Ann Putri - Apr 22, 2017
Oleh:
Lidya Apriliani, mahasiswi S-1 Kriminologi Universitas Indonesia.
Peristiwa
G30S-PKI (Gerakan 30 September 1965) adalah salah satu peristiwa luar biasa
dalam sejarah modern Indonesia. Beberapa istilah digunakan untuk menyebut
peristiwa tersebut, contohnya Gestok (Gerakan Satu Oktober) oleh Sukarno,
Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) agar mirip dengan polisi rahasia Gestapo
di Nazi Jerman, lalu menjadi G30S/PKI sejak 1966. Istilah G30S dipakai karena
lebih objektif, pelakunya memakai nama ini untuk dirinya sendiri. Akibat dari
peristiwa tersebut berdirilah rezim pemerintahan otoriter yang berkuasa selama
30 tahun lebih, yaitu rezim Orde Baru.
Mengutip
dari John Roosa, dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal:
“Pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, tujuh perwira Angkatan Darat termasuk Menteri Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal Ahmad Yani dibunuh lalu jasad mereka dilempar ke sebuah sumur mati. Pasukan ini menduduki pusat Radio Republik Indonesia (RRI) dan mengumumkan bahwa tujuan aksi mereka ialah untuk melindungi Presiden dari kudeta. Pemimpin mereka adalah Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Cakrabirawa (pasukan pengawal presiden). Ratusan tentara pendukung G30S menduduki Lapangan Merdeka (yang sekarang menjadi Lapangan Monas) di pusat kota.”
Suharto
memanfaatkan G30S untuk mengambil alih kekuasaan dari Sukarno. Suharto
menjadikan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai kambing hitam yang mendalangi
peristiwa G30S. Lalu, menangkapi satu setengah juta (menurut versi Roosa) orang
lebih serta ratusan ribu orang lainnya yang dibantai oleh Angkatan Darat
beserta kelompok-kelompok yang bekerja sama dengannya. Dalam suasana darurat
nasional, Suharto menjadi pemimpin pengganti walaupun belum dilantik sebagai
presiden sampai pada akhirnya berhasil menjadi presiden setelah Supersemar,
Maret 1966.
Dalam
versinya tentang G30S, pihak militer Angkatan Darat (AD) menuduh Gerwani — yang
dianggap termasuk anggota ‘keluarga komunis’ — sebagai
penyiksa dan pembunuh para perwira. Istilah ‘keluarga komunis’ ini diambil dari
Saskia Wieringa karena kader-kader PKI ada di organisasi-organisasi lain.
Contohnya adalah Njoto di Lekra, Nyono dan Tjugito di SOBSI, Asmu
di BTI, Sukatno di Pemuda Rakjat, serta Ny. Mugdido, Salawati Daud,
dan Suharti Suwarto di Gerwani. Kader-kader PKI ini menjadi anggota di
organisasi lain karena konsep Jalan Baru-nya Musso yang mengatakan bahwa
PKI harus merangkul organisasi-organisasi massa yang kuat agar meningkatkan
pengaruh partai.
Angkatan
Darat segera menuduh mereka terlibat peristiwa G30S karena memang sejak dulu
berselisih paham. Di satu sisi, Angkatan Darat juga mempunyai kepentingan
politik. Bermula pada bulan Mei 1957, saat itu dibuatlah hukum darurat perang,
lalu pemimpin Angkatan Darat mendapat kekuasaan yang besar dan sejumlah
Komandan Daerah mendapat kesempatan untuk menerapkan ide politik mereka. Dengan
munculnya Angkatan Darat sebagai kekuatan politik, pada tahun 1959 Sukarno
melihat PKI sebagai partai sekutu yang dapat menjadi kekuatan sebagai
penyeimbang dalam sistem politik.
Sedangkan
bagi Angkatan Darat, sejak peristiwa Madiun 1948, PKI adalah partai
pengkhianat, anti-nasionalis yang dikendalikan oleh negara asing. PKI juga
dianggap sebagai ancaman karena memiliki kualitas organisasi dan disiplin yang
baik sehingga dengan komitmen demikian malah dapat merangkul anggota tentara dan
melemahkan potensi Angkatan Darat sebagai kekuatan politik yang bersatu.
