HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Lubang Buaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lubang Buaya. Tampilkan semua postingan

Minggu, 06 Oktober 2019

Kisah Eks Anggota Cakrabirawa Selamatkan Polisi dari Lubang Buaya


Muhamad Ridlo - 06 Okt 2017, 02:00 WIB

Mantan Anggota Cakrabirawa, Ishak, berfoto dengan latar belakang lukisan saat masih aktif berdinas. Ia masih gagah di usianya yang ke 81 tahun. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Purbalingga - "Tahu polisi yang selamat dari Lubang Buaya, Sukitman kan. Sukitman saya yang menyelamatkan," tiba-tiba Ishak, menyela, kala bercerita soal tragedi 1 Oktober 1965.

Ishak adalah mantan anggota pasukan elite pengawal presiden, Cakrabirawa. Tugasnya di ring 1 adalah menjaga keselamatan presiden, sebagai unit yang selalu menempel ke mana pun presiden bergerak.

Sebelum menjadi pengawal paling dekat Sukarno, dia adalah ajudan Letkol Untung, Komandan Cakrabirawa yang akhirnya divonis mati karena dinyatakan bersalah melakukan kudeta dan menggerakkan pasukan untuk membunuh enam jenderal dan satu perwira AD.

Ishak berkisah pada Jumat, 1 Oktober 1965, sedianya ia akan mengawal Presiden Sukarno ke Bogor, Jawa Barat. Ia tak terlalu paham agendanya. Namun, berdasarkan informasi yang diperolehnya waktu itu, presiden hendak hadir di sebuah acara olahraga.

"Sebagai prajurit, informasi detailnya yang seperti itu baru akan diberitahukan ketika akan berangkat. Kita kalau akan berangkat baru diberi pembagian tugas," ucapnya, Selasa, 4 Oktober 2017.

Tetapi, ia batal mengawal Presiden Sukarno. Pasalnya, pada sore 30 September 1965, tiba-tiba Letkol Untung, Komandan Cakrabirawa memintanya untuk mendampinginya ke Lubang Buaya. Tempatnya digantikan oleh pengawal lainnya, Bagyo.

"Kamu ikut saya saja," Ishak menirukan perintah Letkol Untung.
Pada 1 Oktober 1965 dini hari, tugasnya adalah mengantar Letkol Untung, tak ada yang lain. Ketika satu kompi Cakrabirawa bertugas menjemput para jenderal, ia tetap berada di Lubang Buaya.

Ia lebih banyak menghabiskan waktu di jipnya. Tempat parkirnya, ia sebut, relatif jauh dari pusat kegiatan, sehingga tak begitu memahami detail peristiwa yang terjadi.

"Tugas Cakrabirawa saat itu, menjemput para jenderal untuk dihadapkan kepada presiden. Kalau saya tugasnya mengantar Letkol Untung. Saya tidak ikut menjemput," kata dia.

Informasi samar-samar beredar. Enam jenderal berhasil dijemput. Namun, dua orang meninggal dunia lantaran melawan. Tak berapa lama, rentetan tembakan terdengar. Enam jenderal dan satu perwira AD meninggal dunia.
Di tengah situasi yang tak pasti itu, ia mendapat firasat yang buruk.

"Wah, salah ini. Lutut saya langsung lemas. Apes saya. Mati saya," ujarnya.

Di tengah kekalutan situasi kala itu, ia diperintahkan untuk menembak mati Sukitman. Ia adalah polisi yang ditangkap di sekitar kediaman Mayor Jenderal DI Pandjaitan. Sukitman dikhawatirkan akan membocorkan lokasi penguburan para jenderal.

"Saya jawab. Orang tidak salah kok ditembak," ujarnya, menceritakan situasi kala itu.

Atasan di Cakrabirawa itu, kata Ishak, lantas pergi, tanpa berbicara apa pun. Rupanya, anggota Cakrabirawa yang memberi perintah itu juga tengah kalut. Saat situasi memungkinkan, dia memerintahkan Sukitman bersembunyi di jipnya.

"Lalu saya bilang ke Sukitman, sudah kamu tiduran saja di jip saya. Lalu saya bawa ke Istana Negara. Sukitman kemudian pergi," ucap Ishak.

Bertahun-tahun kemudian, Ishak dan Sukitman dipertemukan di Rutan Salemba. Kondisi terbalik kala itu. Ishak yang tadinya berbobot 73 kilogram, saat itu sudah turun menjadi 40 kilogram. Namun, polisi itu rupanya masih mengenali Ishak.

"Waktu bertemu itu, Sukitman itu sampai nyembah-nyembah karena saya menyelamatkan dia," ujarnya mengenang.

