yang akan menghalangi pemberontakan mereka.

Pada hari Jumat Kliwon, 24 September 1948, PKI seperti kerumunan lebah yang menyerbu Kampung Kauman. Rumah-rumah dibakar sehingga seluruh penghuni keluar dari persembunyiannya.
“Waktu itu seluruh warga laki-laki Kauman ditawan dan digiring ke Masopati setelah tangan mereka ditelikung dan diikat dengan tali bambu,” tutur Parto Mandojo.
Dalam aksi pembumihangusan Kampung Kauman itu, tak kurang dari 72 rumah terbakar, dan sekitar 149 laki-laki digiring ke Maospati. Dari Maospati seluruh tawanan dimasukkan ke dalam gudang pabrik rokok, kemudian diangkut dengan lori milik pabrik gula ke kawasan Glodok.
“Dari glodok kami dipindahkan ke Geneng dan Keniten. Tetapi sebelum disembelih, kami berhasil diselamatkan oleh tentara Siliwangi,” ujar Parto Mandojo tentang peristiwa mencekam itu.

Suasana kota Madiun yang rusak parah akibat pemberontakan PKI Madiun 1948.

Pembakaran Kampung Kauman pada dasarnya merupakan bagian dari aksi PKI untuk memberangus pengaruh agama Islam di tengah masyarakat. Sebab, sebelum aksi pembakaran itu, Madrasah Pesantren Takeran juga telah dibakar, beberapa saat setelah Kiai Imam Mursjid tertawan. Pesantren Burikan pun tak luput dari serbuan PKI. Kemudian para tokoh-tokoh pesantren seperti Kiai Kenang, Kiai Malik, dan Muljono dibantai di Batokan. Korban lain dari kalangan ulama yang dibantai oleh PKI adalah keluarga Pesantren Kebonsari, Madiun.

Achmad Daenuri, putra K.H. Sulaiman Zuhdi Affandi dari pesantren Mojopurno, menceritakan bahwa ayahnya adalah putra sulung Kiai Kebonsari. Menurut Daenuri, ayahnya ditangkap oleh PKI, bersamaan dengan ditangkapnya bupati Magetan. Sementara adik kandung ayahnya, K.H. Imam Sofwan yang menjadi pimpinan Pesantren Kebonsari, ditangkap PKI bersama dengan dua putranya yakni Kiai Zubair dan Kiai Bawani.

“Jadi setelah pemberontakan itu meletus, pesantren-pesantren sudah benar-benar kehilangan pimpinan,” simpul Daenur.

Pak Kafrawi, saksi penyerbuan PKI di Ponpes Gontor. Diwawancara bulan Agustus 2016 silam.sumber foto:JITU

Di Pondok Pesantren Gontor, PKI juga menyebarkan terornya, Seperti dituturkan oleh Kafrawi, saksi hidup yang diwawancarai Tim Jurnalis Islam Bersatu (JITU), yang saat kejadian, masih jadi santri di Pesantren Gontor, Ponorogo. Ketika itu pesantren Gontor dikuasai dan diancam oleh PKI. Banyak orang PKI berpakaian hitam-hitam datang ke Gontor, lalu mengancam.
“Kalau tidak mau menyerah, kita akan habiskan besok dan akan kita duduki,” katanya.
Oleh kiai, Kafrawi dan anak-anak kecil lainnya disuruh mengosongkan Gontor dan pindah ke timur Tulung Agung. Di Gontor hanya tersisa ibu-ibu. Ia dan enam orang beserta anaknya yang masih kecil-kecil, lalu berjalan menuju timur. Di perjalanan, mereka ketahuan PKI. Ditawanlah mereka.
“Akhirnya ditawan di tulung, anak gontor itu sekitar 50, dan digiring lagi ke gontor setelah di pulung berapa minggu menjadi tawanan. Pak Jahal (pengajar pesantren gontor) dan terutama yang senior dibawa ke Ponogoro lebih dulu, dan dimasukan ke penjara dekat masjid Muhammadiyah. Semua dibunuh kecuali Pak Jahal,” cerita Kafrawi. [12]
Berbagai peristiwa biadab tersebut, sebetulnya menjelaskan bahwa pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, bukanlah membela diri seperti yang digaung-gaungkan Aidit. Jika hanya membela diri mengapa mereka membantai para kiai dan santrinya yang tak bersalah dan tak ikut dalam konflik, secara sistematis?

Sumber: Republika