Sebaliknya, PKI juga menyebut pimpinan-pimpinan Angkatan Darat sebagai
‘kapitalis birokrat’. Hal ini dikarenakan sejak 13 Desember 1957, Jenderal
Nasution dengan hukum darurat perang mengambil alih semua perusahaan Belanda
lalu diberikan kepada perwira-perwira militer sebagai pimpinan perusahaan.
Tapi, PKI tidak menghadapi Angkatan Darat secara langsung namun mengandalkan
kaum ‘progresif’ (teman-temannya) di dalam badan tentara dan pengaruh presiden
Sukarno. Upaya mencari sekutu di dalam tentara ini terlihat dari Biro Khusus
bentukan D. N. Aidit, badan khusus PKI untuk menarik tentara karena ia
memandang anggota tentara sebagai kelas tertindas sama seperti buruh dan tani.
Kemudian,
mengenai keterlibatan Gerwani dalam G30S, inilah hal yang dituturkan oleh
Saskia Wieringa:
“Pada hari peristiwa itu terjadi, sekitar 70 perempuan, sebagian besar adalah perempuan muda dari organisasi pemuda komunis, lainnya dari serikat buruh dan tani dan beberapa anggota Gerwani, termasuk istri-istri para tentara dikumpulkan di Lubang Buaya untuk kampanye anti-Malaysia. Ada yang ditugaskan untuk menjahit strip pada seragam-seragam, mungkin untuk anggota para peserta G30S, namun mereka tidak tahu mengapa mereka harus menjahit strip baru pada seragam. Para perencana G30S dapat menggunakan Lubang Buaya karena daerah ini ada di bawah kendali Angkatan Udara (kiri), lawan dari tentara Angkatan Darat (kanan). Gerwani sebagai sebuah organisasi tidak terlibat dalam rencana ini. Menjelang subuh 1 Oktober, para perempuan dibangunkan oleh teriakan-teriakan, lalu saat mereka berlari keluar dan melihat sekelompok tentara menyeret para perwira yang diculik, beberapa sudah dibunuh, mereka ketakutan dan lari kembali ke Jakarta, sebagian besar ke rumah masing-masing, lainnya ke markas Gerwani, di mana Sudjinah dan Sulami, sekretaris organisasi biasanya tidur. Itulah pertama kali ketua Gerwani mendengar adanya penculikan jenderal dan kudeta karena tidak ada dari mereka yang hadir di Lubang Buaya pada malam itu.”
Tuduhan
Angkatan Darat mengenai keterlibatan Gerwani dalam G30S disebarkan melalui
media massa miliknya yaitu Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha.
Isi tuduhan ini terlihat dari kisah-kisah penangkapan anggota Gerwani yang
biasanya diawali dengan tuduhan-tuduhan seperti ‘pelacur’, ‘pemotong alat
kelamin jenderal’, atau ‘telah membunuh jenderal’.
Bertentangan
dengan tuduhan tersebut, ternyata hasil visum jenazah para perwira menunjukkan
fakta yang berbeda. Hasil visum dari para perwira yang terbunuh dicantumkan
Benedict Anderson di dalam karyanya, How Did The Generals Die. Ia menemukan
hasil visum ini saat mencari di antara fotokopi stenografi pengadilan Mahkamah
Militer Luar Biasa (Mahmilub) dari Letnan Kolonel Angkatan Udara Heru Atmodjo.
Visum ini dilakukan oleh lima ahli forensik. Tim ini dikumpulkan pada Senin, 4
Oktober, hasil dari perintah Jenderal Suharto sebagai Pangkostrad ke kepala
Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RPSAD). Tim terdiri dari dua dokter militer
(termasuk Brig. Jen. Dr. Roebiono Kertopati yang terkenal), dan tiga spesialis
forensik sipil yang berasal dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Tersenior di antara dokter-dokter sipil ini adalah Dr. Sutomo Tjokronegoro yang
pada saat itu adalah dokter forensik paling ahli di Indonesia. Selain Roebiono
Kertopati dan Sutomo Tjokronegoro, dokter-dokter lainnya adalah Frans
Pattiasina, Liauw Yan Siang dan Lim Joe Thay (Anderson, 1987:114).