Selasa, 01 Oktober 2019

Lubang Buaya, Akhir Tragedi Berdarah Gerakan 30 September 1965


Nila Chrisna Yulika - 01 Okt 2019, 08:05 WIB



Lubang buaya adalah saksi bisu pembantaian para jenderal pada 30 September 1965. Dalam tragedi itu, tujuh pahlawan revolusi yang gugur dibuang ke dalam sumur berdiameter 75 sentimeter dengan kedalaman 12 meter.

Sebelum peristiwa 30 September 1965, PKI telah melakukan beberapa persiapan yaitu melatih Pemuda Rakyat dan Gerwani. Kemudian, menyebarkan desas-desus tentang adanya Dewan Jenderal yang akan merebut kekuasaan pemerintahan.

Dewan Jenderal adalah sebuah nama yang ditujukan untuk menuduh beberapa jenderal TNI AD yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno pada Hari ABRI, 5 Oktober 1965.

Situasi semakin memanas ketika berkembang isu bahwa Dewan Jenderal merencanakan pameran kekuatan (machts-vertoon) pada hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober 1965 dengan mendatangkan pasukan-pasukan dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Sesudah terkonsentrasinya kekuatan militer yang besar ini di Jakarta, Dewan Jenderal bahkan telah merencanakan melakukan coup kontra-revolusioner.

Alex Dinuth (1997) dalam Dokumen Terpilih Sekitar G.30.S/PKI menyebutkan, susunan Kabinet Dewan Jenderal yang sudah disiapkan, terdiri dari:

1. Perdana Menteri: Jenderal AH Nasution
2. Wakil Perdana Menteri/Menteri Pertahanan: Letjen Ahmad Yani
3. Menteri Dalam Negeri: RM Hadisubeno Sosrowerdojo (Politikus Partai Nasional Indonesia, Mantan Gubernur Jawa Tengah, Mantan Walikota Semarang)
4. Menteri Luar Negeri: Roeslan Abdulgani (Politikus Partai Nasional Indonesia)
5. Menteri Hubungan Perdagangan: Brigjen Ahmad Sukendro
6. Menteri /Jaksa Agung: Mayjen S Parman
7. Menteri Agama: KH Rusli
8. Menteri / Panglima Angkatan Darat: Mayjen Ibrahim Adjie (Pangdam Siliwangi waktu itu)
9. Menteri / Panglima Angkatan Laut: tidak diketahui
10. Menteri / Panglima Angkatan Udara: Marsekal Madya Rusmin Nurjadin
11. Menteri / Panglima Angkatan Kepolisian: Mayjen Pol Jasin

Pimpinan PKI DN Aidit membicarakan isu Dewan Jenderal dengan Subandrio yang merangkap ketua BPI (Badan Pusat Intelijen). Isu itu sampai ke telinga Presiden Soekarno. Bung Karno kemudian menanyakan kepada Pangad Letjen. A. Yani: "Apa benar ada Dewan Jenderal dalam Angkatan Darat, antara lain, untuk menilai kebijaksanaan yang telah saya gariskan?"

Jenderal Yani menjawab, "Tidak benar, Pak. Yang ada ialah Wanjakti (Dewan Jabatan dan Kepangkatan Perwira Tinggi). Dewan ini mengurus jabatan dan kepangkatan perwira-perwira Tinggi Angkatan Darat,".

Lalu isu itu dikembangkan lagi dengan menyebutkan, ada jenderal-jenderal yang tidak loyal pada Pemimpin Besar Revolusi. Dewan Jenderal akan mengadakan coup kontra-revolusioner. Isu itu berkembang sekitar Mei, Juni dan Juli, mencapai puncaknya pada bulan Agustus dan September 1965.

Seperti dikutip dari Sekretariat Negara RI: "Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia - Latar belakang, aksi dan penumpasannya", tanggal 4 Agustus 1965, Presiden Soekarno jatuh pingsan dan muntah-muntah.

Menurut dokter terdapat dua kemungkinan dengan kondisi Soekarno yaitu beliau akan wafat atau akan menjadi lumpuh.
Rupanya kejadian ini menimbulkan pikiran Pimpinan PKI, DN Aidit yang baru kembali dari Moskow dan Peking untuk merebut kekuasaan.

