02
FEBRUARI 2020
“Kekasih hari ini aku ingin bercerita tentang nelayan yang menjual perahunya mengubah lajur hidupnya sebab terampas laut dan gelombangnya” – Sombanusa
Bait dari lagu yang dikarang dengan baik oleh musisi
Yogyakarta tersebut menjadi sebuah refleksi dalam melihat realita sosial
nelayan hari ini. Artikel ini ditulis berdasarkan pada ringkasan dari diskusi
film dari Watchdoc “The Bajau” (2019) yang diselenggarakan oleh
Lingkar Diskusi Publik (LDP) Universitas Negri Yogyakarta yang bekerjasama
dengan beberapa organisasi mahasiswa seperti Ekspresi pers mahasiswa beserta
organisasi diluar kampus seperti Walhi dan Landless (Labor and Class Struggle
Studies). Dalam agenda tersebut diskusi dipantol oleh Himawan Adi (Walhi),
Ismantoro dan Sinergy Aditya (Landless). Selain ‘The Bajau’ yang
merupakam film tentang masyarakat Suku Bajau yang diproduksi oleh
Watchdoc, VOA Indonesia (2019) menunjukkan bahwa ada film lain yang juga
memotret kehidupan masyarakat Suku Bajau, yakni film “The Call From the
Sea” (2017) yang disutradarai oleh Taylor McNulty. Film tersebut menyorot
kehidupan Suku Bajau di Sulawesi yang hidupnya bergantung dengan laut yang
dihadapkan fenomena pemanasan global dan pencemaran laut yang telah membuat
kondisi laut menurun.
Sementara itu, sekilas tentang film yang diproduksi oleh
Watchdoc ini, memotret dinamika kehidupan dari masyarakat Suku Bajau. Seperti biasa,
yang menjadi ciri khas produksi film dari Watchdoc adalah melihat titik kritis
atau fenomena lain dari masyarakan Suku Bajau. Tidak hanya mengupas masalah
profil Suku Bajau dan sejarahnya namun dibenturkan dengan konflik sosial dan
ekologis yang terjadi dalam film tersebut. Namun, ringkasan tulisan ini hendak
menjelaskan pendalaman sisi dinamika ekonomi politik dalam film tersebut.
Secara historis, Suku Bajau adalah orang-orang yang tidak
memiliki negara. Hidup mereka mengembara di lautan, mencari makan di lautan,
serta hidup dan mati mereka di lautan. Bagi Suku Bajo, laut adalah jantung yang
berdetak dan darah yang mengalir di dalam tubuh mereka. Aktivitas keseharian
Suku Bajo dalam berburu ikan untuk keberlanjutan hidup mereka. Suku Bajo
bukanlah suku yang berasal dari Malaysia, Filipina, maupun Indonesia, melainkan
suku yang tidak berasal dari manapun. Mereka tidak memiliki negara, manusia
bebas atau manusia pengembara.
Alam Sebagai Ruang Hidup
Hidup mereka menyatu dengan laut, dan memperoleh ikan sebagai
sumber makanan pokok dari laut, dan lautan adalah rumah mereka. Mereka juga
paham bagaimana caranya berinteraksi dengan lautan, dan menjaga kelestarian
ekosistem laut. Dalam artikel National Geographic Indonesia (2018) dijelaskan
bahwa Suku Bajau kerap disebut sebagai penjelajah air, mereka memiliki
kemampuan seperti layaknya makhluk laut yakni bisa berjalan di dasar laut dan
menyelam hingga kedalaman 25-50 meter tanpa alat bantu, dan orang Bajau konon
dapat bertahan di laut berbulan-bulan tanpa makanan dan perlengkapan
modern.
Perlu diketahui, bahwa masyarakat Suku Bajau tidak
menangkap ikan dengan bom, pukat harimau, atau alat dan bahan-bahan peledak
lainnya yang dapat menghancurkan ekosistem laut. Mereka menangkap ikan dengan
menjaring, menyelam ke dalam air, dan memanah ikan di dalam air. Bagi Suku
Bajo, kehidupan di laut sudah mulai diperkenalkan oleh orang tua mereka
semenjak mereka masih kecil atau anak-anak. Oleh karena itu, mereka sangat
terampil dalam berburu ikan di dalam laut. Ketika mereka sedang berburu ikan,
hasil tangkapan mereka tidak selalu dinikmati sendiri, mereka rela berbagi
dengan orang-orang Suku Bajo lainnya yang sedang mengalami kesulitan dalam
berburu ikan. Dilansir dalam Mongabay (2014) yang menjelaskan bahwa masyarakat Suku
Bajau memiliki kecerdasan ekologi (ecological intelligence) secara
alami yang hal tersebut melekat dalam nilai, tradisi dan budaya dalam kehidupan
masyarakat Suku Bajau. Kecerdasan tersebut tergambar dalam pemahaman dan
penerjemahan hubungan manusia dengan seluruh unsur beserta mahluk hidup lain.
