HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label PBB. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PBB. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 Desember 2018

Hari HAM Sedunia, Perjalanan dari Magna Carta hingga Deklarasi Universal PBB

ASWAB NANDA PRATAMA | Kompas.com - 10/12/2018, 09:56 WIB

Ilustrasi hak asasi manusia(humanrights.gov)

KOMPAS.com - Pada dasarnya setiap manusia yang ada di dunia mempunyai nilai dan kedudukan yang sama. Mereka mempunyai hak, kewajiban dan perlakukan yang sama, yang dikenal juga sebagai hak asasi manusia. 

Adanya kejahatan manusia terhadap manusia lain menjadikan hak asasi manusia seseorang kerap terampas. 

Adanya keinginan untuk memperjuangkan kebebasan HAM mulai muncul, terutama setelah banyak perang berkecamuk. Persatuan Bangsa-Bangsa ( PBB) yang notabene organisasi yang dibentuk pasca Perang Dunia II mengambil inisiatif ini. 

Melalui PBB, isu-isu mengenai HAM mulai dikeluarkan ke publik. Tujuannya adalah agar masyarakat dunia paham dan menghargai bahwa setiap orang memiliki hak dasar yang harus dilindungi. 

Sejak Magna Carta 

Sejarah mencatat bahwa pada masa lalu tiap orang memiliki hak dan tanggung jawab melalui keanggotaan mereka dalam kelompok, keluarga, bangsa, agama, kelas, komunitas, atau negara. Namun, kekuasaan menyebabkan munculnya penindasan terhadap hak manusia satu terhadap manusia lain. 

Kekuasaan golongan tertentu, terutama kelas bangsawan, menjadikan kebebasan dan hak tiap individu terampas. Adanya pemahaman yang menyatakan bahwa keinginan raja harus dituruti membuat hak dasar warga terampas. 

Pada 15 Juni 1215, sebuah piagam dikeluarkan di Inggris. Piagam dengan nama "Magna Carta" ini secara tertulis berperan membatasi kekuasaan absolut raja. 

Pada piagam ini seorang raja diharuskan menghargai dan menjunjung beberapa prosedur legal dan hak tiap manusia. Selain itu, keinginan seorang raja juga dibatasi oleh hukum. 

Magna Carta disebut sebagai sebuah kesepakatan pertama yang tercatat sejarah sebagai jalan menuju hukum konstitusi. Selain itu, Magna Carta juga kerap dianggap sebagai tonggak perjuangan lahirnya hak asasi manusia. 

Setelah Magna Carta, muncul petisi-petisi lain yang menginginkan penguasa untuk lebih menghargai kebebasan dan hak individu. 

Pada 26 Agustus 1789, Revolusi Perancis berdampak langsung terhadap munculnya pengakuan atas hak-hak individu dan hak-hak kolektif manusia. pernyataan ini sering disebut Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara (La Déclaration des droits de l'Homme et du Citoyen). 

Setelah Revolusi Perancis, tiap negara mulai memahami pentingnya hak atas individu, baik itu kebebasan maupun yang lainnya. Berbagai petisi lain juga muncul untuk mendukung ini. Namun, kendala utamanya adalah kurangnya kesadaran dari pemimpin dan juga hasrat manusia untuk berperang yang menjadikan pengakuan atas hak asasi manusia terhambat.

Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan menggelar aksi Kamisan ke-453 di depan Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis (4/8/2016). Dalam aksi itu mereka menuntut pemerintah menyelesaikan kasus-kasus pelangaran hak asasi manusia di masa lalu dan mengkritisi pelantikan Wiranto sebagai Menko Polhukam karena dianggap bertanggung jawab atas sejumlah kasus pelanggaran HAM di Indonesia.(KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG) 

Melalui PBB 

Perang dan keserakahan negara besar menyebabkan hak asasi tiap manusia terampas. Setelah Perang Dunia II, Majelis Umum PBB mulai berencana untuk membuat rencana terbaru untuk penegakan HAM. 

Dilansir dari situs resmi PBB, www.un.org, Hari Hak Asasi Manusia akhirnya bisa diperingati setiap tahun pada 10 Desember. 

Pemilihan tanggal itu dipilih untuk menghormati pengesahan dan pernyataan Majelis Umum PBB bahwa pada 10 Desember 1948 terdapat sidang untuk membahas khusus tentang HAM. 

Hasilnya adalah 48 negara menyetujui kesepakatan dan penandatanganan kesepakatan tentang Hak Asasi Manusia. Pertemuan itu mampu menghadirkan sebuah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR). 

Deklarasi ini menjadikan tonggak bersejarah yang mampu memperjuangkan hak-hak yang tidak dapat dicabut yang setiap orang sebagai manusia tanpa memandang ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, bahasa, pendapat politik atau lainnya, asal kebangsaan atau sosial, properti, kelahiran atau status lainnya. 

Deklarasi tersebut juga menetapkan nilai-nilai universal dan standar umum pencapaian untuk semua orang dan semua bangsa. Ini menetapkan martabat dan harga diri yang setara bagi setiap orang. 