Tampaknya ia berpikir, lebih baik mendahului daripada didahului oleh TNI AD. PKI kemudian melaksanakan rapat dalam rangka menentukan langkah-langkah yang dianggap tepat. Rapat yang dilaksanakan tersebut adalah:

1. Tanggal 6 September 1965 membicarakan mengenai situasi umum dan sakitnya Presiden Soekarno.
2. Tanggal 9 September 1965 membicarakan kesepakatan bersama untuk turut serta dalam mengadakan gerakan dan mengadakan tukar pikiran tentang taktik pelaksanaan gerakan.
3. Tanggal 13 September 1965 tentang peninjauan kesatuan yang ada di Jakarta.
4. Tanggal 15 September 1965, di antaranya membicarakan persoalan kesatua-kesatuan yang akan diajak serta dalam gerakannya.
5. Tanggal 17 September 1965 membicarakan tentang kesatuan yang sudah sanggup dalam gerakan seperti yang disediakan oleh Kol. Inf. A. Latief, Mayor Udara Sujono.
6. Tanggal 19 September 1965 membahas gerakan-gerakan di bidang politik, militer, dan observasi dengan Sjamkamarujaman ditunjuk sebagai koordinatornya.
7. Tanggal 22 September 1965 penentuan sasaran para perwira tinggi Angkatan Darat.
8. Tanggal 24 September 1965 memantapkan kesanggupan dan kesediaan tenaga-tenaga yang telah ditetapkan sebagai pimpinan pasukan-pasukan yang akan digerakkan.
9. Tanggal 26 September 1965 pemantapan terhadap rapat sebelumnya.
10. Tanggal 29 September 1965 penetapan nama gerakannya yaitu Gerakan 30 September dan putusan perubahan hari H dan jam J yang dibuat oleh Sjam.

Saat Tragedi Berdarah

Gerakan G30S ini juga melibatkan sebagian pasukan Tjakrabirawa. Adalah Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Letkol Untung Syamsuri yang memimpin gerakan ini.

Seperti dikutip dari Merdeka.com, Petrik Matanasi, penulis buku, "Tjakrabirawa", Untung memanfaatkan hari ulang tahun ABRI yang jatuh pada 5 Oktober untuk menggalang kekuatan pada 30 September 1965. Dalam peringatan HUT ABRI, dia ditunjuk sebagai pengatur parade pasukan. Posisi ini membuat dia punya kesempatan mengontak bekas anak buahnya di Kodam Diponegoro.

Pasukan G30S dibagi dalam tiga kelompok yakni Pasopati, Bimasakti dan Pringgodani dan dipimpin perwira dari Tjakrabirawa, anak buah Untung.
Pasopati dalam penculikan membunuh langsung tujuh Jenderal AD yang akan diculik. Sebelumnya ada 8 Jenderal yang akan diculik. Namun satu nama, Brigadir Jenderal Ahmad Soekendro lolos karena sedang melawat ke China. Satuan Pasopati terdiri dari 250 anggota Tjakrabirawa.

Sersan Mayor Boengkoes, anggota resimen Tjakrabirawa yang menjadi salah satu pelaku penculikan terhadap tujuh jenderal mengungkap sebelum penculikan terjadi, ada pengarahan di kawasan Halim Perdanakusuma pada 30 September 1960 pukul 15.00 WIB.

Dalam arahan tersebut, disebutkan ada sekelompok jenderal yang dinamakan Dewan Jenderal untuk melakukan kudeta terhadap Soekarno.
Boengkoes mengungkapkan, dia bersama para komandan pasukan kemudian dikumpulkan pada dini hari oleh Komandan Resimen Tjakrabirawa, Letnan Satu Doel Arif. Kemudian pasukan dibagi menjadi tujuh yang bertugas menculik ketujuh Dewan Jenderal. Adapun Boengkoes masuk dalam tim yang bertugas menculik Jenderal MT Harjono, hidup atau mati.

Tepat 1 Oktober 1965 dini hari, rombongan pasukan ini pun berarak dari Lapangan Udara Halim Perdanakusuma kemudian membelah Jakarta. Mereka menuju Menteng, dimana rumah para jenderal berada. Sebagian lagi ke Kebayoran Baru, rumah Jenderal DI Panjaitan.

Tiga dari tujuh jenderal tersebut diantaranya telah dibunuh di rumah mereka masing-masing, yakni Ahmad Yani, M.T. Haryono dan D.I. Panjaitan.

Sementara itu ketiga target lainya yaitu Soeprapto, S. Parman dan Sutoyo ditangkap hidup-hidup. Sementara Jenderal Abdul Harris Nasution yang jadi target utama penculikan berhasil lolos. Sementara putrinya bernama Ade Irma Suryani Nasution meninggal dunia dan ajudannya Lettu CZI Pierre Andreas Tendean yang dikira Nasution diculik.

Korban tewas semakin bertambah disaat regu penculik menembak seorang polisi penjaga rumah tetangga Nasution. Abert Naiborhu menjadi korban terakhir dalam kejadian ini. 

