June 19, 2017
SHNet, PALANGKA RAYA – Tjilik Riwut, Gubernur Kalimantan Tengah, 1958 – 1967, dikenal sebagai Pahlawan Nasional, berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia, Baharudin Jusuf Habibie, Nomor 108/TK/1998, tanggal 6 November 1998.
Warga Dayak Ngaju kelahiran Kasongan, Ibu Kota Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah, 2 Februari 1918, dan meninggal dunia di Rumah Sakit Suaka Insan, Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan, 17 Agustus 1987, dalam usia 69 tahun.
Saat pergantian kepemimpinan nasional, dari Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto, dampak Gerakan 30 September (G30S) 1965, Tjilik Riwut masuk dalam 7 orang gubernur di Indonesia diberhentikan di tengah jalan, lantaran dinilai sebagai orang dekat Soekarno atau Soekarnois.
Tujuh gubernur Soekarnois, selain Tjilik Riwut, adalah Gubernur Kalimantan Barat, Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray, Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Henk Ngantung, Gubernur Lampung Pagar Alam, Gubernur Jawa Tengah, Mochtar, Gubernur Sumatera Utara Brigjen TNI Oeloeng Sitepu dan Gubernur Bali Anak Agung Bagus Sutedja.
Dua di antaranya mengalami nasib paling tragis. Oeloeng Sitepu, melalui aksi demonstrasi dimotori Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) bekingan Central Intelijen Agency (CIA) Amerika Serikat, ditangkap massa tanggal 16 November 1965, dan sampai sekarang tidak diketahui nasibnya selama di dalam penjara.
Anak Agung Bagus Sutedja, dalam rangka tugas khusus di Jakarta, dijemput empat pria berseragam Tentara Nasional Indonesia (TNI AD) di kediamannya di Jakarta, 29 Juli 1966, dan sampai sekarang tidak jelas keberadaannya.
Tujuh gubernur Soekarnois, menjadi korban kriminalisasi politik Pemerintahan Presiden Soeharto sebagai boneka Amerika Serikat, bukan karena terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI), melainkan sema-mata lantaran sebagai pengikut setia Soekarno atau Soekarnois.
Dalam perkembangan selanjutnya, Tjilik Riwut dan J.C. Oevaang Oeray, tidak mengalami nasib lebih tragis, berkat bantuan dan perlindungan politik rekan seperjuangan, Fransiskus Conradus Palaoensoeka, asal Putussibau, Kalimantan Barat.
F.C. Palaoensoeka, setelah G30S 1965, dekat dengan kalangan militer dan Presiden Soeharto, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 1949 – 1988, tokoh integrasi Timor Timur, staf ahli Badan Intelijen Negara (BIN), 1975 – 1982.
Setelah Partai Persatuan Dayak (PPD) di Kalimantan Barat resmi dibubarkan 1960, Palaunsuka, bergabung dengan Partai Katolik yang kemudian fusi ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Tjilik Riwut, ayah 6 anak hasil perkawinannya dengan Clementie Suparti, adalah tokoh intelijen bersama Letkol Zulkifli Lubis paling berpengaruh di awal kemerdekaan, karena atas bantuan logistik dari Pemerintah Jepang, paling berjasa membubarkan Republik Indonesia Serikat (RIS) atau federal di Kalimantan.
Saat masih menyandang pangkat mayor TNI AD, Tjilik Riwut menghadap Presiden Soekarno di Gedung Agung Yogyakarta, 17 Desember 1947, untuk menyampaikan kesetiaan masyarakat Suku Dayak di Kalimantan, kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sebagai bukti kesetiaannya, Tjilik Riwut, atas perintah Presiden Soekarno lewat Letkol Zulkifli Lubis, masuk daftar tim operasi intelijen pembubaran RIS ke daerah masing-masing. Ke Sumatera antar lain ditugaskan MS Rasjid.
Kalimantan ditugaskan Moeljono dan Tjilik Riwut (di Tumbang Sambas, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah), Sulawesi ditugaskan Warsito dan Wolter Monginsidi. Maluku ditugaskan Ibrahim Saleh, Yos Sudarso, Muljadi, Moerwanto, Isbianto, Anton Papilaya.
Nusa Tenggara dtugaskan Soerjadi alias Paiman. Bali ditugaskan Bambang Soenarjo dan Jahja Jasin.
Dalam memuluskan operasi intelijen, Mayor Tjilik Riwut memimpin Operasi Penerjunan Pasukan Payung pertama dalam sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), di Tumbang Samba, Kalimantan Tengah, 17 Oktober 1947.
Sebagai penduduk asli Kalimantan, Tjilik Riwut menggelar ekspedisi ke seluruh wilayah, meyakinkan masyarakat bahwa Indonesia sudah merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945.
Dua tahun menggelar operasi intelijen Tjilik Riwut di Kalimantan, membuat perjanjian Indonesia dengan Belanda, bahwa Indonesia diakui sebagai negara merdeka dalam bentuk RIS, 27 Desember 1949, akhirnya hanya bisa bertahan 6 minggu.
Minggu ke tujuh usia RIS, aksi demonstrasi segenap lapisan masyarakat di seluruh Indonesia, termasuk di Kalimantan, cukup marak, mendukung kemerdekaan dan menolak RIS bentukan Belanda.
Simbol RIS runtuh, setelah Kepala Daerah Khusus Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) dan Menteri Zonder Fortolio, Sultan Hamid II ditangkap atas tuduhan terlibat pemberontakan Westerling di Jakarta, 5 Agustus 1950.
