HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Purwokerto. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Purwokerto. Tampilkan semua postingan

Jumat, 05 Oktober 2018

Kisah Eks-Cakrabirawa Penjemput Jenderal Nasution Melawan Stigma PKI


Muhamad Ridlo - 05 Okt 2018, 04:01 WIB

Sulemi dan istri adalah sepasang orang tua yang bahagia. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Purwokerto - Mendadak Sulemi (77) mengangkat kedua kakinya ke meja. Mantan prajurit Cakrabirawa ini memperlihatkan kedua jempolnya yang bengkok. Kukunya bergelombang dan tumbuh tak normal.

Cacat di jempol kaki dan bekas luka di sekujur tubuhnya itu adalah kenangan yang didapatnya ketika meringkuk di tahanan, sebelum Mahkamah Luar Biasa atau Mahmilub. Ia ditangkap, tepatnya menyerahkan diri, lantaran dituduh terlibat G30S PKI.

Sepanjang waktu selama di tahanan, bekas anggota pasukan elite pengawal presiden ini dipaksa mengaku PKI. Namun, ia bersikukuh bahwa dia hanya menjalankan perintah komandan untuk menjemput Jenderal Nasution.
"Saya prajurit hanya menjalankan perintah atasan. Dalam umur saya, tidak pernah terlibat politik. Kalau perwira menengah, mayor ke atas mungkin," ucapnya bercerita saat diinterogasi Provost.
Tiap jawaban itu meluncur dari mulutnya, ia sadar bakal menghadapi siksaan. Pukulan, tendangan, dipukul popor bedil dan diseret adalah derita yang mesti dirasakan tiap kali diinterogasi.

Bekas prajurit Cakrabirawa dengan pangkat sersan satu ini dipaksa mengaku sebagai anggota PKI.

Tulang punggungnya patah. Belikatnya melesak remuk ke dada akibat pukulan benda keras dan tendangan bertubi-tubi.

Namun, di antara siksaan yang diterimanya, yang paling menyakitkan adalah ketika jempol kakinya ditindih dengan kaki meja. Lantas, meja itu diduduki oleh interogator.
"Kemudian kukunya dicopot dengan tang. Rasanya seperti disambar halilintar. Sakitnya minta ampun. Kedua bola mata saya seolah copot keluar," kata bekas prajurit Cakrabirawa ini. Dia tak pernah lupa peristiwa ini.

Terlibat Penjemputan Jenderal Nasution

Bekas prajurit Cakrabirawa, Sulemi. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Keadaan lantas membaik saat Palang Merah Internasional berkunjung ke tahanan. Saat itu, ia menyebut sudah tak lagi bisa berjalan. Saat buang air besar, ia mesti merayap seperti kadal.
"Daripada saya mengaku PKI, lebih baik mati," ucapnya tegas.
Akibat terlibat upaya penculikan Jenderal Nasution, ia divonis mati. Seluruh harapannya buyar. Ia mesti melepas istri dan anak semata wayangnya.

Namun, oleh pengacara militernya, ia dibujuk untuk mengajukan banding dan berhasil. Dari vonis mati hukumannya berubah menjadi seumur hidup.

Lantas ia dipindah ke Pamekasan, Madura, bersama 32 tahanan politik lainnya. Selama 15 tahun, ia menghabiskan waktu di balik jeruji penjara hingga akhirnya bebas pada Oktober 1980, bulan ini 38 tahun lalu.

Bebas dari penjara bagi Sulemi bukan berarti lepas dari penderitaan. Pulang ke Purbalingga, ia mendapati kakaknya yang seorang PNS di Dinas Pertanian dipecat. Padahal, sang kakak sama sekali tak tahu peristiwa yang terjadi di Jakarta pada Oktober 1965.

Keluarganya juga mesti menanggung perundungan, lantaran dianggap sebagai keluarga pengikut PKI. Penderitaan itu rupanya mesti ditanggung oleh keluarga besarnya.
"Seharusnya yang dihukum itu pimpinan. DI/TII Kartosuwiryo, yang dihukum juga para pimpinan," dia menuturkan.
Terseok-seok, ia mulai mencari pekerjaan. Pekerjaan didapat, tak lama kemudian, dipecat begitu bos mengetahui latar belakangnya sebagai bekas prajurit Cakrabirawa.

Secercah Harapan Usai Reformasi 1998


Sulemi dan istri di kediamannya di Purbalingga, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Di kala susah itu, Tuhan memberi secercah berkah dengan mengirimkan sosok Sri Murni, seorang janda. Mantan istri rekannya sendiri.

Berdua, mereka mulai mendayung biduk di tengah gelombang masa 80-an yang tak ramah. Untuk menyambung hidup, ia memutuskan untuk mematung.