Menurut keterangan Boengkoes, Tjakrabirawa bukan pasukan mengeksekusi mati para jenderal. Dirinya hanya ditugaskan membawa para jenderal itu ke Lubang Buaya. Menurut dia, ada pasukan lain yang melakukan eksekusi tersebut.

Dikisahkan Yutharyani, Perwira Seksi Pembimbingan Informasi Monumen Pancasila Sakti dari TNI Angkatan Darat yang diwawancarai CNN Indonesia, tiga jenderal yang masih hidup termasuk Pierre Andreas Tendean dibawa ke rumah penyiksaan. 

Rumah penyiksaan yang dimaksud Yutharyani itu merupakan kediaman salah seorang warga Desa Lubang Buaya. Rumah itu kini berada dalam Kompleks Monumen Pancasila Sakti. Tak seperti sekarang, dulu Lubang Buaya ialah hutan karet yang sepi penduduk.
"Sebelum dibunuh, mereka disuruh menandatangani yang namanya Dewan Jenderal, tipu muslihat PKI bahwa Angkatan Darat akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah," ujar dia.
"Padahal itu cerita khayalan yang dikarang PKI. Pak S. Parman lalu disuruh tanda tangan. Andai dia mau tanda tangan, berarti TNI AD benar-benar akan melakukan kudeta. Tapi beliau kukuh TNI AD tidak akan melakukan kudeta," kata Yutharyani.
Pada titik itulah, menurut Yutharyani, penyiksaan terhadap para jenderal dan ajudan Nasution yang masih hidup dimulai. Mereka semua Mayjen S. Parman, Mayjen R Suprapto, Brigjen Sutoyo, Lettu Pierre Andreas Tandean akhirnya tewas dibunuh.
"Dipukul, dipopor pakai ujung senjata. Hasil visum menunjukkan ada retak di tulang kepala, tangan dan kaki patah, karena mereka ditendang pakai sepatu lars yang keras,".
Dalam kondisi antara hidup dan mati, ujar Yutharyani, tubuh para jenderal itu lantas digeret dan dimasukkan ke sebuah sumur di Lubang Buaya.
"Setelah tubuh mereka masuk semua, untuk meyakinkan mayat meninggal, mereka langsung ditembak lagi. Lalu jasad ditutup dengan sampah pohon karet, dan ditutup tanah serta ditanah pohon pisang utuh di atasnya seakan-akan di bawah itu tak ada mayat."
Saat jasad para jenderal itu terkubur di sumur Lubang Buaya itu, hari telah berganti. 1 Oktober 1965.

Sumur ditemukan pada sore, 3 Oktober. Sumur lalu digali pakai tangan. Keesokannya, 4 Oktober, mayat diangkat.

Sementara mengenai penyiksaan kepada para jenderal sebelum dimasukan dalam sumur tua di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur, terbantahkan melalui hasil visum yang dilakukan lima dokter atas perintah tertulis yang ditandatangani Soeharto saat itu selaku Pangkostrad.

Kelima dokter itu diperintahkan untuk melakukan otopsi dan VR (visum et repertum) atas jenazah para jenderal tersebut. Kelima dokter itu adalah:

1. Dr. Roebiono Kertopati, Brigadir Jenderal pimpinan tinggi kedua pada Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat.
2. Dr. Frans Pattiasina, Kolonel TNI, Korp Kesehatan Militer Nrp. 14253, Perwira Kesehatan pada RSPAD.
3. Dr. Sutomo Tjokronegoro, Profesor pada Fakultas Kedokteran pada Universitas Indonesia, ahli Penyakit dan Kedokteran Forensik
4. Dr. Liauw Yan Siang. Ahli Kedokteran Forensik Universitas Indonesia,
5. Dr. Lim Joe Thay, Dosen pada Kedokteran Forensik, Universitas Indonesia.

Hasil otopsi dan visum itu tidak menemukan adanya pencungkilan bola mata maupun sayatan pada tubuh jenderal. Para dokter juga tidak menemukan adanya pemotongan pada alat vital salah satu jenderal seperti cerita yang berkembang selama ini.

Asal Usul Lubang Buaya

Suasana di kompleks pemakaman Datuk Banjir di Kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Jauh sebelum tragedi memilukan itu terjadi, nama tempat di Jakarta Timur itu memang sudah disebut Lubang Buaya. Ini tentu memiliki sejarah tersendiri atas penyebutan wilayah tersebut.

Setelah ditelusuri, nama Lubang Buaya tersebut konon disematkan oleh orang sakti zaman dahulu bernama Datuk Banjir. Tempat ini dikenal sebagai markas buaya ganas.