Berkat Deklarasi Universal HAM dan komitmen banyak negara terhadap prinsip-prinsip HAM, martabat jutaan orang telah terangkat dan landasan untuk dunia yang lebih adil telah diletakkan. 

Secara resmi, peringatan Hari HAM Sedunia dilakukan sejak 1950 pada Rapat Pleno ke-317 Majelis Umum pada 4 Desember 1950. Saat itu Majelis Umum menyatakan resolusi 423 (V) dan mengundang semua negara anggota dan organisasi lain menetapkan itu. 

Pernyataan secara global pertama tentang hak asasi manusia merupakan salah satu pencapaian besar pertama sejak berdirinya PBB. 

Setelah itu, mulai muncul berbagai konferensi dan pertemuan politik tingkat tinggi, juga acara dan pameran budaya yang berkaitan dengan masalah HAM. 

Banyak organisasi pemerintah dan non-pemerintah yang aktif di bidang HAM menggelar acara khusus untuk memperingati Hari HAM Sedunia, seperti yang dilakukan banyak organisasi sipil dan lembaga swadaya masyarakat, termasuk di Indonesia.

Penulis : Aswab Nanda Pratama
Editor : Bayu Galih

Senin, 11 Juni 2018

LSM: Pemerintah Masih Punya Pekerjaan Rumah Soal HAM

Senin 11 June 2018 03:45 WIB

Indonesia Resmi Jadi Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB

Indonesia ditantang untuk menghormati standar hukum internasional terkait HAM.
JAKARTA — Sebanyak 11 LSM menyampaikan pernyataan bersama terkait dengan terpilihnya Republik Indonesia untuk menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK) PBB. Mereka mengingatkan pemerintah untuk tidak menjadikan status tersebut sebatas untuk menaikkan posisi tawar secara global.
Dalam pernyataan bersamanya, 11 LSM mengatakan Indonesia ditantang untuk menghormati standar hukum internasional dan secara substantif memperbaiki situasi HAM. Kesebelas LSM tersebut antara lain Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Human Rights Working Group (HRWG), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Pusat Studi Hukum & Kebijakan (PSHK), dan Intitute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Selain itu, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Yayasan Perlindungan Insani Indonesia (YPII), Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Rumah Cemara, dan Lokataru Foundation juga satu suara soal hal tersebut.
Menurut LSM, ditinjau dari konstelasi politik internasional dan secara prosedural, Indonesia memang memenuhi syarat dan lebih diunggulkan untuk menjadi anggota tidak tetap DK PBB. Namun, modal konstelasi politik global dan prosedural yang dimiliki Indonesia dinilai tidak berbanding lurus dengan kondisi faktual yang terjadi di dalam negeri.
Mereka menilai pemerintah Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi terlebih dahulu, terkhusus dalam bidang HAM. Seharusnya itu menjadi rujukan sekaligus uji keyalakan bagi Indonesia untuk terpilih sebagai anggota tidak tetap DK PBB.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menyampaikan empat prioritas Indonesia selama menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk periode 2019-2020. Keempat prioritas Indonesia itu disampaikan Menlu RI melalui konferensi video langsung usai pemilihan Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK PBB periode 2019-2020 di Majelis Umum PBB di New York, yang diikuti Antara pada Jumat (8/6) malam.
Menlu RI menyebutkan bahwa salah satu prioritas Indonesia di DK PBB adalah melanjutkan kontribusi untuk upaya mewujudkan perdamaian dunia. Prioritas kedua Indonesia di DK PBB adalah membangun sinergitas antara organisasi-organisasi regional dan PBB untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan.
Kemudian, prioritas ketiga Indonesia selama menjadi anggota DK PBB adalah upaya untuk meningkatkan kerja sama dalam memerangi terorisme, ekstremisme dan radikalisme. Selanjutnya, prioritas keempat Indonesia di DK PB adalah menyinergikan upaya penciptaan perdamaian dengan upaya pembangunan yang berkelanjutan.
Republika.Co.Id 

Minggu, 04 Maret 2018

Menjadi Anggota Dewan Keamanan PBB: Apa Manfaatnya untuk Indonesia?


Supriyanto Suwito
Minggu 04 Maret 2018 - 19:29

Foto: Kementerian Luar Negeri

Indonesia saat ini tengah mengajukan diri untuk menjadi Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Pemilihan akan dilakukan pada bulan Juni 2018. Jika terpilih, Indonesia akan menjabat selama dua tahun untuk periode 2019-2020.

Apa sebenarnya arti penting bagi Indonesia menjadi anggota DK PBB? Apa saja yang bisa dilakukan Indonesia di badan yang paling berpengaruh di dunia tersebut?

Dewan Keamanan PBB: Superbody atau Macan Ompong?

Dewan Keamanan adalah satu dari enam organ di bawah PBB. Lima yang lainnya adalah Majelis Umum, Dewan Ekonomi dan Sosial, Dewan Perwalian, Mahkamah Internasional, dan Sekretariat Jenderal.

Sesuai Piagam PBB, fungsi utama Dewan Keamanan adalah menjaga perdamaian dan keamanan dunia. Sederhananya, DK PBB bertanggung jawab untuk menyelesaikan konflik atau peperangan antarnegara.

