“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]
SIMPOSIUM NASIONAL
Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan
Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)
MASS GRAVE
Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..
TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]
Bagi sebagian orang dewasa, kaum muda dianggap tidak hanya sebagai manusia yang sulit diatur, tetapi juga manusia yang seringkali menentang dan menantang aturan-aturan sosial yang ada, tetapi mereka tidak pernah bertanya dan tidak mau mencari tahu mengapa perilaku-perilaku seperti itu dapat muncul di kalangan kaum muda. Tulisan ini, berupaya menyingkap penyebab munculnya perilaku-perilaku seperti itu, dan bagaimana seharusnya perilaku-perilaku seperti itu diarahkan.
Semenjak masyarakat telah terbagi-bagi dalam kelas-kelas yang saling bertentangan, kira-kira semenjak 5.000 tahun yang lalu, berbagai aturan hidup atau aturan sosial diproduksi dan dikendalikan oleh kelas yang sedang berkuasa dengan tujuan agar kepentingan kelas yang berkuasa dapat diterima atau tidak mendapatkan perlawanan dari pihak yang mereka kuasai: kelas buruh, dan kaum-kaum yang tertindas lainnya. Dengan kata lain, melalui berbagai aturan, kelas yang sedang berkuasa berharap akan dapat menindas pihak yang dikuasainya tanpa hambatan, bahkan diterima dengan ikhlas dan tulus oleh pihak yang ditindasnya. Adapun, aturan-aturan yang dimaksud itu maujud dalam hegemoni (false consciousness), hukum positif (jus constitutum), kebijakan negara, aturan-aturan adat, etika, moral, dan berbagai ajaran teologi. Terkait dengan hal tersebut, Karl Marx dan Friedrich Engels, di dalam karya mereka “Ideologi Jerman” dengan jelas mengatakan bahwa kesadaran yang dominan di tengah-tengah kehidupan massa adalah kesadaran dari kelas yang sedang berkuasa.
Namun begitu, berbagai aturan tersebut tidak dapat mencegah dampak merusak dan menyakitkan dari beroperasinya cara berproduksi kebutuhan hidup berbasiskan penindasan antarmanusia yang dialami oleh massa. Aturan-aturan tersebut hanya memainkan peran sebagai candu atau ilusi, yang memiliki batasan. Ketika kaum tertindas merasakan betapa semakin sulit dan semakin menyakitkannya hidup di bawah penindasan, mereka, secara spontan, akan melakukan perlawanan terhadap aturan-aturan yang ada. Tidak peduli perilaku mereka melanggar hukum, aturan adat, etika, atau moral, mereka akan melakukan berbagai bentuk perlawanan menentang dan menantang dampak dari cara berproduksi itu. Sejarah mencatat, semenjak masyarakat telah terbagi-bagi dalam kelas-kelas yang saling bertentangan, perlawanan atau pemberontakan selalu terjadi dari masa ke masa.
Penting untuk mendapatkan catatan, bahwa kelas yang sedang berkuasa, sebagaimana telah penulis sebutkan di muka, tidak hanya memproduksi dan mengendalikan berbagai aturan-aturan hegemonik, tetapi juga menegakkan aturan-aturan itu. Ketika aturan-aturan yang mereka produksi mendapatkan perlawanan, mereka akan mengerahkan barisan anjing penjaga modal bersenjata yang dipelihara oleh negara seperti aparat kepolisian, tentara, dan badan-badan intelijen. Tidak hanya itu, mereka juga akan mengerahkan lumpen proletariat seperti preman, bajingan, dan milisi reaksioner untuk menggebuk perlawanan, mengingat aparat-aparat yang dipelihara oleh negara itu dipagari oleh ilusi demokrasi dan HAM dalam menjalankan tugas “mulia”-nya, dalam menegakkan aturan-aturan itu, dalam melakukan tindakan represif. Tidak jarang juga, aparat melakukan penculikan, penyiksaan, pemerkosaan, dan pembunuhan secara terselubung untuk menghindari cap pelanggaran demokrasi dan HAM yang akan diberikan massa ke jidat mereka.
Represi akan jarang dilakukan oleh kelas yang sedang berkuasa apabila sistem ekonomi-politik (cara memproduksi kebutuhan hidup) dalam keadaan stabil karena mereka dapat memberikan berbagai konsesi kepada kaum yang tertindas supaya tidak melakukan perlawanan. Namun, apabila kelas yang sedang berkuasa sedang mengalami krisis, tidak dapat memberikan konsesi, dan mencabut konsesi-konsesi yang telah mereka berikan kepada kaum yang tertindas—misalnya penghapusan subsidi, penurunan upah riil, penaikan sumbangan BPJS hingga 100%—represi dari kelas yang berkuasa pun secara masif meledak karena secara spontan massa bangkit melakukan perlawanan.
Kaum muda, hari ini, adalah kaum yang hadir di tengah-tengah masyarakat yang telah terbagi dalam kelas-kelas yang saling bertentangan, kaum yang tengah merasakan dampak gila dari kebijakan-kebijakan yang diproduksi dan dikendalikan oleh kelas yang sedang berkuasa. Mereka, entah disadari entah tidak, merasakan betul dampak negatif krisis ekonomi-politik global—imperialisme—yang sedang terjadi hari ini. Di depan hidung mereka, mereka menyaksikan berbagai ketimpangan dan penindasan, dan mereka sendiri pun merasakan hal itu. Oleh karena itu, mereka pun melakukan berbagai perlawanan spontan dalam berbagai manifestasi, salah satunya adalah bergabung dengan massa turun ke jalan.
Ketika kaum muda turun ke jalan bersama massa, mereka mendapat palajaran yang tidak mereka peroleh di ruang-ruang kelas atau tempat mereka mendapatkan materi-materi pelajaran dari guru-guru kaki tangan borjuis mereka. Mereka mendapati kalau mereka ditentang oleh negara melalui berbagai larangan dari guru-guru mereka, dan direpresi oleh negara melalui aparat kepolisian dan militer. Aparat-aparat itu, menangkapi dan memukuli mereka. Entah di sadari entah tidak, mereka mendapat pelajaran seperti ini: Ketika aturan dilanggar, negara akan bersikap dan bertindak reaksioner.