Menurut keturunan Datuk Banjir, Yanto, kala itu sang buyut tengah melintasi sungai besar di kawasan Lubang Buaya dengan menggunakan getek, serta bambu panjang sebagai dayungnya. Namun dalam perjalanan, bambu dayung itu tak menyentuh dasar sungai. Bambu itu tiba-tiba menyentuh ruang kosong.

Setelah itu, lanjut dia, ruang kosong itu seolah menyedot material di atasnya. Akibatnya, bambu dayung dan getek serta Datuk Banjir turut tenggelam. Saat tenggelam itulah, Datuk melihat sarang buaya di dasar sungai.
"Bambu panjang (buat dayung) itu makin tenggelem, sampai bener-bener tenggelem. Lalu Mbah juga ikut tenggelem. Namun tiba-tiba dia muncul di deket sini," kata Yanto kepada Liputan6.com, Rabu, 22 Maret 2017, sambil menunjuk hamparan tanah kosong berupa rawa-rawa.
Setelah tenggelam ke dalam sungai dan muncul dengan tiba-tiba, Datuk Banjir kemudian menepi. Dia merenungi pengalaman spritual itu termasuk saat melihat sarang buaya di dalam sungai itu.
"Karena itulah dinamai Lubang Buaya dan Mbah langsung bermukim di sini, beranak pinak, sampai saya sekarang," kata Yanto.
Datuk Banjir hidup di zaman Belanda masih menjajah. Ia turut serta dalam perjuangan melawan kompeni. Dalam pertempuran melawan Belanda, Datuk Banjir disebutkan menunjukkan kesaktiannya.

Meski kisah-kisah itu disebut tak masuk logika, Yanto menyatakan kejadian itu memang terjadi. Bahkan sekitar dua bulan lalu, peristiwa yang sama juga terjadi.
"Ya, bisa kelelep gitu, kayak orang kelelep. Mereka (serdadu kompeni) kayak tenggelem. Dua bulan lalu ada yang berenang segala, itu di aspal, ada tentara yang berenang. Pas ditanya, dia bilang ada banjir, padahal kering," tutur Yanto.
Kejadian yang dialami tentara itu lantaran sang prajurit dianggap bersikap arogan. Dia tidak mengindahkan pantangan yang ada sehingga seolah-olah merasa tenggelam​.
"Enggak usah dilanjutin. Tapi ya gitu, sudah dibilang jangan, masih dikerjain, ya kena jadinya," ucap Yanto
Hingga akhir hayatnya, Datuk Banjir mengajarkan ilmu agama dan ilmu silat, serta ilmu batin. Ia meninggal dunia di Lubang Buaya dan dimakamkan tak jauh dari Monumen Pancasila Sakti.

Lubang Buaya Kini

Sejumlah siswa berfoto bersama di depan Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta, Minggu (1/10). Bertepatan dengan hari Kesaktian Pancasila, sejumlah pelajar mengadakan napak tilas ke monumen Kesaktian Pancasila. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sejak 30 September 1965, Lubang Buaya berubah wujud. Pemerintah Orde Baru di bawah Soeharto menyulapnya menjadi kompleks memorial megah.

Dua tahun setelah Gerakan 30 September, 1967, Soeharto membebaskan 14 hektare lahan di Lubang Buaya dari permukiman warga. Enam tahun kemudian, 1973, di atas lahan itu diresmikan Kompleks Monumen Pancasila Sakti.

John Roosa, Associate Professor Departemen Sejarah University of British Columbia dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, mengistilahkan Lubang Buaya kini sebagai “tanah keramat.”

"Sebuah monumen didirikan dengan tujuh patung perunggu para perwira yang tewas. Semua berdiri setinggi manusia dengan sikap gagah dan menantang. Pada dinding belakang deretan patung para perwira, ditempatkan patung garuda raksasa dengan sayap mengembang," demikian John Roosa memaparkan dalam bukunya.

Di Kompleks monumen Pancasila Sakti juga dijadikan area tempat wisata bagi orang-orang yang ingin mengetahui sejarah.
Kompleks Lubang Buaya kini memang bukan hanya berfungsi sebagai monumen sejarah, tapi juga jadi bagian dari wisata ziarah.

Sementara sumur yang menjadi tempat pembuangan jasad para jenderal menjadi situs inti di zona utama Kompleks Memorial Lubang Buaya. Seperti dikutip dari CNN Indonesia, situs itu memiliki luas sembilan hektare.
Lubang sumur berdampingan dengan tiga bangunan yang menjadi saksi bisu Gerakan 30 September 1965, yakni rumah penyiksaan, pos komando, dan dapur umum.

Kompleks Lubang Buaya terus mengalami penataan sepanjang Orde Baru. Terhitung dua dekade setelahnya, Soeharto membangun dua museum sebagai etalase sejarah dalam bentuk diorama.