Dewan Keamanan sering dianggap sebagai badan PBB yang paling berpengaruh. Lima anggota tetapnya yaitu Amerika Serikat, Rusia, RRT, Inggris, dan Perancis, atau yang dikenal sebagai P-5, sekaligus merupakan negara-negara pemilik senjata nuklir.

Keputusan atau resolusi DK PBB harus dilaksanakan oleh semua negara anggota PBB tanpa terkecuali. Ini berbeda misalnya dengan keputusan Majelis Umum PBB. Meskipun mewakili seluruh negara anggota dan dianggap sebagai parlemen dunia, keputusan Majelis Umum hanya mengikat secara moral dan politis.

Dewan Keamanan juga bisa mengeluarkan sanksi kepada negara anggota yang dinilai melakukan tindakan yang mengancam perdamaian internasional. Bentuknya macam-macam, bisa sanksi ekonomi, embargo senjata, atau larangan bepergian (travel bans).

Nah, yang paling menjadikan DK PBB berpengaruh adalah kewenangannya untuk menggunakan kekuatan militer untuk memulihkan perdamaian dan keamanan internasional. Ini merupakan pilihan terakhir jika cara-cara non-militer sudah tidak lagi efektif.

Meskipun sangat powerful, DK PBB justru sering dikritik tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Sebabnya, keputusan DK PBB harus disetujui oleh kelima negara anggota tetapnya. Jika salah satu saja menolak, atau memveto, maka keputusan tersebut tidak akan berlaku.

Seringkali perbedaan kepentingan antara negara-negara P-5 membuat DK PBB tidak bisa berbuat apa apa ketika dihadapkan pada situasi konflik. Hal inilah yang menjadikan DK PBB seperti macan ompong.

Indonesia dan DK PBB: Ikatan Sejarah

Jika terpilih, keanggotaan pada DK PBB periode 2019-2020 akan menjadi keempat kalinya Indonesia menjadi anggota DK PBB. Sebelumnya, Indonesia menjabat pada periode 1974-1975, 1995-1996, dan 2007-2008.

Indonesia memiliki ikatan sejarah yang cukup panjang Dewan Keamanan PBB. Konflik bersenjata antara Indonesia dan Belanda pasca Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan salah satu isu pertama yang ditangani oleh DK PBB. Berkat campur tangan dan tekanan DK PBB pula akhirnya Belanda terpaksa mengakui kemerdekaan Indonesia.

Pada tahun 1957, untuk pertama kalinya Indonesia bergabung dalam misi pemeliharaan perdamaian PBB. Kala itu, Kontingan Garuda yang pertama dikirim ke Sinai, Mesir, untuk mengawasi gencatan senjata pasca perang antara Mesir dan Israel.

Sejak saat itu, Indonesia secara konsisten mengirim personel untuk membantu misi PBB mengatasi konflik di berbagai belahan dunia. Bahkan saat ini Indonesia I menjadi salah satu dari sepuluh negara yang paling banyak mengirimkan pasukan dalam misi pemeliharaan perdamaian PBB.

Peran Indonesia

Keanggotaan di DK PBB akan menjadi kesempatan yang langka bagi Indonesia untuk berperan lebih besar dalam menciptakan perdamaian dunia.

Sebagai anggota DK PBB, Indonesia akan terlibat langsung membahas berbagai konflik dan krisis di berbagai belahan dunia. Dengan kata lain, suara Indonesia akan turut menentukan perdebatan dalam badan paling berpengaruh di DK PBB.

Indonesia juga memiliki peluang untuk mendorong DK PBB lebih memainkan peran dalam menyelesaikan konflik yang menjadi perhatian Indonesia. Contohnya konflik di Palestina, Irak, Suriah, Afghanistan, bahkan mungkin konflik di Rakhine, Myanmar.

Sebagai negara yang dikenal memiliki prinsip politik luar negeri yang independen, Indonesia memiliki modal cukup besar untuk menjembatani perbedaan kepentingan negara-negara anggota DK PBB.

Selain itu, Indonesia juga dapat mendorong agar DK PBB bekerja lebih transparan dan demokratis. Hal in dapat membantu mengurangi kesan elitis dan eksklusif dari badan PBB ini.

Semua peran tersebut tentu hanya bisa dilakukan melalui suatu kerja kreatif mesin diplomasi Indonesia. Kreatif dalam melakukan terobosan, kreatif dalam mencari solusi bagi permasalahan dan tantangan global.

***

Sumber: Kumparan 

Kamis, 08 Februari 2018

Komisaris Tinggi HAM PBB Desak Indonesia Adili Pelaku Pelanggaran HAM

08/02/2018 | Fathiyah Wardah

Komisaris Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-bangsa Zeid Ra’ad al-Husein dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (7/2).

Komisaris Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-bangsa, Zeid Ra’ad al-Husein meminta Jaksa Agung Indonesia untuk segera membawa pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu ke pengadilan.

