Muhamad Ridlo - 06 Okt
2017, 02:00 WIB
Mantan Anggota Cakrabirawa, Ishak, berfoto dengan latar belakang
lukisan saat masih aktif berdinas. Ia masih gagah di usianya yang ke 81 tahun.
(Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Purbalingga - "Tahu polisi yang selamat
dari Lubang Buaya, Sukitman kan. Sukitman saya yang
menyelamatkan," tiba-tiba Ishak, menyela, kala bercerita soal tragedi 1
Oktober 1965.
Ishak adalah mantan anggota pasukan elite pengawal
presiden, Cakrabirawa. Tugasnya di ring 1 adalah menjaga keselamatan presiden,
sebagai unit yang selalu menempel ke mana pun presiden bergerak.
Sebelum menjadi pengawal paling dekat Sukarno, dia adalah
ajudan Letkol Untung, Komandan Cakrabirawa yang akhirnya divonis mati karena
dinyatakan bersalah melakukan kudeta dan menggerakkan pasukan untuk membunuh
enam jenderal dan satu perwira AD.
Ishak berkisah pada Jumat, 1 Oktober 1965, sedianya ia
akan mengawal Presiden Sukarno ke Bogor, Jawa Barat. Ia tak terlalu paham
agendanya. Namun, berdasarkan informasi yang diperolehnya waktu itu, presiden
hendak hadir di sebuah acara olahraga.
"Sebagai prajurit, informasi detailnya yang seperti
itu baru akan diberitahukan ketika akan berangkat. Kita kalau akan berangkat
baru diberi pembagian tugas," ucapnya, Selasa, 4 Oktober 2017.
Tetapi, ia batal mengawal Presiden Sukarno. Pasalnya,
pada sore 30 September 1965, tiba-tiba Letkol Untung, Komandan Cakrabirawa
memintanya untuk mendampinginya ke Lubang Buaya. Tempatnya digantikan oleh pengawal
lainnya, Bagyo.
"Kamu ikut saya saja," Ishak menirukan perintah
Letkol Untung.
Pada 1 Oktober 1965 dini hari, tugasnya adalah mengantar
Letkol Untung, tak ada yang lain. Ketika satu kompi Cakrabirawa bertugas
menjemput para jenderal, ia tetap berada di Lubang Buaya.
Ia lebih banyak menghabiskan waktu di jipnya. Tempat
parkirnya, ia sebut, relatif jauh dari pusat kegiatan, sehingga tak begitu
memahami detail peristiwa yang terjadi.
"Tugas Cakrabirawa saat itu, menjemput para jenderal
untuk dihadapkan kepada presiden. Kalau saya tugasnya mengantar Letkol Untung.
Saya tidak ikut menjemput," kata dia.
Informasi samar-samar beredar. Enam jenderal berhasil
dijemput. Namun, dua orang meninggal dunia lantaran melawan. Tak berapa lama,
rentetan tembakan terdengar. Enam jenderal dan satu perwira AD meninggal dunia.
Di tengah situasi yang tak pasti itu, ia mendapat firasat
yang buruk.
"Wah, salah ini. Lutut saya langsung lemas. Apes
saya. Mati saya," ujarnya.
Di tengah kekalutan situasi kala itu, ia diperintahkan
untuk menembak mati Sukitman. Ia adalah polisi yang ditangkap di sekitar
kediaman Mayor Jenderal DI Pandjaitan. Sukitman dikhawatirkan akan membocorkan
lokasi penguburan para jenderal.
"Saya jawab. Orang tidak salah kok ditembak,"
ujarnya, menceritakan situasi kala itu.
Atasan di Cakrabirawa itu, kata Ishak, lantas pergi,
tanpa berbicara apa pun. Rupanya, anggota Cakrabirawa yang memberi perintah itu
juga tengah kalut. Saat situasi memungkinkan, dia memerintahkan Sukitman
bersembunyi di jipnya.
"Lalu saya bilang ke Sukitman, sudah kamu tiduran
saja di jip saya. Lalu saya bawa ke Istana Negara. Sukitman kemudian
pergi," ucap Ishak.
Bertahun-tahun kemudian, Ishak dan Sukitman dipertemukan
di Rutan Salemba. Kondisi terbalik kala itu. Ishak yang tadinya berbobot 73
kilogram, saat itu sudah turun menjadi 40 kilogram. Namun, polisi itu rupanya masih mengenali Ishak.
"Waktu bertemu itu, Sukitman itu sampai nyembah-nyembah karena
saya menyelamatkan dia," ujarnya mengenang.
0 komentar:
Posting Komentar