HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Soemarsono. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Soemarsono. Tampilkan semua postingan

Jumat, 11 Januari 2019

In Memoriam Soemarsono: Tokoh Madiun 1948, Penggagas Hari Pahlawan


Wilson Obrigados* | 11 Januari 2019


Pagi 8 Januari 2019, saya menelepon Panti Soemarsono, menyampaikan rasa duka cita yang dalam ketika mendengar Soemarsono Wafat. Panti, anak dari Soemarsono, menceritakan kronologis wafatnya Soemarsono setelah dirawat dirumah sakit. “Bapak sudah pergi dengan tenang dik Wilson, dia pergi dikelilingi keluarga yang mencintainya.”

Perkenalan langsung saya dengan Soemarsono terjadi pada 2008. Sekitar Agustus 2008 saya mendapat telpon dari Joesoef Isak, pengelola penerbit Hasta Mitra agar mampir segera ke rumahnya di Kalibata. Setiba di rumahnya, tanpa basa-basi Joesoef Isak menyodorkan sebuah naskah fotokopian yang cukup tebal.
“Ini naskah tentang Soemarsono, tokoh Peristiwa Madiun 1948 dan 10 november di Surabaya. Coba, Bung tengok dan baca, lalu beri kata pengantar.”
Beberapa hari kemudian saya bertemu dengan Soemarsono bersama Mbak Panti disebuah restoran. Di depan saya duduklah seorang kakek berumur 87 tahun bernama Soemarsono. Inilah pertama kali saya bertemu langsung dengan tokoh yang sering saya baca di berbagai literatur tentang Peristiwa Madiun 1948.

Ketika berkenalan, saya sangat risih karena dia memanggil saya—yang sebetulnya lebih pantas jadi cucunya—dengan sebutan “Bung Wilson.” Sebelum berpisah, Soemarsono memegang tangan saya dengan erat sambil berkata:

“Saya senang berkenalan dengan anak muda seperti Bung. Bung bebas menulis juga mengkritik buku saya dalam pengantar.”
Pada November 2008, penerbit Hasta Mitra menerbitkan karya Soemarsono berjudul Revolusi Agustus; Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah yang saya kata pengantari. Pada 19 Desember, di tepat di hari eksekusi Amir Sjarifuddin, Revolusi Agustus diluncurkan di Gedung Juang 45. Di Surabaya, buku ini ditolak dan dibakar oleh kelompok yang menamakan dirinya Front Anti Komunis.

Soemarsono sendiri menetap di Australia bersama salah seorang anaknya. Bila sedang ke Jakarta dan menginap di rumah Mbak Panti, saya pasti menyambanginya. Saya bahkan membuat dokumentasi video kesaksian Soemarsono dalam Peristiwa Madiun 1948 dan 10 November 1945 di Surabaya. Puluhan jam video itu dirangkum oleh Jaringan Video Independen (Javin) menjadi film dokumenter 45 menit berjudul Biar Bersaudara Kembali.

Pengalaman Paling berkesan dengan beliau adalah mendampingi Soemarsono napak tilas ke Surabaya ke berbagai lokasi terjadinya peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, lalu dilanjutkan dengan napak tilas ke berbagai lokasi bersejarah menyangkut Peristiwa Madiun 1948.

Soemarsono lahir pada 26 Oktober 1921 di Kutoarjo, Jawa Tengah. Perjalanan politiknya semasa remaja diawali dengan keterlibatan di organisasi Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) yang dipimpin Amir Sjarifuddin, orang yang ia dianggapnya sebagai guru dan inspirator politiknya.

Soemarsono bertemu Amir Sjarifuddin dalam rapat-rapat Gerindo di Gang Kenari, Salemba, dekat Universitas Indonesia, dan di gereja di daerah Kwitang. Ketika Amir menjadi Menteri Pertahanan ditahun 1946 Soemarsono dipercaya menjadi sebagai staf pengajar Pendidikan Politik Tentara (Pepolit). Ketika Amir Sjarifuddin meringkuk di dalam penjara fasis Jepang, Soemarsono terlibat dalam gerakan PKI Ilegal dibawah pimpinan Widarta.

Kesaksian Soemarsono disekitar peristiwa proklamasi juga memberikan fakta sejarah yang baru dan belum pernah didengar sebelumnya. Menurut Soemarsono, Amir Sjarifuddin seharusnya menjadi proklamator kemerdekaan dan presiden pertama Republik Indonesia.

Dalam Revolusi Agustus, Soemarsono menuturkan pertemuan para pemuda revolusioner pada 14 Agustus 1945 di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, para tokoh pemuda perwakilan berbagai faksi sayap kiri yang kelak menjadi Murba, PSI, dan PKI itu mendiskusikan siapa yang akan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Nama yang pertama diusulkan adalah Amir Sjarifuddin, yang secara bulat diterima semua peserta.

Namun, tiba-tiba Sukarni mengingatkan bahwa Amir sedang ditahan di penjara Lowokwaru Malang dan nyawanya terancam dibunuh Jepang jika mereka tahu sang tawanan akan memproklamasikan kemerdekaan. Soebadio pun mengusulkan Sutan Sjahrir, yang juga anti-fasis Jepang. Namun Sjahrir menolak dan mengusulkan nama Sukarno-Hatta sebagai proklamator.



Peran Soeharto dalam Peristiwa Madiun 1948

Salah satu hal yang menarik dari buku Revolusi Agustus adalah pembahasan tentang peran Soeharto dalam Peristiwa Madiun. Peran Soeharto ini penting untuk didiskusikan karena dialah yang menyebabkan Peristiwa Madiun menjadi peristiwa yang berdarah-darah, alih-alih konflik yang bisa diselesaikan secara damai.

Menurut pengakuan Soemarsono, Jenderal Sudirman mengutus Soeharto ke Madiun untuk mengklarifikasi dan investigasi berita-berita di surat kabar Yogyakarta bahwa telah terjadi pertempuran yang memakan korban sesama anak bangsa. Selama di Madiun, Soeharto ditemani Soemarsono—yang saat itu menjabat gubernur militer Kerasidenan Madiun—meninjau seisi kota, termasuk penjara. Kepada “Dik Harto”, Soemarsono mengatakan “di sini tidak ada pemberontakan apa-apa”.
Di akhir kunjungan, Soemarsono meminta Soeharto membuat pernyataan tentang temuan-temuannya di Madiun untuk disampaikan kepada Jenderal Sudirman dan Sukarno. Soeharto lalu meminta Soemarsono yang membuatkan pernyataan: “[Dan] saya yang teken, saya tanggung jawab.” Pernyatan ini dimuat dalam surat kabar Suara Rakyat Madiun dan radio Gelora Pemuda. Amir Sjarifuddin juga menitipkan surat kepada Soeharto untuk disampaikan ke Sukarno yang isinya meminta Sukarno untuk turun tangan mendamaikan situasi.
Masalahnya, surat pernyataan Soeharto dan surat titipan Amir tak pernah sampai di tangan Sukarno dan Sudirman. Sementara Soeharto mengaku dicegat pasukan Siliwangi di Sragen, dua surat itu tak pernah jelas rimbanya. Seandainya sampai ke tangan Sukarno dan Sudirman, jalannya peristiwa Madiun mungkin akan berbeda. 


Berdamai dengan Masa Lalu

Peristiwa penting di penghujung hidupnya dalam sejarah sosok Soemarsono adalah menziarahi Madiun, kota yang tak pernah dikunjunginya lagi sejak 1948.