Indonesia harus mengambil langkah konkrit untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, demikian ujar Komisaris Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-bangsa Zeid Ra’ad al-Husein dalam konferensi pers di Jakarta, mengakhiri kunjungan kerja selama tiga hari pada 5-7 Februari. Ia mengakui bahwa hal ini sulit dilakukan, tetapi tetap penting diupayakan.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menyoroti sembilan kasus utama pelanggaran HAM yang harus diselesaikan, di antaranya kasus 1965-1966, penembakan misterius (1982-1985), Peristiwa Talangsari Lampung (1989), penghilangan orang secara paksa (1997-1998), peristiwa kerusuhan Mei (1998) dan kasus Trisakti-Semanggi I dan II (1998-1999).
"Saya mendesak Jaksa Agung untuk menangani kasus ini khususnya dengan membawa pelaku ke pengadilan dan memprioritaskan pemberian ganti rugi yang sudah lama tertunda kepada korban," ujar Zeid.
Ia juga menyoroti sejumlah isu lain seperti pembahasan rancangan KUHP, Papua, diskriminasi kelompok minoritas; serta persekusi LGBT dan kelompok keagamaan minoritas, seperti GKI Yasmin, Ahmadiyah, dan Syiah.

Menurutnya, pandangan ekstremis yang dimainkan di arena politik dan semakin meningkatnya hasutan dengan menggunakan isu diskriminasi, kebencian atau kekerasan di berbagai wilayah di Indonesia – termasuk di Aceh – sangat mengkhawatirkan.

Zeid mengatakan kelompok LGBT – lesbian, gay, biseksual dan transgender – di Indonesia menghadapi stigma, ancaman dan intimidasi yang terus meningkat. Retorika kebencian terhadap kelompok ini tambahnya sering dimanfaatkan untuk tujuan politik.

Zeid juga menyayangkan penerapan undang-undang penistaan agama yang menurutnya tidak jelas, karena kerap digunakan untuk menghukum kelompok minoritas. Ia berharap tidak ada lagi diskriminasi berdasarkan kepercayaan, warna kulit, rasa atau jenis kelamin.

Lebih jauh komisaris tinggi ini menyampaikan keprihatinan atas semakin banyaknya laporan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh petugas keamanan, pelecehan, penangkapan sewenang-wenang dan penahanan di Papua.
"Kami mendesak masyarakat Indonesia untuk maju bukan mundur dalam hal hak asasi manusia, dan menolak upaya untuk mengizinkan bentuk diskriminasi baru dalam undang-undang," tandas Zeid.
Selama kunjungannya, Zeid menemui berbagai pihak, mulai dari aktivis HAM, korban pelanggaran HAM, pemerintah, dan bertemu langsung dengan Presiden Joko Widodo.

Korban yang ditemui Zeid antara lain seorang ibu petani yang berbicara tentang hak atas tanah dan kekhawatiran atas kehilangan tanahnya karena industri ekstraktif, seorang laki-laki di Papua yang putranya tewas ditembak, seorang ibu yang kehilangan putranya dalam aksi kekerasan tahun 1998 di Yogyakarta, seorang ibu sepuh yang telah 53 tahun memperjuangkan keadilan setelah dipenjarakan dan dicap komunis, dan beberapa penganut agama minoritas yang menginginkan tempat untuk ibadah. Istri mendiang aktivis HAM Munir – Suciwati – juga ikut menemuinya.

Zeid mengatakan ia juga telah mendapat informasi soal perusahaan pertambangan dan kayu yang kerap menjadi sumber masalah pelanggaran HAM akhir-akhir ini. Ia mendorong dilakukannya dialog dengan masyarakat adat lokal dan warga setempat yang terkena dampak proyek tersebut.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani mengatakan sedianya pemerintah tidak menjadikan kedatangan Komisaris Tinggi HAM PBB sebagai ajang diplomasi HAM semata, tetapi justru untuk mengambil langkah yang signifikan guna menyelesaikan pelanggaran HAM berat pada masa lalu.
"Ini pemerintah sudah dianggap positif memberikan ruang kepada komisi HAM PBB untuk datang, tetapi kita perlu pertanyakan motivasi apa, kalau motivasinya untuk pencitraan dan sebagai alat diplomasi kita sangat menyayangkan. Ini seharusnya lebih, caranya komisi HAM PBB ini mengeluarkan yang spesifik dan mengambil tindakan-tindakan untuk memastikan pemerintah Indonesia menjalankan kewajibannya dalam penyelelesaian pelanggaran HAM berat. Indonesia sendiri juga harus mengambil langkah aktif dengan menindaklanjuti sejumlah desakan masyarakat sipil dan korban pelanggaran HAM yang telah disampaikan kepada komisi HAM PBB," ungkap Yati.
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menambahkan tidak ada satu negara pun memiliki sebuah sistem yang sempurna dalam memajukan dan menjamin perlindungan HAM. Karena itu, penguatan kerja sama antar negara dan badan-badan HAM regional amat penting.
"Perlindungan dan pemajuan HAM dalam tingkat nasional harus berlangsung secara sistematis dan mengalami kemajuan. Tindakan konkret di tingkat nasional mesti dilakukan dalam kerangka legislatif dan konstitusional harus didorong, Agenda-agenda HAM harus menjadi arus utama dan menjadi sentral di pemerintahan lokal, lembaga HAM nasional harus diperkuat, kampanye dan pendidikan HAM mesti diintensifkan," kata Retno.
Kunjungan Komisaris Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-bangsa Zeid Ra’ad al-Husein ke Indonesia ini bersamaan dengan peringatan 70 tahun deklarasi universal HAM PBB, sekaligus 25 tahun peringatan Deklarasi Wina dan Program Aksi. Setelah Indonesia, Zeid akan ke Papua Nugini dan Fiji.