Pada 1981, Soeharto meresmikan Museum Paseban yang merunutkan cerita persiapan pemberontakan, penculikan jenderal, penganiayaan, pelarangan Partai Komunis Indonesia, hingga peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto.

Selanjutnya pada 1992, Soeharto meresmikan Museum Pengkhianatan PKI. Ini museum penutup sebelum Soeharto lengser pada 1998. Museum ini memuat diorama tentang sepak terjang PKI di Indonesia.

Peristiwa G30S tahun 1965, dengan Lubang Buaya sebagai lokasi sentral tragedi menjadi tanda berakhirnya riwayat PKI. Kejadian itu membuat PKI dihancurkan, dan dinyatakan sebagai partai terlarang tahun berikutnya, 1966.

Benar atau tidaknya eksistensi Dewan Jenderal tak diketahui jelas hingga saat ini, sama seperti G30S yang memiliki sejarah gelap, dengan dalang yang tak pernah terungkap.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Kamis, 04 Oktober 2018

Kronologi Tertembaknya Ade Irma Nasution Versi Bekas Prajurit Cakrabirawa


Muhamad Ridlo - 04 Okt 2018, 01:02 WIB

Sulemi bersumpah prajurit Cakrabirawa tak sengaja menembak Ade Irma Nasution. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Purwokerto - Perawakannya kurus tinggi. Di usianya yang ke 77 tahun, bekas prajurit Cakrabirawa, Sulemi, tampak masih trengginas. Di hadapannya, sebungkus kretek dan segelas kopi kental menemani obrolan kami sore itu.

Pada mulanya, mantan pengawal pribadi Presiden Soekarno ini tampak biasa dan rileks. Namun, ketika mulai bercerita peristiwa 1 Oktober 65, ia tampak muram.

Sebelum bercerita, pria kelahiran 1940 ini bersumpah bahwa dia akan menceritakan sebenar-benarnya peristiwa malam 1 Oktober yang kelak mengubah nasibnya dari prajurit terhormat menjadi pesakitan, termasuk kronologi tertembaknya Ade Irma Nasution.

Ia berkisah, Rabu, 29 September 1965, ia dikumpulkan komandan kompinya, Letnan Satu Dul Airif, dan menginformasikan bahwa Presiden Soekarno terancam oleh kelompok Dewan Jenderal.

Dewan Jenderal akan menggulingkan Presiden Soekarno pada 5 Oktober 1965, yang berarti kurang dari sepekan. Maka, Komandan mereka di Batalion 1 Kawal Kehormatan Cakrabirawa, Letnan Kolonel Untung, memutuskan untuk bertindak dan menghadapkan anggota Dewan Jenderal kepada Presiden Sukarno.
"Ada instruksi Komandan Batalion, yakni Letkol Untung ya. Yang mengatakan bahwa mulai tanggal itu juga, untuk Batalion 1 Kawal Kehormatan itu, situasi konsinyir berat, untuk menghadapi nanti pada tanggal 5 Oktober akan terjadi kudeta, dari para perwira-perwira Angkatan Darat," dia menerangkan kepada Liputan6.com akhir 2017 lalu.
Sulemi adalah seorang prajurit yang ditugaskan mengawal keselamatan Presiden Sukarno. Maka, ia pun menyimpukan bahwa keselamatan Sukarno terancam. Dan itu adalah tanggung jawabnya sebagai pengawal pribadi Sukarno.

Lantas, tiba tanggal 1 Oktober dini hari. Sulemi tergabung menjadi salah satu anggota pasukan yang bertugas menjemput para jenderal. Perintahnya saat itu jelas, jemput hidup atau mati. Sulemi, bersama sekitar 35 kawan dari lintas kesatuan bertugas menjemput Jenderal Nasution.

Lantaran informasi yang keliru, pasukan Cakrabirawa itu sempat salah sasaran. Mereka masuk ke rumah menteri JE Leimana yang rumahnya bersebelahan dengan rumah Nasution.

Dini hari di Rumah Nasution

Lantaran terlibat penculikan Jenderal Nasution, bekas prajurit Cakrabirawa, Sulemi, meringkuk di penjara selama 15 tahun. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Sulemi menggambarkan, malam itu suasana amat tegang ketika pletonnya tiba di kediaman Nasution. Namun, semuanya berjalan lancar. Tiba di gerbang utama, mereka diantar oleh satu pleton penjaga kediaman Nasution yang berasal dari Kostrad. Mereka diantar ke dalam rumah.

Di pintu utama, pintu tak terkunci. Namun, ketika masuk, 10 anggota penjemput tak menemukan Nasution. Mereka pun lantas mencarinya di beberapa kamar. Dari salah satu kamar, Nasution tiba-tiba membuka pintu.