Sejak dibebaskan dari penjara Orde Baru pada 1978, Soemarsono ikut anaknya menetap di Australia dan tidak pernah mengunjungi Madiun. Sekitar Agustus 2009, Soemarsono ditemani bos Jawa Pos Dahlan Iskan melakukan perjalanan menuju Madiun. Secara khusus, Dahlan mengajak Soemarsono menuju Pesantren Sabilil Muttaqin di Takeran, Magetan, yang berbatasan dengan Madiun.

Pimpinan pesantren Sabilil Muttaqin ini bernama Imam Mursid Muttaqien “diculik” dan menghilang sampai sekarang. Menurut laporan Jawa Pos, pesantren ini adalah salah salah satu lokasi peristiwa 1948. Soemarsono bertemu dengan saksi sejarah dan keluarga korban di Kecamatan Take­ran, antara lain Rosyid dan Sutikno (warga Desa Kiri­ngan), serta Jamingan (warga Desa Takeran).

Kedatangan Soemarsono mengagetkan sejumlah orang pesantren. Setelah para saksi cerita tentang peristiwa 1948, barulah Dahlan memperkenalkan sosok Soemarsono.
"Pak Soemarsono ini adalah orang ketiga setelah Amir Sjarifudin dan Musso. Dia saat itu menjabat gubernur militer Madiun," ujar Dahlan. Salah seorang saksi dari pihak pesantren yang sudah sepuh tampak terkejut dan bergumam “Masih Hidup!”.
Setelah hampir dua jam menceritakan kisah pengalaman masing-masing disekitar peritiwa Madiun 1948 tanpa menghakimi satu sama lain, pihak keluarga korban dan Soemarsono sepakat untuk “berdamai tanpa melupakan”. Setelah itu Soemarsono menziarahi makam para pimpinan pesantren. Keluarga pimpinan pesantren mengundang makan siang dan acara “berdamai tanpa melupakan” itu akhirnya ditutup di meja makan.

Beberapa hari kemudian Dahlan Iskan dan Jawa Pos di Demo oleh FPI karena dianggap hendak “memutihkan” tokoh komunis peristiwa Madiun.

Soemarsono adalah sosok yang dibuang dari sejarah Pertempuran 10 November 1945. Namanya tak muncul dalam diorama di monumen 10 November di Surabaya. Soemarsono hilang tak berbekas.

“Peran saya dihilangkan karena saya komunis,” ujar Soemarsono suatu ketika. Namun dengan enteng Soemarsono menolak perannya ditonjolkan. Sebab, menurutnya pahlawan 10 November itu adalah rakyat Surabaya.

Tak banyak orang tahu bahwa Hari Pahlawan 10 November adalah usulan Soemarsono. Dalam rapat Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BPKRI) 4 Oktober 1946, usulan Soemarsono agar 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan diterima dengan bulat. Usulan tersebut lalu diusulkan kepada Presiden Sukarno dan diterima. Hari Pahlawan, yang pertama diperingati 10 November 1946 di Yogyakarta, masih diperingati sampai sekarang.

Tepat sudah judul buku Harsutejo: Soemarsono, Pemimpin Perlawanan Rakyat Surabaya 1945 yang dilupakan.


Kritik terhadap Partai

Setelah Peritiwa madiun 1948, partai menginstruksikan Soemarsono untuk mengasingkan diri ke Pematansiantar dan tidak boleh mengaku sebagai anggota PKI selama 14 tahun. Namun jarak tak membuatnya terasing dari urusan-urusan partai. Soemarsono adalah satu dari segelintir orang yang berani melontarkan kritik kepada partai dan ketua partai saat itu, D.N. Aidit.

Salah satu kritik utamanya adalah adalah personifikasi partai dengan D.N. Aidit. Personifikasi ini mengaburkan tindakan Aidit sebagai individu yang menjabat sebagai ketua partai dengan keputusan partai yang harus diambil dengan prinsip sentralisme demokrasi dan kolektivisme.

Harus diakui bahwa integrasi Aidit dengan PKI telah memberi pengaruh besar dalam pertumbuhan PKI menjadi partai komunis ketiga terbesar di dunia. Namun, di luar keberhasilannya yang menakjubkan, Aidit pun bisa membuat kekeliruan. Dalam bukunya, Komunisme Ala Aidit (2015), Peter Edman membuktikan bahwa integrasi Aidit dan partai telah mewarnai partai secara signifikan dan menciptakan apa yang ia sebut sebagai “PKI ala Aidit”.

Dengan kemampuannya sebagai organisator ulung, Aidit mampu menggalang PKI menjadi kekuatan politik signifikan dan disegani pada awal 1960-an. Menjadi pertanyaan mengapa ia mempertaruhkan nasib seluruh gerakan dalam satu “operasi penculikan semalam” di tengah pesatnya perkembangan partai. Seperti dikatakan Peter Edman, Aidit “juga bertanggung jawab dalam berbagai tindakan yang ditempuh oleh partai”.

Soemarsono menolak anggapan PKI bertanggung jawab sebagai organisasi dalam peristiwa Gestok 1965. Apa yang dilakukan Biro Chusus (BC) dan Aidit tidak berdasarkan keputusan organisasi dan tidak dibicarakan dalam mekanisme resmi partai. Tindakan Aidit dan BC bukan tindakan partai. Soemarsono mengatakan, “ Aidit tidak bisa disamakan dengan PKI, karena Aidit itu orang dan PKI itu organisasi”.

Mempersonifikasikan pemimpin dengan partai, menurut Soemarsono, justru menunjukkan kelemahan partai dalam bidang ideologi dan masih berkembangnya sisa feodalisme, langgam politik borjuasi, dan kultus individu. Setelah jadi pemimpin partai, demikian Soemarsono, Aidit “senang kultus dan dikultuskan orang”. Akibat pengkultusan tersebut langgam demokrasi di partai tidak berkembang dan kritik otokritik untuk mencegah partai dari kekeliruan dan kesalahan pun mandeg.

Kader segan atau bahkan takut menyampaikan kritik atau berbeda pendapat. Perbedaan pendapat dalam partai berpotensi dicap sebagai tindakan membangun faksionalisme. Aidit, sebagaimana yang dilihat Soemarsono, juga mulai menganggap kritik sebagai sebagai tindakan ‘melawan’. Soemarsono pun pernah dimarahi Aidit karena kritiknya. 
“Kalau kau mau melawan saya, baca dulu buku saya, pelajari dulu, sekolah dulu. Nanti kalau sudah kuasai itu, lawan aku,” ucap Aidit kepadanya.
Soemarsono juga mempertegas fakta bahwa poin-poin kritik atas PKI dalam bidang organisasi politik dan ideologi seperti yang tertera dalam Oto Kritik Polit Biro CC PKI (OKPB) dibuat oleh Sudisman pasca Gestok 1965 di Indonesia, bukan dibuat di luar negeri seperti isu yang sempat berkembang. Beberapa gagasan dalam dokumen otokritik diakui Soemarsono adalah kritik yang pernah disampaikan kepada Aidit tiga bulan sebelum terjadi Gestok, namun Sudisman menyimpulkannya sendiri setelah Gestok terjadi.


Harapan Soemarsono

Wafatnya Soemarsono dalam usia yang sangat tua telah memberikan waktu dan kesempatan kepada sejarah untuk menuliskan beragam kebenaran dari sebuah peristiwa.

Dari sosok Soemarsono yang luar biasa adalah harapan dan optimismenya bahwa kekuatan rakyat akan menemukan jalan dan alatnya untuk pembebasan.

