Aboeprijadi Santoso
Kredit ilustrasi: akarfoundation.wordpress.com
‘Tim-Tim’, Orde
Baru & Nasionalisme-Amarah
“Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya ..” (W.R.
Soepratman, Indonesia Raya, 1945)
POLITISI mempunyai budaya politik tertentu. Di Indonesia,
entah karena begitu cinta pada tanah air, entah demi negara dan bangsa, entah
kepentingannya terusik, para petinggi negara merasakan wilayah dan aparat
negara bagaikan bagian dari jiwa dan tubuhnya sendiri.
Di tahun 1940-60an, perjuangan melahirkan slogan-slogan
kegagahan. Slogan, retorika dan simbolisme serupa berkecamuk di era
nasionalisme, romantisme dan revolusioner: “Ini dadaku, mana dadamu!”
Spektrumnya meliputi kutub paling revolusioner hingga paling reaksioner.
Semangat zaman kemudian berubah drastis. Di bawah Orde
Baru slogan, retorika dan idiom dikuasai oleh hegemon. Negara menjadi sosok
primer: dari sana semua berasal, ke sana semua kembali. Khasanah publik menjadi
ranah milik negara. Negeri menjadi target sekaligus konsumen bahasa dan
percakapan negara. Masalah-masalah penting diremehtemehkan menjadi “kerikil
dalam sepatu” dsb. Sebagai politisi, mereka menuntut dirinya jadi pedoman;
sebagai tokoh masyarakat, paling istimewa, tokoh par excellence; dan
sebagai narasumber, paling tepat.
Negeri dan negara, dua kata mewakili substansi berbeda
dalam proses kehidupan, seringkali dicampuradukkan. Negara adalah konsep
analitis mewakili aparat kuasa dan lembaga-lembaga rezim, tapi orang sering
berbangga dengan “tanah airku, negaraku” ketika yang dimaksud adalah negeriku.
Sementara “negeri” yang semula sebutan bagi kampung-halaman, mengacu pada warga
dan masyarakat. Di sini retorika politisi merupakan representasi yang
menyingkap zaman: di balik kedua kata itu ada alur-pikir – nalar, narasi
dan discourse – tertentu, yang merujuk pada paradigma dan semangat
zaman (Zeitgeist) di balik retorika politik yang silih-berganti.
Esei dua jilid berikut ini mencoba menjelajahi karakter
perjalanan bangsa dengan menggali bahan dari berbagai liputan, kolom dan
dokumenter-radio yang saya susun untuk Radio Nederland tentang
‘Tim-Tim’ (Timor Leste) 1992-2006, Aceh 1999-2010 dan Indonesia (1945-1948).
Paradigma Negara
dan Tubuh
Analogi negara dan tubuh membuat negara (state) dan
negeri (land, country) tak lagi dibedakan – kecuali di daerah asal bahasa
Melayu dan sekitar: negari sebagai unit komuniti. Semua disatukan.
Identik. Yang satu meliputi semuanya. Negeri adalah tanah air, tapi
institusi-institusi dan aparatus yang kita sebut negara juga mewakili
sang negeri. Apalagi saat tiba di momentum puncak perjuangan kemerdekaan.
Bukankah negara dan negeri harus menjadi jiwa dan raga yang utuh? Ingat bait
“membela jiwa ragaku” dalam lagu kebangsaan kita “Indonesia Raya”. Daya
juang itu akhirnya terungkap dalam frasa “hingga titik darah penghabisan.”
Para antropolog lazim membedakan konsep, idiom dan
retorika partisipan budaya (emic) dan pandangan kaum liyan, orang luar,
pengamat (etic). Sayang, mereka ‘lupa’ menyelidiki genesis-historis –
trayektori dari emic – dan khasanah konseptual, termasuk cara
berpikir dari diskursus seperti itu. Paradigma negara yang dicerminkan sebagai
diskursus kesatuan jiwa dan raga tersebut seolah memiliki logika dan
konsekuensi sendiri – yang mendapatkan bentuk-bentuk dan konfigurasinya
tersendiri di setiap zaman. Adakalanya, ibarat semut yang mengigit hidung
harus dienyahkan, pemberontak daerah harus dilibas habis. Semut itu mengganggu,
begitu juga oposisi dan perlawanan dari negeri terhadap negara.
