HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Sabtu, 29 Februari 2020

Kisruh di Awal Kemerdekaan


Andreas JW - 29 Februari 2020


Tidak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan, Pemerintah RI mengeluarkan Maklumat Pemerintah 3 November 1945 tentang seruan pembentukan partai-partai politik, dalam kaitan rencana Pemilu pada 1946. Sejumlah partai pun berdiri, antara lain Partai Masjumi, Partai Kristen Nasional, PNI, Partai Sosialis, Partai Katolik, PBI, PKI dll.

Sedangkan Mr. Mohammad Jusuf dan Mr. Suprapto (Yusuf-Suprapto) telah mendeklarasikan berdirinya "PKI", sejak 21 Oktober 1945. Tapi partai pimpinan Yusuf-Suprapto itu belakangan menimbulkan masalah. Karena, banyak kaum komunis dan tokoh-tokoh komunis eks-Digul tidak mau bergabung.

Rewang dalam memoarnya, "Saya Seorang Revolusioner", mendeskripsikan suasana di Kota Solo begini: "... Suatu hari, ketika sedang tugas jaga di suatu tempat, saya melihat ada orang memasang plakat yang berisi pengumuman dibangunnya kembali PKI. Sontak saya tertarik... Maka selesai menjalankan tugas, saya bersama seorang teman bernama Suripto, medaftarkan diri ke kantor pendaftaran di daerah Laweyan, Solo...
... Namun saya merasakan ada gejala lain yang menunjukkan ketidakwajaran. Sebab sejumlah tokoh-tokoh eks-Digoel serta aktivis-aktivis revolusioner muda di Solo, justru tidak mau bergabung dengan PKI pimpinan Yusuf, S.H. dan Suprapto, S.H., tersebut. Setahu saya, mereka antara lain Ronomarsono, Achmad Dasuki Sirad, A. Rojis, Daliman, Sunaryo, Suprapto, Suharti, dan Tumini. Gejala yang tidak wajar ini mencerminkan adanya ketidakberesan, pikir saya..."

Dideklarasikannya partai pimpinan Yusuf-Suprapto memang bermasalah dan salah. Sebab, PKI yang didirikan 23 Mei 1920, pada saat meletusnya Revolusi Agustus1945, masih ada. Partai mempertahankan kedudukannya yang ilegal persisnya sejak gagalnya pemberontakan tahun 1926.

Namun partai yang didirikan kelompok Yusuf-Suprapto, markas besarnya berada di Jakarta, tidak menghiraukan. Mereka malah menerbitkan Majalah Bintang Merah, yang edisi perdananya terbit pada 17 November 1945, dengan alamat redaksi di Jl. Petjenongan No. 48 C, Jakarta. Bahkan dalam edisi ini diturunkan pula sebuah berita dengan judul "PKI Australia akan menggaboengkan diri dengan PKI disini". Mungkin melalui pemberitaan ini, dimaksudkan untuk meyakinkan khalayak ramai yang berkepentingan.

Kelompok Yusuf-Suprapto memang cukup punya pengaruh di kalangan pemuda-pemuda pergerakan terpelajar di Jakarta, misalnya Grup Menteng 31. Mereka juga mengklaim mendapat sambutan dari sejumlah daerah di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Lantas pada 11 Desember 1945 mendirikan Laskar Merah.

Selanjutnya tanggal 6 hingga 10 Februari 1946, mereka menyelenggarakan kongres di Cirebon. Namun terjadi insiden antara Laskar Merah dengan CPM, yang berujung dilucutinya Laskar Merah oleh TKR. Insiden ini meluas hingga sekitar wilayah Cirebon, dan baru berakhir setelah Yusuf-Suprapto ditahan.
Mengapa tokoh-tokoh maupun kader partai yang didirikan pada 23 Mei 1920, tidak mau bergabung?

Karena mereka berpendapat bahwa Jusuf-Suprapto tidak berwenang menyatakan dirinya sebagai pimpinan partai. Sementara itu tokoh-tokoh “partai illegal” tidak segera berinisiatif membangun partai legal, pada saat situasi memungkin untuk itu. "Menurut saya, di sinilah letak kesalahannya. Di Solo, pimpinan partai illegal adalah Suhadi alias Pak Karto. Sementara Suhadi sendiri tampil secara legal dengan bendera organisasi massa GRI," papar Siswoyo dalam memoarnya.

Kelak hal tersebut dikritik sebagai suatu kesalahan organisasi. Dan kesalahan organisasi ini baru terbuka ketika Muso mengoreksi kesalahan-kesalahan dan kelemahan-kelemahan partai pada waktu itu

Di tengah-tengah kekisruhan itu, awal tahun 1946, mulai berdatangan sejumlah tokoh eks-Digul; seperti Sulaiman, Sabarman, Ngadiman, Ruskak, termasuk Sardjono. Sejak kalah dalam pemberontakan tahun 1926, Sardjono dibuang ke Digul, selanjutnya diungsikan ke Australia oleh pemerintah Hindia Belanda, menyusul pecah Perang Dunia II. Selain itu, datang pula tokoh-tokoh partai dari Belanda dan negeri-negeri lainnya; antara lain Drs. Maruto Darusman, Mr. Abdul Madjid, Drs. Setiajid, dan Jusuf Muda Dalam. Dua yang disebut terdahulu adalah anggota CPN.

Masalah partai pimpinan Jusuf-Suprapto memang akhirnya dapat diselesaikan dengan baik. Dan Jusuf-Suprapto mengakui kesalahannya, akibat ketidaktahuannya. Ini terjadi setelah ada pertemuan antara Maruto Darusman dengan Mr. Soetan Moehamad Sjah.

Kemudian dalam bulan Maret 1946, ...kelompok-kelompok ini mengadakan rapat di Jakarta, yang memutuskan untuk mengadakan pembersihan di kalangan PKI. Juga diputuskan akan diadakan konperensi partai di Solo, pada akhir April... (Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, Soe Hok Gie 1997: 63).

Bersamaan dengan diumumkannya pembangunan kembali PKI, Laskar Merah, organisasi kekuatan bersenjata di bawah pimpinan PKI, usai Peristiwa Cirebon ditata kembali. Seperti diketahui, waktu itu salah satu ciri kehidupan politik pada awal revolusi di Indonesia ialah partai politik mempunyai pasukan bersenjata. Misalnya, PKI mempunyai Laskar Merah, atau Masyumi mempunyai Laskar Hizbullah.

"Tetapi orang-orang komunis di Solo yang mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata tidak semuanya berada di dalam Laskar Merah. Hanya sebagian kecil yang bergabung," jelas Rewang. Sebagian lainnya ada yang masuk Laskar Rakyat, pimpinan Ir. Sakirman, juga seorang komunis. Kemudian ada pula yang berada dalam Laskar Buruh, Laskar Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI), dan ada juga yang membangun Angkatan Laut RI di Solo.

Pada Juli 1946, Kantor CC sudah pindah ke Kota Solo, di Jalan Purwosari No. 313, menyatu dengan redaksi Bintang Merah. Hal ini menyusul perkembangan baru, pada 4 Januari 1946, Ibukota RI pindah dari Jakarta ke Jogjakarta. Kepindahan ibukota dilakukan karena Belanda datang kembali ke Indonesia dengan membonceng Sekutu, dan Jakarta berhasil diduduki pada 29 September 1945.

Akhirnya, bertempat di Sitihinggil Keraton Surakarta, dari tanggal 11 hingga 13 Januari 1947, diselenggarakan Konferensi Nasional, yang kemudian dinyatakan sebagai Kongres IV, karena menghasilkan Konstitusi dan memilih CC baru.

Peserta yang hadir mayoritas eks-Digulis. Mereka datang ke Solo sebagai utusan daerah, dan sebagian besar menginap di Kantor GRI. Melalui Pak Suradi, Siswoyo sempat diperkenalkan dengan K.H. Tb. Achmad Chatib . “Ini lo Bung Sis, kenalkan kawan kita Kyai Chatib,” begitu kata Suradi, eks-Digulis kepala batu. Kyai Chatib, adalah Ketua SC Banten, dan tercatat sebagai Residen Banten yang pertama.