Dalam buku Revolusi Agustus dia menyampaikan tawaran strategi untuk membangun kembali kekuatan rakyat. Soemarsono menganjurkan untuk membangun sebuah pondasi politik baru yang lebih mengutamakan ikatan ideologis ketimbang ikatan organisatoris dengan metode “Dari Titik Menjadi Bidang”.

Dengan metode ini, ia ingin menunjukkan bahwa perkembangan kualitatif dan kuantitatif sebuah gerakan harus dibangun dari individu-individu yang sadar ideologi. Individu-individu ini lalu ditempa melalui keterlibatan langsung dalam perjuangan kongkret rakyat di sektor buruh, tani, kaum miskin, pemuda, mahasiswa, dan sektor tertindas lainnya.

Pengaruh dan kepemimpinan ideologis kaum progresif dan pengalaman perlawanan bersama sektor-sektor rakyat tertindas ini nantinya akan menuju pada peningkatan kualitas alat perjuangan dalam upaya pembentukan sebuah partai untuk memimpin perjuangan massa merebut kedaulatan rakyat.

Entah kapan harapan itu bisa diwujudkan. Hanya Tuhan yang tahu.

Selamat jalan komandante Soemarsono, selamat istirahat panjang dalam damai.

Wilson Obrigados, Alumnus Jurusan Sejarah UI dan Aktif di Perkumpulan Praxis

Source: Tirto.Id 

Selasa, 08 Januari 2019

Soemarsono Wafat, Saksi Sejarah Pertempuran Surabaya & PKI Madiun

Oleh: Iswara N Raditya - 8 Januari 2019


Soemarsono. FOTO/Goodreads

Soemarsono berperan besar dalam sejumlah peristiwa bersejarah di Indonesia, namun namanya seolah dilupakan.
Soemarsono, saksi sejarah dalam Pertempuran Surabaya 10 November 1945 dan peristiwa PKI Madiun 1948, dikabarkan meninggal dunia. Soemarsono wafat pada Selasa (8/1/2019) di Sidney, Australia, dalam usia 97 tahun.

Lahir di Kutoarjo, Jawa Tengah, tanggal 22 September 1921, nama Soemarsono seolah terlupakan. Padahal, ia berandil besar dalam pertempuran 10 November 1945 yang kemudian diabadikan menjadi Hari Pahlawan. Namanya juga sering disebut-sebut dalam Peristiwa PKI Madiun 1948.

Dahlan Iskan pernah menulis artikel panjang tentang Soemarsono, dimuat di harian Jawa Pos secara bersambung pada Agustus 2009. Dahlan sebelumnya berhasil menemui Soemarsono yang sedang berada di Jakarta untuk menengok anaknya, sebelum pulang ke Australia.

“Hampir lima jam saya bicara dengan Soemarsono. Tentu, saya menanyakan banyak hal. Mulai Pertempuran Surabaya sampai ke soal Peristiwa Madiun yang menewaskan banyak sekali keluarga saya,” tulis Dahlan.
Seperti yang dipaparkan Dahlan, Soemarsono memang menjadi salah satu tokoh utama dalam Peristiwa PKI Madiun 1948 yang menggegerkan tersebut. Inilah yang nantinya memunculkan kontroversi tentang tokoh saksi sejarah ini.

Sebelumnya, tidak lama setelah Indonesia merdeka, Soemarsono turut bertempur bersama arek-arek Surabaya pada November 1945. Namun, kiprahnya seolah tenggelam, berbeda dengan Bung Tomo yang kemudian ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah RI.

Soemarsono, sebut Dahlan, masih ingat secara rinci tentang pertempuran itu. Namun, ia enggan menonjolkan diri. 
”Saya tidak ingin ada orang yang dipahlawankan dalam pertempuran Surabaya itu. Pahlawan sebenarnya adalah rakyat,” ujarnya kepada Dahlan. 
Semasa era Orde Baru di bawah rezim Soeharto, Soemarsono pernah dipenjara dalam waktu yang cukup lama. Setelah bebas, ia memilih pindah ke Sidney dan menjadi warga negara Australia hingga akhir hayatnya.

Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Iswara N Raditya



Soemarsono pernah dibui Orba, kemudian jadi warga negara Australia.

Sumber: Tirto.Id 

Minggu, 08 November 2015

Orang Kiri di Perang Surabaya


Minggu 08 November 2015


"Bung, kenapa pertempuran dihentikan. Inggris sebentar lagi akan kita kalahkan."
“Bau malapetaka sudah tercium di udara," Letnan Kolonel AJF Doulton menulis pengalamannya dalam perang di Surabaya pada 1945 dalam bukunya, The Fighting Cock: Being the History of the Twenty-third Indian Division, 1942-1947.
Doulton, perwira Inggris di Divisi India Ke-23, menggambarkan suasana Kota Surabaya pada 28 Oktober 1945 pagi menjelang habisnya batas waktu 48 jam yang diberikan Panglima Sekutu di Jakarta, Mayor Jenderal HC Hawthorn, agar pihak Indonesia menyerahkan senjata.

Hampir tengah hari, para prajurit India yang tergabung dalam Brigade Infanteri Ke-49 bergerak ke seluruh fasilitas penting. Lapangan udara Morokrembangan, kantor telepon dan pusat telegraf, serta Rumah Sakit Darmo mereka duduki. Ben Anderson dalam buku Revoloesi Pemoeda menuliskan, sekitar pukul 11, Panglima Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Jawa Timur drg Moestopo datang ke markas Pemuda Republik Indonesia (PRI) memberitahukan Inggris sudah siap melucuti senjata. Moestopo menarik pasukannya ke perbatasan agar tak dilucuti.

Sementara itu, tulis Ben Anderson, Ketua PRI Soemarsono memilih pergi ke pemancar radio.
"Lebih baik kita mati berkalang tanah daripada kehormatan dan kemerdekaan RI diinjak-injak. Merdeka atau mati!" Soemarsono membacakan pidato singkat untuk membakar semangat perlawanan rakyat pada pukul 17.00 WIB.
Soemarsono saat itu dikenal sebagai salah satu tokoh pemuda yang disegani. Dia merupakan Ketua PRI, laskar pemuda pertama dan terbesar di Surabaya.
"Anggotanya kira-kira 20 ribu pemuda, jauh lebih besar daripada Tentara Keamanan Rakyat," ujar Harsono Sutedjo atau Harsutejo, penulis buku biografi Soemarsono: Pemimpin Perlawanan Rakyat Surabaya yang Dilupakan.
Tak hanya kuantitas personel, perlengkapan dan persenjataan laskar PRI terbilang lengkap. Mereka menguasai senjata-senjata yang dirampas dari tentara Jepang. Bahkan, konon, kekuatan laskar PRI hampir menyaingi Tentara Keamanan Rakyat. Hanya, para anggotanya lemah dalam disiplin kemiliteran.

Letnan Kolonel A.T. Scott dari 9th Brigade, 5th Indian Division, mempelajari peta Surabaya pada 1945
Foto : Imperial War Museum

“Lebih baik kita mati berkalang tanah daripada kehormatan dan kemerdekaan RI diinjak-injak”
Soemarsono, Ketua Pemuda Republik Indonesia

Ketika hari beranjak malam, pertempuran mulai menjalar ke seluruh kota. Pasukan Inggris kira-kira berjumlah 6.000 orang dengan persenjataan lengkap dan rata-rata terlatih dalam pertempuran selama Perang Dunia II. Namun kekuatan mereka tersebar di ujung kota sebelah utara, yakni pelabuhan dan kamp-kamp Recovery of Allied Prisoners of War and Internees di bagian selatan kota.