Namun, melihat ada tiga prajurit Cakrabirawa di depan pintu, Nasution kembali mengunci pintu. Sulemi lantas meminta agar pintunya dibuka.
Namun, tak ada jawaban.
"Mungkin sudah curiga, kalau melihat Cakrabirawa," kata Sulemi, saat ditemui di rumahnya di Purbalingga.
Sebagai prajurit, Sulemi perintahnya adalah menjemput hidup atau mati. Dua anggota pasukan, Kopral Sumarjo dan Hargiono, membuka paksa kunci besi dengan rentetan senjata sten atau senapan serbu.

Senjata menyalak. Pintu pun terbuka, tetapi Nasution sudah tak ada di kamarnya.

Sementara, Sulemi mendengar ada suara rentetan tembakan senjata serbu dari luar rumah. Nasution kabur melompat pagar. Ia tak bisa memastikan siapa yang menembak di luar rumah kala itu.

Namun, ia bisa memastikan bahwa pemegang senjata bren adalah Kopral Sarjo. Meski demikian, mereka tak mengejarnya. Sebab, perintah mereka adalah menjemput tanpa menganggu tetangga sekitarnya.

Di dalam rumah, suasana semakin tegang. Di dalam kamar, Sulemi sempat melihat istri Nasution berjalan bolak-balik dengan gelisah sembari menggendong Ade Irma.

Ia sama sekali tidak tahu bahwa Ade Irma tertembak. Noda darah yang selintas dilihatnya dikira hanya luka goresan. Ade Irma pun ternyata anak yang benar-benar tabah.

Tembakan ke Gagang Kunci Meleset ke Punggung Ade Irma

Sulemi dan istri kini adalah sepasang kakek-nenek yang berbahagia dikelilingi anak, cucu dan saudara yang mencintainya. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Saat itu, Sulemi baru mendengar, ada seorang anak menangis. Namun, ia tak berpikir bahwa anak itu, Ade Irma Nasution, tertembak kala Sumarjo dan Hargiono menembak gagang pintu.
"Saat itu tidak menangis. Baru setelah saya keluar, ada suara tangisan anak kecil. Tapi saya kira itu tangisan karena takut," dia menerangkan.
Tembakan gagang kunci inilah malapetaka untuk Ade Irma Nasution.
Rupanya, satu peluru dari senapan prajurit Cakrabirawa meleset dari gagang kunci dan mengenai punggung bocah berusia 5 tahun yang tengah digendong ibunya.

Ia bersumpah, tembakan yang mengenai punggung Ade Irma Nasution adalah pantulan dari peluru yang ditembakkan ke gagang kunci. Sama sekali tak ada unsur kesengajaan menembak anak kecil tak berdosa.

Belakangan, cerita tertembaknya Ade Irma diramatisir menjadi salah satu bukti kekejaman Cakrabirawa. Ia muncul dalam film dan narasi-narasi sejarah.

Cakrabirawa digambarkan sebagai pasukan yang kejam dan tak memiliki hati. Padahal, saat itu Cakrabirawa hanya berniat menjemput Nasution dan tak berniat sedikit pun mencelakai Ade Irma yang kala itu baru berusia 5 tahun.
"Edan apa. Buat apa, anak tidak ada sangkut pautnya. Itu yang sangat luar biasa fitnahnya. Wong saat di dalam itu, dia kena peluru itu saya juga tidak tahu. Setelah saya sampai di luar rumah itu, mendengar dia menangis," dia mengungkapkan.
Akibat terlibat penculikan dan dianggap terlibat G30S PKI, Sulemi divonis mati. Belakangan, vonisnya diringankan di tingkat banding menjadi penjara seumur hidup. Akan tetapi, penyiksaan di luar perikemanusiaan mesti ditanggungnya selama dalam tahanan.

Senasib dengan Sulemi, dua orang penembak kunci pintu juga divonis berat. Hargiono dihukum mati, sementara Sumarjo dihukum seumur hidup.

Sulemi bebas pada tahun 1980, usai ada tekanan lembaga HAM internasional. Saat itulah ia baru tahu, Ade Irma Nasution, tertembak dan meninggal dunia beberapa hari kemudian.
"Saya baru mengetahui Ade Irma tertembak itu, kan, di luar," dia menambahkan.

Minggu, 01 Oktober 2017

Mengapa Bung Karno Ada di Halim pada 1 Oktober 1965?