Konfernas atau Kongres IV menghasilkan pengurus baru; yakni Ketua I Sardjono, Ketua II Drs. Maruto Darusman, Ketua III Djokosoedjono, Sekum I Ngadiman Hardjosubroto, Sekum II Soetrisno. Politbiro terdiri dari Alimin, Sardjono, Maruto Darusman, Ngadiman Hardjosubroto, Soeripno. Kemudian Biro Organisasi terdiri dari Djokosoedjono, D.N. Aidit (Agitprop), Soekisman (Agitprop), dan Roeskak (Bendahara), Koenadi (penghubung). Lalu Pembantu Sekretariat Umum terdiri Sabariman (urusan ketentaraan dan laskar), Boeyoeng Saleh (urusan buruh), Koebis (urusan tani), Karsali (urusan pemuda), Sàpardiatmi (urusan wanita).

Struktur organisasi partai masih menggunakan pola lama, seperti yang digunakan PKI Angkatan 1926. Yakni, badan tertinggi adalah CC, kemudian SC untuk tingkat karesidenan, OSC untuk tingkat kabupaten, Resort untuk tingkat kecamatan, dan Sarikat Rakyat sebagai onderbouw resmi partai.

Sedangkan Pesindo, BTI, dan SOBSI, masih tergabung di dalam Sayap Kiri. Oleh karena itu, secara organisatoris, mereka tidak punya hubungan langsung dengan partai.

Selasa, 25 Februari 2020

Tim Antropologi Forensik Argentina mendokumentasikan pelanggaran HAM yang dinominasikan untuk Hadiah Nobel Perdamaian


25 Februari 2020 10:48 GMT 
  • Tim telah melakukan investigasi di lebih dari enam puluh negara

Seorang anggota EAAF yang bekerja di penggalian. Foto dibagikan secara publik di Facebook .

Tim Antropologi Forensik Argentina (EAAF),  LSM ilmiah non-profit, telah 
dinominasikan untuk Hadiah Nobel Perdamaian 2020 untuk pekerjaan investigasi ke dalam pelanggaran hak asasi manusia di Amerika Latin, Afrika, Asia, dan Eropa. The  Latin American Council of Social Sciences (CLACSO ) dan  National University of Quilmes (UNQ ) mengemukakan nominasi.

EAAF dibentuk pada 1984 melalui inisiatif antropolog Amerika Clyde Snow , dengan tujuan mendukung LSM Nenek Plaza de Mayo dalam penyelidikan mereka pada kasus-kasus orang hilang selama kediktatoran militer di Argentina (1976-1983). 

Pada tahun 1986 mereka memperluas kegiatan mereka di luar perbatasan negara dan telah berpartisipasi dalam misi di lebih dari enam puluh negara di seluruh dunia hingga saat ini. EAAF memelopori penggunaan ilmu forensik -dan terutama arkeologi forensik dan antropologi forensik- dalam dokumentasi pelanggaran hak asasi manusia.

Anggota EAAF sedang bekerja dalam penggalian di Siprus, 2006. Foto dibagikan secara publik di  halaman Facebook -nya .

Salah satu penyelidikan ahli internasional yang penting EAAF adalah tentang  penculikan massal dan hilangnya 43 Ayotzinapa Teachers College siswa pada September 2014, di negara bagian Meksiko, Guerrero. Mereka secara khusus diminta oleh kerabat korban, dan investigasi mereka menimbulkan kontroversi karena bertentangan dengan versi resmi yang diberikan oleh pemerintah Meksiko. Pencarian untuk siswa sedang berlangsung. 

Bersamaan dengan organisasi Justice for Our Daughters, EAAF melakukan 
penyelidikan forensik lain yang berbasis di Meksiko untuk membawa keadilan bagi ratusan wanita yang terbunuh selama 1990-an di Juarez, sebuah kota yang berbatasan dengan El Paso, Texas , di Amerika Serikat. 

Di Afrika Selatan, EAAF telah berkolaborasi dengan upaya pencarian dan identifikasi atas nama para korban apartheid sejak 2007. Di El Salvador, mereka menggali ribuan tulang korban dari pembantaian Mozote 1981 yang dilakukan oleh Angkatan Darat Salvador yang dikutip EEAF dalam laporan  
kesaksiannya di pengadilan.

EAAF dalam misi pencarian dan identifikasi untuk orang hilang di Chihuahua, Meksiko. Oktober 2019. Foto publik Facebook .

Kembali di Argentina, bersama dengan pencarian orang-orang yang hilang dari era kediktatoran, EAAF juga berpartisipasi dalam mengidentifikasi tentara Argentina yang dimakamkan sebagai “NN” (untuk “tanpa identifikasi”) di Pemakaman Militer Darwin di Malvinas, Kepulauan Falkland.

Pekerjaan mereka juga meliputi berbagai kasus femicides, perdagangan manusia, kejahatan politik dan etnis, dan kasus-kasus yang kompleks seperti serangan1994  pada Reksa Asosiasi Israelita Argentina (AMIA). 
Selain itu, mereka mengajar kursus antropologi forensik di Argentina dan di negara lain juga.

Prinsip-prinsip dasar EAAF yang paling dihargai adalah, di atas segalanya, penghormatan terhadap keinginan keluarga korban dan komunitas mereka, dan perhatian terhadap ketelitian ilmiah yang telah memenangkan mereka pamor internasional yang hebat selama 36 tahun sejarah mereka. 

Mereka dikenal karena kepeduliannya yang besar melalui setiap langkah proses, dari laporan awal dan investigasi hingga penggalian dan identifikasi sisa-sisa dan penyelesaian kasus.

Karina Batthyány, sekretaris eksekutif CLACSO, menyatakan dalam artikel La Nación:


"Setiap tulang yang ditemukan dan sisa yang teridentifikasi adalah kemenangan kebenaran dan keadilan yang penting untuk memelihara ingatan yang dibawa orang sepanjang sisa hidup mereka dan seterusnya ke generasi selanjutnya".
Hadiah Nobel Perdamaian akan menjadi pengakuan tidak hanya lintasan tanpa cacat dari para anggotanya, tetapi dari setiap kasus di mana mereka terlibat, dan setiap anggota keluarga yang telah menempatkan semua kepercayaannya pada mereka dan menerima uluran tangan mereka .

Senin, 24 Februari 2020

PKI Cirebon Brontak

Februari 24, 2020


Pemberontakan PKI Cirebon jarang diekspos ke permukaan, padahal pemberontakan PKI di Cirebon adalah pemberontakan tertua selepas diproklamasikannya Kemerdekaan Republik Indonesia. Peristiwa pemberontakan tersebut terjadi pada 12 Februari 1946.

PKI Cirebon brontak ketika negara sedang dirundung ketidak pastian, menyerahnya Jepang pada sekutu membuat kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 dibayang-bayangi ketidak pastian, karena diam-diam sekutu menyerahkan kekuasaan Indonesia pada Belanda.

Ketika Tentara Nasional Indonesia (dahulu TRI) sedang mempersiapkan perlawanan pada Belanda, pada saat itu pula PKI cabang Cirebon justru mengadakan pemberontakan, bahkan pemberontakan tersebut berhasil menguasai Kota Cirebon, sementara Tentara Republik dibuat tak berdaya oleh tentara merah kaum komunis.

PKI Cirebon sebetulnya baru didirikan pada 7 November 1945, sedangkan yang menjadi ketua dan wakilnya adalah Mohamad Joesoef dan Suprapto. Ini artinya pendirian PKI Cabang Cirebon baru dilakukan selepas 3 Bulan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia. Meskipun begitu, PKI Cabang Cirebon ini rupanya agresif, sebab pemberontakan yang mereka lakukan hanya berselang 3 bulan selepas partai itu membuka cabangnya di Cirebon (7 November 1945-12 Februari 1946).