Pemahaman demikian yang membentuk prinsip dan pandangan hidup, serta kesadaran
terhadap alam dan perilaku ekologis. Hal ini dapat mengatasi krisis ekologi
jika setiap orang di belahan bumi memiliki kecerdasan demikian.
Namum, kondisi stateless pada orang bajau
membuat beberapa negara resah, yang selanjutnya negara Indonesia salah satunya
melakukan penertiban dan pendisiplinan mulai dari ‘Merumahkan’ Suku Bajau. Hal
ini yang sangat bertentangan dengan kultur masyarakat Suku Bajau yang bahkan
dijelaskan para pendahulu Suku Bajau dari lahir-mati berada dilautan. Potensi
terjadinya pergeseran budaya, cara hidup bahkan hilangnya tradisi nilai lokal
akan terancam sesuai dengan lirik dari Sombanusa bahwa “…nelayan akan
merubah lajur hidupnya karena terampas laut dan gelombangnya…”, hal ini akan
terjadi jika negara terus mengintervensi hingga hal inti dari suatu suku adat
yang dapat menghilangkan nilai lokal dan tradisi sebagai masyarakat adat.
Dinamika Perebutan Ruang: Bajau, Negara dan
Kapitalisme
Potret yang tergambarkan dalam dokumentasi film ‘The
Bajau’ memperlihatkan ragam masyarakat Suku Bajau yang hidup di beberapa
wilayah Provinsi Sulawesi. Salah satauya yakni masyarakat Suku Bajau yang
tinggal di Torosiaje, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo dan juga Morombo, Kabupaten
Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra). Masyarakat Suku Bajau yang tinggal di
Torosiaje digambarkan dalam film “The Bajau” dengan apik dan alami
dengan lingkungan yang tenang dan terjaga keindahannya. Sedangkan, di Morombo,
kehidupan masyarakat Suku Bajau digambarkan dengan krisis, karena ruang
hidupnya yang kumuh tercemar perusahaan tambang.
Fenomena di Morombo memerlihatkan suatu dinamika
perebutan ruang antara masyarakat Suku Bajau dengan kapitalis, dalam hal ini
terwujud dari perusahaan pertambangan batubara. Suku Bajau yang pada dasarnya
sangat bergantung pada lautan sebagai ruang pemenuhan keberlangsungan hidupnya,
tidak bisa berbuat banyak karena laut mereka tercemar oleh perusahaan tambang
batubara di bibir pantai. Hal demikian yang membuat lingkungan masyarakat Suku
Bajau hidup menjadi kritis bahkan tidak layak untuk dihuni. Warnai air yang
keruh tak sejernih seperti yang di Torosiaje mengancam kesehatan masyarakat
dalam mengkonsumsi air.
Celia Lowe dan EP Riley (2013) dalam artiklenya yang
selanjutnya ditulis menjadi buku yang berjudul Wild Profusion:
Biodiversity Conservation in an Indonesian Archipelago menjelaskan bahwa
masyarakat Suku Bajau di Sulawesi Tenggara yang merupakan suku laut paling
kosmoplitan di Asia Tenggara mendapatakan permasalahan kehidupannya dengan
alam. Oleh karenannya Lowe menyarankan untuk dilakukan konservasi alam.
Konservasi dalam pandangan John B. Foster (2009) dalam bukunya The
Ecological Revolution, belum sepenuhnya mampun menyelesaikan permasalahan
kehidupan masyarakat dan juga pencemaran alam. Ia juga menegaskan bahwa beragam
perushaan melakukan konservasi yang justru anti-rakyat dan tidak menyelesaikan
akar permasalahan kerusakan lingkungan. Oleh karenannya, konservasi menjadi
tidak memiliki pengaruh yang signifikan karena mengesampingkan faktor ekonomi
politik permasalahan alam yang dihadapi oleh masyarakat Suku Bajau, yang tidak
lain karena pencemaran atas perusahaan tambang.