Berangkat dari situ, dapat dipahami bagaimana mesin yang bernama negara digunakan oleh kelas yang berkuasa untuk menipu dan merepresi massa. Dari situ pula, dapat pula dipahami, bahwa alat-alat yang digunakan untuk kepentingan tersebut digunakan secara berurutan. Pertama, massa rakyat ditipu kesadarannya melalui ajaran-ajaran “tata tertib” yang telah dirancang oleh kelas yang berkuasa, yang ajaran-ajaran itu disebarluaskan melalui kanal-kanal pendidikan, ideologi negara, kebudayaan, etika, moral, dan bahkan teologi atau agama. Kedua, jika penipuan atau hegemoni itu tidak mampu menjinakkan massa rakyat—terlebih lagi massa rakyat yang kesadaran kelasnya telah bangkit—maka, tindakan alternatif yang akan digunakan oleh kelas yang berkuasa adalah merepresi kaum yang tertindas melalui alat-alat yang dimiliki oleh negara dan alat-alat (milisi reaksioner) yang secara tidak langsung dikendalikan atau dikontrol oleh negara.
Keberadaan kaum muda, entah disadari entah tidak, berada pada kondisi seperti itu. Mereka, berada pada kepungan hegemoni yang telah dirancang oleh kelas yang berkuasa, hegemoni yang digunakan tidak hanya untuk menjinakkan mereka, tetapi juga untuk menggiring mereka mengembangkan kesadaran palsu. Mereka diajari, kalau keberhasilan dalam hidup diukur dari seberapa banyak uang yang kau miliki dan investasikan demi keuntungan, seberapa mampu kau menjual dirimu sendiri dalam dunia bisnis, seberapa mampu kau bersaing dengan sesamamu dalam mengejar keuntungan, seberapa banyak kau telah menyisihkan hartamu untuk disumbangkan kepada orang miskin, seberapa jauh kau menindaklanjuti teori tentang kemiskinan terjadi karena ketiadaannya keterampilan atau karena mewabahnya kemalasan, seberapa keras dan sabar kau meniti karier di dunia bisnis, dan lain-lain, dan sebagainya. Bersamaan dengan itu, mereka tidak diajari, kalau investasi berhubungan dengan perampasan hasil kerja orang lain, menjual diri artinya menyerahkan diri untuk diperas oleh pemilik modal atau jika menjalankan usaha sendiri menawarkan diri untuk dipukul oleh pengusaha bermodal lebih besar, menyisihkan harta dan kemudian disedekahkan kepada orang miskin adalah tindakan yang tidak akan mengubah kondisi orang yang menerima sedekah sama sekali karena kemiskinan disebabkan oleh sistem dan struktur ekonomi bukan disebabkan oleh ketiadaan keterampilan atau kemalasan, dan kesabaran untuk menjadi kaya hanyalah penyemangat palsu karena, nyatanya, orang-orang yang bekerja keras dan sabar, seperti kaum petani miskin, buruh, dan pekerja-pekerja informal bergaji rendah, berpuluh-puluh tahun bekerja tetap saja dalam kondisi awalnya, miskin.
Kesadaran palsu itu, memiliki fungsi yang efektif untuk menciptakan kepatuhan atau ketundukan, untuk menggiring mereka pada tindakan sukarela (ikhlas) ketika mereka direkrut untuk mengabdikan diri mereka pada kepentingan kelas yang sedang berkuasa (kapitalis). Otak mereka, dicuci sedemikian rupa, melalui kanal-kanal hegemoni yang sudah penulis tunjukkan di muka, agar mereka patuh pada “tata tertib”. Kepatuhan mereka, sangat dibutuhkan oleh kelas kapitalis untuk mengamankan modal yang maujud dalam proses atau mekanisme produksi barang-barang kebutuhan hidup dan perampasan nilai lebih.
Namun begitu, ketika kaum muda hadir dalam kondisi seperti itu, dalam dunia yang telah dikepung oleh hegemoni dari kelas kapitalis, mereka mengalami kontradiksi dalam kesadaran mereka. Di satu sisi, mereka menyaksikan tatanan dunia tempat mereka hidup, yang dianggap oleh kebanyak orang, adalah tatanan yang wajar dan justru harus diamini. Di sisi lain, ketika mereka diperkenalkan oleh teori-teori kritis dan kemudian menghubungkannya dengan kondisi konkret keseharian yang sarat dengan penindasan, mereka merasa terguncang karena tatanan yang selama ini dianggap wajar ternyata tatanan yang tidak wajar, tatanan yang menindas dan bengis.
Ketika kaum muda berhasil membongkar kesadaran palsu yang selama ini mengcengkram mereka, ketika itulah, sebenarnya, kaum muda telah berhasil menciptakan dirinya sendiri—sejarahnya sendiri sebagai kaum muda yang kritis dan revolusioner. Kondisi seperti itu, pernah dilukiskan oleh Karl Marx di dalam buku yang ditulisnya “Brumaire ke-18 Louis Bonaparte”. Di dalam buku itu, dia menulis kalau manusia (baca: pemuda—pen.) dapat menciptakan sejarahnya sendiri walau pun penciptaan itu tidak bisa dilepaskan dari sejarah (baca: hegemoni—pen.) yang telah ditransmisikan dari masa lalu. Maksudnya, ketika kaum muda telah berhasil membangun nalar kritis atau menyingkirkan kesadaran palsu, pembangunan itu tidak dapat dilepaskan dari hubungan dialektis (interaksi) antara kesadaran kritisnya dan kondisi sosial/hegemoni yang sudah ada sebelumnya.
Inilah definisi dari pemuda revolusioner, pemuda yang berhasil membongkar kesadaran palsu, pemuda yang telah berhasil membangun nalar kritisnya, dan pemuda yang telah berhasil menciptakan sejarah untuk dirinya sendiri. Keberhasilan itu, dalam analisis Marxis, tidak dapat dilepaskan dari berlakunya hukum besi prinsip-prinsip materialisme dialektika ditingkatan pembentukan kaum muda. Ketika, hegemoni (tesis) dimunculkan akan disambut oleh counter hegemoni (anti-tesis) yang kemudian akan mendorong munculnya orang-orang, dalam hal ini kaum muda, yang memiliki nalar kritis (sintesis), nalar yang memiliki kemampuan membongkar atau mendekonstruksi kesadaran palsu (sintesis): tesis—antitesis—sintetis.
Carol Cariola, seorang perempuan muda, aktivis Marxis dari Chili, pernah berkata, “Pemuda yang tidak memiliki jiwa revolusioner, adalah pemuda yang tengah mengalami kontradiksi biologis”. Berangkat dari perkataan itu, seakan-akan kita ditunjukkan oleh Cariola kalau jiwa revolusioner muncul dengan sendirinya dari dalam tubuh biologis manusia, bukan berasal dari luar atau dipengaruhi dari luar. Kawan, kita harus berhati-hati dalam mencerna perkataan itu. Berikut ini, penulis akan memberikan ulasan terhadap apa yang pernah dikatakan oleh Carol Cariola itu melalui sudut pandang Marxisme: materialisme dialektika.