Pemberontakan PKI di Cirebon didalangi langsung oleh pemimpinnya. Dalam memuluskan aksinya, Mohamad Joesoef dan Suprapto mendatangkan Laskar (tentara) Merah PKI dari Jawa Tengah, tujuan utamanya adalah melakukan kudeta lokal di Cirebon.

Para Laskar Merah PKI tiba di Stasiun Kereta Api Cirebon pada 9 Februari 1946 dengan bersenjata lengkap, selanjutnya setelah dikordinir maka pada 12 Februari 1946 laskar merah PKI menginap di Hotel Ribrink, sekarang hotel tersebut berganti nama menjadi Grand Hotel, berlokasi persis sebelah utara alun-alun Kejaksan. Sesampinya di hotel, mereka menjadikannya sebagai markas pemberontakan.

Pada mulanya, ketika laskar merah PKI baru saja tiba di stasiun, seisi kota Cirebon heboh sebab laskar merah secara terang-terangan menengteng senjata, sehingga kedatangan para milisi PKI tersebut mengagetkan pihak keamaanan republik. 

Letda D Sudarsono selaku Polisi Tentara Cirebon yang mendapat info kedatangan orang-orang bersenjata ke cirebon mendatangi stasiun menemui seorang bintara jaga untuk memastikan kebenaran kabar, namun baru saja sampai di stasiun, Letda D Sedarsono disambut dengan tembakan, Ia dikepung, senjatanya dirampas kemudian ditawan.

Selanjutnya, dalam upaya PKI menguasai pemerintahan, kekuatan bersenjata (TNI-POLRI) di Cirebon dilucuti, tentara ditangkap dan dijadikan tawanan. Kala itu kondisi kota mencekam, seluruh kota dikuasai oleh Laskar Merah. Bahkan tindakan laskar merah semakin brutal, merampok dan menguasai gedung-gedung fital.

Menghadapi ancaman serius yang dilancarkan PKI dengan lascar merahnya, Panglima II/Sunan Gunung Jati, Kolonel Zainal Asikin yang lolos dari penangkapan segera mengambil tindakan. Ia mengirim utusan untuk berunding dengan Mohamad Joesoef di Hotel Ribink. Dalam perundingan tersebut pihak PKI mulanya berjanji akan menyerahkan senjata hasil rampasan esok harinya, tetapi janji tersebut rupanya tidak ditepati.

Karena perundingan gagal, Panglima Divisi II meminta bantuan pasukan dari Komandan Resimen Cikampek untuk dikirim ke Cirebon, maka dikirimlah 600 prajurit Banteng Taruna dipimpin Mayor Banuhadi. Akhirnya pada tanggal 13 Februari  1946 dilakukan penyerbuan yang pertama oleh pasukan gabungan dari TRI (Polisi Tentara Indonesia), yang mana tujuannya merebut Hotel Ribink yang kala itu dijadikan markas PKI. 

Penyerbuan pertama gagal, karena persenjataan di pihak TRI dan kawan-kawan kurang. Sedangkan senjata musuh lengkap.

Pada 14 Februari 1946, dilakukan penyerbuan yang kedua, oprasi dipimpin langsung oleh Komandan Resimen Cikampek, Kolonel Moefreini Moekmin. Hasilnya, mereka berhasil melumpuhkan PKI , sehingga pasukan PKI menyerah. Pimpinan pemberontak, Mohamad Joesoef dan Suprapto berhasil ditangkap, kemudian diajukan ke pengadilan tentara.


Meskipun kisah pemberontakan PKI Cirebon ini diakhiri dengan dijebloskanya pimpinan PKI Cirebon, yaitu Mohamad Joesoef dan Suprapto ke pangadilan, namun sejauh ini belum ada kisah lanjutan mengenai nasib keduanya serta nasib para pengikutnya. Mengingat pada masa itu selain menghadapi PKI, negara juga sedang mempersiapkan diri menghadapi agresi militer Belanda. 

Zaman Peralihan


Andreas JW – 24 Februari 2020


Meski sangat singkat, hanya tiga bulan, tapi Muso sempat mewujudkan beberapa langkah strategis buat partainya. Ia kembali ke Tanah Air medio Juli 1948, dan gugur akhir Oktober 1948. Diawali dengan mengeluarkan otokritik Resolusi Jalan Baru, rencana selanjutnya, berlandaskan resolusi ini akan diadakan kongres fusi tiga parpol, yakni PKI, Partai Sosialis, dan PBI; menjadi satu partai ML bernama PKI.

Sebenarnya, sebelum kehadiran Muso, PKI dan FDR sudah mengadakan otokritik, menyusul jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin. Tapi isi otokritik tidak cukup mendalam. Meski begitu, beberapa materi kemudian menjadi bahan masukan Resolusi Jalan Baru.
"Dugaan saya, Alimin dianggap kurang berhasil. Sehingga Kominform memutuskan agar Muso segera pulang," kata Siswoyo.
Sebelum pulang, kabarnya, Muso terlebih dahulu berdiskusi dengan pimpinan Kominform (sebelumnya Komintern) untuk mengoreksi garis politik kanan PKI, yang dinilai melemahkan perjuangan nasional Revolusi Agustus 1945. Dalam diskusi tersebut, yang bertempat di Praha, hadir Sekjen CPN Paul de Grost dan Ketua PK Cekoslovakia Clement Goswald.

Diskusi menyimpulkan bahwa PKI maupun CPN akan berjuang membatalkan Perjanjian Linggarjati. Karena, tercapainya Perjanjian Linggarjati, telah menempatkan RI dan Kerajaan Belanda dalam ikatan Unie Verband, di bawah kekuasaan Raja Belanda. Sebab itu, harus dibatalkan.

Dalam sidang Pimpinan Pusat FDR, Muso, Drs. Maruto Darusman, Tan Ling Djie, dan Ngadiman Harjosubroto, masuk dalam formasi Sekretariat Umum (CC sementara), yang membawahi beberapa departemen.

Adapun Kepala Departemen Pertahanan dipegang Amir Sjarifuddin, dengan anggota terdiri Mayjen. Ir. Sakirman (Laskar Rakyat/Partai Buruh), Mayjen. Djokosujono (Kepala Biro Perjuangan RI, Pesindo), Ruslan Widjajasastra (Ketua Pesindo). Departemen Tani, dikepalai dr. Cokronegoro (Partai Sosialis), dengan anggota Asmu dan D.N. Aidit. Departemen Buruh terdiri dari Drs. Setiajid, Djoko Sujono, Achmad Sumadi, serta Harjono. Departemen Agitprop terdiri dari M.H. Lukman, Alimin, dan Sarjono.

Sedangkan Wikana (Pesindo) menangani Departemen Pemuda. Departemen Organisasi, dipegang Sudisman. Departemen Luar Negeri, dipercayakan pada Suripno. Nyoto menangani Departemen Perwakilan. Adapun Departemen Keuangan/Bendahara, dipercayakan pada Ruskak.

Siapa Maruto Darusman? Ia adalah kader CPN, yang lama bermukim di Negeri Belanda, dan baru kembali ke Indonesia kira-kira pada awal Agresi I, sekitar tahun 1947. Sebelum kedatangan Muso, ia berfungsi sebagai Wakil Ketua, di bawah Ketua CC PKI Sarjono.
Sementara Tan Ling Djie berasal dari Partai Sosialis. Tidak banyak informasi mengenai sejarah perjuangannya, termasuk bagaimana ia bisa begitu cepat menjadi tokoh Partai Sosialis dan FDR.

Akan halnya Ngadiman Harjosubroto. Ia Angkatan 1926, dan pernah dibuang ke Boven Digul, Tanah Merah. Dari Australia, ia pulang ke Indonesia akhir 1946, bersama dengan Sarjono, Winanta, Dita Wilasta, dan Suratno. Pada Kongres IV PKI tahun 1947, di Solo, Ngadiman terpilih sebagai Sekretaris Umum.
"Saya tidak ikut dalam sidang PP FDR. Karena saya hanya salah seorang pimpinan PKI/FDR Karesidenan Surakarta." Meski begitu, lanjut Siswoyo salah seorang pimpinan FDR Pusat pernah memberikan kepadanya notulen lengkap hasil pertemuan tersebut.
Notulen berupa tulisan mesin ketik di atas kertas doorslag berwarna kuning. Dari notulen ini diketahui ada sejumlah tokoh FDR yang tidak sepenuhnya menyetujui garis Resolusi Jalan Baru.