Mereka
bekerja selama 8 jam, dari 4 Oktober pukul 16.30 hingga 5 Oktober pukul 00.30,
di ruang operasi RSPAD. Masing-masing dari ketujuh laporan mengikuti format
yang sama:1) pernyataan dari instruksi Mayjen. Suharto kepada kelima ahli
tersebut; 2) identifikasi jenazah; 3) deskripsi tubuh, termasuk pakaian dan
ornamen; 4) rincian dari luka-luka yang terdeteksi; 5) kesimpulan dengan
mempertimbangkan waktu dan penyebab kematian; 6) pernyataan oleh kelima ahli,
dalam sumpah, bahwa pembedahan telah dilakukan secara menyeluruh dan benar
(Anderson, 1987:109).
Koran Angkatan
Bersendjata dan Berita Yudha memuat berita mengenai keadaan
jenazah pada 5 Oktober 1965, padahal para dokter masih melakukan visum.
Angkatan Bersendjata memuat foto-foto yang diburamkan dari jenazah-jenazah yang
sudah membusuk tersebut, mendeskripsikan kematian mereka sebagai ‘perbuatan
biadab berupa penganiayaan yang dilakukan di luar batas perikemanusiaan’. Berita
Yudha menuliskan, ‘bekas-bekas luka di sekujur tubuh akibat siksaan
sebelum ditembak masih membalut tubuh-tubuh pahlawan kita’.
Mayjen Suharto sendiri menyatakan bahwa “jelaslah bagi kita yang menyaksikan dengan mata kepala betapa kejamnya pengaaniayaan yang telah dilakukan oleh petualang-petualang biadab dari apa yang dinamakan Gerakan 30 September”.
Sangat
bertolak belakang dengan fakta yang disebutkan oleh Anderson, hasil temuan ahli
forensik menyatakan bahwa tidak ada satupun mata korban yang dicungkil, semua
penis mereka masih utuh: bahkan dikatakan bahwa empat korban disunat dan tiga
tidak disunat. Jenderal Yani, Panjaitan dan Harjono meninggal akibat tembakan
di rumah mereka sementara Jenderal Parman, Suprapto, Sutoyo dan Letnan Tendean
dibunuh setelah dibawa ke Lubang Buaya. Walaupun meninggal di Lubang Buaya,
mereka semua tewas karena luka-luka tembakan, termasuk luka tembakan yang
berakibat fatal di kepala. Prof. Dr. Arif Budianto (sebelumnya bernama Liem Joe
Thay), juga mengatakan bahwa semua jenazah masih berpakaian lengkap seperti
yang dipakai terakhir.
Jenazah Ahmad Yani memiliki kelainan gigi berupa
munculnya gigi di antara gigi seri dan taring atau mesio dentist dan
bola matanya copot dan mencelat keluar dikarenakan saat ia dilemparkan
kepalanya jatuh terlebih dahulu ke dalam sumur. Dengan adanya desas-desus
tentang penis korban, para dokter melakukan penelitian yang lebih teliti lagi
tentang hal tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa penis ketujuh perwira tersebut
jangankan terpotong, bekas luka iris saja tidak ada.
Walaupun
hasil visum berkata tidak ada pengebirian dan penyiksaan, koran Angkatan
Bersendjata dan Berita Yudha tetap memberitakannya. Rekayasa
penyiletan kelamin tersebut kira-kira adalah ide Guy Jean Pauker, pekerja RAND
Corporation dan agen CIA yang terinspirasi dari novel Emile Zola berjudul
Germinal. Keterlibatan Amerika Serikat (AS) dalam G30S dikarenakan pada masa
Perang Dingin, AS memandang bahwa Indonesia di bawah Sukarno sudah bertindak
seperti negara komunis dan lebih secara terbuka memusuhi AS ketimbang
kebanyakan negara-negara komunis. Lepasnya Indonesia dari pengaruh AS akan
menjadi kehilangan besar, karena Indonesia dianggap sebagai domino terbesar di
Asia Tenggara, bukan hanya karena jumlah penduduk dan luas wilayah yang besar,
tetapi juga karena sumber alamnya yang melimpah ruah.
‘Germinal’
karya Emile Zola yang menjadi basis cerita penyiksaan tujuh perwira TNI-AD
Tuduhan
terhadap PKI dan Gerwani ini menjadi justifikasi militer dalam merebut
kekuasaan, dengan alasan mengamankan keadaan. Pihak militer Angkatan Darat
kemudian akan berkembang menjadi pemerintah Orde Baru disertai kebohongan
mengenai G30S dan diikuti oleh kejahatan lainnya, yaitu pembantaian 78.000
(menurut komisi pencari fakta pimpinan Menteri Negara Oei Tjoe Tat), 1 juta
(menurut Kopkamtib) atau 3 juta (menurut Sarwo Edhie Wibowo, mantan Komandan
Resimen Para Komando Angkatan Darat) manusia yang terlibat atau dituduh
terlibat PKI.