Terbentuknya kesadaran manusia, secara biologis, tidak bisa dilepaskan dari aktivitasnya dalam berpikir. Ketika manusia sedang berpikir, pada saat itulah dia sedang memasukkan berbagai informasi, menampung informasi, mengolah informasi, membandingkan informasi, dan mengkontradiksikan informasi yang masuk ke dalam “mesin ingatan” dengan informasi yang sudah masuk sebelumnya. Aktivitas itu, sudah terjadi semenjak manusia terlahir di dunia, atau dengan perkataan lain, semenjak dia terlempar dari rahim ibunya ke lingkungan masyarakat yang telah terbagi ke dalam kelas-kelas yang saling bertentangan.
Jadi, berbagai informasi atau bahan-bahan material yang datang dari luar diri manusia itulah yang membentuk kesadaran manusia. Dengan perkataan lain, bahan-bahan itu adalah syarat material dari pembentukan kesadaran manusia.
Berangkat dari situ, dengan mudah kita dapat memahami bahwa pembentukan jiwa revolusioner atau pembangunan nalar kritis tidak berasal, secara otomatis, dari warisan biologis-filogenetik atau dari dalam tubuh manusia begitu saja, dan tidak juga berasal dari dunia ghaib atau diturunkan dari langit tanpa basa-basi, tetapi dibentuk melalui proses berinteraksi dengan berbagai permasalahan sosial (penindasan) dan teori-teori kritis dan radikal—teori-teori yang bernafaskan Marxisme misalnya. Berangkat dari sini, meminjam istilah yang digunakan oleh Karl Marx, bahwa “Kesadaran manusia terbentuk di bumi kemudian menuju langit, bukan dari langit menghampas-jatuh ke dalam kepala setiap manusia”. Ringkasnya, kesadaran manusia berasal dari luar, dan kemudian mengalami pengolahan-gerak dialektis biologis di dalam tubuh manusia. itulah, yang dimaksud oleh Cariola sebagai istilah “biologis”.
Dengan begitu, menjadi pemuda revolusioner adalah menjadi pemuda yang aktif mempelajari berbagai teori kritis (Marxis), dan kemudian menghubungkannya dengan berbagai permasalah-permasalahan sosial atau penindasan yang terjadi di dalam masyarakat, masyarakat yang telah terbagi ke dalam kelas-kelas yang saling bertentangan. Dan, itu artinya, pemuda yang memiliki jiwa revolusioner adalah pemuda yang memiliki komitmen untuk melawan hegemoni, berbagai bentuk penindasan, dan, lebih jauh lagi, mengubah kondisi sosial menjadi lebih baik dari sebelumnya. Pembangunan masyarakat tanpa kelas, kiranya menarik untuk dikaji oleh kaum muda yang memiliki jiwa revolusioner.
Komitmen seperti itu, tentu saja, hanya dimiliki oleh kaum muda yang pemikirannya telah tercerahkan, pemikiran yang diperoleh dari usaha keras atau perjuangan membongkar hegemoni melalui pembangunan teori kritis di dalam kepala dan kemudian menghubungkannya dengan fenomena penindasan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Itu artinya, tidak semua kaum muda memiliki jiwa revolusioner. Banyak kaum muda, yang kesadarannya masih terkungkung dalam kesadaran palsu.
Pertanyaannya, mengapa tidak semua kaum muda memiliki jiwa revolusioner? Jawabannya, dapat diperiksa melalui kondisi sosial atau material mereka. Metode pemeriksaan itu, aku pinjam dari metode yang digunakan oleh Marx dalam memahami keberadaan manusia. Metode itu, dapat ditemui oleh kawan-kawan dalam tulisan Marx “Thesis on Feuerbach”. Di dalam tulisan itu, nabi kaum buruh itu pernah menulis, “Bukan kesadaran manusia yang menentukan kondisi sosialnya, tetapi kondisi sosiallah yang menentukan kesadarannya”.
Sekali lagi, penulis telah menyampaikan di muka, bahwa hegemoni yang telah dirancang oleh kelas kapitalis disebarluaskan melalui berbagai bentuk kanal, dan kanal-kanal itulah yang dapat dengan mudah ditemui oleh kawan-kawan di berbagai tempat, baik tempat terbuka seperti sekolah-sekolah, dalam ceramah-ceramah konservatif dari tokoh-tokoh masyarakat, maupun di ruang-ruang sempit, berukuran mengenaskan, di dalam rumah-rumah kontrakan (kost-kostan).
Selain menyebarkan rancang hegemoni secara terstruktur, tersistematis, dan masif tersebut, kelas kapitalis juga memberikan dorongan bagi munculnya semangat individual melalui ajaran-ajaran yang bersifat rasis, diskriminatif, dan eksploitatif. Massa rakyat diajarkan, diantaranya, kalau kepentingan individu adalah yang utama sedangkan kepentingan kolektif adalah nomor dua (contoh: orang akan membangga-banggakan anaknya yang mendapatkan prestasi gemilang, dan mencemooh anak-anak lain yang tidak berprestasi), kaum buruh di dalam pabrik didorong untuk saling bersaing memproduksi komoditas untuk meningkatkan keuntungan kapitalis melalui berbagai bonus dan iming-iming kenaikan posisi, antara individu dan individu lainnya diajarkan kalau ras yang satu lebih cerdas, tekun, dan sabar ketimbang ras lainnya, anak-anak diajarkan untuk mengolok-olok temannya yang berkulit berbeda dengan dirinya atau organ tubuhnya tidak lengkap, massa rakyat diajarkan kalau mempekerjakan orang lain dan mendapatkan keuntungan dari pekerjaannya itu tanpa dia sendiri terlibat dalam pekerjaan adalah hal yang wajar, dan banyak lagi ajaran-ajaran yang bersifat hegemonik lainnya.
Selain tindakan-tindakan hegemonik yang menyerbu kehidupan sehari-hari massa rakyat itu, di tingkatan akademis (ruang kuliah dan sekolah-sekolah) kaum intelektual dibombardir dengan teori-teori borjuis, yang mengajarkan bahwa tatanan masyarakat kapitalis adalah tatanan yang ideal, dapat membangun kehidupan berdemokrasi, manusiawi, rasional, dan dapat mensejahterakaan masyarakat melalui jargon “tetesan ke bawah” (trickle down effect). Hal itu, ditambah lagi dengan serbuan yang datang dari teori-teori postmodernisme yang menyesakkan nafas, yang mengajarkan kepada kaum intelektual kalau narasi yang harus diperhatikan adalah narasi-narasi kecil, seperti keunikan individu, keunikan antara budaya satu dan lainnya, keunikan antara bahasa satu dan bahasa lainnya, dekonstruksi bahasa, pengkonsumsian prestise, dan lain sebagainya, yang pada hakikatnya memandulkan adanya persatuan kaum tertindas dan perjuangan kelas dalam mengubah kondisi sosial yang menindas, kondisi yang terbangun secara tersistematis dan terstruktur dalam jalinan narasi besar. Intinya, teori-teori itu, berupaya untuk membangun kesadaran palsu kepada kaum intelektual: URUS DIRIMU SENDIRI, JANGAN MENGURUSI URUSAN KAUM TERTINDAS! Setiap kaum tertindas, disuruh untuk berjuang sendiri-sendiri melawan penindasan yang tersistematis dan terstruktur. Ringkasnya, individu diarahkan untuk melawan sistem tanpa harus berorganisasi atau berjuang secara kolektif.