Pencamaran dan kerusakan lingkungan yang terjadi didorong
oleh logika produksi dalam sistem ekonomi yang bercorak kapitalistik. Hal
tersebut dijelaskan oleh Fred Magdoff dan John B. Foster (2011) dalam
bukunya yang berjudul What Every Environmentalist Need to Know about
Capitalism: A Citizen’s Guide to Capitalism and The Environtment bahwa
imperatif pertumbuhan dalam ekonomi kapitalisme harus terus didorong, dan
sistem ekonomi kapitalisme harus terus membesar dalam persaingan kompetisi dan
monopoli pasar dengan logika produksi guna menggapai profit terus menerus.
Sehingga, eksploitasi sumber daya alam harus terus berjalan dan dilakukan
untuk
pemenuhan logika produksi. Sumber daya yang terus menerus diproduksi demi
pemenuhan pasar maka secara perlahan akan menjadi krisis dan berakibat pada degradasi
lingkungan. Hal senada juga ditegaskan oleh Barry Commoner (1990) dalam
bukunya yang berjudul Making Peace with The Planet bahwa jika
lingkungan tercemar, perekonomian sakit, virus penyebab keduanya akan ditemukan
pada sistem produksi yang tidak adil. Demikan sederhana adalah siklus bisnis
dan kerusakan lingkungan hidup atau bahkan bencana yang terjadi.
Keberadaan sistem ekonomi yang eksploitatif baik pada
tenaga kerja maupun dengan alam disebut oleh Anto Sangaji (2010) sebagai sebuah
potret ‘Metabolic Rift’, yakni sebuah kondisi dimana terjadinya
kontradiksi abadi kapitalisme dengan lingkungan hidup. Hal demikian yang
kemudian membuat Murray Bookchin (1982) dalam bukunya The Ecology and
Freedom memeberikan pamahaman dalam pengelolaan alam ditengan kondisi
keberadaan sistem kapitalisme yang memberangus lingkungan hidup dan rezim
pengetahuan tentang metabolic rift, yang membuat kapitalisme seakan
abadi dan tak bisa dihancurkan. Bookchin mendorong untuk pembebasan hirarki dan
reorganisasi masyarakat dengan garis etnik alam dikelola secara kolektif.
Keseimbangan kebutuhan, pemanfaatan alam dan perawatan harus dimiliki oleh
masyarakat, karena keberlangsungan lingkungan hidup adalah keberlangsungan kehidupan
manusia juga.
Jika melihat dinamika yang tergambarkan diatas, ada salah
satu aspek yang hilang, yakni keberadaan negara dan peranannya. Memang dalam
dokumentasi film ‘The Bajau’ belum secara kompleks menjelaskan
dinamika kekuatan elit dalam negara sehingga melegitimasi beberapa kebijakan
perizinan yang sangat eksploitatif. Hal demikian tergambar sekilas diterangkan
dalam film tersebut bahwa negara 141 perizinan pertambangan dan pembukaan lahan
sawit, dengan detail rincial 600.000 ha areal pertambangan batubara dan juga
400.000 ha areal perushaan kelapa sawit. Legitimasi tersebut yang kemudian
menjadi suatu fakta keberpihakan negara pada kapitalis dalam hal ini adalah
perusahaan pertambangan batubara. Hal ini menjadi suatu fenomena yang
menguatkan fakta watak negara dalam arus neoliberalisme seperti yang disebutkan
oleh Bob Jessop (2002) dalam artikelnya yang berjudul Liberalism,
neoliberalism, and urban governance: A state–theoretical perspective bahwa
negara menjadi alat untuk melancarkan kepentingan kapitalisme melakukan
akumulasi.