Gerwani
menempati posisi khusus dalam narasi Angkatan Darat mengenai G30S. Gerwani
dituduh sebagai pelaku langsung yang menyiksa dan membunuh para perwira. Selain
itu, anggapan lain juga berkembang bahwa perempuan Gerwani adalah penyimpang
seksual, tercermin dari pidato Ine Sukarno, Ketua Kowani pada April 1999 yang
mengatakan bahwa Gerwani mendukung lesbianisme dan bertujuan membentuk sebuah
pelacuran.
Hasil
pemberitaan oleh Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha adalah karangan. Cap
yang dibangun mengenai Gerwani tergambar dari tanggapan masyarakat yang
menganggap Gerwani sebagai pelacur, pemotong alat kelamin jenderal, atau telah
membunuh jenderal, juga sebagai lesbian dan pendiri pelacuran. Dampak dari cap
tersebut adalah Gerwani mengalami penangkapan, penyiksaan dan kekerasan seksual
serta kecaman dari masyarakat. Hingga saat ini cap terhadap Gerwani masih
bertahan di dalam masyarakat bahkan setelah setengah abad peristiwa G30S-PKI.
Dalam
membahas masalah ini, saya menggunakan teori Politik Seksual dan Amplifikasi
Penyimpangan sebagai pisau bedah analisa. Sebagai perempuan, anggota Gerwani
diserang seksualitasnya yang pada akhirnya memiliki dampak yang berbeda dari
korban laki-laki. Oleh karena itu, untuk memperkuat dan memperdalam analisis,
digunakan pemikiran feminis.
Teori
Politik Seksual pertama kali dicetuskan oleh Kate Millett dalam bukunya Sexual
Politics yang diterbitkan pertama kali pada 1970. Rosemarie Tong
mengkategorikan pemikiran ini ke dalam pemikiran feminis radikal-libertarian.
Dalam istilah ‘politik seksual’, istilah ‘politik’ yang digunakan di sini
artinya bukan sekedar rapat, anggota dewan, dan partai. Istilah ‘politik’
maksudnya adalah hubungan yang disusun sesuai struktur kekuasaan di mana satu
kelompok manusia dikendalikan oleh kelompok lainnya. Kata ‘politik’ digunakan
saat membicarakan seks karena kata ini berguna dalam menunjukkan bentuk asli
dari status seks (jenis kelamin) yang berubah-ubah. Secara ideologis, politik
seksual memperoleh persetujuan melalui ‘sosialisasi’ pada kedua jenis kelamin mengenai
aturan patriarkis berkenaan dengan temperamen, peran, dan status.
Temperamen
maksudnya adalah pembentukan kepribadian manusia sesuai dengan kategori seksual
maskulin dan feminim, didasarkan pada kebutuhan dan nilai-nilai kelompok
penguasa, diatur oleh apa yang mereka hargai dalam kelompoknya juga apa yang
mereka anggap pantas bagi bawahan: agresi, kecerdasan, motivasi, dan keampuhan
pada laki-laki; pasivitas, tidak acuh, ketaatan, bermoral, dan ketidakampuhan
pada perempuan. Ini dilengkapi oleh faktor kedua, peran seks, yang mengatur
tata perilaku, gestur dan sikap bagi tiap seks. Dalam bentuk kegiatan, peran
seks memberikan pelayanan domestik dan perawatan bayi kepada perempuan,
sedangkan semua pencapaian, kepentingan, dan ambisi manusia kepada laki-laki.
Peran yang perempuan terbatas pada tahap pengalaman biologis. Oleh karena itu,
hampir semua kegiatan yang dapat dideskripsikan sebagai tindakan manusia dan
bukan tindakan hewan (karena hewan juga melahirkan dan merawat anak-anaknya)
diberikan kepada laki-laki. Lalu, tentu saja status juga mengikuti susunan yang
sama. Jika kita analisa ketiga kategori di atas, dapat dibagi status sebagai
komponen politik, peran sebagai komponen sosiologis, dan temperamen sebagai
komponen psikologis. Mereka yang mendapat status tinggi cenderung mengadopsi
peran tuan, karena mereka yang pertama mengembangkan temperamen dominan.