Penangkapan Sultan Hamid II, membuat Presiden Soekarno, berkat operasi intilijen Zulkiflik Lubis, dan dimana Tjilik Riwut berada di barisan terdepan di Kalimantan, lebih leluasa mengumumkan pembubaran RIS dan Indonesia resmi berbentuk republik, negara kesatuan, terhitung 17 Agustus 1950.
Dalam perkembangan selanjutnya, atas saran Tjilik Riwut pula, J. C. Oevaang Oeray, selaku anggota Badan Pemerintahan Harian DIKB, menggiring masyarakat Suku Dayak bergabung dengan NKRI, tahun 1950. J.C. Oevaang Oeray kemudian melalui PPD, menjadi Gubernur Kalimantan Barat, 1959 – 1966.
Tahun 1958, Tjilik Riwut kemudian ditetapkan menjadi Gubernur Kalimantan Tengah. Tapi perubahan situasi politik di dalam negeri, membuat Tjilik Riwut yang sudah menyandang pangkal kolonel TNI AD, nyaris beku tembak dengan Pangdam XII/Tambun Bungai, Brigjen TNI Agus Siswandi.
Insiden nyaris baku tembak, lantaran Tjilik Tjiwut mengetahui, tanggal 18 Oktober 1965, Wali Kota Palangka Raya, Yanti Saconk, hilang tidak diketahui nasibnya sampai sekarang.
Kehilangan Yanti Saconk disinyalir Tjilik Riwut sebagai korban penuclikan TNI AD sebagai bentuk pembersihan terhadap sejumlah pihak yang dituding sepihak terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI).
“Mana Yanti Saconk? Apa sudah kalian bunuh? Saya sudah cari ke sana ke mari di lokasi tahanan, Yanti Saconk, tidak ditemui!” tanya Tjilik Riwut.
Mendapat pertanyaan menohok, Brigjen TNI Agus Siswandi balik menantang,
“Saya pimpinan militer di sini!”
“Saya Gubernur Kalimantan Tengah! Saya berhak tahu rakyat saya dalam kondisi apa! Apalagi Yanti Saconk Wali Kota Palangka Raya!” jawab Tjilik.
Mendengar jawaban menandatang, dalam suasana tegang, Agus mencabut pistol di pinggang untuk menembak Tjilik.
Dalam benak Agus, Gubernur Kalimantan Tengah salah satu pejabat yang harus dihabisi. Karena sudah bertatap muka, langsung, dalam pikiran Agus Siswandi, merupakan kesempatan untuk membunuh Gubernur Tjilik.
Pertimbangan Tjilik mesti dibunuh karena merupakan salah satu dari 7 gubernur Soekarnois yang harus dilenyapkan. Melihat gelagat Agus akan menembak, Tjilik balas menghardik sambil mencabut pistol di pinggang. Tjilik melemparkan pistol miliknya ke Agus yang duduk berhadapan.
“Pakai pistol saya! Tembak saya sekarang kalau kamu berani! Pistolmu tidak akan meledak!” hardik Tjilik.
Suasana sangat dramatis. Karena sama-sama perwira, kekuatan nyali diuji. Agus setelah betul-betul sadar pistolnya tidak bisa meledak, secara refleks mengambil pistol yang dilemparkan Tjilik di atas meja.
Pistol langsung diarahkan ke bagian dada Tjilik, tapi tetap saja tidak bisa meledak. Nyali Brigjen TNI Agus tiba-tiba ciut, setelah dua pistol tidak meledak, untuk menghabisi nyawa Gubernur Tjilik Riwut.
Apalagi saat bersamaan, ratusan massa pendukung Gubernur Tjilik Riwut diketahui mengepung Makodam XI/Tambun Bungai di Palangka Raya.
Melihat muka Agus pucat-pasi, Gubernur Tjilik mengingatkan, agar TNI AD di Provinsi Kalimantan Tengah, tidak sembarangan tangkap dan bunuh, selagi seseorang tidak ditemukan terbukti terlibat PKI.
Gubernur Tjilik balik mengancam Pangdam XI/Tambun Bungai itu akan terjadi perlawanan rakyat sangat luar biasa dan masif di Provinsi Kalimantan Tengah, apabila TNI AD, terus melakukan tindakan brutal.
Saat bersamaan, Tjilik menunjuk muka Pangdam XI/Tambun Bungai, harus ikut bertanggungjawab di balik tindakan penculikan dan pembunuhan Wali Kota Palangka Raya, Yanti Saconk, 18 Oktober 1965.
Sampai sekarang masyarakat di Palangka Raya, sangat yakin Yanti Saconk memang korban penculikan dan pembunuhan TNI AD, karena sampai sekarang tidak diketahui nasibnya.
Tjilik Riwut, setelah diberhentikan menjadi Gubernur Kalimantan Tengah, akibat dicap sebagai Soekarnois, Februari 1967, kemudian dinaikkan pangkatnya menjadi Marsekal Pertama TNI Angkatan Udara.
Penghargaan berupa kenaikan pangkat istimewa kepada Tjilik Riwut, karena operasi intelijen terjung payung di Tumbang Sambas, 17 Oktober 1947, dinyatakan sebagai hari ulang tahun Pasukan Khas (Paskhas) TNI AU. (Aju)
http://sinarharapan.net/2017/06/tjilik-riwut-tokoh-intelijen-pembubaran-ris-di-kalimantan/
0 komentar:
Posting Komentar