Nah, ketika kita berbicara tentang perjuangan individu dan melepaskan perjuangan kolektif (kelas), ketika itulah kita berbicara tentang kepentingan kelas kapitalis. Kelas ini, berkepentingan untuk menjaga agar kelas-kelas yang ada di dalam massa rakyat tetap terbelah atau terpecah-pecah dalam pertentangan, sehingga akan mencegah terjadinya persatuan dan perlawanan kolektif dari kaum tertindas terhadap kaum yang menindas: kelas kapitalis. Dengan begitu, menyeruaknya teori-teori postmoderinsme ke dalam ruang-ruang akademis, sejalan dengan kepentingan kelas kapitalis, atau dapat juga dikatakan antara postmodernisme dan kepentingan kapitalis adalah satu dalam dua sisi mata uang logam.
Berangkat dari ulasanku di muka, dapat dapatlah dipahami, bahwa keberadaan pemuda terdeferensiasi ke dalam, setidaknya, tiga kelompok. Kelompok pertama, adalah kaum muda yang memiliki jiwa revolusioner, kaum yang telah berhasil membongkar kesadaran palsu dan berkomitmen untuk mengubah kondisi sosial yang menindas. Kelompok kedua, kaum muda yang menerima begitu saja dan bahkan mendukung sistem kapitalis yang menindas. Kelompok ketiga, kaum muda yang isi kepalanya telah dicor oleh kepentingan kelas kapitalis melalui teori-teori yang memandulkan perjuangan kelas.
Pertanyaannya, lalu bagaimana sikap yang harus diambil kaum muda yang memiliki jiwa revolusioner? Jawabannya, terus-menerus membangun nalar kritis, perbanyak membaca buku, terus-menerus mempertajam analisis Marxis, dan membangun lingkaran-lingkaran studi alternatif. Semua itu, penting untuk membangkitkan kesadaran kaum muda yang tidak menyadari kalau dirinya terhegemoni oleh agenda kelas kapitalis, dan untuk mempersiapkan senjata ideologi untuk bertarung di ranah akademis—perjuangan kelas di ranah idelogi dan akademis.
Tidak berhenti sampai di situ, sebagaimana yang diamanatkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, hendaklah kesadaran kritis atau terbangunnya teori-teori Marxis di dalam kepala setiap pemuda-aktivitis, tidak diperuntukkan untuk kepentingan kesenangan intelektual semata, tetapi harus dijadikan panduan dalam memperjuangkan nasib massa rakyat yang tertindas. Berangkat dari sini, maka dapatlah dengan tegas dikatakan: Antara pembangunan teori dan aksi massa harus seiring-sejalan. Identitas pemuda berjiwa revolusioner, pada intinya, terletak di sini. Dengan berbekal, telah terbangunnya nalar kritis, kaum muda hendaklah bergabung dalam partai-partai pelopor yang memperjuangkan pembebasan terhadap kaum yang tertindas.
Ismantoro Dwi Yuwono, anggota Studi Klub Landless (Labour and Class Struggle Studies) Yogyakarta
Peristiwa peraziaan buku yang dilakukan Brigade Muslim Indonesia (BMI) di Makassar pada 5 Agustus 2019 menunjukan bahwa ruang publik di Indonesia masih dihiasi tindakan kontra-demokrasi. Peredaran buku-buku yang berisikan wacana kritis dirongrong-rong atas nama stabilitas dan kekeliruan tafsir.
Reproduksi ketakutan melalui aksi razia buku selama ini membuat perkembangan intelektual di Indonesia menjadi tersumbat. Hal tersebut diungkapkan oleh anggota PMKRI Cabang Yogyakarta, Heronimus Heron yang merupakan pemantik dalam diskusi forum Meja Panjang Aquinas PMKRI Cabang Yogyakarta pada Rabu, (7/8/2019).
“Indonesia itu negara demokratis, maka jaminan akan freedom of expression, freedom of speech, dan freedom of the press adalah suatu kewajiban. Jaminan tersebut tentu dibutuhkan sebagai hak dasar sosial dan politik warga negara. Jika jaminan itu dilanggar, maka demokrasi tak ada gunanya. Maka, dalih menjaga “stabilitas nasional”, “ketertiban umum”, atau sekadar meluruskan “tafsir sejarah yang keliru”, lembaga-lembaga tertentu bisa dengan sewenang-wenang melarang kebebasan berpendapat. Model pelarangan, pembatasan, dan pengebirian semacam ini merupakan perwujudan Ideologi politik khas kolonial dan otoritarian yang terus dirawat kekuasaan,” papar Heron pada diskusi yang bertajuk “Ada Apa dengan Buku?
Tidak hanya peristiwa penyitaan buku Franz Magnis Suseno yang bukunya dianggap berbau komunisme, beberapa toko buku, penulis, dan penerbit didatangi aparat keamanan juga latah terjadi selama ini.
Di Yogyakarta misalnya, teror terhadap aktivitas literasi pernah menimpa Penerbit Narasi dan Resist Book tahun 2016. Ironisnya, aksi teror itu dilancarkan satuan tentara dan kepolisian, karena kejadian represi tersebut penerbit Resist Book terpaksa pindah tempat.
Toko buku Budi dan Shopping Center Yogyakarta juga didatangi oleh petugas Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta dan menyita beberapa buku yang dianggap kiri. Penerbit Margin Kiri di Jakarta (dalam CNN, 13/05/2016) aparat menggeledah dan menyita secara membabi-buta. Asal ada kata-kata komunis, PKI, 1965, atau sampulnya bergambar palu dan arit, langsung diberangus.
Peradaban yang Bergerak Mundur
Pada diskusi yang dimoderatori oleh Helena Evi Nakar, Heron juga menilai, rentetan peristiwa tersebut sangat memalukan, mengingat dalam beberapa survei Indonesia menduduki peringkat terendah dalam literasi. Survei Central Connecticut State University pada tahun 2016 menempatkan Indonesia pada peringkat 60 dari 61 negara .