Mengenai
revolusi seksual, Kate Millet menuliskan;
“Sebuah revolusi seksual membutuhkan berakhirnya larangan serta pandangan tabu seksual tradisional, khususnya mereka yang paling mengancam pernikahan monogami patriarkal: homoseksualitas, seks di luar nikah dan seksualitas remaja. Aura negatif yang mengelilingi aktivitas seksual harus dihapuskan, bersamaan dengan standar ganda dan pelacuran. Tujuan dari revolusi adalah kebebasan seksual yang tidak ternodai oleh dasar-dasar kasar dan eksploitatif secara ekonomi dari ikatan seksual tradisional.”
Usaha
yang dilakukan tidak berakhir pada revolusi, namun reformasi seksual. Revolusi
seksual yang terpenuhi mengharuskan berakhirnya tatanan patriarkal melalui
penghapusan ideologi serta fungsinya melalui sosialisasi diferensial pada
jenis-jenis kelamin pada bidang status, temperamen, dan peran. Selagi ideologi
patriarkal hanya direformasi, tatanan sosial esensial patriarkal akan tetap
ada. Karena sebagian besar orang tidak punya ide lain, alternatif dari ideologi
patriarkal yang kelihatannya hanya berupa kekacauan. Tatanan sosial memerlukan
subordinasi perempuan; tetapi bagi kaum konservatif yang diperlukan adalah
susunan keluarga dengan penghambaan perempuan di dalamnya. Patriarki adalah
suatu keharusan dalam sistem keluarga. Kepala keluarga adalah bawahan dari
pemerintah, sementara anggota keluarga adalah pengikut dari kepala keluarga.
Pemerintahan otoriter menyukai sistem patriarkal ini karena atmosfir dari
negara fasis dan kediktatoran sangat bergantung pada karakter patriarkis
masyarakat.
Teori
kedua berasal dari Stanley Cohen. Dalam bukunya, The Creation of the Mods
and Rockers, ia menggunakan amplifikasi penyimpangan Leslie Wilkins untuk
menjelaskan hubungan antara media massa dan kepanikan moral. Dalam amplifikasi
penyimpangan media massa adalah sumber utama untuk pengetahuan masyarakat
mengenai penyimpangan dan masalah sosial.
Amplifikasi penyimpangan terjadi
diawali dari masyarakat yang menciptakan simbol-simbol yang dapat
diidentifikasi dari para ‘penyimpan’. Lalu media massa beroperasi untuk
mempublikasikan peristiwa yang dianggap penyimpangan, menyebabkan tersebarnya
keyakinan bahwa yang dibilang menyimpang ini jahat. Peran media dalam membuat
kepanikan moral adalah: (1) Menyusun agenda — memilih
penyimpang atau peristiwa masalah sosial yang bernilai berita; (2)
Mentransmisikan citra — menyebarkan
klaim dari pembuat klaim dengan mempertajam atau mendangkalkan retorika
kepanikan moral; atau (3) Memecah kesunyian, membuat klaim.
Dalam
amplifikasi kekerasan, gambaran media atau yang disebut Cohen sebagai inventori
mengenai penyimpangan mengalami pemburaman. Situasi yang diartikan dan
diberikan oleh media massa menjadi gambaran yang diterima masyarakat mengenai
penyimpangan dan bencana. Dari penggambaran ini akan muncul reaksi, orang-orang
menjadi marah, membentuk teori dan rencana, membuat pernyataan, dan menulis
surat ke redaksi koran. Gambaran media atau inventori dikaburkan dalam tiga
cara; melebih-lebihkan dan distorsi, prediksi, dan simbolisasi.
Pelebih-lebihan
terhadap inventory terwujud dalam pelebihan keseriusan peristiwa, jumlah yang
terlibat, juga jumlah dari kerusakan dan kekerasan, ditunjukkan melalui
headline sensasional, kosakata hiperbola dan pelebihan elemen-elemen tersebut
dalam berita. Selanjutnya adalah prediksi. Prediksi adalah asumsi tersirat di
dalam setiap berita bahwa apa yang terjadi dapat terjadi lagi dan adanya
prediksi dalam fenomena sosial semacam ini akan menyebabkan kekacauan karena,
kalau prediksinya tidak terjadi maka akan dibuat laporan palsu agar terjadi.