‘Tim-Tim’
Tengok kasus Timor Timur, negeri yang kini menjadi negara
dan negeri merdeka dan berdaulat: Timor Leste. Pada 1974, menyusul Revolusi
Mawar di Lisabon – pergolakan tentara progresif Portugal yang menuntut
dekolonisasi jajahan-jajahan Portugal – Jakarta mencium dampaknya terhadap wilayah
Timor-Portugis, yang kala itu juga disebut Timor-Dili.
Asisten Presiden Mayjen Ali Moertopo – yang kelak pantas
dijuluki ‘Bapak Kolonial Indonesia Timur’ – menjajaki jalan diplomasi ke
Lisabon, yang akhirnya ditinggalkannya dan mendekati kelompok-kelompok Timor
yang melawan kebangkitan gerilya Fretilin.
Pada saat bersamaan pendekatan Jose Ramos-Horta berhasil
memperoleh pernyataan resmi tertulis dari Menteri Luar Negeri (Menlu) Adam
Malik yang mengakui hak penentuan-nasib-sendiri Timor Timur sebagai bangsa.
Moertopo merangkul kelompok adat (liurai Timor) dan partai pro-Portugal UDT
demi mendorong gagasan integrasi.
“Kita, Indonesia dan Timor, kan serumpun-sebangsa,” ujar
Jose Martins III, tokoh liurai, pengikut Moertopo, menirukan retorika pimpinan
Opsus tsb. Negara, dalam narasi Jakarta ini, digambarkan sebagai sekelompok –
bagian dari sebuah keluarga besar – dengan sebuah negeri dan bangsa yang baru
memulai perjuangan kemerdekaan. Indonesia sendiri, terutama Orde Baru,
menggambarkan negara dan negerinya sebagai sebuah unit keluarga. Saya ingat,
pada 1995, seorang cendekia Indonesia, Sri Bintang Pamungkas, berdalih
Indonesia adalah Nusantara yang menyatu, unity, termasuk iklim dan
manusia-manusianya. Dengan kata lain, paralel negara, iklim dan manusia.
Sebelum diserbu tentara Indonesia dengan restu Amerika
Serikat dan ditolerir Barat, bahkan integrasinya diakui oleh Australia, Tim-Tim
diisukan bakal menjadi ‘sarang komunis Cina’. Di tengah iklim Perang Dingin,
menjelang perundingan dengan Australia di Pulau Christmast, Ali Moertopo, di
muka pers asing pada 1974 memperingatkan bahwa isu Tim-Tim bagi Indonesia itu
sesungguhnya “itching our armpit” alias bikin gatal ketiak kami. Metafora
ini menjadi retorika pembenaran tindak agresi, invasi dan penjajahan yang
disebut “integrasi”.
Seharusnya, kita dulu merebut Irian Barat sekaligus
Tim-Tim, jelas Moertopo. Tapi ide itu, lanjutnya, ditolak oleh Panglima Komando
Mandala Mayjen Soeharto.
Cerita ini saya peroleh dari kolega Radio Nederland dan
mantan wartawan KB Antara, alm. Lodewijk Pattyradjawane.
Sejak itulah, isu Tim-Tim, dalam konsepsi kolonial ini,
menciptakan katalogus gangguan demi gangguan yang menyengat Jakarta – tak
berbeda dengan perjuangan Indonesia dulu menyengat penjajah Belanda. Menyusul
pembantaian 213 pemuda/i di muka pekuburan Santa Cruz, Dili, 12 Nov. 1991, isu
Tim-Tim membahana di seantero dunia. Menlu Ali Alatas menyebut Tim-Tim dengan
istilah yang menjadi masyhur: “kerikil di sepatu kami” (“pebble in
our shoe”). Sebutan bahasa Inggris ini kelak menjadi judul buku alm. menlu tsb.
Tahun 1994, Soeharto, selaku tuan rumah KTT APEC di
Bogor, di pentas dunia dikejutkan oleh pendudukan Kedubes AS oleh para
mahasiswa perlawanan Tim-Tim. Kontan, seperti diberitakan media asing, Soeharto
menamakan Tim-Tim “jerawat di wajah kami” (“pimple in our face”).
Akhirnya, Juli 1997, lagi lagi Alatas – yang oleh Soeharto namanya, Alex,
diubah jadi Ali – hampir putus asa. Di DPR, menlu tersebut mengeluh dengan
menyebut isu Tim-Tim sebagai “mother of fatigue” alias biang kerok
capek (badan dan pikiran).