Seperti seorang tokoh wanita SK Trimurti dari PBI, ia justru mengecam PKI tidak mampu memimpin revolusi. Sebaliknya ia cenderung memuji Tan Malaka. Begitu pun Sumarsono dari Pesindo, mendesak Muso segera memimpin kudeta guna melancarkan perjuangan. Tapi Muso menolak semua itu, dan dengan tegas mengatakan bahwa kudeta bukan jalan kaum revolusioner.

Sejarah mencatat, gagalnya penyelenggaraan Kongres Fusi, merupakan akibat tidak langsung dari terjadinya Peristiwa Madiun, yang memunculkan sejumlah masalah yang cukup rumit dalam kehidupan organisasi partai.

Misalnya, secara yuridis formal Resolusi Jalan Baru belum sah. Sementara itu, menyusul gugurnya Muso dan Maruto Darusman, otomatis Tan Ling Djie menjadi orang pertama dalam CC Sementara. Padahal dia bukan dari unsur PKI, tapi dari unsur Partai Sosialis. Ditambah lagi Partai Sosialis pimpinan Tan Ling Djie belum mengadakan kongres istimewa untuk menghadapi kongres fusi. Dan Tan Ling Djie sendiri tidak setuju dengan Resolusi Jalan Baru, dengan alasan belum disahkan oleh Kongres Fusi.

Lalu muncul ide dari Tan Ling Djie bahwa Partai Sosialis perlu dibangun kembali untuk selanjutnya menyelenggarakan kongres istimewa. Buktinya, pada medio 1950, seorang utusan PP Partai Sosialis menemui Bung Istijab, ketua Partai Sosialis Cabang Klaten. Ia diinstruksikan untuk menghidupkan kembali Partai Sosialis. Dengan tegas Bung Istijab menolak, karena Partai Sosialis Klaten sudah bubar, dan meleburkan diri ke dalam PKI.

Ide Tan Ling Djie juga ditolak sebagian besar anggota CC Sementara. Begitu pula sejumlah anggota Partai Sosialis yang berada di Yogyakarta, di markas PP Partai Sosialis, seperti Oloan Hutapea, Kadaruzaman, Munir, Hartoyo, dan Yusuf Adjitorop, tidak mendukung ide tersebut.


Sebelumnya, pada akhir 1949 datang utusan CC Sementara, Djoko Sujono dan Ruslan Wijayasastra, menemui pimpinan SC Surakarta. Dalam beberapa kali kesempatan diskusi, keduanya tidak pernah mempermasalahkan Resolusi Jalan Baru. Keduanya tahu, jika dipersoalkan pasti akan ditentang keras. Keduanya tahu SC yang sependirian dengan SC Surakarta cukup banyak jumlahnya. Selanjutnya Djoko Sujono menjadi petugas penghubung CC Sementara dengan SC Surakarta.

Ketika itu partai secara resmi tidak dilarang pemerintah. Tapi demi keamanan, dilakukan sistem “open office”. Dengan pengertian, ada kantor resmi SC, tapi yang bekerja sehari-hari bukan pimpinan partai. Sedangkan kantor yang sesungguhnya berada di tempat lain, dan sifatnya tertutup. Open office SC Surakarta semula ada di Tipes, lalu pindah ke Jalan Honggowongso. Sehari-hari dipimpin Pak Suratno, seorang kader Angkatan 26.

Karena sering bertemu, "Hubungan saya dengan Djoko Sujono menjadi akrab. Dia respek dengan SC Surakarta, terutama karena punya banyak kader, punya akar di kalangan massa, punya pasukan bersenjata (PSR), dan banyak simpatisannya berada di TNI. Saya tahu, sebenarnya Djoko Sujono sependapat dengan pendirian SC Surakarta, daripada dengan Tan Ling Djie," papar Siswoyo.

Masalah itu semakin jelas ketika Djoko Sujono datang ke Solo membawa sejumlah petunjuk kerja dan beberapa instruksi dari CC Sementara. Isinya berbagai macam soal-soal kecil dan bersifat teknis, justru dibahas sangat detil, seperti urusan koperasi, usaha kecil, PMI, UU Peraturan Pemerintah.

Yang mencengangkan, adalah tulisan Tan Ling Djie mengenai idenya tentang Republik Federal Indonesia. Jalan berpikirnya, karena setelah terjadi Peristiwa Madiun, NKRI menjadi sebuah negara yang anti-komunis. Ketika itu Irian Barat belum termasuk wilayah Indonesia. Karena itu PKI perlu mengerahkan gerakannya masuk ke Irian Barat untuk membentuk Republik Demokrasi Rakyat Irian Barat, kemudian membentuk Negara Federal dengan Republik Indonesia. Selanjutnya melalui Republik Federal mengubah NKRI yang anti-komunis menjadi pro-komunis.

Setelah mempelajari isi dokumen itu, SC Surakarta menyimpulkan sepenuhnya menolak; karena isinya ruwet, tidak masuk akal, dan sama sekali tidak realistis. Dan SC Surakarta kembali menegaskan tetap memegang teguh garis Resolusi Jalan Baru.

Sejak itu SC Surakarta tidak lagi berhubungan dengan CC Sementara pimpinan Tan Ling Djie, karena ada perkembangan situasi baru yang lebih penting.

Kira-kira medio 1950 datanglah Bung Aidit dan Lukman dari Jakarta ke Solo. Setibanya di Solo, Aidit dan Lukman segera mencari Siswoyo .dan Bung Suhadi alias Pak Karto, kader tua dan salah seorang pimpinan SC Surakarta. Dalam kesempatan itu Aidit menjelaskan situasi intern CC Sementara. Antara lain ia mengatakan bahwa terdapat perbedaan besar dalam berbagai soal, terutama yang menyangkut sikap mengenai Resolusi Jalan Baru. Baik Aidit maupun Lukman sepenuhnya setuju dengan pendirian SC Surakarta, yang tetap memegang teguh garis Resolusi Jalan Baru. Aidit juga menjelaskan bahwa CC Sementara membentuk open office yang dipimpin Sudisman. Dan disepakati hanya berhubungan dengan open office saja.

Belakangan baru diketahui bahwa sebelum open office dipindah ke Jakarta, sejumlah kader partai sudah terlebih dahulu dikirim kesana. Kader-kader dari Yogyakarta ini merintis jaringan partai di Jakarta. Mereka ialah Munir, Kadaruzaman, Hartoyo, Achmad Sumardi, Iskandar Subekti, dan lain-lainnya.

Pada akhir tahun 1950 berlangsung Sidang Pleno CC Sementara. Selain mempertegas berlakunya Resolusi Jalan Baru, juga terjadi perubahan anggota Politbiro. Komposisinya terdiri dari Ketua D.N. Aidit; Wakil Ketua M.H. Lukman; Wakil Ketua Nyoto; Sekretaris Sudisman, Alimin, Asmu, Ruslan Wijayasastra, dan Sakirman. Juga dipromosikan sejumlah kader untuk mengisi posisi Komisaris CC, yakni Oloan Hutapea untuk Jawa Timur, Suhadi untuk Jawa Tengah dan DIY, Peris Pardede untuk Jawa Barat dan Ibukota Jakarta, Zaelani untuk Sumatera Selatan, Bachtarudin untuk Sumatera Tengah, dan Jusuf Ajitorop untuk Sumatera Utara. Mereka sekaligus dipromosikan sebagai anggota CC. Sidang Pleno juga memutuskan untuk mendegradasi Tan Ling Djie dan Ngadiman dari keanggotaan CC.

Tetapi keduanya tetap sebagai anggota partai.