Terakhir adalah simbolisasi. Komunikasi massa sangat bergantung kepada kekuatan
simbolik dari kata-kata dan citra.
Dalam simbolisasi terdapat tiga proses,
sebuah kata menjadi simbol dari status tertentu (penyimpang); objek-objek (gaya
rambut dan pakaian) menyimbolkan kata; akhirnya objek-objek itu menyimbolkan
status. Cara simbolisasi efektif lainnya adalah penggunaan wawancara dramatis
dan ritualistik dengan perwakilan kelompok yang dianggap menyimpang. Melalui
simbolisasi dan metode distorsi lainnya, citra menjadi lebih dianggap sebagai
hal yang benar dan mengabaikan kenyataan.
Dalam
amplifikasi penyimpangan, dibutuhkan jumlah komunikasi yang cukup untuk
menyebarkan isu. Media massa menyebarkan berita dengan menggunakan stereotipe
(cap yang tidak benar) tentang bagaimana penyimpang bertindak menggunakan
simbol-simbol yang diciptakan masyarakat. Sensasionalisasi salah satu mekanisme
dalam amplifikasi penyimpangan. Agen kontrol (seperti polisi) menentukan
tindakan apa yang dapat disebut sebagai penyimpangan. Taktik kontrol yang
digunakan agen kontrol terkena dampak sensionalisasi dan simbolisasi media
massa tadi, sehingga pihak-pihak yang tidak menyebabkan gangguan tetapi
memenuhi simbolisasi penyimpang (misalnya gaya rambut dan pakaian seperti anak
punk) akan ditindak. Cohen lalu merujuk Becker yang menyatakan bahwa seseorang
diberi label sebagai penyimpang bukan karena ia telah melanggar peraturan
tetapi karena telah menunjukkan rasa tidak hormat ke penegak hukum.
Data
yang digunakan dalam tulisan ini adalah data sekunder. Sumber data sekunder
yang digunakan penulis adalah artikel dari koran Berita Yudha dan
kutipan artikel koran Angkatan Bersendjata dan Berita
Yudha dari buku serta artikel jurnal. Penulis menggunakan buku Saskia
Wieringa Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia
Pasca kejatuhan PKI dan artikel jurnal Benedict Anderson, ‘How Did
the Generals Die?’. Teknik yang digunakan dalam menganalisis data adalah
analisis teks feminis. Sara Mills dalam Feminist Stylistics (1995)
menuliskan bahwa analisis teks dapat dilakukan pada tiga tingkatan: analisis
pada tingkat kata, analisis pada tingkat kalimat, dan analisis pada tingkat
wacana.
Dengan
teknik di atas, saya menganalisis kasus ini seperti berikut: patriarki adalah
sistem struktur sosial dan praktik-praktik di mana laki-laki mendominasi,
mengopresi dan mengeksploitasi perempuan. Sistem ini terwujud dalam bentuk di
antaranya negara dan institusi kebudayaan seperti media. Negara adalah struktur
patriarkal, di mana patriarki tertanam dalam prosedur dan cara menjalankannya.
Oleh karena itu, patriarki selalu dilibatkan dalam setiap langkah atau
kebijakan yang diambil oleh suatu negara.
Amerika
Serikat melakukan usaha-usaha untuk menjauhkan Indonesia dari komunisme.
Sementara menurut tulisan David Easter (2005), bukan hanya negara Amerika
Serikat saja yang terlibat dalam kampanye anti-komunis di Indonesia, tetapi
juga Inggris, Australia dan Malaysia. Mereka memandang Sukarno sebagai
ancaman. Information Research Department of Foreign Office, badan Inggris
yang mengkhususkan diri pada propaganda terselubung mendirikan South East
Monitoring Unit di Singapura dengan tujuan mempropagandakan bahwa PKI dan
komunis Tiongkok adalah ancaman. Amerika Serikat menggunakan CIA untuk
menggambarkan PKI sebagai musuh Sukarno dan instrumen dari Tiongkok yang
digambarkan ingin menjajah Indonesia.