Analogi fisik manusia, warga dan negara menjadi-jadi
sejak konflik Tim-Tim. Sebab setiap perang penjajahan dan pendudukan sangat
melelahkan sang penjajah. Lihat Amerika Serikat (AS) di masa Perang Vietnam
1959-75, yang memantik gerakan pembangkangan di kalangan cendekia akademi di
pantai timur AS dan, pada gilirannya, mengilhami pergolakan mahasiswa di Paris
Mei 1968 dan gerakan New Left di Eropa. Gerakan besar itu menggugah dunia –
seperti pendudukan Indonesia di Tim-Tim menyengat kesadaran HAM global (1995).
Sejatinya masalah ‘Tim-Tim’ bagi rezim Orde Baru bagai batu karang, tapi dengan
menyebutnya “kerikil“, Jakarta meremehkan isunya sambil secara implisit
mengakui dampak pedihnya.
Soeharto pun mengerdilkan`Tim-Tim’. Jauh dari azas hak
suatu bangsa, dia mengingkari Mukadimah Konstitusi 1945. Dia menganggap Tim-Tim
mudah diobati – kan cuma “jerawat” – dan meredusirnya sebagai soal gengsi (“wajah
kami“). Pernah saya bertanya kepada Menlu Alatas: bagaimana dengan “kerikil”
itu? “Ya buang saja…” jawabnya enteng.
Mungkin dengan menggunakan metafora “kerikil”, Alatas
ingin mengungkap pendapat pribadinya tanpa harus berrisiko melawan bosnya.
Jadi, ketika isu Tim-Tim membengkak menjadi tumit Achilles (Achilles
heel, titik lemah) Indonesia, lahirlah macam-macam cara yang eufemistis
untuk berdusta dan mengingkari hak-hak bangsa lain.
Di bawah propaganda Orde Baru inilah, publik umumnya
tidak menyadari, bahkan membantah, bahwa Indonesia menjadi negara kolonial –
macam Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda). Dengan merahasiakan agresi
dan perang TNI/ABRI di Tim-Tim (1974-1999), negeri Timor Leste dianggap ranah
ekslusif negara c.q. TNI/ABRI. Sebuah state domain yang menjadi
kancah ulah-bebas kuasa negara yang direpresentasi oleh Soeharto, Ali Moertopo,
Benny Moerdani hingga Prabowo Subianto, tanpa mempedulikan negeri itu mau pun
khasanah pengetahuan masyarakat Indonesia umumnya. Jadi, rakyat (negeri)
Tim-Tim tak pernah tahu atau kenal rakyat Indonesia, sementara rakyat (negeri) Indonesia
tak tahu bahwa negara, tentaranya, melakukan perang kolonial yang dirahasiakan
(1974-1992).
Di situ ide negeri dan negara berbanding terbalik.
Pantas, rakyat Timor Leste sesungguhnya tak pernah memasalahkan publik
Indonesia, namun secara khusus membenci tentara Indonesia. Senjata makan Tuan
ABRI.
Karakter Orde Baru
Penggunaan simbol dan metafora mencerminkan nafsu,
semangat, emosi. Dia menjadi motor, tekad – drive – yang menggerakkan
perilaku. Semua itu akan tercetus sesuai kondisi-kondisi struktural, atau
terungkap melalui kondisi-kondisi tersebut.
Betapa berkontras semua itu tadi dengan narasi, motto dan
slogan-slogan di masa perjuangan kemerdekaan dan di masa mengisi
kemerdekaan. “Inggris kita linggis, Amerika kita setrika!”, “Sekali
merdeka, tetap merdeka” dst. Sukarno berseru “revolusi”, Hatta mengimbau
pembangunan ekonomi berbasis “koperasi”. Keduanya mengibaratkan kemerdekaan
bagai “jembatan emas”. Dengan kata lain, konsep-konsep dalam narasi ini
menampilkan manusia-manusia-nya sendiri seutuhnya, sebagai suatu kekuatan,
dan rakyat sebagai sumber ilham dan perjuangan – bukan sepotong bagian tubuh,
tapi tekad manusia-manusianya seutuhnya.
Sebaliknya, di masa Orde Baru, analogi negara dan tubuh
ditunjang gagasan bahwa bernegara itu tidak lain adalah`semua menjadi satu’ dan
`satu meliputi semua’. Semua diseragamkan. Artinya, semua disamakan, semua
dinikmati bersama – negara-keluarga dalam bahasa Soepomo – atau
menjadi tanggungan bersama di bawah otoritas mutlak pemimpin negara. Inilah
inti dari falsafah “Tiji Tibeh, Barji Barbeh” (“Mati Siji, Mati Kabeh,
implikasinya: Bubar Siji, Bubar Kabeh”: Mati satu, mati semua; Bubar satu,
bubar semua).