Pemerintah Indonesia juga mengundang Zeid untuk mengunjungi Papua, meskipun belum ada rincian lain tentang tawaran ini. [fw/em]

Sumber: VoA Indonesia 



















Selasa, 06 Februari 2018

Kontras Berharap Komisioner Tinggi HAM PBB Desak Pemerintah Selesaikan Kasus Masa Lalu

ROBERTUS BELARMINUS
06/02/2018, 14:57 WIB

Jumpa pers di kantor KontraS terkait kunjungan Komisioner Tinggi HAM PBB Zeid Raad Al Husein ke Indonesia, Selasa (6/2/2018)(Kompas.com/Robertus Belarminus)
JAKARTA - Aktivis Kontras Fatia Maulidiyanti berharap,Komisioner Tinggi HAM PBB Zeid Ra'ad Al Husein yang tengah berkunjung ke Indonesia mendesak pemerintah untuk menyelesaikankasus HAM masa lalu.

Pertemuan Zeid dengan Pemerintah Indonesia diharapkan tak hanya seremoni antara kedua belah pihak.

Hal tersebut disampaikannya dalam jumpa pers di Kantor Kontras, Jakarta Pusat, Selasa (6/2/2018).
"Semoga tidak jadi ajang diplomatik semata, sehingga Zeid bisa mendorong pemerintah Indonesia bisa menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu," kata Fatia.
Fatia mengatakan, masyarakat sipil, korban, dan organisasi HAM lainnya, sebelumnya telah melakukan pertemuan dengan Zeid di Kantor Komnas HAM.

Dari pertemuan itu, pihaknya menangkap bahwa Zeid akan membawa masalah impunitas terhadap para pelanggar HAM masa lalu dalam pertemuan dengan pemerintah pada hari ini.

Presiden Joko Widodo bertemu Komisaris tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Zeid bin Raad Zeid Al-Hussein, di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (6/2/2018).
Presiden Joko Widodo bertemu Komisaris tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Zeid bin Raad Zeid Al-Hussein, di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (6/2/2018). (KOMPAS.com/Ihsanuddin)
Dia menilai, pernyataan Zeid mengonfirmasi adanya praktik impunitas terhadap terduga pelanggar HAM di Indonesia, yang kini punya jabatan di lingkaran pemerintahan.
"Statement Zeid searah yang telah Kontras berikan kemarin, bahwa impunitas masih terus berlanjut, mengingat para terduga pelaku yang melakukan pelanggaran HAM masa lalu, duduk di pemerintahan," ujar Fatia.
Namun, Kontras juga menyampaikan kritik terhadap Zeid. Menurut Kontras, Zeid tak menunjukkan sikap tegas soal kasus HAM masa lalu di Indonesia.
"Kami mencatat, ironisnya tidak ada pernyataan tegas Zeid tentang HAM di Indonesia. Zeid masih main aman," ujar Fatia.
Hampir 20 tahun pasca reformasi, Kontras menilai, Indonesia masih punya banyak PR soal pelanggaran HAM yang belum terselesaikan.

Salah satunya, lanjut Fatia, soal kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir. Dia berharap, kunjungan Zeid bisa mendorong pemerintah membuka dokumen TPF Munir.
"Hingga saat ini belum juga dikeluarkan pemerintah. Padahal berdasarkan sidang KIP, dokumen TPF Munir harus segera dikeluarkan," ujar Fatia.
PenulisRobertus Belarminus
EditorInggried Dwi Wedhaswary
Sumber: Kompas.Com 

Jokowi dan Komisioner PBB Tak Bahas Pelanggaran HAM Masa Lalu

Hanna Azarya Samosir & Christie Stefanie, CNN Indonesia | 
Selasa, 06/02/2018 13:10 WIB


Permasalahan HAM masa lalu di Indonesia tidak dibahas dalam pertemuan antara Joko Widodo dan Komisioner Tinggi HAM PBB di Istana Merdeka, Selasa (6/2). (CNN Indonesia/Christie Stefanie)
Jakarta -- Permasalahan hak asasi manusia (HAM) masa lalu di Indonesia tidak dibahas dalam pertemuan antara Presiden Joko Widodo dan Komisioner Tinggi HAM PBB Zeid Raad al-Hussein di Istana Merdeka, Selasa (6/2).

Wakil Menteri Luar Negeri RI, AM Fachir, mengatakan bahwa isu itu tidak dibahas secara spesifik karena Hussein menyadari setiap negara memiliki tantangan dan model masing-masing dalam menyelesaikan permasalahan HAM.

"Tidak ada (spesifik masalah HAM masa lalu). Jadi masing-masing negara memiliki tantangan sendiri termasuk masa lalu.  Begitu saja, tidak lebih dari itu," ujar Fachir setelah mendampingi presiden dalam pertemuan tersebut, Selasa (6/2).