Hal ini dikuatkan oleh data UNESCO yang menunjukan indeks minat baca warga Indonesia 0,001. Artinya dari 100 orang hanya 1 ornag yang membaca buku (Kompas, 7/08/2019. Belum lagi produksi surat kabar yang minim, ketersediaan toko-toko buku di kota-kota yang minim dan tinggkat usia sekolah yang tinggi. Hal ini tentu sangat miris dan tanda kemunduran peradaban.
Terkait pelarangan buku, sudah ditegaskan melalui putusan MK nomor 20/PUU-VIII/2010 bahwa penyitaan buku yang diduga melanggar ketentuan undang-undang harus melalui proses pengadilan. Apabila terbukti melanggar undang-undang yang berwenang adalah pihak penegak hukum atau alat negara lain yang mesti didahului adanya proses peradilan.
Heron menganggap, bahwa sebagai negara hukum, segala tindakan dalam kehidupan bernegara harus berdasar hukum. Gerakan penyitaan buku yang dilakukan oleh sekelompok orang di Makassar beberapa waktu lalu harus ditindak tegas karena merupakan gerakan ekstrayudisial yang tidak sesuai dengan mekanisme yang diatur oleh undang-undang.
Demokrasi Konstitusional
Selain itu, Wihelmus A. Ndau yang merupakan Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cabang Yogyakarta pun turut memberikan komentar senada. Dirinya melihat bahwa Indonesia yang menganut demokrasi konstitusional dimana pengakuan akan hak-hak asasi manusia diakomodir dalam konstitusi UUD 1945 sudah secara tegas mengatur mengenai hak dan kebebasan warga negara.
Pada pasal 28 F UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia,” menjamin kebebasan warga negara untuk mendapatkan informasi termasuk prodak akademik. Tindakan penyitaaan buku yang dilakukan ini telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yang mana membatasi akses warga negara untuk mendapatkan informasi termasuk pengekangan terhadap akses akademik.
“Saya menilai bahwa tindakan seperti ini adalah reproduksi ketakutan yang dilandasi oleh muatan ideologis. Kelompok fundamentalis kanan yang akhir-akhir ini mulai menguat begitu leluasa dalam melakukan aksi-aksinya. Meskipun dalam beberapa peristiwa razia dilakukan oleh aparat keamanan, akan tetapi kelompok fundamentalis juga terus dibiarkan untuk melakukan aksinya. Kelompok fundamentalis ini melakukan aksinya tentu karena dibiarkan bahkan diberi tempat,” tutur mahasiswa Hukum Universitas Janabadra tersebut.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa berkembangnya wacana-wacana kritis tentunya membuat kepentingan kepentingan rezim menjadi terganggu. Narasi-narasi pemenuhan hak-hak ekonomi sosial politik warga negara lantas kian direpresi untuk tetap mengamankan kepentingan akumulasi penguasa.
Polda Sulsel merazia buku Marxisme dan paham komunis yang beredar di masyarakat. Razia tersebut menyasar sejumlah mal dan toko buku.
Kabid Humas Polda Sulsel, Kombes Pol Dicky Sondani, mengatakan razia buku tersebut muncul setelah adanya upaya sweeping ormas, Minggu (4/8) malam. Polisi pun kemudian menindaklanjuti sweeping itu.
“Menyikapi aksi sweeping Brigade Muslim. Kami menyarankan apabila menemukan buku Marxisme dan paham komunis agar diserahkan ke polisi,” kata Dicky lewat keterangan tertulisnya, Senin (5/8).
Di sisi lain, polisi juga berharap tak muncul kekhawatiran dan kesalahpahaman di masyarakat maupun pengelola toko buku dengan adanya sweeping ormas. Oleh karena itu, razia resmi hanya dilakukan oleh kepolisian.
“Sehingga kita yang akan melakukan tindakan hukum,” ujar Dicky.
Untuk menentukan suatu buku masuk kategori paham komunis, polisi melibatkan ahli dalam razia. Selain itu, polisi akan menghentikan pemasaran buku-buku yang terbukti menyebarkan paham komunis ke toko buku.
“Tentu Polda Sulsel meminta pendapat dari para saksi ahli apakah buku yang dijual di Gramedia itu menyebarkan ajaran komunis atau tidak,” tandasnya.
Dalam corak produksi kapitalisme, nyaris semua kegiatan
manusia dipacu untuk memperoleh laba atau keuntungan pribadi dan pada akhirnya
diambil oleh kapitalis perbankan, melalui hutang atau kredit. Ilmu pengetahuan
dan teknologi dalam kapitalisme ditundukkan untuk mengejar laba itu. Karena
itu, pendidikan tinggi tidak perlu menaruh perhatian pada sikap ilmiah dan
kemampuan teknik yang sejati.
Jenjang dan gelar hanya menjadi lencana baru dari
kedudukan aristokrasi di masyarakat, seperti gelar pada masa feodal. Penguasaan
ilmu dan teknik hanya dicapai segelintir individu, bahkan yang menaruh minat
yang sesungguhnya pada ilmu pengetahuan, dan pencapaian para pakar ini niscaya
ditundukkan oleh kapitalisme, kecuali mereka yang menentang dan melawannya,
seperti Perelman yang memecahkan teka-teki matematika selama satu abad.
Perelman menolak hadiah satu juta dollar AS, kira-kira
Rp. 13.000.000.000,- sebab tidak mau menghadiri penghargaan dan hadiah yang
akan diberikan kepadanya di Clay Mathematics Institute, Cambridge, Inggris. Dia
juga menolak penghargaan Nobel di bidang matematika.
Grigori Perelman lahir pada tahun 1966 di Saint
Petersburg. Ibunya mendaftarkan Perelman kepada sebuah perkumpulan matematika
ketika beliau mengetahui kemampuannya yang luar biasa dalam matematika.
Perkumpulan matematika ini dikelola Sergei Rukshin, seorang guru matematika
terkemuka yang berusia 19 tahun.
Dia adalah guru yang sangat cemerlang dalam mengajar para
pemuda jenius. Bakat alam Perelman pun segera terasah secara mendalam di
perkumpulan ini. Dalam waktu singkat, Perelman menunjukkan diri dengan sangat
jelas bahwa dia tidak hanya berbakat, namun juga mempunyai pikiran yang sangat
sistematis sehingga dia nyaris mampu menyelesaikan soal matematika apapun tanpa
mencatatnya.
Pembuktiannya disahkan oleh semua grup matematika pada tahun
2006.
Majalah Science
mengakuinya sebagai “Terobosan Tahun ini”. Ia adalah karya matematika pertama
yang berhasil mendapatkan penghargaan (yang sangat khusus) ini. Komite Fields
dan Clay Institute sepakat untuk memberikan penghargaan kepada Perelman. Dia
adalah matematikawan pertama dan satu-satunya yang sudah memecahkan Masalah
Milineum, namun dia juga menolak penghargaan Fields Medal and Millennium.