Di sini Genosida 1965-1966 mendekati persyaratan
diskursus hegemoni negara-keluarga itu. Demi“keselamatan” negara, sebagian
eksponen negeri (bangsa, rakyat) harus dihabisi. Malapetaka politik dan
kemanusiaan ini merupakan momentum puncak negara menghajar negeri.
Re-interpretasi konsep solidaritas Jawa yang fatalistis itu menjadi doktrin
yang memberi pembenaran untuk mengawal Indonesia dengan cara apa pun. Dia
membuat setiap isu lokal otomatis menjadi taruhan bangsa, dan karenanya,
menjadi obsesi, bagi kelangsungan republik ‘NKRI’. Nasib negeri menjadi taruhan
negara, dan sebaliknya.
Solusinya, pada tahap “gatal“, “kerikil“, apalagi pada
tahap “fatigue“, harus dihadapi dengan kekerasan negara. Di masa perjuangan
bangsa dan di awal 1950an, kemerdekaan lazim kita junjung dengan slogan “persatoean”
karena negara dan negeri terancam perpecahan. Persatuan menjadi obsesi hingga
Hatta memperingatkan mau “persatoean atau persatean!” Lagi lagi analogi
persatuan negara-bangsa diibaratkan fisik manusia (dijadikan sate). Belakangan,
di tahun 1970an slogan itu berubah menjadi “persatuan dan kesatuan” di dalam
paket“negara kesatuan” atau “NKRI”. Konsep “kesatuan” (unit) yang berasal
dari kamus hirarki kemiliteran ini menjadi bagian dari kuasa negara.
Dengan demikian, “NKRI” menjadi doktrin sekaligus aksioma, dan “NKRI Harga
Mati” menjadi Leitmotif – dalil sekaligus solusi yang melekat
pada jiwa dan raga Orde Baru.
“Fatigue” dan “kerikil” itu terus menyakiti
Indonesia – dalam diplomasi dunia dan dalam gejolak perlawanan Timor, yang pada
gilirannya memacu pergulatan di puncak elite militer. Persis seperti pengalaman
Belanda menghadapi perjuangan kemerdekaan Indonesia di tahun 1940an: sang
penjajah unggul di laga, tapi terpukul di negeri jajahan dan dalam politik
diplomasi. Berjumpa di Portugal, Ben Anderson, dalam wawancara, memvonnis:
“Tim-Tim is a curse (sebuah kutukan) bagi Indonesia”.
Justru karena berkuasa selaku hegemon tunggal di Tim-Tim,
maka jatuh bangun pergulatan di medan perang menjadi obsesi politisi Indonesia.
Tak berbeda pada hakekatnya dengan pergulatan internal di dalam elite kolonial
Hindia-Belanda. Walhasil, rangkaian di atas memperlihatkan betapa patriotisme
kebangsaan kita, dari pasca-perjuangan kemerdekaan, telah berubah menjadi
nasionalisme yang penuh amarah.
Ijinkan di sini saya kutip kolom saya 11 tahun silam:
“Our nationalism, once defined by our founding fathers as
one that should be nurtured in the garden of humanity (Sukarno), had turned
aggressive, emphasizing centralism and particularistic rather than
universalistic values. In the name of the unitary state, similar modes of
retaliation and torture were used in Timor and Aceh, our war victims were kept
out of sight (even activists do not ask about them) and true reconciliation out
of question. Neither the state nor society likes to be reminded of them.”[1]
Inilah barangkali apa yang boleh kita sebut sebagai besieged
nationalism syndrome. Upaya menjaga kesatuan bangsa, kini dilengkapi dengan
gertak dan brutalitas alat-alat negara padahal nasionalisme-amarah ini justru
dapat berpotensi kebalikannya: memicu gejolak dan pemberontakan daerah. Sejalan
dengan Gramsci, doktrin “NKRI Harga Mati” itu, di satu pihak, menjadi
hegemonik. Oleh karena itu, seorang rekan dengan tepat mengingatkan bahwa
sesungguhnya doktrin kesatuan tersebut merupakan “teror mental” (Dandhy Dwi
Laksono, Facebook, 2018), karena bersifat tekanan yang berdampak rasa
keharusan dihadapan ancaman negara. Dengan kata lain, meski secara metaforis,
kesetiaan terhadap NKRI diterapkan dengan sanksi hidup atau mati.
