Oleh: Fadiyah Alaidrus - 20 Oktober 2019
Presiden Joko Widodo memberikan keterangan pers usai menjenguk Menko
Polhukam Wiranto di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (11/10/2019). ANTARA
FOTO/Aditya Pradana Putra/foc.
Di era Jokowi, kasus pelanggaran HAM masa
lalu tak terbongkar. Justru daftarnya jadi tambah panjang.
Salah satu yang membedakan Joko Widodo dengan Prabowo
Subianto dalam Pilpres 2014 lalu adalah latar belakang keduanya. Prabowo
dianggap punya sejarah kelam saat masih aktif jadi tentara, sementara Jokowi
antitesisnya: seorang sipil yang demokratis, pun bukan berasal dari lingkaran
elite Orde Baru.
Perbedaan itu semakin dipertegas ketika Jokowi memasukkan
agenda penuntasan kasus pelanggaran HAM dalam Nawacita--sembilan agenda pokok
yang akan dia laksanakan saat terpilih.
Beberapa kasus yang akan ia bongkar adalah kerusuhan Mei
1998, Tragedi Trisakti, Semanggi 1 dan 2, penghilangan paksa, Talangsari 1989,
Tanjung Priok 1984, hingga Tragedi 65.
Lima tahun nyaris berlalu, dan Jokowi dipastikan akan
memimpin lagi untuk periode kedua. Tapi janjinya dulu itu tidak ada satu pun
yang rampung.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
(Kontras), sebuah lembaga non-pemerintah yang fokus mengadvokasi isu HAM,
mengatakan Jokowi gagal melaksanakan 6 dari 17 program HAM saat sudah memimpin
Indonesia selama empat tahun.
Selain perkara penuntasan kasus pelanggaran HAM, Kontras
juga menyebut Jokowi gagal menepati janji menghapus segala bentuk impunitas
dalam sistem hukum nasional, termasuk di dalamnya merevisi Undang-Undang
Peradilan Militer.
Janji Jokowi juga bukan hanya jalan di tempat, tapi bisa
dikatakan mundur. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
Asfinawati justru menilai alih-alih menuntaskan kasus HAM, pemerintahan Jokowi
malah menambah panjang daftar tersebut.
“Nawacita yang penuh soal penegakan HAM dan hukum tidak dijalankan,” ujar Asfinawati kepada reporter Tirto, Jumat (18/10/2019). “Yang ada malah sebaliknya.”
Daftar yang Asfin maksud adalah kasus 21-23 Mei, 23-30
Oktober, dan Papua.
Sembilan orang tewas saat terjadi kerusuhan di Jakarta,
Mei lalu. Empat orang di antaranya, kata polisi, tewas ditembus peluru tajam.
Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari sejumlah LSM mengatakan “ada
indikasi pelanggaran HAM” dalam penanganan demonstrasi 21-23 Mei. Demo itu
sendiri adalah ekspresi atas ketidakpuasan terhadap hasil Pilpres 2019 yang
memenangkan Jokowi.
Kasus 23-30 Oktober hampir mirip. Beberapa pemuda
meninggal dunia setelah turut serta dalam aksi demonstrasi menentang berbagai
kebijakan yang dianggap tidak sesuai dengan semangat demokrasi. Bedanya, korban
tidak hanya jatuh di Jakarta, tapi juga di kota lain. Dua kasus itu belum
terbongkar sampai sekarang.
Pelakunya masih gelap. Pun dengan kasus kerusuhan di
Papua, yang salah satunya dipicu aksi rasisme warga dan aparat terhadap
mahasiswa Papua yang tengah studi di Surabaya, pertengahan Agustus lalu.
Asfin lantas menyimpulkan di era pemerintahan Jokowi
aparat “makin represif.”
Pernyataan Asfin selaras dengan hasil penelitian
Indonesian Legal Roundtable (ILR). Mereka menyebut indeks hukum dan HAM selama
masa pemerintahan Jokowi lebih rendah dibanding masa pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY).
Indeks hukum dan HAM Indonesia satu tahun sebelum Jokowi menjabat berada di angka 5,4. Tahun 2014, angkanya menurun menjadi 4,15 dan bahkan turun lagi setahun setelahnya, 3,82. Dua tahun berturut-turut memang kembali naik, tapi tetap di bawah era SBY: 4,25 (2016) dan 4,51 (2017).
Indeks hukum dan HAM Indonesia satu tahun sebelum Jokowi menjabat berada di angka 5,4. Tahun 2014, angkanya menurun menjadi 4,15 dan bahkan turun lagi setahun setelahnya, 3,82. Dua tahun berturut-turut memang kembali naik, tapi tetap di bawah era SBY: 4,25 (2016) dan 4,51 (2017).
Peneliti ILR Erwin Natosmal Oemar menegaskan penurunan
ini adalah efek dari kebijakan pemerintah.
“Aktor penurunan indeks HAM ini bukan masyarakat sipil, seperti konflik horizontal, tetapi oleh pemerintah sendiri. Jadi problem HAM-nya bukan lagi soal konflik horizontal, tetapi konflik vertikal, sebagaimana yang terjadi di Orde Baru,” kata Erwin saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (18/10/2019).
Menurutnya “selain ada gap antara Jokowi dengan yang di bawahnya” seperti Polri dan Kejaksaan, masalah lain adalah “Jokowi sebenarnya juga tak memiliki perhatian.”
“Jadi,” katanya, “ketika ada problem di tingkat bawah, ya dia (Jokowi) menganggap itu bukan masalah dia, tapi masalah orang di bawahnya.”
Erwin lantas menyimpulkan kalau isu HAM hanya “gimik
politik.” Dalam arti, isu ini hanya dipakai sebagai komoditas untuk menarik
perhatian masyarakat alias para pemilih. Isu HAM hanya ditempel agar Jokowi
kontras dengan lawan politiknya, Prabowo.
Dan itu semakin kentara saat ini, ketika “terjadi
kolaborasi antara Prabowo dan Jokowi (dalam konteks koalisi).”
“HAM tidak pernah diletakkan sebagai dasar atau standar untuk sebuah kebijakan, tapi di bawah yang lainnya, dibandingkan pertumbuhan ekonomi, investasi, dan lain-lain,” katanya.
Presiden Ingin Menyelesaikan...
Kasus Mei, Oktober, dan Papua sejauh ini masih coba
dituntaskan pemerintah, meski kabarnya makin lama semakin senyap.
Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan, mengatakan “sulit mengelola stabilitas dengan demokrasi” untuk menjawab tudingan bahwa di era Jokowi demokrasi malah berjalan mundur. “Seolah-olah keras sekali zaman pak Jokowi, tapi sesungguhnya tidak.”
Sementara terkait janji penuntasan kasus pelanggaran HAM,
Moeldoko menegaskan kalau sebenarnya “presiden ingin menyelesaikan ini.”
“Tapi masalahnya,” kata Moeldoko di Jakarta, Jumat (18/10/2019), seperti dikutip dari Antara, “persoalan masa lalu sudah cukup lama sehingga ketersediaan bukti, saksi, dan unsur-unsur inilah yang menghambat penyelesaian secara tuntas.”
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Rio Apinino
Kasus-kasus seperti 21 Mei, peristiwa Oktober,
menambah panjang pekerjaan rumah yang harus diselesaikan
0 komentar:
Posting Komentar