Setelah para hadirin bertepuk tangan, ketua International
Mathematical Union, John Ball menyatakan, “Saya menyesal karena Dr. Perelman
tidak mau menerima penghargaan ini.”
Hanya itu, tiada penjelasan lagi.
Pendirian Perelman menunjukkan kepribadiannya yang unik dan komitemennya yang
mendalam pada matematika:
“Aku tidak tertarik pada uang dan ketenaran. Aku tidak
ingin dipajang seperti hewan di kebun binatang. Aku bukanlah pakar matematika.
Aku bahkan belum berhasil dalam matematika. Karena itu, aku tidak ingin disorot
orang-orang.”
Kabarnya, Perelman tinggal bersama ibunya di St.
Petersberg. Panggilan telepon berhari-hari kepada nomer telepon yang terdaftar
sebagai milik Perelman, tak terjawab. Para kenalannya menolak untuk memberikan
alamatnya atau nomer teleponnya. Mereka mengatakan bahwa Perelman tidak
bersedia berbicara dengan media.
Grigori Perelman sudah mengayun langkah kemajuan yang
jauh dalam memahami hukum alam semesta. Dia pun memberikan pelajaran lain
kepada kita: kesombongan dan keserakahan tidak berarti dalam ilmu pengetahuan.
"Kekosongan dimana-mana, namun ia bisa dikalkulasi,
membuka peluang besar kepada kita. Aku mengerti cara mengendalikan alam
semesta. Jadi, mengapa aku harus mengejar 1 juta dolar?
Dia percaya bahwa matematika bisa memberikan sumbangan
penting pada kemanusiaan. Hampir semua ilmuwan terkemuka di Russia yang sudah
terdidik dalam negara sosialis, pasti mempunyai sikap yang sama, bahwa ilmu dan
teknologi harus mengabdi pada umat manusia, bukan penghargaan dan segala macam
ketenaran, apalagi klaim hak cipta oleh seorang kapitalis atau perusahaan.
Itulah keunggulan nilai-nilai sosialis. Dan manusia jauh lebih agung dari semua
materi di muka bumi ini.
Hari itu barangkali telah sangat menentukan perjalanan
hidupku.
Pada suatu hari di akhir tahun 1945 atau awal 1946 itu,
aku mampir ke subuah gedung tua yang terletak di ujung jalan "spoorstraat“
tepat di belokan ke jalan "Boldi“. Di atas pintu masuk gedung itu
terpasang papan nama: "Serikat Rakjat“, dalam huruf-huruf cat hitam di
atas latar belakang cat merah menyala.
Aku mampir ke situ karena mengetahui bahwa di situ ada
dijual buku-buku yang telah menarik perhatian dan minatku.
Selagi asyik melihat-lihat dan memperhatikan buku-buku
yang secara sederhana digelar di atas sebuah meja panjang (di ruangan depan
yang dimaksudkan sebagai semacam toko buku itu, tidak ada lemari-lemari atau
rak-rak buku sebagaimana layaknya di sebuah toko buku), dan yang di antaranya
aku dapatkan buku Manifesto of the Comunist Party, aku merasakan tangan
seseorang menepuk bahuku.
“Anda berminat akan buku-buku seperti ini?“ tanya
seseorang yang berdiri di belakangku.
Seseorang berperawakan tegap, tidak terlalu tinggi, dan
bermata sedikit juling. Belakangan aku mengetahui bahwa orang itu bernama Tukliwon,
seseorang yang berbapak seorang Digulis, dan belum lama “pulang“ ke Indonesia
dari Australia.
Sambil membalikkan badanku, aku menjawab, “O, saya Cuma
lihat-lihat saja. Dan memang saya tertarik pada buku-buku seperti ini.“
Dan dari perkenalan secara “kebetulan“ itu, berkembanglah
percakapan yang mengasyikkan, dan yang berakhir dengan sebuah penawaran
Tukliwon itu padaku: “Apakah anda berminat untuk lebih mengenal dan mendalami
yang ditulis dalam buku-buku seperti ini? Jika anda mau, maka saya dapat memperkenalkan
dan mengantar anda sehingga anda dapat mengikuti semacam mimbar pengetahuan
politik.“
Beberapa hari kemudian, sesuai dengan yang disampaikan
oleh Tukliwon padaku, setiap petang hari, dari jam 19:00 hingga (rata-rata)
pukul 22:00 aku mengikuti yang kemudian ternyata adalah kursus Serikat Rakjat,
suatu bagian dari kegiatan pendidikan/pengkaderan yang dilakukan oleh Seksi
Comite Partai Komunis Indonesia di kota Malang itu.
Sejak kapan kursus-kursus itu diadakan, tidak pernah aku
ketahui. Tetapi kursus itu tanpa dipungut bayaran. Dan tanpa ikatan apapun.
Yang bertindak sebagai pemberi kursus itu juga seorang Digulis, bernama
Sujitno. Seorang yang berbadan tegap, berwajah kasar dan hitam. Seseorang yang
tidak akan pernah kulupakan, karena gayanya “mengajar“ yang selalu tegas, jelas
dan lengkap.
“Kursus“ itu aku ikuti selama kira-kira 4 atau enam
bulan. Dan yang kudapatkan dari kursus itu adalah pengetahuan paling dasar
mengenai sebab-sebab dan sumber-sumber adanya kemiskinan, adanya penindasan
manusia oleh manusia, tentang kapitalisme dan imperialisme.
Aku tidak mengetahui apakah setelah mengikuti kursus
Serikat Rakjat itu sekian bulan lamanya, aku dianggap sudah mencapai tingkat
“tamat“, tetapi pada suatu hari, setelah selesai kursus untuk hari itu, aku
diundang oleh pak Jitno untuk menemuinya.
Pak Jitno menanyakan/menawarkan padaku, apakah aku
berminat untuk melanjutkan “kursus“ Serikat Rakjat itu dengan mengikuti Marx
House, yang diselenggarakan oleh sebuah badan gabungan dari Partai Komunis
Indonesia, Partai Sosialis dan Partai Buruh Indonesia di Yogya.
Marx House itu untuk setiap angkatan berlangsung dua
bulan lamanya.
Mengikuti Marx House juga tiada dipungut biaya, bahkan
sebaliknya, para pesertanya akan tinggal dalam sebuah asrama, singkat kata disediakan
papan dan pangan serta pelajaran sesuai jadwal, 7 hari dalam seminggu dan 4 jam
di pagi dan 4 jam di petang hari, dengan waktu-waktu tertentu untuk studi
bersama dan diskusi bahan pelajaran.