Yus Ariyanto - 01 Okt 2017, 12:52 WIB

Presiden Sukarno dan Mayjen Soeharto (AFP PHOTO)

Jumat, 1 Oktober 1965 sekitar pukul 06.45. Rombongan Presiden Sukarno melintas di Jalan Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat, ketika Kolonel CPM Maulwi Saelan menerima informasi kehadiran pasukan tak dikenal di luar Istana Merdeka.

Resimen Tjakrabirawa adalah pasukan pengawal presiden dan keluarganya. Kini namanya Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). Maulwi saat itu adalah Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa, 
"Segera putar arah ke Grogol. Saya menunggu di sana," kata Maulwi via radio.
Grogol yang dimaksud adalah rumah Haryati, salah seorang istri Bung Karno. Pada 30 September malam, Bung Karno menginap di rumah Dewi, istrinya yang lain, di Wisma Yaso (kini Museum Satria Mandala) di Jl Gatot Subroto.

Sebelumnya, usai salat Subuh di rumah, Maulwi menerima kabar ada penembakan di rumah Wakil Perdana Menteri II, Johannes Leimena dan rumah Menhankam/Kasab, Jenderal AH Nasution. Maulwi segera bergerak mencari Bung Karno. Komandan Tjakrabirawa, Brigjen Sabur, sedang di Bandung.

Sekitar pukul 07.00, Bung Karno bersama pengawal tiba di Grogol. Saelan lalu melaporkan informasi yang dia terima. Mendengar ada penembakan di rumah para jenderal, Bung Karno terkejut.
“Wah, Ik ben overrompeld. Wat wil je met me doen? (Aku diserbu. Apa yang kamu mau aku lakukan?)” tanya Bung Karno
“Sementara kita di sini dulu, Pak. Kami mau mencari keterangan dan kontak dengan Panglima Angkatan dan Kodam Jaya, serta menanyakan situasinya,” jawab Saelan. 
Kelak, diketahui bahwa pasukan tak dikenal di sekitar Istana adalah mereka yang mendukung G30S.

Bung Karno akhirnya memutuskan pergi ke Pangkalan AU Halim Perdanakusuma. Sekitar pukul 08.30, Sang Proklamator dan rombongan berangkat menuju Halim dan tiba setengah jam kemudian.

Maulwi menerangkan, dikutip dari Maulwi Saelan: Penjaga Terakhir Soekarno, sesuai SOP Tjakrabirawa, ada dua pilihan tempat evakuasi Bung Karno dari Istana dalam keadaan darurat. Pertama, Halim karena di sana ada pesawat kepresidenan Jetstar C-140. Kedua, dibawa ke Tanjungpriok, tempat kapal kepresidenan Varuna I-II bersandar.

Lubang Buaya Bagian dari Halim?

Di Markas Komando Operasi (Koops) Halim Perdanakusuma telah menunggu Men/Pangau, Laksmana Madya Omar Dhani, dan Panglima Koops, Komodor Leo Wattimena. Omar Dani kemudian melaporkan situasi yang terjadi.
Sekitar pukul 10.00 Wakil Komandan G30S, Brigjen Supardjo, tiba di Halim.
Dia meminta Bung Karno mendukung aksi penculikan dan penembakan terhadap sejumlah jenderal yang dilakukan tadi malam. Bung Karno menolak, malah meminta Supardjo menghentikan aksi.
"Ketika Brigjen Supardjo meninggalkan Koops, wajahnya lesu dan tampak kecewa sekali," kenang Saelan dalam buku yang ditulis Bonnie Triyana dkk itu.
Belakangan, muncul tudingan Bung Karno ada di Halim karena mendukung G30S.

Halim memang dekat dengan Lubang Buaya, tempat jenazah korban G30S ditaruh. Jarak Markas Koops dengan sumur tua di Lubang Buaya, jika ditarik garis lurus, hanya 3,5 km. Namun, Lubang Buaya bukan bagian dari kawasan militer AURI tersebut.
Menurut Humaidi dalam tesisnya di Pascasarjana UI, Pangkostrad Mayjen Soeharto sedari awal menyebut Lubang Buaya merupakan bagian dari Halim. Pada pidato saat penemuan jenazah, 4 Oktober 1965, Soeharto mengatakan,   "Kalau kita lihat tempat ini adalah Lobang Buaya. Daerah Lobang Buaya adalah termasuk dari daerah Lapangan Halim."
Pada gilirannya terbangun cerita: siapa saja ada di Halim pada 30 September atau 1 Oktober 1965, layak dicurigai terlibat G30S.
"Dengan demikian, pidato Soeharto lebih merupakan suatau upaya untuk mendiskreditkan AURI," tulis Humaidi dalam tesis berjudul Politik Militer Angkatan Udara Republik Indonesia dalam Pemerintahan Sukarno 1962-1966 tersebut.