Fachir menjelaskan, dalam pertemuan itu, Hussein hanya menyatakan kesiapan untuk membantu Indonesia apabila menemukan kesulitan dalam menyelesaikan masalah HAM.
"Pembicaraan lebih kepada policy. Dia siap bekerja sama karena itu memang tugasnya bisa membantu, mempromosikan. Jadi sampai di situ, tidak lebih dari itu," tuturnya. 
Turut mendampingi Jokowi, Menteri Hukum dan HAM RI, Yasonna Laoly, mengatakan bahwa dalam pertemuan tersebut, Hussein menyampaikan harapan agar Indonesia bisa menjadi “role model dalam menangani isu-isu hak asasi manusia.”

Zeid tiba di Indonesia pada pekan ini dan sudah menghadiri sejumlah agenda, termasuk diskusi mengenai HAM di Kementerian Luar Negeri. Dalam diskusi itu pun tak banyak dibahas mengenai pelanggaran HAM di Indonesia.

Pelanggaran HAM masa lalu menjadi isu sensitif dan tak kunjung terselesaikan sejak lama, seperti kasus pembunuhan massal 1965-1966, Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, penculikan dan kerusuhan Trisaksti Mei 1998, Timor-Timur 2999, Abepura 2000, Wasior 2001-2002, hingga Wamena 2003.

Setiap presiden Indonesia yang terpilih berjanji akan menuntaskan serentetan kasus tersebut, tapi tak juga terwujud, sementara masyarakat menunggu jawaban dari banyak tanda tanya mengenai serentetan dugaan.

Dalam kampanye, Jokowi dan Jusuf Kalla menjanjikan sejumlah kebijakan mengenai HAM, seperti adalah merevisi UU Peradilan Militer dan menyelesaikan kasus-kasus HAM di masa lalu. Namun, titik terang dalam menyelesaikan permasalahan ini masih belum dapat terlihat.
 (has)


Sumber: CNN Indonesia 

Kontras Desak Komisaris Tinggi HAM PBB Singgung 4 Hal Saat Bertemu Jokowi

FABIAN JANUARIUS KUWADO
Kompas.com - 06/02/2018, 08:26 WIB

Koordinator Kontras Yati Andriyani di Jakarta, Selasa (9/1/2018)(Kompas.com/YOGA SUKMANA)
JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Pekerja Kontras menyampaikan sikapnya menjelang pertemuan Komisaris Tinggi Hak Asasi ManusiaPerserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Zeid Ra'ad Al Hussein dengan Presiden Joko Widodo di Istana Presiden Jakarta, pada Selasa (6/2/2018).

Koordinator Kontras Yati Andriani mengatakan, Indonesia sudah memasuki era reformasi hampir 20 tahun. Namun, Indonesia masih belum menyelesaikan beban masa lalunya, yakni berbagai perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.
"Ketidakmampuan dan kegagalan Pemerintah Indonesia ditandai dengan mandeknya sembilan kasus pelanggaran HAM berat yang diselidiki Komnas HAM," ujar Yati melalui siaran persnya, Selasa pagi.
"Hingga saat ini, Jaksa Agung menolak menyelidiki kasus-kasus itu serta parlemen tidak mengambil peran politiknya untuk merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM berat," kata dia.
Khusus perkara HAM penghilangan paksa yang terjadi periode 1997-1998 dan peristiwa pembunuhan massal 1965-1966, parlemen sebenarnya sudah mengeluarkan rekomendasi. Namun, menurut Yati, sampai saat ini Presiden Joko Widodo belum menindaklanjuti rekomendasi itu.

Dalam perkara pembunuhan aktivis HAM Munir juga demikian. Dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) yang seharusnya berada di bawah tanggung jawab Sekretariat Negara malah tidak diketahui keberadaannya.
"Dan Presiden tidak menunjukkan iktikad baiknya untuk segera mengumumkan hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta kepada publik," ujar Yati.
Masuknya sejumlah tokoh yang diduga terlibat pelanggaran HAM berat masa lalu ke lingkaran kekuasaan dinilai telah merusak agenda para pencari keadilan.
Yati menilai, mereka menyandera otoritas negara dan semakin membuat sulit setiap upaya menyeret mereka ke pengadilan.

Di sisi lain, lanjut Yati, alih-alih menindaklanjuti penyelidikan Komnas HAM soal kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, pemerintah malah mengampanyekan rekonsiliasi dalam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tertentu. Salah satunya dengan berupaya membentuk Dewan Kerukunan Nasional.