Angkatan Marx House yang ditawarkan padaku adalah angkatan
ke 2.
*
Tempat Marx House angkatan ke 2 itu diselenggarakan
adalah bekas gedung administrator Pabrik Gula Padokan di Yogya.
Sebelum masuk ke gedung itu, aku sempat mengalami stress
berat, karena setibanya di Yogya dan mendaftar ke sebuah alamat di (kalau tidak
salah) Songoyudan, aku ditolak mengikuti Marx House itu, dengan alasan
(walaupun aku menyerahkan sepucuk surat keterangan dan rekomendasi dari pak
Jitno dari Serikat Rakjat) bahwa aku masih di bawah usia (usiaku pada waktu itu
sudah 17, pertengahan tahun 1946).
Besar kemungkinan bahwa penolakan itu datangnya dari
Sitoroes, salah seorang sekretaris Partai Sosialis. Aku sebenarnya tidak
berdaya melakukan sesuatu apapun untuk menembus penolakan itu sekalipun aku
sudah sepenuh hati ingin mengikuti Marx House itu, karena ku pikir ini suatu
kesempatan yang tidak akan datang seratus tahun sekali bagiku.
Ternyata, aku "diselamatkan" oleh intervensi
Tan Ling Djie, sekretaris jenderal Partai Sosialis Indonesia, yang --seperti
juga Sitoroes-- belum pernah aku kenal/jumpa sebelumnya. Hingga hari ini, 60
tahun kemudian, aku tidak mengetahui (bahkan bertanya pun tidak) dasar yang
dipakai Tan Ling Djie mengijinkan aku mengikuti Marx House itu.
Maka masuklah aku ke Marx House, Padokan, Yogyakarta,
angkatan 2 - tahun 1946.
Para peserta "pendidikan" di Marx House itu
terdiri dari para aktivis partai, serikat buruh (aku sendiri tidak mengetahui
ke dalam kategori mana diriku dimasukkan, karena aku tidak aktif di sesuatu
partai maupun serikat buruh. Mungkin aku diterima sekedar karena rekomendasi
Serikat Rakjat Malang itu) dari berbagai daerah. Jumlahnya tidak aku ingat,
mungkin sekitar 40 atau 50 orang. Yang masih kuingat hingga sekarang, hanyalah
beberapa orang yang kemudian aku sering berhubungan dengannya, antara lain
Soedarmo dan Ahmad Ireng yang memimpin SBPP Surabaya, Siti Asiah, pemimpin
Gerwis/Gerwani dan kemudian menjadi istri Satyagraha (wartawan terkemuka Soeloeh
Indonesia dari PNI), H.M. yang kemudian aku ketahui menjadi seorang
pimpinan NU, Mbak S. yang kemudian kekuketahui menjadi istri seorang menteri
dalam pemerintahan Soekarno.
Suasana dan pergaulan dalam Marx House itu setepatnya
disebut sebagai keakraban yang layaknya sebuah keluarga besar. Urusan rumah
tangga berada di tangan bijaksana dari Ibu Jaetun.
Setelah jarak waktu yang enampuluh tahun ini, sungguh
membuat diriku menggandrungi kebersamaan sesama peserta, yang memang
berdisiplin, tetapi bukan disiplin mati dan yang mematikan inisiatif dan
kreativitas. Rasa kebersamaan itu tidak saja menghidupkan jam-jam pelajaran
maupun diskusi-diskusi, tetapi dan terutama membina dan mengukuhkan keakraban
dan kepedulian antara sesama peserta.
Selama dua bulan itu, aku berusaha sebanyak-banyak
mungkin dan selengkap-lengkap (semendalam) mungkin menyerap semua pelajaran
yang diberikan. Msterialisme Dialektik dari pak Jaetun, Digulis dan yang secara
pribadi kuberi julukan Mr Universum, Ekonomi Politik dari pak Akhiar (pada
tahuh + 1997 meninggal dalam usia 92 tahun), yang darinya aku
beruntung mendapatkan dan menyimpan sebuah buku catatan mengenai pekerjaan di
bawah tanah yang dilakukan pak Akhiar pada tahun-tahun 1949-1950-an (segera
setelah peristiwa Madiun), Gerakan Buruh dari Gondo, bangsawan Yogyakarta yang
kini hidup di negeri Belanda, Organisasi dari Abdulrahman, yang adalah juga
salah seorang laksamana RI pertama, mantan ajudan laksamana Belanda yang
berkedudukan di Colombo di masa perang dunia ke II, yang meninggal dalam usia
82 pada tahun 2004. Dan dari "guru-guru" lain yang sungguh bukan
orang sembarangan: pak Alimin, Sardjono, Sutan Sjahrir, Amir Sjarifuddin,
Setiadjit, Maruto Darusman.
Jika dibandingkan keadaan masa itu dan sekarang, maka
keberadaan dan yang diselenggarakan/dilaksanakan Marx House sebagai dan dalam
bidang pendidikan kader dan politik sungguh merupakan sesuatu yang luar biasa.
Dan dalam mengajukan segala macam kritik tentang kekurangan-kekurangan Marx
House, apa yang dihasilkannya dan apa jadinya dengan semua usaha itu, jangan
sekejabpun orang melupakan dalam keadaan bagaimana, dengan perlengkapan yang
bagaimana, dengan sumber daya bagaimana semua itu telah dilakukan.o
Marx muda adalah penulis puisi-puisi romantis. Putri-putri Marx mengikuti jejak revolusioner sang bapak.
Karl Marx, teoretikus sosialisme ilmiah yang dipuja dan dikecam (tergantung kepada siapa Anda bertanya) di seluruh dunia itu, ternyata sama sekali tidak Marxis sedikitnya dalam dua hal: urusan puisi dan ketika seorang aktivis melamar putrinya.
Pada 1848 ia dan karibnya, Fredrich Engels, menulis, “Biarkan kelas-kelas yang berkuasa gemetar menghadapi revolusi Komunis. Kaum proletar tidak akan kehilangan suatu apapun kecuali belenggu mereka. Dunia masa depan adalah milik mereka. Kaum buruh sedunia, bersatulah!”
Penutup teksManifesto Komunisini pernah dikenang baik-baik tak hanya oleh buruh pabrik, tani, warga jajahan, di seluruh dunia dari Afrika hingga Jawa yang mendapat arsenal teori untuk kemalangannya, tapi juga oleh para penguasa, ningrat, bos pabrik, opsir-opsir kolonial, hingga centeng bayaran—berseragam atau tidak—sebagai ancaman.
