Oey Hay Djoen
Hari itu barangkali telah sangat menentukan perjalanan
hidupku.
Pada suatu hari di akhir tahun 1945 atau awal 1946 itu,
aku mampir ke subuah gedung tua yang terletak di ujung jalan "spoorstraat“
tepat di belokan ke jalan "Boldi“. Di atas pintu masuk gedung itu
terpasang papan nama: "Serikat Rakjat“, dalam huruf-huruf cat hitam di
atas latar belakang cat merah menyala.
Aku mampir ke situ karena mengetahui bahwa di situ ada
dijual buku-buku yang telah menarik perhatian dan minatku.
Selagi asyik melihat-lihat dan memperhatikan buku-buku
yang secara sederhana digelar di atas sebuah meja panjang (di ruangan depan
yang dimaksudkan sebagai semacam toko buku itu, tidak ada lemari-lemari atau
rak-rak buku sebagaimana layaknya di sebuah toko buku), dan yang di antaranya
aku dapatkan buku Manifesto of the Comunist Party, aku merasakan tangan
seseorang menepuk bahuku.
“Anda berminat akan buku-buku seperti ini?“ tanya seseorang yang berdiri di belakangku.
Seseorang berperawakan tegap, tidak terlalu tinggi, dan
bermata sedikit juling. Belakangan aku mengetahui bahwa orang itu bernama Tukliwon,
seseorang yang berbapak seorang Digulis, dan belum lama “pulang“ ke Indonesia
dari Australia.
Sambil membalikkan badanku, aku menjawab, “O, saya Cuma lihat-lihat saja. Dan memang saya tertarik pada buku-buku seperti ini.“
Dan dari perkenalan secara “kebetulan“ itu, berkembanglah percakapan yang mengasyikkan, dan yang berakhir dengan sebuah penawaran Tukliwon itu padaku: “Apakah anda berminat untuk lebih mengenal dan mendalami yang ditulis dalam buku-buku seperti ini? Jika anda mau, maka saya dapat memperkenalkan dan mengantar anda sehingga anda dapat mengikuti semacam mimbar pengetahuan politik.“
Beberapa hari kemudian, sesuai dengan yang disampaikan
oleh Tukliwon padaku, setiap petang hari, dari jam 19:00 hingga (rata-rata)
pukul 22:00 aku mengikuti yang kemudian ternyata adalah kursus Serikat Rakjat,
suatu bagian dari kegiatan pendidikan/pengkaderan yang dilakukan oleh Seksi
Comite Partai Komunis Indonesia di kota Malang itu.
Sejak kapan kursus-kursus itu diadakan, tidak pernah aku
ketahui. Tetapi kursus itu tanpa dipungut bayaran. Dan tanpa ikatan apapun.
Yang bertindak sebagai pemberi kursus itu juga seorang Digulis, bernama
Sujitno. Seorang yang berbadan tegap, berwajah kasar dan hitam. Seseorang yang
tidak akan pernah kulupakan, karena gayanya “mengajar“ yang selalu tegas, jelas
dan lengkap.
“Kursus“ itu aku ikuti selama kira-kira 4 atau enam
bulan. Dan yang kudapatkan dari kursus itu adalah pengetahuan paling dasar
mengenai sebab-sebab dan sumber-sumber adanya kemiskinan, adanya penindasan
manusia oleh manusia, tentang kapitalisme dan imperialisme.
Aku tidak mengetahui apakah setelah mengikuti kursus
Serikat Rakjat itu sekian bulan lamanya, aku dianggap sudah mencapai tingkat
“tamat“, tetapi pada suatu hari, setelah selesai kursus untuk hari itu, aku
diundang oleh pak Jitno untuk menemuinya.
Pak Jitno menanyakan/menawarkan padaku, apakah aku
berminat untuk melanjutkan “kursus“ Serikat Rakjat itu dengan mengikuti Marx
House, yang diselenggarakan oleh sebuah badan gabungan dari Partai Komunis
Indonesia, Partai Sosialis dan Partai Buruh Indonesia di Yogya.
Marx House itu untuk setiap angkatan berlangsung dua
bulan lamanya.
Mengikuti Marx House juga tiada dipungut biaya, bahkan
sebaliknya, para pesertanya akan tinggal dalam sebuah asrama, singkat kata disediakan
papan dan pangan serta pelajaran sesuai jadwal, 7 hari dalam seminggu dan 4 jam
di pagi dan 4 jam di petang hari, dengan waktu-waktu tertentu untuk studi
bersama dan diskusi bahan pelajaran.
Angkatan Marx House yang ditawarkan padaku adalah angkatan
ke 2.
*
Tempat Marx House angkatan ke 2 itu diselenggarakan
adalah bekas gedung administrator Pabrik Gula Padokan di Yogya.