Literasi Sains dan Kemerdekaan Akademis


Farid Gaban - 24 Februari 2020



Banyak yang belakangan risau tentang maraknya pseudo-science serta menguatnya argumen agama untuk menjelaskan fenomena sehari-hari.
Renang di kolam bisa membuat perempuan hamil? Virus corona azab dari Allah dan bisa diobati lewat rukyah?

Orang juga kuatir tentang rendahnya literasi sains di Indonesia, tak hanya di kalangan orang awam, tapi bahkan juga di kalangan orang terdidik serta pejabat publik.

Menurutku, Indonesia masa kini sebenarnya sedang menuai metode cuci otak yang diterapkan di lingkungan akademis (sekolah dan kampus) sejak 1980-an. Ini merupakan buah dari hancurnya kebebasan akademis serta ambruknya wibawa mimbar akademis.

Pada era Orde Baru kita mengenal program "normalisasi kampus", menyusul luasnya demonstrasi mahasiswa menentang rezim. "Normalisasi kampus" adalah eufemisme dari "menjinakkan kampus"; supaya mahasiswa tidak melawan pemerintah.

Diperkenalkan oleh Menteri Pendidikan Daoed Joesoef, program ini pada prinsipnya mendorong kampus semata menjadi pabrik tenaga kerja. Daya kritis dan kepekaan sosial mahasiswa dikebiri. Bahkan kemerdekaan kampus, yang disimbolkan oleh kewibawaan senat gurubesar, juga diruntuhkan.

Mimbar akademis dipancung antara lain dengan cara menjadikan para rektor dan gurubesar sekadar kepanjangan birokrat Kementerian Pendidikan. Kebebasan akademis makin luntur. Rektor, yang dulu merupakan wilayah hak prerogatif senat gurubesar, belakangan ikut dipilih oleh menteri, dengan selera politik.

Diskusi-diskusi di kampus, termasuk bedah buku dan bedah kasus, lebih diarahkan pada tema keilmuan sempit atau keprofesian. Terlarang mendiskusikan politik maupun masalah sosial (seperti penggusuran, ketimpangan, ketidakadilan dan kerusakan alam).

Mendiskusikan Marxisme, misalnya, diharamkan; sementara kapitalisme diterima dan diajarkan secara otomatis (by default).

Organisasi serta kegiatan mahasiswa dibatasi ruang geraknya, hanya yang berkaitan dengan seni, olahraga serta keagamaan. Banyak aktivis yang kuat aspirasi politik dan peka sosial harus menyuruk ke bawah tanah, menggunakan wadah-wadah pengajian untuk beraktivitas serta menyebarluaskan gagasan.

Tidak heran jika bahkan di sekolah dan kampus negeri, organisasi seperti OSIS digantikan oleh Rohis (remaja Islam), serta dewan mahasiswa digantikan BEM yang secara umum lebih mewakili aspirasi mahasiswa Islam saja.

Sejumlah kalangan, termasuk pejabat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), menyebut banyak universitas terpapar "paham radikalisme". Bahkan jika ada benarnya, sinyalemen ini keliru diagnosis.

"Radikalisme" (jika ada) merupakan akibat, bukan sebab; dia merupakan buah dari hilangnya daya kritis. Fanatisme adalah kawan karib dari keengganan berdialog serta menguji kritis pandangan seseorang.

Dan fanatisme (bukan hanya berbasis agama, tapi juga fanatisme politik) tumbuh subur ketika kampus sendiri kehilangan kebebasan ilmiah/akademis.
Polarisasi politik kampus atas dasar suka-tak-suka politisi idola adalah salah satu wujud ambruknya pertimbangan-pertimbangan ilmiah.

Bermula pada masa Orde Baru, "penjinakan kampus" berlanjut ke era Reformasi. Bahkan ketika hari-hari ini Menteri Pendidikan hanya cenderung melihat kampus sebagai pabrik tenaga kerja belaka.

Dulu kampus tunduk pada politik (Orde Baru), kini tunduk para kekuasan kapital (korporat).

Runtuhnya kebebasan akademis di kampus bukan cuma kesalahan birokrat pemerintah. Tapi, juga para gurubesar yang rela kewibawaannya ditempatkan di bawah selera politik dan birokrasi.

Atau lebih konyol, para dosen dan profesor yang pada dasarnya merupakan hasil dirikan era Orde Baru itu, ikut-ikutan memberangus daya kritis serta kepekaan sosial para mahasiswa.

Membicarakan literasi sains harus dimulai dari menegakkan kembali kewibawaan kampus sebagai lembaga ilmiah yang punya kemerdekaan akademis.

***

Minggu, 16 Februari 2020

Tugu-Tugu Palu Arit di Indonesia


Oleh Andri Setiawan


Tugu-tugu palu arit pernah menjulang di beberapa daerah di Indonesia. Simbol kekuatan PKI pada masanya.

Tugu palu arit di Cililitan, Jakarta. (Repro Harian Rakjat, 27 Mei 1965).

Sebuah tugu di Madiun tengah menjadi sorotan. Tugu yang berada di interchange menuju gerbang tol Madiun itu disebut mirip simbol palu arit. Isu ini viral setelah Roy Suryo melalui akun twitter-nya mengunggah kicauan mengenai tugu ini.
“Tweeps, Patung yg terletak di pinggir Jalan Tol Madiun ini lagi kontroversi, banyak pihak yg menginginkan Patung ini dibongkar karena mengingatkan Trauma masa lalu di daerah tersebut sekitar tahun 1948 silam. Bagaimana pendapat anda? Benarkah Patung ini mirip2 simbol2 tertentu?” tulis Roy Suryo disertai foto tugu tersebut.
Unggahan tersebut kemudian ditanggapi oleh politikus Partai Gerindra Fadli Zon. “Kesan ‘Palu Arit’ tak bisa dinafikan. Apakah ada kesengajaan?” cuitnya.
PT Jasamarga Ngawi Kertosono Kediri (JNK), sebagai pengelola tol, menyebut bahwa bentuk tugu tersebut dibuat berdasarkan logo JNK.
“Dilihat dari sisi sudut tertentu, tugu ikonik membentuk huruf J, N, K. Tugu menjulang vertikal dari arah barat ke timur membentuk huruf J,” sebut Dwi Winarsa, Direktur Utama PT JNK, dikutip kompas.com.
Kemudian, jelas Dwi, lengkung yang melingkar akan membentuk huruf N jika dilihat dari atas. Dan dari Simpang Susun Madiun ke arah timur akan membentuk huruf K.

Sementara itu, mengutip detik.com, Kepala Bakesbangpol Kabupaten Madiun Sigit Budiarto menyebut selama ini warga Madiun tidak pernah menyoroti tugu tersebut.
“Saya tiap hari lewat tugu itu ya biasa saja,” ungkapnya.
Namun, sekelompok orang bersama Center of Indonesia Community Studies (CICS) mendesak agar tugu tersebut dibongkar.

Saat Partai Komunis Indonesia (PKI) berjaya pada paruh pertama dekade 1960-an, pernah berdiri tugu-tugu palu arit yang berukuran besar.
Namun, pasca peristiwa 1965, tugu-tugu ini dihancurkan bersamaan dengan pelarangan segala hal yang berhubungan dengan PKI.

Surat kabar Harian Rakjat, memuat beberapa foto tugu yang tampaknya dibangun dalam rangka menyambut ulang tahun ke-45 PKI pada 23 Mei 1965. Berikut ini beberapa tugu yang termuat di Harian Rakjat periode Mei-Juni 1965.

Tugu Palu Arit di Cililitan

Tugu palu arit di Cililitan, Jakarta. (Harian Rakjat, 27 Mei 1965).

Harian Rakjat menulis, “Begitu kita memasuki Kota Djakarta dari arah selatan, kita akan disambut oleh tugu raksasa yang menjulang tinggi yang di puncaknya palu arit besar berdiri teguh. Bandingkan orang yang berdiri di bawah dengan tinggi tugu itu. Tugu ini terdapat di perapatan jalan Cililitan.”