Koran Angkatan
Bersendjata dan Berita Yudha menuliskan bahwa para perwira
mengalami penyiksaan dan pengebirian. Ini dikarenakan Angkatan Darat menguasai
media dengan melarang media massa yang dicap sebagai ‘Pendukung Gerakan 30
September’. Angkatan Darat juga mengambil alih kendali atas kantor berta
nasional Antara. Gerwani digambarkan sebagai pembunuh dan pengebiri para
perwira, femme fatale (perempuan berpenampilan cantik tetapi
berbahaya), penyihir dan penyimpang seksual. Penggambaran-penggambaran ini
adalah wujud dari media yang sarat misogini dengan tujuan mengamplifikasi
penyimpangan Gerwani dan mencap mereka sebagai perempuan jalang.
Ketakutan
terhadap perempuan kuat adalah wujud dari politik seksual. Kekuatan sebagai
temperamen dominan semestinya adalah milik laki-laki, karena temperamen ini
dibutuhkan untuk mencapai status tinggi. Status tinggi ini disediakan oleh
patriarki sebagai milik laki-laki saja. Oleh karena itu menurut teori Politik
Seksual, perempuan diberikan tuntutan temperamen pasif dan taat, lalu membatasi
peran hanya menjadi melahirkan dan mengasuh anak. Ini juga sesuai dengan
pemikiran feminis radikal kriminologi yang menyatakan bahwa kejahatan adalah
tindakan laki-laki untuk mendominasi perempuan, memaksa perempuan menjadi ibu
dan budak seksual .
Wieringa
(2003) menuliskan wujud dari ketakutan ini adalah juga dipicu dari pengebirian
yang digambarkan dilakukan oleh Gerwani terhadap para perwira.
Pengebirian
metaforis ini membuat bagian masyarakat konservatif, terutama tentara dan
laki-laki konservatif, ketakutan. Ketakutan ini seakan terwujud saat
pengebirian metaforis menjadi ‘nyata’ dalam pemberitaan Angkatan
Bersendjata dan Berita Yudha. Ni Wayan Ariati P. (2010) juga
mengatakan bahwa ini sama dengan Dewi Durga. Perempuan kuat digambarkan secara
negatif sebagai Durga-Uma dalam cerita Sudamala atau Rangda dalam cerita Calon
Arang yang harus ditaklukan laki-laki sakti. Ketakutan masyarakat ini
seakan-akan terwujud dalam cap perempuan jalang terhadap Gerwani. Akibatnya,
masyarakat mengalami kepanikan moral. Pemberitaan berisi ungkapan kebencian itu
menyebabkan terjadinya kejahatan kebencian, yaitu penyiksaan dan kekerasan
seksual terhadap perempuan anggota Gerwani. Kejahatan kebencian terhadap
Gerwani ini tidak dianggap kejahatan oleh sebagian besar masyarakat karena
didasarkan pada militerisme dan patriarki.
Konstruksi
cap perempuan jalang terhadap Gerwani dibangun menggunakan bahasa bergender,
yaitu bahasa-bahasa yang menggunakan konstruksi sosial gender. Gerwani adalah
‘sukmawati’, ‘pelacur’, ‘berparas cantik’, ‘wanita setan’, ‘memberikan layanan
seks’. Seluruh istilah ini lahir dari konstruksi sosial gender. Laki-laki tidak
akan ditulis sebagai sukmawati atau berparas cantik atau sedang memberikan
layanan seks, karena dalam masyarakat patriarkis, laki-laki dan perempuan
diperlakukan berbeda dalam semua bidang, termasuk memiliki sebutan yang berbeda
dalam bahasa. Laki-laki adalah ‘sukmawan’, tidak cantik melainkan ‘tampan’,
juga bukan merupakan pemberi layanan seksual, di mana berdasarkan konstruksi
sosial gender laki-laki diharapkan untuk menginginkan dan mengejar seks,
sehingga posisinya adalah ‘penikmat layanan seksual’.
Bahasa
yang sedemikian rupa digunakan untuk membangun konstruksi bahwa Gerwani gagal
melakukan feminimitas sesuai tuntutan konstruksi sosial gender. Penilaian
berhasil atau gagalnya perempuan memenuhi tuntutan konstruksi sosial gender
feminim juga dibentuk oleh laki-laki. Jika perempuan gagal memenuhi tuntutan
femiminimitas, dalam kasus ini Gerwani, maka ia harus dihukum dengan label
jalang. Label ‘jalang’ bertujuan untuk mempertahankan dominasi laki-laki dan
subordinasi perempuan. Jelas bahwa penggunaan bahasa dan pembangunan konstruksi
ini disengaja.
