19 Oktober 2018
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Ifdhal Kasim, menyebut Presiden
Jokowi telah menunjukkan komitmen pada perkara HAM. GETTY IMAGES
Presiden Joko Widodo diragukan mampu menyelesaikan
setidaknya satu kasus pelanggaran hak asasi manusia saat masa kepemimpinannya
habis 20 Oktober 2019.
Namun pemerintah mengklaim selama ini telah berupaya
keras menuntaskan kasus-kasus yang ada dan menyebut penyelesaian perkara kini
ada di tangan Kejaksaan Agung dan Komnas HAM.
"Soal kasus HAM berat, Jokowi belum lulus," kata Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, di Jakarta, Jumat (19/10).
Menurut Taufan, realisasi janji penuntasan kasus HAM
selama ini berhenti pada tataran pernyataan publik. Jokowi disebutnya tak
pernah memerintahkan Kejagung secara tegas untuk menggulirkan perkara HAM ke
pengadilan.
"Untuk menyelesaikan dalam satu tahun tidak mungkin, tapi bisa untuk memberikan arahan yang tegas, misalnya agar Jaksa Agung segera membentuk tim penyidik. Itu jelas, bukan hanya pernyataan," kata Taufan.
Dihubungi terpisah, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf
Presiden, Ifdhal Kasim, menyebut Jokowi telah menunjukkan komitmen pada perkara
HAM.
Ia mengatakan pemerintah kini fokus untuk menyelesaikan
kasus HAM di Wamena dan Wasior, di Papua.
"Ada progres yang dilakukan. Kalau dikatakan tidak ada sama sekali, jelas itu menyesatkan karena pemerintah ini bekerja. Memang belum sampai pada digelarnya pengadilan. Karena itu perlu waktu," ujarnya kepada BBC News Indonesia.
Ifdhal mengatakan, pemerintah tak dapat mencampuri proses
penyelidikan perkara Wamena (2003) dan Wasior (2001) yang tengah berjalan di
Kejagung. Ia menyebut jaksa dan penyelidik Komnas HAM yang sebenarnya justru
sangat berperan dalam tahapan itu.
"Jadi pemerintah sudah menunjukkan komitmen, itu bukan semata untuk kepentingan elektoral, tapi dilandasi kemauan politik," kata Ifdhal.
Lebih dari itu, Ifdhal menjelaskan setiap pemerintahan
pascareformasi akan menghadapi kesulitan yang sama dalam kasus HAM. Ia
menyatakan, Jokowi tak mau mengorbankan stabilitas pemerintahan demi isu HAM.
"Pemerintahan Gus Dur sangat berani tapi risikonya dia jatuh. Belajar dari itu, pemerintahan setelahnya lebih memilih berkalkulasi agar tidak menyebabkan terganggunya stabilitas politik," kata Ifdhal.
Kasus agraria
Tak cuma perkara pelanggaran HAM, Komnas juga mencermati
kasus agraria yang terjadi seiring berbagai proyek infrastruktur di era
pemerintahan Jokowi.
Presiden Jokowi didesak tegas menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran
HAM. BBC INDONESIA
Jumlah kasus itu dikhwatirkan meningkat setelah dicapai
kesepakatan investasi infrastruktur senilai lebih dari Rp245 triliun dalam
pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia di Bali, pekan lalu.
"Kami khawatir, semakin besar investasi infrastrukur, lahan akan semakin dikuasai swasta. Bukan hanya terjadi pengosongan lahan, tapi juga intimidasi terhadap masyarakat," kata Taufan.
Meski begitu, Komnas HAM mencatat perbaikan pengelolaan
konflik saat Jokowi menerbitkan Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria.
Beleid itu menjamin strategi mengatasi ketimpangan
kepemilikan lahan dan proses penanganan sengketa agraria.
"Isu agraria nilai untuk pemerintah belum sampai 50 karena kasusnya banyak sekali. Tapi paling tidak sudah ada kerangka hukum meski belum memuaskan," ujar Taufan.
Dalam catatan Komnas HAM, dalam setahun terakhir kasus
intoleransi dan pelanggaran atas kebebasan berekspresi marak terjadi di
Indonesia.
Taufan menyebut kepolisian gagal menindak pelaku
penyerangan kelompok rentan seperti Ahmadiyah. Di sisi lain, kepolisian
dianggap tak netral dalam sejumlah kasus pembubaran diskusi maupun persekusi
kelompok minoritas.
"Pekerjaan rumah masih cukup banyak, karena tinggal beberapa bulan lagi, pemerintah seharusnya menetapkan skala prioritas penyelesaian kasus," kata Taufan.
0 komentar:
Posting Komentar