Kekuatan bersenjata Indonesia diperkirakan sekitar 30 ribu orang, terdiri atas 20 ribu anggota PRI dan sisanya anggota laskar bersenjata lainnya dan pasukan TKR. Terdapat juga hampir 100 ribu pemuda dan rakyat dengan berbagai macam senjata tajam, mulai bambu runcing, tombak, hingga golok. Semua pos tentara Inggris dikepung. Letkol Doulton menulis,
"Sampai tengah malam pertempuran tak pernah berhenti. Orang Indonesia tidak peduli dengan kematian. Bila satu tewas, lainnya terus maju, setengah gila melihat darah."
Pihak Inggris melihat tak ada yang mampu mengendalikan nafsu amarah sebesar itu. Satu-satunya harapan mereka agar pasukan Brigade Ke-49 tak tertumpas habis hanya pada pengaruh Presiden Sukarno. Pemimpin pasukan Sekutu mendesak Bung Karno dan Bung Hatta merundingkan gencatan senjata di Surabaya.

Pagi-pagi sekali, Tukimin, pembantu pribadi Bung Karno, terpaksa membangunkan Presiden. Tukimin berbisik di telinga Bung Karno, ada persoalan yang amat genting. Ada utusan dari tentara Sekutu yang datang mengabarkan bahwa panglimanya ingin berbicara dengan Presiden Sukarno saat itu juga.
“Setelah saya bangun, selama tiga puluh menit saya terpaksa bicara lewat telepon,” Bung Karno menuturkan kepada Cindy Adams dalam biografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Dia tak bercerita kepada keluarganya apa isi percakapan dengan Jenderal Hawthorn.
“Saya hanya bilang besok pagi akan terbang ke Surabaya.”
Bung Karno terbang ke Surabaya bersama Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin. Pesawat yang mengangkut mereka mendarat di Lapangan Udara Morokrembangan. Sehari kemudian, pada 30 Oktober 1945 pagi, Jenderal Hawthorn menyusul tiba di Surabaya.

Soemarsono saat itu memimpin laskar PRI di wilayah Wonokromo. Menurut Harsutejo, Soemarsono mengaku sangat kaget mendengar berita kedatangan Bung Karno.
"Soemarsono disertai beberapa pengawalnya lantas mencegat rombongan Bung Karno di Ngagel, yang tak begitu jauh dari Wonokromo," ujar Harsutejo.
Pasukan Sekutu menyingkirkan barikade yang dipasang laskar rakyat di Surabaya pada 1945
Foto : Imperial War Museum

Soemarsono berdiri di tengah jalan menghentikan konvoi Bung Karno. Ia protes keras kepada Bung Karno.
"Bung, kenapa pertempuran dihentikan. Inggris sebentar lagi akan kita kalahkan," ujar Soemarsono dengan emosional.
Bung Karno diam, kemudian menggamit Amir Sjarifuddin yang berada dalam mobil yang sama. Amir keluar dari mobil, lalu merangkul pundak Soemarsono.
"Hal ini sudah kita diskusikan dengan kawan-kawan di Jakarta," bisik Amir kepadanya.
Soemarsono tak menyangka Amir, yang dihormatinya, ikut dalam rombongan tersebut.
"Mendengar kata-kata itu, saya kaget dan lemas," ujar Soemarsono seperti yang diungkapkannya kepada Harsutejo. "We have to win the war, not the battle," kata Amir lagi.
Soemarsono tak bisa mengelak ketika Amir mengajaknya masuk ke mobil untuk ikut berkeliling.
"Bung Karno sepertinya sengaja mengajak Amir karena tahu bahwa Soemarsono, yang memimpin pasukan laskar terbesar di Surabaya, adalah kader Amir Sjarifuddin," ujar Harsutejo.
Dalam perundingan di kantor Gubernur Soerjo, selain Bung Karno, Hatta, dan Amir, hadir tokoh-tokoh perlawanan di Surabaya, seperti Ketua Pemuda Republik Indonesia Soemarsono, Sutomo alias Bung Tomo, Roeslan Abdulgani, Des Alwi, serta para komandan TKR, seperti Soengkono, Atmadji, dan Mohammad Mangoendiprodjo.

Pada hari itu disepakati gencatan senjata tentara Sekutu dengan pemerintah Indonesia. Tapi gencatan senjata itu hanya berumur sangat pendek, kurang-lebih setengah hari. Saat berkeliling Kota Surabaya bersama pemimpin-pemimpin perlawanan rakyat, Jenderal Mallaby terjebak dalam baku tembak di depan gedung Internatio dan tewas tertembak. Kematian Mallaby membuat Panglima Sekutu marah besar.

Mereka menuduh prajurit Indonesia sebagai pembunuhnya. Pembalasan Sekutu atas kematian Mallaby inilah yang memicu perang besar di Surabaya selama tiga pekan, dimulai pukul 06.00 pada 10 November 1945.

Sehari sebelum pecahnya pertempuran 10 November, Soemarsono ada di Yogyakarta untuk mengikuti Kongres Pemuda IV. Menyimak kabar genting di Surabaya, dia buru-buru pulang kembali ke Surabaya. Pada pagi-pagi buta, sebelum mesin-mesin perang Sekutu mulai membombardir Kota Surabaya, Soemarsono tiba di kota itu. Dia segera bergegas ke markas PRI di Jalan Pacarkeling.

Relawan Palang Merah di Surabaya pada 1945
Foto : Imperial War Museum

Ditaksir, lebih dari 6.000 prajurit dan anggota laskar Indonesia tewas dalam Perang Surabaya. Sedangkan dari pihak Sekutu ada sekitar 600 korban jiwa.

* * *

Pada awal September 2009, puluhan orang dari sejumlah ormas yang tergabung dalam Front Anti Komunis menggeruduk kantor Grup Jawa Pos di Surabaya. Mereka datang untuk menyampaikan protes. Semua bermula dari tiga tulisan Dahlan Iskan, pemimpin Jawa Pos, soal pertemuannya dengan Soemarsono. Mereka menilai Dahlan ‘mempromosikan’ jasa-jasa Soemarsono yang seorang komunis.

Soemarsono lahir di Kutoarjo, Jawa Tengah, pada 26 Oktober 1921. Setelah menyelesaikan Schakel School, ia masuk ke berbagai kursus kejuruan dan akhirnya bekerja di perusahaan Belanda. Pada zaman Jepang, ayah enam anak ini bekerja di Sendenbu (Departemen Penerangan dan Propaganda Jepang) bersama Sukarni dan Adam Malik.

Sukarni pulalah yang mengirimnya ke Surabaya pada Agustus 1944 untuk membantu perjuangan menyongsong proklamasi. Soemarsono kala itu bekerja pada perusahaan minyak Belanda, Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM). Belakangan ia bergabung dengan gerakan bawah tanah di Surabaya melalui jaringan aktivis komunis Widarta.