Di lain pihak, di bawah Orde Baru, negara, terutama di
daerah konflik, berubah jadi momok bagi negeri “sejak dalam pikiran”
(meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer). Di daerah-daerah semasa konflik
nasionalisme-amarah negara itu berdampak traumatis. Keluarga Samkakai dari
Papua di awal 2000an nekad menerjang samudera, puluhan kilometer, untuk
mengungsi ke Australia. Kenekatan itu mengalahkan kedalaman cinta mereka pada
kampung halaman. Negara memutus hubungan warga dan negerinya. Warga seperti
Samkakai kehilangan kebahagiaan di kampung-asalnya. Negara – Sang Hegemon –
mengubah home (Heimat) menjadi kepahitan yang menyakitkan secara
fisik.[2]
Kredit foto: Campus Nancy
Momok Genosida
Perubahan besar itu – negara-jadi-momok-bagi-negeri –
tepatnya berlaku sejak negara menghajar negeri pada paruh kedua dasawarsa
1960an yang berakhir dengan tiga sejoli: binasa, derita dan nestapa. Sejak
5 Oktober 1965, satu-satunya suratkabar yang diijinkan terbit, Angkatan
Bersenjata dan Berita Judha mengobarkannya, Soeharto
mengamininya, Sarwo Edhie dan Kopkamtib melaksanakannya. Maka sejak itu, tak
ada lagi sambung- menyambung negara dan negeri melalui mobilisasi massa yang
semula merekatkan, kadang menyatukan, elite politik dan massa dan, sebaliknya,
menyerap tuntutan massa, dari landreform, aksi turba sampai karya budaya, ke
lapisan intra-negara. (Diskusi seputar ini tergambar dengan cantik dalam jawab
Ben Anderson tentang old state and new society terhadap tulisan
Clifford Geertz new state and old society’). Sejak 1965, semua itu punah,
habis dihajar Genosida dan doktrin dan praktik “Massa Mengambang” (Floating
Mass).
Walhasil, memenuhi gambaran Thomas Hobbes, negara berubah
jadi sosok Leviathan bagi sang negeri. Bukan sebagai Commonwealth yang
mengurusi keamanan dan nasib bersama negara dan negeri, seperti dimaksud oleh
filsuf Inggris Abad XVII itu, melainkan sebagai ‘Hegemon-cum-Predator’ yang
diabaikan filsuf tersebut. Berkat Genosida 1965-1966, sang negeri, nasib
rakyatnya, di pelbagai lapisan masyarakat di pelosok Nusantara, berubah jadi
tragis dan miris. Mereka, dalam ungkapan Hobbes, harus mengarungi ajang
kehidupan baru: bukan menjalani “war of every man against every man” (perang
antar manusia) melainkan menghadapi dalil “force and fraud” (kekuatan dan
tipudaya) yang membuat negara merajai negeri, membuat negeri dan kehidupan
jutaan warganya, menjadi “solitary, poor, nasty, brutish and short” (tersisih,
nestapa, terkucil, tercampakkan dan pendek). Atau, meminjam ungkapan Sena
Gumira Ajidarma yang terilhami dongeng klasik Jawa, gambaran kehidupan merana –
“Zaman Rusak” – itu bagaikan dongeng Kalathida.
Berlatar seperti itu, negara memerlukan dalih dan
kenyataan yang dapat dipropagandakan sebagai cara, gaya hidup dan diskursus
baru, bagi sang negeri, yakni ‘Pembangunan’ alias ‘developmentalism’. Pada
dasawarsa 1970-80an wajah republik diubah dan berubah drastis dan tragis.
Drastis, karena spektakuler. Tragis, karena menyingkirkan penduduk ke pinggir
ibukota, dan sebagainya. Negara perlu dan ingin dipamerkan, sekaligus sebagai
alat legitimasi dan cara kuasa negara baru terhadap negeri dan rakyatnya.
Pengamat Australia Rex Mortimer menyebutnya ‘Showcaste State’(1973). Peralihan
menuju dasawarsa 1970-90an inilah yang kemudian membuat ‘Negara Pameran’ itu
berubah menjadi negara kolonial baru yang sarat nasionalisme-amarah tadi.
Dengan semangat dan gelora Hobbesian-klasik, Orde Baru adalah sosok yang
berobsesi tata-tertib (order), kontrol, dan peka terhadap kekacauan (anarchy).