Penyair Taufik Ismail menyebut keberadaan tugu itu dalam Himpunan Tulisan 1960-2008.
“Di Cililitan, yang sempat saya saksikan, PKI mendirikan sebuah tugu berwarna putih, di atasnya lambang palu arit berwarna emas kemilau ditimpa sinar matahari,” tulisnya.

Tugu Palu Arit di Palembang

Tugu palu arit di Palembang. (Harian Rakjat, 9 Juni 1965).

Di Palembang, PKI membangun dua tugu besar. Tugu pertama berbentuk palu dan arit terletak di Jalan Jenderal Sudirman, Palembang, Sumatera Selatan.

Sedangkan tugu kedua berada di depan Masjid Agung Palembang. Tugu ini tidak menonjolkan palu arit sebagai obyek utama, melainkan seorang laki-laki tengah memutar stir. Di belakang tampak Jembatan Ampera.

Tugu Banting Stir di Palembang. (Repro Harian Rakjat, 8 Juni 1965).

Tugu Palu Arit di Surabaya

Tugu palu arit di Surabaya. (Harian Rakjat 10 Juni 1965).

​Tugu palu arit di Surabaya ini sekaligus menjadi podium rapat umum ulang tahun ke-45 PKI di Surabaya. Dalam foto ini disebutkan bahwa Wakil Ketua II CC PKI Njoto tengah berpidato dalam rapat umum tersebut.

Tugu Palu Arit di Losari

Tugu palu arit di Losari. (Harian Rakjat, 5 Juni 1965).

Tugu ini berada di Losari, perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Disebutkan bahwa tugu ini juga menjadi jalur estafet panji-panji PKI dari Denpasar.

Tugu Palu Arit di Medan

Tugu palu arit di Medan. (Repro Harian Rakjat 23 Juni 1965).

Tugu palu arit ini disebut berada di Medan. Harian Rakjat menulis, “15.000 massa dengan penuh perhatian mendengarkan pidato Ketua Delegasi PB Vietnam Le Duc Tho dan Sudisman anggota Politbiro/Kepala Sekretariat CC PKI dalam rapat raksasa ultah ke-45 PKI di alun-alun Merdeka Medan tgl 30/5.”

Jumat, 14 Februari 2020

Palu Arit di Ladang NU



Peristiwa Madiun kerap menjadi titik bakar penentangan NU terhadap komunis.

Ketua CC PKI DN Aidit melirik ke arah Menteri Agama Saifuddin Zuhri yang menerima ucapan selamat dari Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan Jenderal TNI AH NAsution pada Maret 1962. Foto: repro: "Berangkat dari Pesantren."

Sejak lama NU antipati terhadap PKI. Menurut Greg Fealy dan Katharine McGregor dalam “Nahdlatul Ulama and the Killing of 1965-66: Religion, Politics, and Remembrance”, dimuat jurnal Indonesia 89, April 2010, sejak didirikan pada 1926, para pemimpin NU secara konsisten menentang komunisme, mencela doktrinnya sebagai ateis, serta cita-cita mengenai kepemilikan kolektif atas kekayaan dan properti sebagai laknat menurut ajaran Islam.
“Tapi anti-komunisme NU, sampai akhir 1940-an, kurang intens dibandingkan rekan agamawan mereka dari kelompok modernis dalam organisasi seperti Muhammadiyah dan Persis,” tulis mereka.
Sikap itu berubah setelah sejumlah kiai NU, yang saat itu tergabung dalam Masyumi, menjadi korban dalam Peristiwa Madiun 1948.

Menghadapi PKI

Setelah menjadi partai politik, dalam beberapa isu NU mempertahankan sikap oposisinya terhadap PKI. Antara lain ditunjukkan dengan menolak pelibatan PKI dalam kabinet pada 1953 dan 1956. NU juga memprotes pembukaan Kedutaan Besar Uni Soviet di Jakarta, penggunaan tanda gambar “PKI dan orang-orang tak berpartai” dalam pemilu, dan dukungan menteri pertahanan terhadap dipersenjatainya veteran-veteran komunis untuk melawan Darul Islam.

Namun, tak seperti Masyumi, selama 1950-an NU cenderung akomodatif. NU, misalnya, mengutuk pembentukan Front Anti Komunis yang disokong sayap kanan ekstrem Masyumi. Ketika Masyumi menginisiasi acara Muktamar Ulama di Palembang pada 8-11 September 1957, yang menghasilkan rekomendasi mengharamkan komunisme, NU tak bersedia mengirimkan delegasi.

Menurut Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, NU secara politik memang tak setuju dengan keberadaan PKI, tapi banyak elite NU merasa bisa bersanding dengan pihak komunis, ketimbang terhadap kelompok muslim reformis.

PKI sendiri mengulurkan tangan atas kesediaan NU menjalin kerjasama dengan partai nasionalis dan kiri. Pada September 1954, PKI mengirimkan ucapan selamat atas penyelenggaraan Muktamar NU di Surabaya. 
Bahkan, editorial Harian Rakjat, koran PKI, selalu menempatkan NU di antara “partai-partai demokratik”.

Kekhawatiran NU mencuat setelah PKI meraih peningkatan luar biasa, termasuk di basis-basis NU, dalam pemilu DPRD. 
 “Seusai pelaksanaan pemilu daerah, cabang-cabang NU di daerah lebih memandang PKI, dan bukan Masyumi, sebagai ancaman terbesar mereka,” tulis Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967.
Meningkatnya pengaruh PKI dan kedekatannya dengan Sukarno memaksa NU mengadopsi kebijakan akomodatif dan berpartisipasi dalam semua kabinet dan lembaga di era Demokrasi Terpimpin. Sikap ini mendapatkan kritik dari kelompok militan yang antikomunis seperti M. Munasir, Jusuf Hasyim, Subchan ZE, dan Bisri Syamsuri.
“Berbeda dengan para pemimpin moderat NU yang memandang PKI semata-mata sebagai masalah politik, kelompok militan memandang PKI sebagai ancaman fisik yang membahayakan Islam,” tulis Fealy.
Hubungan NU dan PKI memburuk pada 1960-an ketika PKI mengkampanyekan “aksi sepihak” sebagai upaya melaksanakan reformasi agraria (landreform) yang diamanatkan dalam UU No. 5/1960 atau Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).

Aksi Sepihak

Pada Oktober 1961, sebulan setelah Panitia Landreform mulai bekerja, Pengurus Besar Syuriah NU menggelar Bahtsul Masail atau forum diskusi untuk membahas masalah agraria. Forum menghasilkan fatwa yang mengharamkan landreform. Alasannya, melanggar himayatul mal (perlindungan properti) yang menjadi salah satu tujuan syariah.

Gita Anggraini dalam Islam dan Agraria menyebut, pengharaman itu bukanlah terhadap program landreform, “tetapi terhadap hal-hal yang mencederai prinsip dasar landreform, karena program landreform itu sendiri mendapat dukungan dari kalangan ulama.” Salah satunya DPR-GR, yang mensahkan UUPA, diketuai KH Zainul Arifin dari NU.

Namun, sebulan kemudian, rapat Dewan Partai menyimpulkan, UUPA “boleh” hukumnya kalau memang diperlukan untuk membantu fakir miskin dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, sedangkan jalan lain tidak ada.

Dalam praktiknya, banyak kiai atau pemilik tanah muslim tak rela kehilangan tanah mereka.

Terkait keengganan tuan tanah muslim, Deliar Noer dalam Partai Islam di Pentas Nasional menekankan perlunya memahami persoalan tanah dalam hubungan dengan wakaf; bahwa tanah bisa dimiliki masyarakat, sedangkan pengelolaannya bisa dilakukan seseorang atau sekelompok orang. Mereka yakin tanah wakaf tak masuk kategori tanah landreform.

Namun, kaum komunis punya cara pandang berbeda.

Karena pelaksanaan UUPA berjalan lamban, PKI menggiatkan aksi ofensif melalui aksi sepihak. Selain PNI, aksi ini mendapat perlawanan dari NU, terutama para kiai dan pemimpin Ansor di daerah. Bentrokan, bahkan disertai kekerasan, pun tak terelakkan.