Sebelum Perang Surabaya 1945, Soemarsono memang sudah dekat dengan kelompok kiri. Soemarsono kenal tokoh komunis Amir Sjarifuddin sejak 1941. Pelukis Sudjojono-lah yang mempertemukan keduanya di Gedung Permufakatan di Gang Kenari, Jakarta. Kala itu, tempat tersebut merupakan salah satu pusat pergerakan. Tedjabayu, putra Sudjojono, membenarkan peristiwa tersebut. Amir dan Sudjojono saat itu aktif di organisasi pemuda Gerakan Rakyat Indonesia atau Gerindo.
"Diperkenalkan dalam satu pertemuan Gerindo. Pak Marsono memang dekat dengan organisasi kiri," ujar Tedjobayu kepada detikX.
Tentara Gurkha di Surabaya pada 1945
Foto : Imperial War Museum

Selain kedekatan secara ideologi, menurut Harsutejo, Soemarsono sering bertemu dengan Amir Sjarifuddin di Gereja Kernolong, Kwitang, Jakarta. Amir sering membawakan khotbah tentang humanisme kekristenan. Soemarsono mempraktikkan ajaran itu dengan terjun ke gerakan politik untuk kemerdekaan.
"Dari situ Soemarsono menjadi dekat dengan Amir dan menjadi salah seorang kadernya," ujar Harsutejo.
Saat geger komunis di Madiun pada September1948, Soemarsono adalah salah satu tokoh kunci. Dia menjadi Gubernur Militer dalam Front Nasional yang dibentuk oleh Partai Komunis Indonesia di Madiun. Amir Sjarifuddin dihukum mati dan arsitek utama peristiwa Madiun, Musso, tewas tertembak. Soemarsono berhasil ‘selamat’ dan ‘menyepi’ di Pematang Siantar, Sumatera Utara.

Setelah peristiwa 30 September 1965, Soemarsono ditangkap tentara dan dijebloskan ke penjara. Lepas dari penjara, dia ‘mengungsi’ ke Australia dan menjadi warga Negeri Kanguru.

Reporter/Redaktur: Pasti Liberti
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Fuad hasim

Sumber: Detik.Com 

Selasa, 11 Agustus 2009

Soemarsono, Tokoh Kunci dalam Pertempuran Surabaya (3-Habis)


Dahlan Iskan | Selasa, 11 Agustus 2009
  • Memangnya Dia Bisa Merobek Bendera Itu Sendirian


Setelah hampir 25 tahun tinggal di Sydney, Australia,  Soemarsono sempat ke Surabaya. Tujuh tahun yang lalu. Yakni ketika dia ke Jakarta untuk menengok anak-anaknya. Kali ini dia ke Indonesia sebagai orang asing. Ia ingin tahu bagaimana keadaan Kota Surabaya. Kota yang pada 1945 melakukan pertempuran besar dan dialah salah seorang tokoh utamanya. Dia juga sempat ke Jalan Peneleh untuk melihat rumahnya yang bersejarah itu.

Rumah itu, tentu sudah berubah. Penghuninya sudah tidak dia kenal lagi. 
“Tapi pemilik rumah yang sekarang sangat baik. Saya diperbolehkan masuk. Dia juga merasa bangga bahwa rumahnya itu ternyata rumah yang bersejarah,” ujar Soemarsono menceritakan perjalanannya ke Surabaya itu.

Karena memang tidak ingin menonjolkan diri, waktu ke Surabaya itu Soemarsono tidak ingin menemui tokoh siapa pun. Dia hanya ingin mengenang pengalaman pribadinya sebagai orang biasa saat ini. Bahkan sebagai orang asing pula.

Dia ingin konsekuen pada pendirian lamanya agar jangan sampai ada satu atau dua orang saja yang mengklaim dirinya sebagai yang paling berjasa dalam pertempuran Surabaya yang bersejarah itu.

Karena itu, Soemarsono juga gelo ketika mengetahui ada orang yang ngotot minta diakui sebagai yang paling berjasa dalam peristiwa penyobekan bendera tiga warna di atas Hotel Oranye (kini Hotel Majapahit di Jalan Tunjungan) itu. Yakni peristiwa kemarahan pemuda Surabaya ketika melihat bendera Belanda (merah-putih-biru) berkibar kembali di tiang bendera di atas atap lobby hotel tersebut.
“Memangnya dia bisa merobek bendara itu sendirian. Kalau tidak ada orang-orang yang mau pundaknya dia injak, apakah dia bisa mencapai bendera itu” Kalau tidak ada orang yang ramai-ramai naik ke gedung itu, apakah dia bisa naik” Kalau tidak ada puluhan pemuda yang memenuhi halaman hotel itu sambil berteriak-teriak memaki Belanda, apakah mereka berani naik” Semua orang itu, ratusan orang itu, semua berjasa,” kata Soemarsono.
Hari itu, 19 September 1945. Beberapa pemuda datang ke rumahnya di Jalan Peneleh. Rumah Soemarsono memang jadi pusat kegiatan pemuda Surabaya. Dia sudah jadi ketua Pemuda Minyak Surabaya, sebelum akhirnya jadi ketua Pemuda Republik Indonesia –organisasi yang menghimpun perkumpulan-perkumpulan pemuda di kota ini. Saat itu Surabaya memang menjadi kota minyak sehingga banyak buruh minyak yang jadi aktivis pergerakan. Para pemuda umumnya dari golongan kiri karena Soemarsono adalah tokoh PKI ilegal –sejak pemberontakan 1926 PKI dilarang hidup di Indonesia dan kelak baru hidup lagi pada 1950.

Tiba di rumah Soemarsono para pemuda itu melaporkan adanya bendera Belanda yang berkibar kembali di atas hotel tersebut. Rombongan pemuda yang ke rumah Soemarsono itu berjumlah sekitar 10 orang. Mereka menuntut agar Soemarsono mau bertindak. 
“Waktu itu di rumah saya juga lagi ada beberapa tokoh pemuda seperti Roeslan Widjajasastra,”  kata Soemarsono mengenang.
Maka, dengan modal sekitar 10 orang itu Soemarsono mengajak mereka berjalan ke arah hotel untuk menurunkan bendera itu. Sepanjang perjalanana dari Peneleh ke Jalan Tunjungan mereka terus berteriak. Intinya mengajak orang-orang yang mereka lewati untuk bergabung bersama-sama ke Jalan Tunjungan. Tukang-tukang becak pun ikut. Kian lama jumlah yang bergabung kian banyak.  Sampai di depan hotel jumlahnya sudah ratusan orang.

Menurut Soemarsono, mereka langsung masuk ke halaman hotel. Mereka melihat ada seorang petugas hotel yang berseragam sersan. Dia adalah tentara Inggris yang ditugaskan menjaga hotel. Kepada si sersan mereka berteriak-teriak sambil menudingkan tangan ke atas atap, ke arah bendera berkibar. Maksudnya agar si sersan segera menurunkan bendera tersebut.
“Turunkan bendera itu! Turunkan bendera itu….,” teriak mereka seperti ditirukan Soemarsono.


Si sersan tidak mau beranjak. 
“Dia hanya melongo saja. Rupanya dia tidak mengerti bahasa Indonesia sehingga tidak paham apa arti teriakan turunkan bendera itu…,” ujar Soemarsono.
Sesaat kemudian, dari dalam hotel muncullah seorang Belanda yang badannya seperti petinju. Besar dan kokoh. Belakangan diketahui bahwa dia adalah W.V.Ch. Ploegman, orang yang oleh Belanda ditugaskan kembali sebagai wali kota Surabaya. Sebagai wali kota sebenarnya dia sudah tidak berdaya. Surabaya sudah dikuasai pergerakan rakyat. Sambil keluar dari hotel, Ploegman mengayun-ayunkan tongkat kayu besar berwarna hitam. Maksudnya menakut-nakuti massa.