Keahlian ini didapatnya ketika dipenjara di Pamekasan. Salah satu napi adalah seniman yang juga seorang dosen seni rupa. Rekannya ini masuk penjara karena menjadi anggota Lekra.

Sesekali, patungnya laku. Tetapi, di saat lain, tak ada yang mencarinya. Singkat kata, mematung tak bisa menjamin dapurnya tetap mengepul.

Lantas, ia dan istrinya sepakat untuk membuat warung makan. Tak mudah untuk hidup dari sektor jasa. Apalagi, usaha ini membuatnya mesti berinteraksi dengan bermacam konsumen.

Ada kalanya, pelanggan tak lagi kembali begitu mengetahui sang pemilik warung adalah bekas prajurit Cakrabirawa, yang pada masa Orde Baru selalu diembuskan berasosiasi dengan PKI. Tetapi, ia selalu berusaha berlapang dada.
"Saya juga beribadah sebagaimana biasa. Kebetulan rumah saya dekat dengan masjid,” tuturnya.
Ekonomi keluarga Sulemi berangsur pulih. Masalah muncul ketika anak-anaknya beranjak besar dan membutuhkan biaya pendidikan. Istrinya rela membuka kios daging di pasar, sendirian.

Kemudian, seperti mimpi, reformasi bergulir. Gus Dur menjadi presiden. Masa ini ditandai dengan pulihnya hak-hak bekas tahanan politik seperti Sulemi.

Perlahan tapi pasti, semuanya membaik. Bahkan, anak bungsunya menjadi aparat. Sesuatu yang amat haram pada masa Orde Baru.


Kamis, 15 Desember 2016

Bungkam Lama, Korban Peristiwa 1965 Kini Pertanyakan Status Tanah


15 Des 2016, 12:04 WIB | Aris Andrianto

Cilacap – Korban peristiwa 65 yang sejak 1965 tinggal di barak pengungsian meminta kejelasan status tanah yang selama ini mereka tempati. Mereka kini tersebar di sejumlah tempat di Cilacap barat.
"Kami selama ini tinggal di tanah dampungan atau tampungan semacam barak pengungsi karena tanah kami dirampas negara," kata Saudah, salah satu warga Dampungan di Desa Caruy Kecamatan Cipari Cilacap, Selasa, 13 Desember 2016.
Saudah mengatakan, sejak mendiami kampung tersebut pada 1965, tak pernah sekalipun mereka mendapat penjelasan dari pihak perkebunan maupun pemerintah soal status kepemilikan tanah. Mereka, kata Saudah, mengaku takut untuk menanyakan status tanahnya tersebut.
"Selama ini, warga dampungan masih dianggap sebagai eks anggota PKI atau keturunan PKI," kata dia.
Saudah menjelaskan, mereka pindah ke dampungan karena dipaksa petugas perkebunan dan tentara pada 1965. Sedangkan, status tanah dampungan itu tak jelas kepemilikannya.

Ketua Dewan Pembina Serikat Tani Mandiri Cilacap Petrus Sugeng mengatakan di Cilacap bagian barat, setidaknya ada enam kampung konsentrasi untuk penduduk yang diusir dari tanah garapannya. 
"Mereka tersebar di sejumlah kecamatan, yakni Kecamatan Cipari, Cimanggu, Majenang dan Kecamatan Wanareja," ujar dia.

Sugeng mengungkap, masing-masing keluarga yang diusir dari tanahnya mendapat tanah pengganti seluas 35 ubin atau setara dengan 492 meter persegi pekarangan. Berapapun luas tanah garapan warga, oleh tentara diganti dengan lahan seluas itu.

Sedangkan, kepemilikan tanah itu hingga kini tidak pernah jelas. Tetapi, kata Sugeng, permukiman Kampung Dampungan masuk ke peta Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan yang menggarap tanah tersebut. Antara lain, PT JA Watie, PTPN IX dan Perkebunan rumpun Sari Antan (RSA).

Sugeng menambahkan, dari enam Kampung Dampungan, hanya satu kampung yang sudah resmi menjadi hak milik warga, yakni Kampung Dampungan Mulyadadi atau yang sekarang disebut Dusun Cigatel.

Mereka mendapat legalitas tanah setelah ada pembebasan lahan pada 2002 hingga 2006 melalui perjuangan Kelompok Tani Korban Ciseru Cipari (Ketan Banci) yang dibentuk pada 1998. Kampung tersebut masuk dalam 25 hektare tanah yang diredistribusi di Cipari.