Presiden Sukarno turun tangan dan mengundang partai-partai dalam pertemuan di Bogor, yang menghasilkan Deklarasi Bogor. Namun, bentrokan masih terjadi di sana-sini.

Dalam putusan sidang dewan partai 20 Desember 1964, NU menyatakan siap melaksanakan Deklarasi Bogor. Namun NU juga meminta pelaksanaan UUPA secara konsekuen, “yang di dalamnya mengatur pelaksanaan land reform dan land use dan menjamin hak milik wakaf, waris, dan hak-hak lain yang diatur oleh Agama Islam. 
“Mengenai tanah wakaf, jika merupakan tanah hibah palsu akan dikutuk,” ujar Idham Chalid dalam rapat dengan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), 19 Januari 1965.
Di jantung kekuatan NU di Jawa Timur, PKI bersikap defensif dan akhirnya menarik diri dari kampanye aksi sepihak. Bagi NU “kemenangan” itu peningkatan kepercayaan diri mereka dalam berhadapan dengan PKI.

Aksi Militan

Peristiwa 30 September 1965 mencemaskan para pemimpin NU. Beberapa kiai dan tokoh senior NU disembunyikan di tempat yang aman. Sementara yang lainnya, terutama tokoh-tokoh muda militan, pindah ke rumah Wahid Hasyim di Matraman dan Subchan ZE di Jalan Banyumas, Menteng; keduanya di Jakarta Pusat.

Sementara tokoh-tokoh senior bersembunyi, kelompok militan mengadakan pertemuan dengan para pejabat militer, yang dekat dengan Soeharto, yang merebut kembali kendali ibukota keesokan harinya.

Pertemuan-pertemuan itu menghasilkan kampanye anti-PKI, termasuk pembentukan Kesatuan Aksi Pengganyangan Gestapu (KAP-Gestapu) dan Badan Koordinasi Keamanan Jam’iyah Nahdlatul Ulama (BKKJNU).

Inisiatif diambil kelompok militan tanpa berkonsultasi dengan Idham Chalid, yang masih bersembunyi, atau Wahab Chasbullah, yang sedang berada di Jombang. 
 “Bahkan jika Idham dan Wahab ada, mereka mungkin tak berdaya menghentikan kelompok militan,” tulis Fealy dan McGregor.
Dengan dua organ itu dimulailah aksi pengerahan massa hingga pengganyangan PKI, dengan persetujuan Angkatan Darat. Yang terparah terjadi di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Menurut Fealy, ada beberapa faktor penyebab. Yang paling kuat adalah pengaruh psikologis bahwa mereka hanya punya dua pilihan: dibunuh atau membunuh. Mereka juga mengambil pelajaran dari Peristiwa Madiun dan aksi sepihak.
“Aksi kekerasan cenderung lebih banyak terjadi di daerah-daerah yang lebih sering mengalami aksi sepihak,” tulis Fealy.
Kekerasan terhadap PKI mulai berhenti pada Februari 1966.
Persoalan belum rampung karena Presiden Sukarno enggan membubarkan PKI. Tokoh-tokoh senior NU, yang sudah mengambilalih kendali partai, juga masih merapat ke Sukarno.

Namun kedudukan Sukarno terus melemah. NU akhirnya mengakhiri hubungannya dengan Sukarno dan mendukung rezim baru, Soeharto.

Kolonialisme, Penyebab Tersembunyi Dari Krisis Lingkungan Kita

2020-02-14


Budak memotong tebu di Antigua - British Library 

Greta Thunberg memanfaatkan bidang beasiswa yang berkembang ketika dia menulis baru-baru ini bahwa untuk menyelamatkan planet ini, pertama-tama kita perlu membongkar "sistem penindasan kolonial, rasis, dan patriarkal."


-Analisis-

PARIS - Mereka mungkin hanya beberapa kalimat pendek, tetapi mereka telah memicu reaksi keras di antara kritikus Greta Thunberg , remaja Swedia yang menjadi tokoh bagi gerakan iklim.

Pada 9 November 2019, sebuah artikel berjudul "Mengapa kita menyerang lagi," yang ditulis oleh Thunberg dan dua lainnya, menyatakan, "Krisis iklim bukan hanya tentang lingkungan. Itu adalah krisis hak asasi manusia, keadilan, dan kemauan politik. Sistem penindasan kolonial, rasis, dan patriarki telah menciptakan dan mengobarkannya. Kita perlu membongkar semuanya. Para pemimpin politik kita tidak lagi bisa mengelak dari tanggung jawab mereka. "

Artikel ini mengambil salah satu argumen dari lingkunganisme de-kolonial: bahwa krisis iklim terkait dengan sejarah perbudakan dan kolonialisme oleh kekuatan-kekuatan Barat.

Sejak tahun 1970-an, peneliti Afrika-Amerika telah membuat hubungan antara lingkungan dan kolonialisme. 
 "Solusi nyata untuk krisis lingkungan adalah dekolonisasi ras kulit hitam," tulis Nathan Hare pada tahun 1970. 
Lima tahun kemudian, sosiolog Terry Jones berbicara tentang "ekologi apartheid," sebuah konsep yang akan dikembangkan lebih lanjut pada 1990-an oleh Amerika Latin pemikir dekolonial di universitas-universitas Amerika, seperti Walter Mignolo di Duke (North Carolina), Ramón Grosfoguel di Berkeley (California) atau Arturo Escobar di University of North Carolina.
"Awal asli Anthropocene adalah kolonisasi Eropa di Amerika. Peristiwa bersejarah besar ini, yang memiliki konsekuensi dramatis bagi penduduk asli Amerika dan mendirikan ekonomi dunia kapitalis, juga telah meninggalkan jejaknya pada geologi planet kita," tulis peneliti Christophe Bonneuil dan Jean-Baptiste Fressoz dalam The Shock of the Anthropocene: The Earth, History and Us , menyinggung karya ahli geografi Inggris Simon Lewis dan Mark Maslin. "
"Menyatukan flora dan fauna dari Dunia Lama dan Dunia Baru benar-benar mengubah pertanian, botani, dan zoologi di seluruh dunia, dengan bentuk kehidupan yang telah dipisahkan oleh perpecahan Pangaea dan penciptaan Samudra Atlantik 200 juta tahun sebelum tiba-tiba bercampur sekali lagi," tambah mereka.
Di Prancis, para peneliti berusaha untuk menunjukkan bagaimana perdagangan budak, perbudakan dan penaklukan dan eksploitasi koloni memungkinkan kapitalisme menjadi terstruktur di sekitar ekonomi ekstraksi. Cara destruktif untuk menghuni planet kita ini bertanggung jawab untuk mengantarkan zaman geologis baru yang ditandai oleh aktivitas industri manusia: Anthropocene.

Bagi para pemikir dekolonial, bukanlah manusia (antropos) yang bertanggung jawab atas perubahan iklim, tetapi jenis aktivitas manusia tertentu yang terkait dengan kapitalisme Barat. Mereka mengklaim bahwa krisis lingkungan saat ini merupakan konsekuensi langsung dari sejarah kolonial.

Memetik kapas di perkebunan di Selatan pada tahun 1913 - Foto: Jerome H. Farbar

Populasi negara-negara yang kurang berkembang secara ekonomi tidak bertanggung jawab, tetapi merekalah yang menderita. Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan oleh jurnal Amerika PNAS pada Mei 2019, pakar iklim Noah Diffenbaugh mengklaim bahwa "sebagian besar negara miskin di Bumi jauh lebih miskin daripada yang seharusnya tanpa pemanasan global. Pada saat yang sama, sebagian besar negara kaya lebih kaya dari yang seharusnya."