Melihat itu para pemuda mundur beberapa puluh meter. Mereka tertegun ketika tiba-tiba ada orang yang berani menghadapi dengan senjata yang diayun-ayunkan. Tapi, tidak lama para pemuda itu tertegun. Dalam suasana diam yang agak lama itu tiba-tiba mulai ada satu orang di bagian belakang yang berani berteriak ke arah Ploegman.
“Turunkan bendera itu,” teriaknya dari belakang. 
Pemuda yang lain juga mulai ada yang berani mengikuti teriakan itu. Kian lama teriakan tersebut semakin ramai. Ribut. Gaduh. Kian berani. Bahkan ada yang mulai berani melempar batu dan pecahan genteng ke arah Ploegman. Kian lama semakin banyak batu yang dilempar. Keberanian kolektif mereka meningkat. Mereka menyerbu lagi ke depan hotel.

Tiba-tiba, Ploegman berlumuran darah. Wali kota Surabaya itu terkapar. Perutnya ditusuk senjata tajam entah oleh siapa. Mungkin oleh seorang tukang becak yang bisa saja sebenarnya dia tidak tahu siapa Ploegman sebenarnya –kecuali bahwa orang itu hanyalah orang yang menyebalkan.

Berhasil merobohkan Ploegman, perasaan menang sudah menguasai mereka. Keberanian terus meningkat. Ada yang mencari tangga dan memasangnya di depan hotel. Puluhan orang mulai menaiki tangga itu menuju atap hotel. Kian lama kian banyak yang naik. Dari atas atap mereka naik lagi dan naik lagi. 
Menaiki tiang bendera dengan cara menginjak pundak temannya. Salah seorang di antara mereka lalu merobek bagian yang berwarna biru dan menyisakan warna merah dan putih.

Banyak bagian dari kisah itu yang juga baru bagi saya. Saya beruntung sempat bertemu tokoh yang merasa tidak jadi tokoh ini. Apalagi Soemarsono masih bisa menceritakan apa saja peranannya sebelum kemerdekaan dan setelah proklamasi kemerdekaan. Juga bagaimana dia  kemudian memimpin peristiwa Madiun 1948 bersama Musso dan Amir Syarifuddin –yang antara lain membuat banyak keluarga saya dibunuh PKI.

Dalam perbincangan selama lebih dari empat jam itu saya juga bisa bertanya banyak hal mengenai bagaimana dia melawan pemberontak Simbolon di Sumut. 

Lalu, pada 1965 ditangkap dan dipenjarakan selama 9 tahun karena dituduh terlibat G 30 S/PKI. Juga, bagaimana dia memutuskan untuk pindah ke Australia dan menjadi warga negara asing. Saya akan menuliskannya dalam serial yang lain beberapa hari mendatang. (habis).

Catatan: Dahlan Iskan 

Senin, 10 Agustus 2009

Soemarsono, Tokoh Kunci dalam Pertempuran Surabaya (2)


Dahlan Iskan | Senin, 10 Agustus 2009
  • Rangkulan-Bisikan Amir Syarifuddin Bikin Lemas


Saya juga baru tahu dari Soemarsono tentang latar belakang sebenarnya mengapa pertempuran Surabaya dulu terjadi. Selama ini saya hanya tahu bahwa hari itu tentara Sekutu mendarat kembali di Surabaya, lalu disangka bahwa Belanda akan menjajah kembali Indonesia. Pemuda Surabaya tidak senang atas kenyataan itu, lalu terjadilah pertempuran dahsyat yang membuat Surabaya menjadi Kota Pahlawan itu.

Ternyata tentara Sekutu itu mendarat di Surabaya dengan cara baik-baik. Menurut Soemarsono -tokoh utama pertempuran Surabaya yang ternyata masih hidup dan berusia 88 tahun ini-, tentara Sekutu waktu itu mendarat dengan izin resmi dari pemerintah Indonesia. Juga diterima secara baik-baik oleh kekuatan pemuda Surabaya, yang di dalamnya Soemarsono menjadi ketua.

Sebelum tentara Sekutu mendarat, tiga utusan dari pemerintah pusat datang menemui Soemarsono. Salah seorang di antara mereka adalah pejabat Menteri Keamanan Salyo Hadikusumo (menteri keamanan yang sebenarnya adalah Suprijadi. Namun, sejak sebelum diangkat pun tidak ada yang tahu di mana pejuang dari Blitar itu berada). Ada juga Menteri Negara Sartono. Utusan Jakarta ini memberi tahu bahwa dalam waktu dekat tentara Sekutu akan mendarat di Surabaya.

Tujuan pendaratan itu baik: mereka akan mengurus tahanan-tahanan perang di masa lalu yang masih ada di penjara-penjara Surabaya. Yakni, ketika terjadi perang antara Jepang dan tentara Sekutu dengan kekalahan telak di pihak Jepang di seluruh Asia. Urusan ini, menurut ilmu hubungan internasional, disebut RAPWI -Repatriation of Allied Prisoners of War and Internees.

Maka, ketika tentara Sekutu mendarat, para pemuda Surabaya pun membantu. Mereka menyiapkan di mana saja Komisi Pengurusan Tawanan Perang Sekutu itu akan bermarkas. Salah satunya di Gedung Internatio -bangunan dua lantai yang kini berada di bagian barat Jembatan Merah Plaza itu. Di sinilah Brigjen Mallaby, komandan komisi itu, berkantor.

Menurut Soemarsono, kecurigaan mulai muncul setelah tiga hari tentara Sekutu berada di Surabaya. Lalu mulailah muncul rumor dan desas-desus: jangan-jangan Sekutu juga akan melucuti senjata yang secara luas kini berada di tangan mereka. Sebab, senjata-senjata itu dulu memang milik Jepang atau Belanda. Baik yang didapat dengan cara direbut maupun hasil dari tentara Sekutu yang ditembak. Dalam tiga hari itu, berita dari mulut ke mulut kian luas: kok tentara Sekutu berada di sudut-sudut Surabaya yang strategis.

Berdasarkan kecurigaan itulah pemuda Surabaya membuat keputusan untuk mendahului daripada didahului. Kekuatan pemuda Surabaya mulai menyerang pusat-pusat konsentrasi tentara Sekutu. Terjadilah perang selama tiga hari. Yakni 28, 29, dan 30 Oktober 1945.
”Perang ini perang besar. Ini perang melawan tentara Sekutu yang gagah berani, yang persenjataannya modern, yang baru saja memenangkan perang besar di seluruh Asia Timur/Tenggara,” ujar Soemarsono.
Dalam pertempuran itu, menurut Soemarsono, kekuatan pemuda Surabaya di atas angin. 
”Saya yakin, dalam beberapa jam lagi kemenangan mutlak sudah bisa didapat,” ujar Soemarsono mengenang peristiwa 64 tahun lalu itu.
Sekutu sudah kewalahan. Buktinya, Mallaby menghubungi markas pusat Sekutu se-Asia Tenggara di Singapura. Mallaby minta atasannya itu mengusahakan genjatan senjata. 
”Karena itu, kami sempat jengkel ketika Bung Karno minta pertempuran dihentikan,” ujar Soemarsono yang dalam usia 88 tahun ini semangatnya masih luar biasa.
Setelah menerima laporan dari Mallaby, komandan tertinggi tentara Sekutu di Singapura, D.C. Hawthorn, langsung terbang ke Jakarta. Yakni, untuk menemui Bung Karno dan Bung Hatta. Hawthorn minta diberlakukan gencatan senjata. 
Waktu itu Bung Karno belum genap tiga bulan menjadi presiden pertama Indonesia. Soemarsono tidak tahu apa kompensasi yang diberikan tentara Sekutu untuk tawaran gencatan senjata di Surabaya ini. Yang jelas, hari itu juga Bung Karno dan Bung Hatta langsung terbang ke Surabaya dengan pesawat dari Singapura tersebut.