Source: Liputan6 

Kamis, 01 Oktober 2015

Situasi Purwokerto 1965: Versi kecil kisah sebuah kota


01/10/2015

Ilustrasi

Pencinta sejarah selalu ingin tahu bagaimana situasi kota kelahirannya pada saat terjadi momen besar yang meliputi seluruh negeri. Salah satunya, adalah di momen 1 Oktober 1965, yang didahului dengan peristiwa Gerakan 30 September/PKI (G30S/PKI) atau yang kini banyak hanya ditulis cukup hanya G30S (entah mengapa tanpa akronim PKI lagi — sebuah kontroversi penglihatan sejarah dari kacamata berbeda?).

Baiklah, di sini tidak akan dibahas kontroversi itu, tapi ingin melihat bagaimana situasi Purwokerto dan Banyumas pada umumnya pada tahun 1965? Sebuah tulisan menarik dimuat di tlatah.wordpress.com pada 15 April 2009, berjudul “VERSI KECIL DARI KISAH SEBUAH KOTA” – Purwokerto, Dulu dan Kini oleh Arizal Mutahir & Luthfi Makhasin.

Tulisan panjang itu memuat sejarah kota Purwokerto, semenjak Purwokerto masih kalah pamor dengan Sokaraja dan Ajibarang, hingga Purwokerto makin maju melampaui Sokaraja dan Ajibarang, yang salah satunya berkat pembangunan jalur rel kereta api Cirebon-Kroya.

Bagaimana situasi pada tahun 1965, yang tidak lepas dari percaturan politik sejak Pemilu 1955? Berikut ini kami cuplikan tulisan di bagian yang mengulas situasi 1955-1965 di Purwokerto untuk Anda.

“Berbeda dengan periode sebelum 1955 yang banyak diwarnai pembangunan infrastruktur fisik kota, periode antara 1955-1966 ditandai oleh pembangunan fisik yang relatif stagnan. Memburuknya situasi ekonomi makro dan fragmentasi ideologis yang semakin menajam pasca pemilu 1955 sedikit banyak turut menyumbang melambatnya gerak laju perkembangan kota Purwokerto.

Dalam situasi ekonomi dan politik yang tidak kondusif seperti ini, kerjasama erat kalangan Nasionalis-Soekarnois, kelompok Islam, dan militer untuk menggolkan gagasan pendirian sebuah universitas negeri (baca UNSOED) berperan penting dalam meletakkan landasan kuat bagi perkembangan kota Purwokerto selanjutnya. Pendirian universitas negeri di Purwokerto adalah buah dari kerjasama orang-orang seperti Judodibroto (Residen Banyumas/kalangan nasionalis), Kyai Abu Dardiri (Muhammadiyah) dan kalangan elit militer asal daerah Banyumas yang banyak mengontrol birokrasi di pusat pemerintahan saat itu.

Akan terbukti kemudian bahwa pendirian sebuah universitas negeri di Purwokerto pada tahun 1963 ini akan membawa dampak positif secara ekonomi dan sosial tidak saja bagi kota Purwokerto tapi Banyumas secara umum.

Berbeda dengan beberapa kota lain seperti Solo, Klaten, dan Kediri yang harus mengalami luka sejarah traumatik dalam pergolakan politik tahun 1965, situasi Purwokerto masa itu relatif tenang. Memang ada cerita lisan yang beredar tentang terjadinya mobilisasi massa besar-besaran berbagai kekuatan politik di kota Purwokerto menjelang Oktober 1965. Namun, tidak pernah tercatat adanya bentrokan fisik yang mengarah pada pertumpahan darah berskala besar. Jikapun ada jatuh korban di wilayah Banyumas, menurut beberapa sumber lisan, itu adalah kasus-kasus terisolasi dan dalam skala yang kecil.

Iskandar Tirtabrata, mantan Panglima Banser Banyumas pada masa itu pernah bersaksi bahwa kalangan NU di Banyumas tidak pernah terlibat dalam bentrok massal dengan kekuatan politik lain yang berseberangan dengannya. Menurutnya, komandan batalyon militer di Banyumas pada saat itu, Mayor Radja Inal Siregar (pernah menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara), relatif berhasil mendekati tokoh-tokoh masyarakat berpengaruh untuk bersama-sama meredam konflik terbuka.

Namun demikian, gejolak politik tahun 1965 tetap membawa dampak besar bagi perubahan konfigurasi sosial, ekonomi, dan politik di Purwokerto. Pengambil-alihan beberapa aset gedung yang sebelumnya dimiliki etnis Tionghoa di pusat kota dapat menjadi indikasi untuk ini. Sehingga tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa untuk kasus di Purwokerto, dampak utama dari huru-hara politik 1965 adalah goyahnya segregasi ekonomi atas dasar etnis yang dilembagakan sejak masa kolonial.”

Demikian gambaran umum Purwokerto saat terjadi gejolak di tahun 1965. Semoga Purwokerto dan Banyumas tetap aman, nyaman, menjadi hunian semua golongan.

(BNC/sumber: Tlatah)