Sebelum masuk ke gedung itu, aku sempat mengalami stress
berat, karena setibanya di Yogya dan mendaftar ke sebuah alamat di (kalau tidak
salah) Songoyudan, aku ditolak mengikuti Marx House itu, dengan alasan
(walaupun aku menyerahkan sepucuk surat keterangan dan rekomendasi dari pak
Jitno dari Serikat Rakjat) bahwa aku masih di bawah usia (usiaku pada waktu itu
sudah 17, pertengahan tahun 1946).
Besar kemungkinan bahwa penolakan itu datangnya dari
Sitoroes, salah seorang sekretaris Partai Sosialis. Aku sebenarnya tidak
berdaya melakukan sesuatu apapun untuk menembus penolakan itu sekalipun aku
sudah sepenuh hati ingin mengikuti Marx House itu, karena ku pikir ini suatu
kesempatan yang tidak akan datang seratus tahun sekali bagiku.
Ternyata, aku "diselamatkan" oleh intervensi
Tan Ling Djie, sekretaris jenderal Partai Sosialis Indonesia, yang --seperti
juga Sitoroes-- belum pernah aku kenal/jumpa sebelumnya. Hingga hari ini, 60
tahun kemudian, aku tidak mengetahui (bahkan bertanya pun tidak) dasar yang
dipakai Tan Ling Djie mengijinkan aku mengikuti Marx House itu.
Maka masuklah aku ke Marx House, Padokan, Yogyakarta,
angkatan 2 - tahun 1946.
Para peserta "pendidikan" di Marx House itu
terdiri dari para aktivis partai, serikat buruh (aku sendiri tidak mengetahui
ke dalam kategori mana diriku dimasukkan, karena aku tidak aktif di sesuatu
partai maupun serikat buruh. Mungkin aku diterima sekedar karena rekomendasi
Serikat Rakjat Malang itu) dari berbagai daerah. Jumlahnya tidak aku ingat,
mungkin sekitar 40 atau 50 orang. Yang masih kuingat hingga sekarang, hanyalah
beberapa orang yang kemudian aku sering berhubungan dengannya, antara lain
Soedarmo dan Ahmad Ireng yang memimpin SBPP Surabaya, Siti Asiah, pemimpin
Gerwis/Gerwani dan kemudian menjadi istri Satyagraha (wartawan terkemuka Soeloeh
Indonesia dari PNI), H.M. yang kemudian aku ketahui menjadi seorang
pimpinan NU, Mbak S. yang kemudian kekuketahui menjadi istri seorang menteri
dalam pemerintahan Soekarno.
Suasana dan pergaulan dalam Marx House itu setepatnya
disebut sebagai keakraban yang layaknya sebuah keluarga besar. Urusan rumah
tangga berada di tangan bijaksana dari Ibu Jaetun.
Setelah jarak waktu yang enampuluh tahun ini, sungguh
membuat diriku menggandrungi kebersamaan sesama peserta, yang memang
berdisiplin, tetapi bukan disiplin mati dan yang mematikan inisiatif dan
kreativitas. Rasa kebersamaan itu tidak saja menghidupkan jam-jam pelajaran
maupun diskusi-diskusi, tetapi dan terutama membina dan mengukuhkan keakraban
dan kepedulian antara sesama peserta.
Selama dua bulan itu, aku berusaha sebanyak-banyak
mungkin dan selengkap-lengkap (semendalam) mungkin menyerap semua pelajaran
yang diberikan. Msterialisme Dialektik dari pak Jaetun, Digulis dan yang secara
pribadi kuberi julukan Mr Universum, Ekonomi Politik dari pak Akhiar (pada
tahuh + 1997 meninggal dalam usia 92 tahun), yang darinya aku
beruntung mendapatkan dan menyimpan sebuah buku catatan mengenai pekerjaan di
bawah tanah yang dilakukan pak Akhiar pada tahun-tahun 1949-1950-an (segera
setelah peristiwa Madiun), Gerakan Buruh dari Gondo, bangsawan Yogyakarta yang
kini hidup di negeri Belanda, Organisasi dari Abdulrahman, yang adalah juga
salah seorang laksamana RI pertama, mantan ajudan laksamana Belanda yang
berkedudukan di Colombo di masa perang dunia ke II, yang meninggal dalam usia
82 pada tahun 2004. Dan dari "guru-guru" lain yang sungguh bukan
orang sembarangan: pak Alimin, Sardjono, Sutan Sjahrir, Amir Sjarifuddin,
Setiadjit, Maruto Darusman.
Jika dibandingkan keadaan masa itu dan sekarang, maka
keberadaan dan yang diselenggarakan/dilaksanakan Marx House sebagai dan dalam
bidang pendidikan kader dan politik sungguh merupakan sesuatu yang luar biasa.
Dan dalam mengajukan segala macam kritik tentang kekurangan-kekurangan Marx
House, apa yang dihasilkannya dan apa jadinya dengan semua usaha itu, jangan
sekejabpun orang melupakan dalam keadaan bagaimana, dengan perlengkapan yang
bagaimana, dengan sumber daya bagaimana semua itu telah dilakukan.o
0 komentar:
Posting Komentar