Tiba di Surabaya Bung Karno langsung melakukan konvoi keliling kota. Bung Karno menyerukan agar tembak-menembak dihentikan. Bung Karno keliling kota seperti itu karena tidak tahu bagaimana cara mencari para pimpinan pemuda Surabaya. Mereka semua sedang berada di front yang berbeda-beda. Soemarsono, misalnya, lagi memimpin pasukan di Wonokromo, bagian selatan Kota Surabaya.

Soemarsono kaget ketika tiba-tiba mendengar seruan Bung Karno itu. 
”Saya nyumpah-nyumpah dan marah-marah. Bagaimana ini? Perang sudah hampir menang, kok disuruh berhenti,” kisahnya.
Dari siaran itu Soemarsono juga tahu bahwa mobil konvoi presiden akan melewati Jalan Ngagel yang tidak jauh dari Wonokromo. Karena itu, dia pamit kepada pasukannya untuk mencegat konvoi Bung Karno di Ngagel. 
”Saya berdiri di tengah jalan. Saya hentikan mobil yang membawa Bung Karno dan Bung Hatta. Konvoi itu berhenti. Mallaby juga ada dalam konvoi itu. Saya marah-marah kepada Bung Karno. Saya beri tahu Bung Karno bahwa sebentar lagi Inggris pasti kalah. Mengapa dihentikan begitu. Bung Karno diam saja sambil menunduk,” kenang Soemarsono.
Tidak lama kemudian, Soemarsono melihat Bung Karno menjawil Mr Amir Syarifuddin. Jabatan Amir kala itu adalah menteri keamanan rakyat. Jawilan Bung Karno itu maksudnya sebagai kode agar Amir turun dari mobil untuk menemui Soemarsono.
”Amir langsung merangkul pundak saya dan membisikkan kata-kata yang membuat saya lemas menyerah,” kata Soemarsono sambil memeragakan bagaimana Amir merangkul dirinya dengan cara dia merangkul Don Kardono, pemred harian INDOPOS Jakarta (Jawa Pos Group) yang bersama saya menemui Soemarsono pekan lalu.
Sambil merangkul Don Kardono, Soemarsono membisikkan kata-kata seperti gaya waktu Amir membisikkan kata-kata sakti itu kepadanya. Apa isi bisikan ”maut” itu? 
”Marsono, ini sudah dirundingkan dengan kita-kita di Jakarta,” ujar Soemarsono menirukan bisikan Amir Syarifuddin. Melihat Soemarsono belum bisa menerima alasan itu, Amir menambahkan bisikannya dengan mengutip pepatah dalam bahasa Inggris. ”Not the battle. We have to win the war,” bisik Amir.
Dalam kamus militer, memenangkan pertempuran (battle) memang belum berarti memenangkan perang (war). Padahal, tujuan serangan yang sebenarnya adalah memenangkan perang dan bukan hanya untuk memenangkan pertempuran. Menurut teori ini, kalau perlu sebuah pasukan bisa memenangkan perang tanpa harus melakukan pertempuran.

Dalam setiap revolusi, kapan pun dan di mana pun, memang selalu ada konflik intern menyangkut strategi memenangkan perang. Para politisi sering lebih memilih jalan perundingan. Para pejuang di lapangan sering memilih jalan perang. Dua kelompok ini sering saling mengklaim dirinyalah yang benar. 

Jangankan dalam sebuah perang kemerdekaan sebuah negara. Dalam sebuah partai kecil pun perbedaan seperti itu tidak bisa dihindarkan. Di Partai Golkar saat ini, misalnya, pertentangan antara kelompok yang mau oposisi dan yang mau bergabung ke SBY saja serunya bukan main.
”Mendengar kata-kata Amir itu, saya langsung seperti Gatotkaca ilang gapite, lemes,” ujarnya. Maksudnya, Soemarsono kehilangan daya.
Soemarsono memang sangat tunduk kepada Amir Syarifuddin. 
”Kalau saja hari itu hanya Bung Karno yang meminta saya untuk menghentikan perang, saya tidak akan tunduk,” ujarnya. 
”Tapi, Bung Karno juga tahu kelemahan saya. Karena itu, Bung Karno mengajak serta Amir Syarifuddin ke Surabaya,” tambahnya.
Soemarsono akhirnya tidak berdaya ketika justru diajak Amir untuk naik mobil ikut konvoi. Juga harus ikut menyerukan gencatan senjata. 
”Mati aku ini,” katanya dalam hati ketika itu.
Hari itu juga, 30 Oktober 1945, perundingan diadakan di kantor gubernur Jatim. ”Dalam perundingan itu Mallaby mengatakan ada sekitar 5.000 tentaranya yang hilang. Minta dikembalikan,” ujar Soemarsono mengenang. ”Saya langsung jawab. Kami kehilangan 20.000 orang. Apa bisa minta kembali?” imbuh Soemarsono.
Perundingan itu memang tidak memuaskan pihak Sekutu. Karena itu, 10 hari kemudian, 10 November 1945, ketika sudah berhasil konsolidasi, tentara Sekutu melakukan serangan hebat. Sekutu memborbardir Surabaya. 
”Serangan 10 November itu pada dasarnya adalah serangan pembalasan. Luar biasa banyaknya korban jatuh. Karena itu, saya usul ke Bung Karno untuk menjadikan hari itu sebagai Hari Pahlawan. Bung Karno langsung setuju,” ujar Soemarsono.

Dengan mengusulkan penentuan Hari Pahlawan itu, Soemarsono bermaksud agar tidak ada satu tokoh pun yang ditetapkan jadi pahlawan dalam kaitan dengan perang Surabaya ini. Tidak juga dirinya. 
”Ini perang rakyat Surabaya. Bukan perangnya satu orang,” ujar Soemarsono yang kini menjadi warga negara Australia itu. (bersambung)

Catatan: Dahlan Iskan 

Minggu, 09 Agustus 2009

Soemarsono, Tokoh Kunci dalam Pertempuran Surabaya (1)


Dahlan Iskan | Minggu, 09 Agustus 2009
  • Selamatkan Bung Tomo dari Amuk Pemuda


Saya tidak menyangka kalau tokoh ini masih hidup. Bahkan, masih segar bugar. Dia lahir pada 22 September 1921 yang berarti kini sudah berusia 88 tahun. Bicaranya masih sangat bersemangat dan ingatannya masih luar biasa tajam.

Dia tidak pernah diwawancarai wartawan, setidaknya karena dua hal. Pertama, selama 35 tahun masa Orde Baru tentu tidak ada wartawan yang berani mewawancarainya. Kedua, dia memang jarang bergaul di depan umum. Ini karena sepanjang hidupnya dulu dia hampir selalu berada di penjara. Kalau toh waktu itu sedang di luar penjara, dia tidak berani menggunakan nama aslinya.

Dan, 22 tahun terakhir, setelah keluar dari penjara, dia memilih tinggal di Sydney, yang membuatnya semakin jauh dari ingatan orang Indonesia. Apalagi, dia juga lantas menjadi warna negara Australia.

Tinggal dialah tokoh utama pertempuran Surabaya pada 1945 yang masih hidup. Yang menjadikan Surabaya sebagai Kota Pahlawan itu. Selama ini kita hanya menyanjung-nyanjung tokoh seperti Bung Tomo atau Roeslan Abdoelgani. Padahal, yang satu ini adalah ketuanya dua orang itu. Bahkan, Bung Tomo pernah minta kepada dia agar diselamatkan nyawanya. Yakni, ketika Bung Tomo ditangkap para pemuda karena dianggap melanggar disiplin perjuangan.

