Oleh Ibrahim Balkhy - 12 April 2019, 7:30 pm
Bedanya, di Rwanda upaya rekonsiliasi dilakukan serius
antara pelaku dan korban. Pelaku juga sempat dihukum.
"Bila kita memaafkan secara ikhlas, ada banyak hal positif yang akan kita alami," kata korban.
Maria Izagiriza, adalah perempuan paruh baya yang tinggal
di Rweru, desa pedalaman Rwanda. Sore itu dia pulang ke rumah setelah seharian
bertani. Sambil celingukan, Maria mencari tetangganya, Philbert Ntezerizaza,
laki-laki berusia 40-an tahun yang sering membantunya membersihkan rumah.
Mereka bukan sekadar tetangga. Maria dan Philbert
bersahabat. Mereka pasti saling menyapa satu sama lain jika tak sengaja bertemu
di jalanan kampung. Philbert bahkan diundang ke pesta pernikahan anak Maria.
Persahabatan ini tak terbayangkan bakal terjadi 25 tahun lalu. Saat itu,
Philbert bertanggung jawab membantai suami dan tiga anak Maria.
Maria Izagiriza berdiri di
pintu rumahnya. (Foto olehMadeleine Peters/VICE News)
Kejadian nahas itu terjadi 6 April 1994. Maria sedang di
rumah bersama anaknya yang berusia 2 bulan, Florence. Seorang tetangga sembari
terengah-engah, memberitahunya kabar buruk: Presiden Juvenal Habiyarmana tewas
setelah pesawatnya ditembak. Konon pelakunya pemberontak Tutsi. Kelompok
ekstremis lantas menghasut etnis mayoritas Hutu untuk membantai kaum Tutsi di
daerah-daerah terpencil sebagai balasan. Maria diminta segera mengungsi.
Maria dan bayinya bersembunyi di semak-semak. Dia sudah
pasrah jika akhirnya akan dibantai. Untunglah, upayanya berjalan kaki ke
perbatasan Burundi mulus tanpa aral melintang. Suami dan tiga anaknya tak
bernasib sama.
"Kebanyakan orang-orang Tutsi yang kabur bernasib buruk. Mereka tak sengaja bertemu kami, rombongan ekstremis, yang sedang patroli. Kami semua bersenjata saat itu," kenang Philbert kepada VICE News. "Kami rata-rata membawa golok. Semua anak kami kubur hidup-hidup di dalam lubang. Sementara orang dewasa kami bunuh dulu sebelum dibuang ke lubang yang sama."
"Kami membunuh semua orang Tutsi yang kami lihat tanpa pandang bulu, termasuk perempuan dan anak-anak. Semuanya harus dibantai," imbuh Philbert.
Diperkirakan, sebanyak 800.000 hingga 1 juta orang Tutsi
tewas dalam pembantaian massal yang jadi sejarah paling kelam Rwanda ini.
Setelah 100 hari, baru genosida terhadap etnis minoritas mereda.
Kini, Desa Rweru merupakan satu dari delapan kampung
percobaan program rekonsiliasi. Mantan pembantai pembunuh dan korban genosida
diminta hidup bersama. Ini adalah inisiatif pemerintah dan lembaga swadaya demi
mengupayakan perdamaian di tingkat akar rumput, supaya trauma genosida bisa
terhapus.
Ribuan warga menghuni kampung-kampung percontohan ini
sejak 2003. Kampung seperti Rweru memadukan perumahan dan peternakan yang
disubsidi, terapi psikososial berkelompok buat warga, dan memperoleh
pendampingan spiritual. Semua program itu dirancang untuk mendorong pelaku
genosida meminta maaf, sementara para korban bersedia memaafkan mereka.
"Setelah bebas dari penjara, saya merasa bersalah karena melakukan telah melakukan kejahatan yang amat keji terhadap Maria. Saya merasa takut dan malu," kata Philbert kepada VICE News. "Saya meminta Maria memaafkan saya. Dia memaafkan saya. Mendengar ucapannya, saya merasa lega."
Maria Izagiriza dan Philbert
Ntezerizaza berjalan bersama menuju desa rekonsiliasi Rweru. (Madeleine
Peters/VICE News)
Namun ada satu faktor yang membuat rekonsiliasi lebih
mudah dilakukan di Rwanda, dibanding katakanlah Indonesia selepas tragedi
1965-1966. Pemerintah Rwanda menggelar Pengadilan Gacaca, sebuah pengadilan
terbuka yang menghukum semua pelaku pembantaian suku Tutsi. Artinya, sebelum
rekonsiliasi dilakukan, keadilan coba diberikan kepada korban sekalipun
keluarga mereka tak bisa kembali.
Maria merasa berutang kepada Tuhan, karena dia dan
putrinya masih diizinkan bertahan hidup. Rwanda adalah negara yang cukup
religius di Benua Afrika. Artinya, pendekatan agama menjadi fokus banyak
program-program rekonsiliasi yang ditawarkan LSM pendamping.
"Ketika hati seseorang dibebani, ia takkan bisa melihat hal positif sama sekali. Tetapi bila ia memaafkan secara ikhlas, ada banyak hal positif yang akan dia alami," kata Maria. "Pengampunan itu hal yang penting, karena melegakan hatimu dan kamu mendapatkan ide baru buat melanjutkan hidup seperti biasa."
Maria Izagiriza dan Philbert
Ntezerizaza membahas rencana rekonsiliasi setelah Philbert membantai
keluarganya pada 1994. (Foto oleh Ibrahim Balkhy/VICE News)
0 komentar:
Posting Komentar