Di tengah situasi demikian, Kontras terus mendesak badan-badan HAM, salah satunya Komisaris Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Zeid Ra'ad Al Hussein untuk sungguh-sungguh mengambil peran signifikan dan substansial mendorong pemerintah Indonesia menuntaskan janjinya soal penyelesaian kasus HAM berat masa lalu.
"Kami mendesak Komisaris Tinggi HAM PBB untuk, pertama, mendesak Presiden Indonesia mengambil langkah-langkah politik untuk menyelesaikan berbagai kemacetan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan bagi para korban," ujar Yati.
Selain itu, Kontras juga mendesak Zeid untuk mendorong Jaksa Agung dan Pengadilan HAM untuk menjalankan fungsinya menyelidiki kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Ketiga, Kontras meminta Zeid untuk mengingatkan pemerintah Indonesia untuk menghindari cara-cara penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu yang tidak berkesuaian dengan aturan hukum dan prinsip-prinsip hak korban.
"Terakhir, kami mendesak Zeid mempersoalkan Presiden Jokowi yang mengangkat terduga pelanggar HAM dalam kabinetnya dan memberikan posisi strategis kepada para terduga pelanggar HAM dalam lingkaran kekuasaannya," ujar Yati.
PenulisFabian Januarius Kuwado
EditorBayu Galih
Sumber: Kompas.Com 

Senin, 05 Februari 2018

YPKP 65 Desak Komisi Tinggi HAM PBB Ambil Alih Kasus 1965


HAM-PBB: Pertemuan dengan Komisi Tinggi HAM PBB (5/2) di Komnas HAM Jakarta. Ketua Komisi Tinggi HAM-PBB, Zeid Ra'ad al Hussein (kedua dari kiri, berdasi) mengunjungi Indonesia dan bertemu dengan beberapa NGO di Jakarta. 

Jakarta - Pada Senin petang (5/2) YPKP 65 menemui Komisi Tinggi HAM PBB (United Nations Commission on Human Rights – UNCHR) karena menilai persoalan pelanggaran HAM masa lalu khususnya tragedi 65; sangat krussial. Dalam kesempatan itu YPKP mendesak komisioner UNCHR, Zeid Ra'ad Al Hussein agar segera mengambil alih tanggung jawab penyelesaian tuntas kejahatan kemanusiaan pasca Oktober 1965.

Zeid yang berkebangsaan Yordania dan menjabat Komisioner UNCHR sejak 2014, didesak agar mengambil langkah-langkah sebagaimana diatur dalam mekanisme hukum internasional, convenant maupun yuridiksi internasional. Desakan ini disampaikan Bedjo Untung langsung dengan membacakan surat pernyataan tertulis.

Alasan krussial yang dikemukakan YPKP 65 bahwa pemerintah dinilai telah gagal dalam upaya penyelesaian tuntas tragedi 65 yang sangat diharapkan oleh para korban. Tragedi yang masuk kategori genosida politik 1965 sekaligus menandai awal kekuasaan orba dimana telah terbukti adanya kospirasi penggulingan Soekarno sebagaimana disinyalemenkan paska deklasifikasi arsip rahasia diplomatik AS.

Meski telah berlalu selama 53 tahun, namun pemerintah tak melakukan tindakan signifikan bagi penyelesaian yang berkeadilan. Alih-alih penegakan hukum, bahkan dalam realitasnya terkesan membiarkan terus berlanjutnya stigmatisasi, diskriminasi dan persekusi terhadap para korban kejahatan genosida dalam segala bentuknya. Impunitas para pelaku kejahatan genosida ini  tak tersentuh hukum hingga hari ini.


PBB Harus Ambil-alih                 

YPKP 65 juga mendesak agar Komisi Tinggi HAM PBB mengambil-alih guna memulai penyelesaian kasus kejahatan kemanusiaan dan genosida 65 di Indonesia. Hal ini karena pemerintah RI dinilai tak ada kemampuan (ability) dan tak ada kemauan (willingness) serta tanpa keseriusan. Maka sesuai mekanisme hukum internasional, PBB harus mengambil alih dengan terlebih dulu membentuk tim investigasi independent.

Badan dunia ini juga harus memeriksa dengan mendengarkan kesaksian para korban, memanggil perpetrator (pelaku), melakukan penggalian kerangka para korban pembantaian massal (exhumation), sekaligus uji forensik guna mendapatkan bukti material serta memorialisasi agar kejahatan kemanusiaan serupa tak terulang di masa yang akan datang.

Dalam surat pernyataan YPKP 65 yang disampaikan langsung kepada Zeid Ra'ad Al Hussein, juga dilampirkan data 162 tempat pembantaian dan lokasi kuburan massal yang dipastikan akan terus bertambah jumlahnya. Ihwal penambahan ini berkaitan dengan penelitian yang masih terus berlanjut.
Menanggapi desakan YPKP 65, Zeid yang berkantor di Jenewa, Swiss; menyampaikan apresiasi yang tinggi dan berjanji akan membawa ke dalam agenda rapat-rapat Komisi Tinggi HAM PBB.
“Never lose hope..”, pesannya singkat.
Secara terpisah, saat dipertanyakan pada Staf UNCHR yang menyertai Zeid Ra’ad al Hussein berjanji akan menyampaikan usulan dan desakan YPKP 65 kepada presiden Joko Widodo.
“Yes, I will, I will ….. “, janjinya
Hadir pula dalam pertemuan ini wakil-wakil dari berbagai NGO: Yati Adriyani (KontraS), Usman Hamid (Amnesty Internasional Indonesia), Andreas Harsono (HRW), Sumarsih (JSKK), Suciwati Munir, Rafendy Djamin (HRWG), Bonnie Setiawan (Forum 65), Zaenal Mutaqien (IKOHI) dan lainnya. [bun]