Adat dan Kekuatan
Alternatif
Kepentingan kapitalisme yang dapat menggunakan kekuatan
negara untuk melancarkan sirkulasi akumulasi kapitalnya tidak sedikit
menciptakan permasalahan yang cukup signifikan seeperti kemiskinan, ketimpang,
pencemaran dan kerusakan lingkungan. Fenomena demikian yang kembali memukul si
‘Miskin’ kaum yang terampas alat produksi menjadi krisis. Hal demikian seperti
yang dialami oleh masyarakat Suku Bajau vis a vis dengan korporasi
pertambangan batubara di Marambo, Sulawesi Utara. Terasingnya masyarakat Suku
Bajau sebagai subjek politik, menjadikannya sebagai korban sosial-politik dalam
proses modernisasi. Hal demikian kurang lebih sama halnya yang dialami oleh
masyarakat adat di Amerika Latin yang juga terasing dengan negara sehingga
kebutuhan sosial dan politik tidak dapat tidak dipenuhi oleh negara. Sehingga
Deborah J. Yashar (1997) dalam artikelnya yang berjudul Contesting
citizenship: Indigenous movements and democracy in Latin America menjelaskan
bahwa gerakan adat harus dapat merebut negara, yakni tampil dalam kontestasi
politik dan demokrasi agar hak-hak sosial dan ekonominya terpenuhi. Hal
demikian membuahkan hasil dengan terpilihnya Presiden Bolivia dari masyarakat
adat yang kemudian menjalankan pemerintahannya dengan cukup adil dan memberikan
hak-hak kepada kelompok rentan dan marjinal.
Majemuknya suku di Indonesia menurut Nur I. Subono (2017)
dalam bukunya Dari Adat ke Politik menjelaskan cukup membutuhkan tenaga bayak
untuk membentuk kekuatan politik berbasis adat, mengingat majemuknya suku yang
juga berarti majemuknya aspirasi dan kepentingan yang dibawa. Melalui realita
ini diharapkan perlunya suatu narasi besar yang dapat menggandeng segala hal
tersebut, tidak hanya berasaskan pada aliran adat, budaya, suku atau golongan.
Namun yakni kondisi dan perasaan yang sama tentang perampasan, pemarjinalan,
penggusuran dan ketertindasaan yang dirasakan menjadi salah satu rumusan untuk
membentuk blok kekuatan alternatif ditengah sistem dominan yang kurang berpihak
pada masyarakat kecil dan kelompok rentan.
Daftar Pustaka:
Bookchin, M. (1982). The ecology of freedom. New
Dimensions Foundation.Commoner, B. (1990). Making peace with the planet.
Pantheon Books.
Foster, J. B., & Foster, J. B. (2009). The
ecological revolution: Making peace with the planet (p. 14). New York:
Monthly Review Press.
Jessop, B. (2002). Liberalism, neoliberalism, and
urban governance: A state–theoretical perspective. Antipode, 34(3),
452-472.
Lowe, C. (2013). Wild profusion: biodiversity
conservation in an Indonesian archipelago. Princeton University Press.
Magdoff, F., & Foster, J. B. (2011). What every
environmentalist needs to know about capitalism: A citizen’s guide to
capitalism and the environment. NYU Press.
Mongabay. (2014, Januari 26). Kearifan Suku Bajo
Menjaga Keletarian Peisir dan Laut. Diambil dari https://www.mongabay.co.id/2014/01/26/kearifan-suku-bajo-menjaga-kelestarian-pesisir-dan-laut/.
National Geographic Indonesia. (2018, Desember 10
). Kampung Bajo Mola Tempat Tinggal Suku Bajau Si Penjelajah Air Yang
Tangguh. Diambil dari https://nationalgeographic.grid.id/read/131253898/kampung-bajo-mola-tempat-tinggal-suku-bajau-si-penjelajah-air-yang-tangguh.
Sangaji, Anto. (2010). Imperialisme Ekologi. Harian
Indoprogress.
Subono, N. I. (2017). Dari adat ke politik:
transformasi gerakan sosial di Amerika Latin. Marjin Kiri.
VOA Indonesia. (2019, Januari 15). Film As Call From
The Sea Menyingkap Suku Bajau di Indonesia. Diambil dari https://www.voaindonesia.com/a/film-as-call-from-the-sea-menyingkap-suku-bajau-di-indonesia-terancam-punah/4742475.html.
Yashar, D. J. (1998). Contesting citizenship:
Indigenous movements and democracy in Latin America. Comparative politics,
23-42.
______________________________
Ditulis oleh: Ismantoro Dwi Yuwono & Sinergy Aditya
Mereka berdua adalah anggota Landless (Labor and Class Struggle Studies).
Ditulis oleh: Ismantoro Dwi Yuwono & Sinergy Aditya
Mereka berdua adalah anggota Landless (Labor and Class Struggle Studies).
0 komentar:
Posting Komentar