Obsesi orde, atau kamtibnas (keamanan dan ketertiban) itu
sendiri dapat dipandang sebagai warisan dan babak terbaru dari doktrin “Rust en
Orde” sejak zaman kuasa VOC bersekutu dengan Raja-Raja Jawa.
Betapa besar dan meluas dampak dari negara Hegemon-cum-Predator ini
tampak, misalnya, dalam kuasa dan pengaruh negara yang nyaris mutlak dalam
peristiwa gerhana (Juni 1983) disusul Aksi Petrus menghabisi Gali-Gali (Juni
1983) dan dalam merebut dan menjajah Tim-Tim (1974-1999). James Siegel ketika
menulis tentang shock therapy Petrus itu, dengan tepat menohoknya
sebagai “pameran kekuatan negara terhadap warganya (negeri)”. Hal yang sama
terjadi ketika Soeharto memperingatkan gejala alam berupa gerhana matahari
sebagai isyarat negara agar negeri patuh dan tenang terhadap negara.
Di Tim-Tim serbuan tentara Indonesia terjadi dengan
memburu rakyat hingga menjadi perang ganas melawan gerilya Falintil dan rakyat
sipil di Matebian (1975-1978) yang berujung musibah kemanusiaan: 180an ribu,
nyaris sepertiga penduduk, tewas. Gambaran perang dan derita di masa perang
Matebian itu saya peroleh dari sejumlah wawancara dengan aktivis-aktivis
perlawanan Timor (yang sebagian pernah menjadi Hansip ikut ABRI) semasa berada
di Belanda (1995-1996). Ketika belakangan saya bertanya kepada Xanana Keyrala Gusmao,
apa yang paling menyakiti hatinya dalam pengalamannya selama tiga dekade
pendudukan Indonesia, saya mengira dia akan menunjuk pada perang Matebian,
namun dia menjawab: “Serbuan Indonesia!”, maksudnya invasi 1975. (Wawancara,
Brussel, 2002). Dengan kata lain, ingkar dan kebrutalan terhadap kedaulatan
negeri tetangga itu merupakan penghinaan yang menusuk hati dan sanubari bangsa
mereka. Begitu pula ketika gelombang kekerasan melanda hingga
pasca-penentuan-nasib-sendiri 1999 ditanggapi oleh Jose Ramos-Horta dengan
pedas. Jen. Wiranto saat itu menganjurkan agar kelompok-kelompok Timor berdamai
antar mereka sendiri. “Gen. Wiranto is like Jack the Ripper calling all his
woman-victims to unite!” (Jen. Wiranto itu seperti Jack the Ripper,
pemerkosa-pembunuh perempuan di London abad XIX, yang menyerukan agar para
perempuan korban bersatu), tukas Ramos-Horta (Wawancara Jenewa, Juli 1999).
Kuasa negara (Orde Baru) yang mampu menjajah melalui
perang rahasia dan pendudukan, yang disembunyikan dari media dan pengetahuan
publik di negeri sendiri (Indonesia), dan sakit hati ketika terjebak hingga
rahasianya terbuka, dengan merendahkan martabat negeri dan bangsa lain (Timor
Leste) itu, menghasilkan puncak kuasa negara predator Leviathan. Sepanjang
sejarah Nusantara, hanya Orde Baru-lah yang mampu berperilaku seperti
itu.
Dengan menyerap kemakmuran di tangan elite negara, Orde
Baru menciptakan oligarkhi dan kelas menengah baru yang bisa saja meneteskan
setetes kemakmurannya ke bawah. Namun, di balik semua itu, propaganda rezim
harus tetap tangguh, efektif dan merasuk. Narasi yang dikendalikan negara
melalui media mendominasi negeri melalui psyche publik. Hantu bernama
“G30S/PKI”, yang melahirkan negara-sebagai-momok, dirawat dan dijaga. Saat
pintu Reformasi terbuka, atas nama demokrasi baru, hantu itu dilestarikan.
Tak pelak, setahun selepas Soeharto jatuh, dalam sebuah
acara publik di Amsterdam, Juni 1999, Pramoedya menyebut Reformasi sebagai era
“Orde Baru Baru”.
**
[1] Past
conflicts troubled Indonesia, The Jakarta Post, July 17, 2007.
[2] (‘Samkakai,
Alias Geger Papua’, kolom Radio Nederland 4 Juli 2006, juga di https://www.facebook.com/notes/aboeprijadi-santoso/samkakai-alias-geger-papua/10154545679269400/
dan
from- IndoProgress
0 komentar:
Posting Komentar