Namun dua belas tahun sebelum Manifesto Komunis diterbitkan,puisipemuda Karl berbunyi lain: “Lalu tiga titik cahaya berpijar sunyi/Binarnya kerling mata jeli/Biar angin dan badai mengembus hantam/Dua jiwa menyatu bersanding tenteram.”
Marx berusia 18 ketika menulis sajak yang didedikasikan untuk kekasihnya, Jenny von Westphalen. Tak ada "anasir-anasir komunis" di sana, kecuali Anda percaya teori konspirasi "Komunis Gaya Baru" yang bisa menerawang komunisme di mana-mana, termasuk pada permukaan sisik ikan louhan.
Namun kali lain, Marx bisa terdengar sangat realis dalam urusan asmara. “Jika kau mencintai seseorang tanpa menuntut perasaan yang sama [...] maka kau gagal menjadi orang yang dicintai, maka cintamu impoten, malang!" demikian tulisnya dalamPrivate Property and Communism(1844), setahun setelah menikah dengan Jenny.
Keluarga Radikal
Saat berusia 18 dan berstatus mahasiswa di Universitas Berlin, aktivitas sehari-hari Marx layaknya mahasiswa pada umumnya: berkelahi, rebutan cewek, debat kusir. Suatu hari pada 1840, ia menerima komplain dari Jenny, yang waktu itu masih jadi pacarnya, via surat. Begini Jenny menulis:
“Oh, Karl, kalau saja aku bisa tenteram dalam cintamu, kepalaku takkan mendidih dan hatiku tidak akan sakit dan berdarah. Seandainya saja aku bisa beristirahat damai di hatimu, Karl, mungkin hidup dan prosa-prosa dingin tak pernah melintas di kalbuku”.
Di balikmbulet-nya pesan Jenny, motif penulisan surat tersebut sebenarnya sepele: Karl ngambek, entah apa sebabnya, dan mengasingkan Jenny selama berbulan-bulan.
Pada zamannya, situasi seperti ini sangat gawat, bukan hanya karena belum ada telegram, telepon, apalagi WhatsApp, tetapi juga lantaran keduanya LDR, bercinta dari jarak jauh. Marx tinggal di Berlin, sementara Jenny di Trier. Jarak kedua kota sebanding dengan jarak Bojongsoang di Kabupaten Bandung ke Sumberpucung di Kabupaten Malang: 700+ kilometer.
Apa lacur, bagi Jenny, tulisnya pada 1865, “Dunia milik orang-orang nekat.” Dan sampailah keduanya ke pelaminan pada 1843. Marx berusia 25 dan Jenny setahun lebih muda. Status Marx sebagai Yahudi (warganegara kelas dua di Jerman) yang meminang seorang bangsawan Protestan tak jadi soal buat sang mertua yang berpikiran maju.
Tak hanya itu, pak mertua bahkan sempat jadi mentor politik Marx. Bapak Jenny,Ludwig von Westphalen, seperti banyak pemuda tercerahkan pada zamannya, tergerak oleh Revolusi Perancis yang gaungnya sampai ke seluruh Eropa serta beberapa koloninya. Dan meskipun berakhir di kursi birokrat Prussia, Ludwig tetap menyimpan simpati sosialis.
Tentu tak semua aktivis dan intelektual kiri seberuntung Karl. Ketika Jenny dilamar, Ludwig tidak bertanya macam-macam kepada Karl. Tapi karena satu dan lain hal, ketika salah satu putrinya dilamar, kelak Karl tiba-tiba bersikap seperti kebanyakan calon mertua pada umumya yang menginterogasi calon menantu: “Kau kerja apa? Apa rencanamu ke depan? Apa kau bisa menafkahi anakku?”
Putri-Putri Karl Marx
Tiga dari enam anak Jenny dan Karl meninggal di usia dini. Tiga lainnya, semuanya perempuan, bertahan hidup dan mengambil peranan penting dalam gerakan buruh di Eropa. Dalam masa pengasingan di Brussels dan tahun-tahun pertama di London, kemiskinan adalah makanan sehari-hari keluarga Marx. Kawanbromancedan kolaborator Karl, Friedrich Engels, sempat menopang keuangan rumah tangga mereka.
Putri bungsu Marx, Eleanor, tumbuh jadi seorang aktivis buruh. Ia juga mengampanyekan kesetaraan laki-laki dan perempuan, membawa gagasan-gagasan feminis keluar dari lingkungan borjuis dan membuatnya lebih membumi dan relevan di lingkungan buruh industri. Sebagai singa podium dan organisatoris, perannya sangat besar dalam pembentukan serikat-serikat buruh London dan embrio Partai Buruh Inggris. Laura, putri kedua, menikah dengan Paul Lafargue, seorang aktivis sosialis. Pasangan ini kemudian dicatat sebagai rombongan pertama pendakwah tulisan-tulisan Marx dan Engels di Spanyol.
Eleanor, yang paling dekat dengan Karl, memanggil sang bapak dengan julukan kesayangan “Mohr” alias “Si Arab” lantaran berjanggut tebal dan berkulit gelap.
“Kenangan perdanaku dengan Mohr adalah ketika usiaku tiga tahun. Sambil mengelilingi kebun kecil kami di Grafton Terrace, Mohr menggendongku di pundak, lalu dia selipkan bungaconvolvulusdi rambut ikalku yang berwarna coklat. Mohr saya jadikan kuda-kudaan,” kenang Eleanor seperti dikutip Rachel Homes dalamEleanor Marx: A Life(2014). Pada 14 Maret 1883, tepat hari ini 136 tahun lalu, Marx meninggal dunia. Entah berapa tuduhan yang telah dilayangkan kepadanya: mulai dari inspirator kediktatoran, kemiskinan massal, hingga pembunuhan jutaan manusia—tanpa mempertimbangkan bahwa kolonialisme, imperialisme, oligarki politik, kediktatoran fasis, tirani fundamentalis agama, penjarahan tanah besar-besaran oleh perusahaan nasional dan asing telah melakukan hal yang sama, bahkan seringkali lebih buruk.
Segala cap itu juga disematkan tanpa menimbang gagasan-gagasan Pak Mohr lainnya yang mengilhami delapan jam kerja, hak berserikat, hak cuti, libur akhir pekan, jaminan kesehatan, larangan mempekerjakan anak, akses pendidikan publik, akses kesehatan untuk semua, hingga antikolonialisme—yang hari ini kita anggap lumrah.
Suatu hari Eleanor kecil bertanya kepada sang bapak: Apa yang membuatmu bahagia? Jawaban Karl singkat: Berjuang.
Dunia, seperti yang pernah ditulis Jenny, memang milik orang-orang nekat. _______
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 5 Mei 2017 dengan judul "Istri dan Putri-Putri Karl Marx" dalam rangka merayakan ulang tahun Marx ke-199. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.