KSP: Belum Ada Jadwal Komisioner Tinggi HAM PBB Bertemu Jokowi

Senin, 05 Feb 2018 22:31 WIB | Dian Kurniati, Ninik Yuniati

Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko. (Foto: setkab.go.id/Publik Domain)

 Jakarta - Kantor Staf Presiden (KSP) menyatakan hingga kini Presiden Joko Widodo belum memiliki jadwal pertemuan dengan Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) PBB Zaid Ra'ad Al Hussein.
Zaid berkunjung ke Indonesia pada 4 hingga 7 Februari mendatang. 
Kepala KSP Moeldoko mengatakan sejauh ini Zaid hanya dijadwalkan bertemu kementerian dan lembaga yang berhubungan dengan isu-isu hak asasi manusia, seperti Kejaksaan Agung dan Komnas HAM. 
Kunjungan Zaid tersebut, kata Moeldoko, menjadi kesempatan Indonesia melaporkan berbagai capaian dalam menyelesaikan isu-isu HAM.
"Saya belum paham. Itu relatif di sektornya Kemensetneg," kata Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan, Senin (5/2/2018).
"Seberapa berpengaruh kedatangan Zaid untuk pemerintah mempercepat penyelesaian kasus HAM?" tanya wartawan.
"Kita lebih membangun komunikasi dan informasi. Jadi persoalan seperti di Papua, dan seterusnya, langkah-langkah yang kita tangani seperti apa. Itu yang saya bicarakan dengan Komnas HAM. Progres ke depannya seperti apa," jawab Moeldoko.
Moeldoko mengatakan, dalam pertemuannya dengan Komnas HAM pekan lalu juga tak membahas rencana pertemuan Jokowi dengan Zaid. Karena itu, dia tak ingin banyak berkomentar soal wacana pertemuan tersebut.
Menurut Moeldoko, kedatangan Zaid ke Indonesia akan lebih banyak diisi dengan kunjungan ke berbagai kementerian dan lembaga. Misalnya ke Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, dan Polri. 
Moeldoko mengatakan kementerian dan lembaga tersebut akan menjawab secara langsung setiap pertanyaan Zaid tentang perkembangan penyelesaian kasus-kasus HAM. 
Menurutnya, model kunjungan seperti itu justru lebih efektif karena kementerian/lembaga yang paling mengetahui isu-isu yang ditanganinya. 

Bertemu Presiden?
Sebelumnya, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat menjadi sorotan dalam pertemuan antara Ko
mnas HAM dengan Komisioner Tinggi HAM PBB Zeid Ra'ad Al Husein pada Senin (5/2/2018). 
Ahmad Taufan Damanik mengatakan, Zeid berjanji akan mendorong upaya penyelesaian kasus tersebut ketika bertemu Presiden Joko Widodo maupun pejabat terkait seperti Jaksa Agung. 
Menurut Ahmad, pemerintah seharusnya menindaklanjuti rekomendasi yang nanti diberikan oleh Zeid. 
Ia mengingatkan, kedatangan Zeid ke Indonesia merupakan undangan resmi dari pemerintah. Itu artinya, pemerintah berinisiatif membuka diri terhadap segala masukan tentang berbagai persoalan HAM di tanah air. 
"Ada Komisi Tinggi HAM PBB datang, kita minta dukungan beliau untuk juga ikut mendorong. Itu yang mungkin dilakukan. Tapi musti diingat, diplomasi tingkat tinggi dari PBB, tentu ada dampak terhadap satu pemerintah di mana pun, termasuk pemerintah Indonesia," kata Ahmad Taufan di Komnas HAM, Senin (5/2/2018).
"Apalagi kedatangan ini sebetulnya pemerintah Indonesia yang mengundang dengan terbuka. Itu artinya ada kesediaan dari pemerintah Indonesia untuk menerima masukan-masukan dari Komisi Tinggi PBB," tambah Ahmad Taufan.
Hal yang sama juga dinyatakan oleh Anggota Komnas HAM Choirul Anam. Ia mengatakan kedatangan Zeid ke Indonesia bisa dilihat dalam konteks diplomasi internasional yang bersifat mengikat. 
Ke depan, kata Choirul Anam, PBB bisa mengawal berbagai isu yang telah dibicarakan dengan pemerintah, tak terkecuali tentang kasus HAM berat. 
"Poin-poin penting dalam pembicaraan setiap kali ketemu dengan pemerintah, itu dalam konteks diplomasi internasional. Mengikat secara diplomatik. Maka itu akan ditanya terus," kata Choirul.
Saat bertemu dengan Komnas HAM, Zeid mendapatkan pemaparan singkat dan dokumen rinci tentang perkembangan penyelesaian berbagai kasus HAM berat. 
Topik lain yang juga dibahas di antaranya, terkait Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), konflik agraria, masalah Papua, serta penguatan Komnas HAM.
Selain dengan Komnas HAM, Zeid juga bertemu sejumlah LSM hak asasi manusia dan organisasi masyarakat sipil, korban pelanggaran HAM, serta tokoh-tokoh agama. 
Editor: Agus Luqman
Sumber: KBR.ID