Cap
perempuan jalang terhadap Gerwani adalah kejahatan tersembunyi menurut prisma
kejahatan Lanier dan Henry. Walaupun ia tersembunyi, namun ia tetaplah
kejahatan karena secara tidak langsung menyebabkan dampak kerugian yang besar.
Selain itu, konstruksi ini merupakan kejahatan karena menurut perspektif
kriminologi feminis, konstruksi perempuan jalang adalah konstruksi yang
didasarkan pada dominasi laki-laki, di mana kekerasan berbasis gender adalah
usaha untuk melanggengkan dominasi tersebut. Dominasi laki-laki diwujudkan
dalam dominasi politik dan perempuan dihilangkan agensi politiknya. Maka dapat
disimpulkan, bahwa konstruksi perempuan jalang terhadap Gerwani dalam koran
Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha adalah kekerasan berbasis gender.
Kesimpulannya,
Gerakan 30 September 1965 membuat Gerwani atau Gerakan Wanita Indonesia, salah
satu organisasi perempuan terbesar di Indonesia dengan program-program
pendidikan dan advokasi demi kemajuan rakyat, dianggap sebagai organisasi
terlarang terdiri dari perempuan-perempuan pelacur. Mereka diserang secara
seksual, dipenjara, dan dibunuh oleh aparat negara maupun rakyat yang mereka
perjuangkan selama ini. Terbaliknya posisi Gerwani disebabkan oleh koran
Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha yang dengan mengabaikan tanggung jawab
media massa memberitakan berita bohong mengenai G30S dan Gerwani.
Pemberitaan-pemberitaan ini adalah hasil dari amplifikasi penyimpangan untuk
membentuk konstruksi perempuan jalang terhadap Gerwani. Amplifikasi ini
menyebabkan kepanikan moral serta kebencian luar biasa dari masyarakat terhadap
Gerwani. Masyarakat patriarkis menyerang Gerwani yang digambarkan bertentangan
dengan ‘kodrat kewanitaan’ mereka.
Konstruksi
perempuan jalang ini tidak lain adalah usaha untuk mengembalikan perempuan ke
posisi subordinat, karena Gerwani sebagai gerakan perempuan telah mengancam
dominasi laki-laki dan kepentingan institusi patriarkis seperti militer serta
negara. Tindakan ini setelah dianalisis adalah sebuah bentuk kekerasan berbasis
gender terhadap Gerwani, karena dari motivasi serta cara-caranya semua
didasarkan pada konstruksi sosial gender patriarkis untuk menghukum perempuan
yang dinilai gagal memenuhi tuntutan feminimitas.
Pesan
saya bagi masyarakat adalah agar selalu kritis dalam mengawasi dan menegur
media massa yang membuat berita tanpa verifikasi dan mengandung ungkapan kebencian.
Media massa juga bertanggung jawab untuk mengawasi mutu wartawannya dan
melarang penggunaan kata-kata, stereotip-stereotip seksis yang merendahkan dan
melukai perempuan. Pers juga memiliki kewajiban untuk berpihak pada kebenaran
dan kebaikan masyarakat umum tanpa dipengaruhi kepentingan politik apapun.
Negara berkewajiban untuk menjamin kebebasan pers tanpa menunggangi media
dengan kepentingan politik. Negara juga harus memiliki sanksi bagi media
penebar ungkapan kebencian dan propaganda. Negara harus secara resmi mengakui
adanya Peristiwa 1965, memberikan keadilan serta memulihkan nama baik korban,
terutama Gerwani. Negara juga harus mengakui penggelapan sejarah yang dilakukan
rezim Orde Baru dan menggunakan versi sejarah yang sebenar-benarnya agar
kejahatan ini tidak terulang.
_____
“Gerwani
Bukan Tukang Potong Alat Kelamin Jenderal, Itu Hanya Rekayasa Koran-Koran
Angkatan Darat!” merupakan versi ‘jurnal burjo’ dari Tugas Karya Akhir yang
ditulis oleh Lidya
Apriliani yang berjudul “Konstruksi Perempuan Jalang terhadap Gerwani
dalam Koran ‘Berita Yudha’ dan’ Angkatan Bersendjata’ paska G-30-S sebagai
Kekerasan Berbasis Gender”. Kritik, pertanyaan, dan saran bisa kalian kirimkan
ke lyxaprl@gmail.com.
0 komentar:
Posting Komentar