Untuk menyoroti bagaimana akar krisis iklim terletak pada perbudakan dan kolonialisme, peneliti Donna Haraway, Nils Bubandt, dan Anna Tsing menciptakan istilah "perkebunan".
"Ini menggambarkan transformasi yang menghancurkan dari berbagai jenis padang rumput, budaya dan hutan menjadi perkebunan tertutup, ekstraktif, yang didirikan pada karya budak dan bentuk-bentuk pekerjaan lain yang melibatkan eksploitasi, alienasi dan perpindahan spasial secara umum," Donna Haraway menjelaskan dalam sebuah Wawancara 2019 dengan Le Monde . 
"[Ini mengingatkan kita bahwa] model ini membangun perkebunan secara besar-besaran didahului kapitalisme industri dan memungkinkan untuk mengembangkan, mengumpulkan kekayaan di belakang manusia direduksi menjadi perbudakan. Dari 15 th sampai 19 th abad, tebu perkebunan di Brasil, saat itu di Karibia, terkait erat dengan perkembangan merkantilisme dan kolonialisme."
Kami mengeksploitasi tanah dan orang-orang demi konsumerisme dan kesenangan di tempat yang jauh.
Membangun monokultur yang merusak keanekaragaman hayati dan bertanggung jawab atas pemiskinan tanah dicapai melalui deforestasi besar-besaran. Di Karibia, efeknya masih terasa sampai hari ini. Dalam esainya, dekolonial ekologi , Malcom Ferdinand, seorang peneliti di pusat penelitian nasional Prancis CNRS, menjelaskan bahwa perkebunanos memungkinkan kita untuk mengontekstualisasikan dan membuat sejarah Anthropocene dan capitalocene sehingga "genosida penduduk asli Amerika, perbudakan orang Afrika dan perlawanan mereka termasuk dalam sejarah geologi Bumi."

Ditandai oleh "patahan ganda, kolonial dan lingkungan," era modern menciptakan "cara hidup kolonial" dan "Bumi tanpa manusia," kata Malcom Ferdinand. Di satu sisi, ada populasi yang dominan, yaitu dari Barat. Di sisi lain, ada populasi yang didominasi, dianggap terlalu banyak dan dapat dieksploitasi. 
Pemisahan antara "zona keberadaan" dan "zona ketidakberadaan" ini tetap ada sampai sekarang melalui ekonomi global ekstraksi, monokultur intensif, dan ekosida, yang mengarah pada ketidakadilan spasial: Kami mengeksploitasi tanah dan rakyat demi kepentingan konsumerisme dan kesenangan di suatu tempat yang jauh.

Bagi Ferdinand, wajah lain perkebunan adalah "politik penahanan" - rujukan ke kapal-kapal budak - di mana minoritas menyedot energi vital dari mayoritas dan mendapat untung secara material, sosial dan politik dari "Negro," seorang manusia direduksi menjadi alat untuk mengerjakan tanah.
"Sejak tahun 1970-an," kata Ferdinand kepada Le Monde , "peneliti Afrika-Amerika telah mencatat bahwa limbah beracun telah dibuang di dekat daerah yang dihuni oleh komunitas kulit hitam. Mereka telah menyebut praktik ini untuk mengekspos minoritas ras terhadap bahaya lingkungan 'rasisme lingkungan.'" 
Contohnya adalah rangkaian tanaman industri antara Baton Rouge dan New Orleans (Louisiana), dijuluki Cancer Alley, yang merupakan rumah bagi populasi kulit hitam yang menetap di sana setelah perbudakan dan pemisahan dan memiliki tingkat kanker yang kadang-kadang 60 kali lebih besar daripada rata-rata nasional.

Cancer Alley pada tahun 1972 - Sumber: Arsip Nasional di College Park

Ferdinand juga menunjukkan bahwa di Perancis, uji coba nuklir tidak dilakukan di tanah Prancis tetapi di Aljazair dan Polinesia. Peneliti juga menyoroti bagaimana Martinique dan Guadeloupe telah terkontaminasi oleh penggunaan pestisida beracun Chlordecone dalam produksi pisang, mengatakan bahwa itu adalah bab lain dalam sejarah "proses pertanian yang dipimpin oleh sejumlah kecil individu dari komunitas Creole turun. dari kolonis pemilik budak pertama di Antilles Prancis, "
"Pendekatan dekolonial memungkinkan kita untuk bergerak melampaui fraktur ganda, kolonial dan lingkungan. Ia berupaya menciptakan dunia yang lebih egaliter, lebih adil, dan untuk melakukan itu kita harus mempertimbangkan kembali hal-hal yang telah dibungkam," jelas Ferdinand.
Itulah salah satu prinsip dasar ekologi dekolonial: menempatkan nilai pada cara-cara yang berbeda, seringkali leluhur, untuk mendiami dunia, yang telah dirusak oleh penjajahan, diidealkan atau diubah menjadi cerita rakyat.

Di Amerika Latin, tempat teori dekolonial saat ini lahir, para pemikir seperti ekonom Ekuador Alberto Acosta Espinosa menyerukan hubungan baru dengan Bumi dan dengan orang lain. Mereka menyebutnya "buen vivir" (hidup dengan baik), dan itu terinspirasi oleh konsep Quechua tentang "berpikir dengan Bumi" yang juga dikembangkan oleh antropolog Amerika-Kolombia Arturo Escobar. Ini mempertanyakan pandangan dunia Barat - yang memisahkan alam dan budaya, tubuh dan roh, emosi dan akal - dan mengubah yang universal menjadi "jamur," versi universalitas yang mengakomodasi perbedaan.

Cara-cara baru untuk menghuni dunia ini juga mencontohkan diri mereka pada "kosmologi diplomatik," kata peneliti Bolivia Diego Landivar, merujuk pada konstitusi Bolivia yang diajukan oleh mantan presiden Evo Morales, yang mengakui Pachamama (Ibu Pertiwi) sebagai subjek hukum. Ekuador juga menjadikan alam sebagai subjek hukum, dan Sungai Vilcabamba memenangkan kasus terhadap kotamadya Loja, yang dituduh menyimpan sejumlah besar batu dan bahan galian di sungai.
 Ekologi dekolonial membentuk cakrawala baru yang non-ekstraktif: Ekologi pengunduran diri
Pemikiran dekolonial mengundang kita untuk menyatukan pengetahuan lokal dengan penelitian ilmiah dan teknologi. Ini juga merupakan rekomendasi dari laporan 2019 oleh Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim, yang menyerukan promosi agroekologi. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB setuju. Mempertimbangkan kepercayaan dan praktik asli terkadang berarti tidak mengeksploitasi sumber daya alam tertentu. Di Australia, misalnya, komunitas Aborigin mengakhiri pariwisata di Uluru (Ayers Rock), situs keramat yang menarik 300.000 pengunjung per tahun.
"Ekologi dekolonial membentuk cakrawala baru yang non-ekstraktif: Ekologi pengunduran diri," kata Diego Landivar. "Dalam pandangan dunia Barat, jika kita dapat memikirkan sesuatu, kita dapat melakukannya. Hari ini, kita bahkan berpikir tentang menjajah Mars. Tetapi saya tidak percaya kita dapat menjajah bulan, langit, Mars, hanya karena mereka kosong ."
Coumba Sow, ahli agroekonomi di FAO, mengatakan bahwa pengetahuan tradisional setempat sering memungkinkan kita untuk lebih memahami fenomena alam dan menemukan solusi yang efektif. Dalam sebuah wawancara pada tahun 2019 dengan Le Monde Afrika , ia mengingat kembali pengalaman Yacouba Sawadogo, yang 
 "sejak 1980 telah menggunakan teknik pertanian leluhur, zaï, yang melibatkan pembuatan penghalang batu untuk menghentikan air mengalir, dan juga menggunakan saluran yang digali oleh rayap. untuk mengumpulkan air. Dengan cara ini, dia merebut kembali puluhan ribu hektar dari gurun Sahara."
Menurut Coumba Sow, "banyak penelitian menunjukkan bahwa petani lokal yang menggunakan praktik agroekologi tidak hanya lebih mampu melawan tetapi juga untuk mempersiapkan perubahan iklim, karena mereka tidak kehilangan hasil panen karena kekeringan ... Secara tradisional, manusia mengolah tanah sesuai dengan prinsip-prinsip ekologis yang sama yang dipromosikan agro-ekologi, prinsip-prinsip yang tertanam dalam praktik pertanian adat."