Dia yang kita bicarakan ini tentu tokoh yang amat terkenal kala itu. Namun, namanya tidak masuk buku sejarah. Bahkan, tidak pernah lagi disebut-sebut orang, entah sudah berapa puluh tahun. Namanya pendek: Soemarsono. Bisa dipanggil Marsono, Mar, atau bahkan Son saja.

Dia juga pernah punya banyak nama samaran: Samio dengan pangkat sersan atau Setia dengan pekerjaan guru. Bergantung pada siapa yang sedang menangkapnya. Dia sendiri secara resmi pernah punya pangkat mayor jenderal (tituler) yang diberikan oleh Bung Karno.

Begitu mendengar bahwa orang ini masih hidup, saya langsung berusaha mencari dan menemuinya. Awalnya tentu saya harus mencari orang yang tahu alamat lengkapnya di Sydney. Saya bertekad ingin ke sana khusus untuk menemuinya. Tapi, ketika saya sedang menelusuri alamatnya itu, saya mendengar selentingan bahwa dia lagi di Jakarta. Lagi menengok anaknya.

Saya pun bergegas ke Jakarta pekan lalu. Sebelum Marsono keburu balik ke Sydney. Pagi itu juga saya bisa diterima di rumah anaknya di bilangan Bintaro. Salah satu dari enam anaknya memang tinggal di perumahan kelas menengah itu. Putrinya ini seorang dokter gigi yang kawin dengan seorang fund manager. Dialah anak yang praktis dibesarkan hanya oleh ibunya, karena sang ayah lebih banyak ”sibuk” masuk penjara.

Hampir lima jam saya bicara dengan Soemarsono. Tentu, saya menanyakan banyak hal. Mulai pertempuran Surabaya sampai ke soal Peristiwa Madiun yang menewaskan banyak sekali keluarga saya. Ya! Soemarsono juga tokoh utama dalam Peristiwa Madiun 1948 yang amat terkenal itu. Jabatannya dalam struktur pemerintahan yang dipimpin Musso dan Amir Syarifudin itu sangat tinggi: gubernur militer. Dalam kesempatan lain saya akan menulis khusus mengenai bagaimana Soemarsono memimpin peristiwa Madiun kala itu.

Soal pertempuran Surabaya sendiri dia masih ingat sampai ke soal detail-detailnya. Penjelasannya sangat rinci, dengan warna-warna yang kaya dan tanpa pretensi agar dia diakui sebagai pahlawan utama pertempuran Surabaya. 
”Saya tidak ingin ada orang yang dipahlawankan dalam pertempuran Surabaya itu,” kata Soemarsono ketika saya tanya mengapa dia tidak mau menonjolkan diri. ”Pahlawan sebenarnya adalah rakyat,” tambahnya.
Tapi, mengapa Bung Tomo begitu populer sebagai tokoh pertempuran Surabaya? Soemarsono ternyata memiliki jawaban yang belum pernah saya dengar selama ini. Jawabannya ini juga tidak pernah diucapkan oleh siapa pun selama ini. 
”Itu karena dia terus mengobarkan semangat rakyat lewat radio,” ujar Soemarsono. ”Itu dia lakukan sebagai tugas karena dia memang menjabat ketua bidang penerangan di PRI,” tambahnya.
PRI adalah singkatan Pemuda Republik Indonesia, sebuah organisasi yang menghimpun hampir seluruh kekuatan pemuda di Surabaya. Soemarsonolah ketua PRI itu.

Ketika Bung Tomo membakar semangat kepahlawanan arek-arek Soroboyo melalui radio, Soemarsono sebagai ketua PRI terus menggerakkan rakyat di lapangan. Membakar semangat yang sama dari kampung ke kampung. Kalau istilah sekarang, Bung Tomo yang melakukan serangan udara dan Soemarsono yang menggelar serangan darat.

Selama ini, sesuai dengan yang ditulis di buku-buku, kita mengenal Bung Tomo sebagai ketua BPRI (Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia). Bukan sebagai bagian penerangan PRI. 
”Benar,” kata Soemarsono. ”Tapi, itu belakangan. Setelah dia semakin terkenal, kemudian dia mendirikan BPRI. BPRI itu berdiri belakangan,” ujarnya.
Bahkan, menurut Soemarsono, tindakannya mendirikan BPRI itu sempat menjadi masalah. Membuat tokoh-tokoh pemuda Surabaya marah. Bung Tomo dianggap berusaha memecah belah kekuatan pemuda Surabaya.
Bung Tomo, kata Soemarsono, lantas ditangkap oleh pemuda-pemuda beringas itu. 
”Lalu dibawa ke saya dengan maksud agar saya menjatuhkan hukuman kepadanya,” kata Soemarsono.
”Begitu tiba di rumah saya, Bung Tomo langsung duduk jongkok di depan saya. Minta nyawanya diselamatkan,” tambah Soemarsono. Kisah ini benar-benar baru bagi saya.
Saat itulah Soemarsono berusaha menenangkan para pemuda itu. Dia menjelaskan bahwa Bung Tomo tidak menyalahi aturan. Pendirian BPRI justru bisa menampung pemuda-pemuda yang masih di luar PRI, seperti tukang-tukang becak.

Para pemuda beringas tersebut ternyata bisa menerima penjelasan Soemarsono. Bahkan, Soemarsono menyatakan bahwa Bung Tomo tetap sebagai ketua bidang penerangan PRI dan sekaligus diperbolehkan menjadi ketua BPRI. Maka, tidak ada lagi yang mencurigai Bung Tomo sebagai orang yang bergerak sendiri.

PRI sendiri didirikan pada 21 September 1945. Kurang dari dua bulan sebelum pertempuran 10 November Surabaya. Yakni, ketika hampir semua organisasi pemuda saat itu menyatakan meleburkan diri ke dalam PRI. Beberapa tokoh, seperti Soemarsono, Roeslan Widjajasastra, dan Bambang Kaslan menjadi pimpinannya, namun belum ada ketuanya.

Dua hari kemudian ada rapat AMI (Angkatan Muda Indonesia) yang diketuai Roeslan Abdoelgani di gedung GNI, Jalan Bubutan. Dalam rapat yang juga dihadiri seluruh eksponen pemuda Surabaya inilah Roeslan Abdoelgani mengundurkan diri. Dan, yang lebih penting, dia minta forum itu memilih Soemarsono sebagai ketua PRI. Maka, hari itu Soemarsono terpilih secara aklamasi. 
”Saya sudah terlalu tua untuk memimpin organisasi pemuda ini,” ujar Roeslan Abdoelgani seperti ditirukan Soemarsono.
PRI memilih bermarkas di sebuah bangunan kecil di Jalan Wilhelminalaan. Hari itu juga papan nama jalan tersebut langsung mereka ganti dengan Jalan Merdeka (sekarang dikenal dengan nama Jalan Widodaren). Belakangan markas PRI pindah ke Hotel Simpang yang jauh lebih besar.

”Roeslan Abdoelgani itu, menurut saya, mundur bukan karena merasa terlalu tua. Tapi, dia itu orangnya memang agak penakut,” ujar Soemarsono seraya tersenyum. ”Kalau saya ini sudah sering bilang kepada istri bahwa saya bisa sewaktu-waktu mati. Harus diikhlaskan,” tambahnya. (bersambung)
Catatan: Dahlan Iskan