Callistasia Wijaya | Wartawan
BBC News Indonesia
BBC INDONESIA/DWIKI MARTA
Mantan guru dan
purnawirawan polisi di Nusa Tenggara Timur bercerita mengenai apa yang mereka
sebut beban yang masih mereka pikul akibat diperintahkan untuk terlibat dalam
pembantaian massal terkait peristiwa 1965.
Mereka mengatakan
tidak berdaya untuk menolak karena dapat dikaitkan dengan PKI.
Namun kisah-kisah
mengerikan masih menghantui mereka dan di antaranya mereka kisahkan kepada para
peneliti dari Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT) yang membantu
para korban 1965.
Mantan guru yang
terlibat dalam menggiring mereka yang ditahan ini mengharapkan pemerintah
membantu "rekonsiliasi" dengan para penyintas.
Terkait
rekonsiliasi, Letjen TNI Purnawirawan Agus Widjojo, yang menjadi panitia
pengarah Simposium Membedah Tragedi 1965 pada April 2016, mengatakan masyarakat
masih belum siap dengan rekonsiliasi.
"Semua masuk
rekonsiliasi dulu. Dari rekonsiliasi, setelah itu bisa diatur oleh kebijakan
pemerintah," ujar Agus.
Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia, Komnas HAM pada 23 Juli 2012 lalu menyatakan peristiwa brutal
yang diduga menewaskan lebih dari 500.000 di Indonesia merupakan pelanggaran
HAM berat.
Di Nusa Tenggara
Timur, setidaknya 800 orang meninggal dalam pembunuhan dalam kejadian lebih
dari 50 tahun lalu itu, seperti dilaporkan peneliti James Fox yang dikutip dari
buku 'Keluar dari Ekstremisme'.
Inilah kisah mantan
guru dan purnawirawan polisi.
Peringatan: Artikel
ini berisi unsur kekerasan.
Malam, 23 Maret 1966, lapangan Hanga Loko Peda'e, Seba,
Kabupaten Sabu Raijua, mencekam.
Petrus Bara Pa, yang saat itu seorang guru Sekolah Rakjat
(SR), ditugaskan untuk menjadi satu dari dua orang yang harus mengapit
orang-orang yang dituding PKI ke dalam lubang eksekusi.
Seorang guru laki-laki dipilih menjadi orang yang akan
ditembak pertama kali malam itu
Petrus mengatakan seperti domba yang siap disembelih,
guru itu pun digiring olehnya ke lubang dan didudukannya, tanpa ada sedikit pun
perlawanan.
Eksekutor pun mempersilahkan sang guru untuk berdoa dan
Petrus bersiap meninggalkan lubang.
Tak disangka, eksekutor buru-buru menarik pelatuk laras
panjangnya, saat sebagian tubuh Petrus masih berada di lubang. Cahaya yang
seperti kilat menusuk mata Petrus, diikuti suara 'DOR'.
Petrus Bara Pa menunjukkan kuburan massal tempat 34 orang dimakamkan. BBC
INDONESIA/DWIKI MARTA
Tubuhnya sontak basah oleh darah dan potongan-potongan
otak.
Petrus mengatakan tubuhnya sontak basah oleh darah dan
potongan-potongan otak.
"Bapak guru yang saya dudukan itu, saya lihat hanya tubuhnya saja, sampai dengan lehernya, kepala sudah tidak ada," ujar Petrus mengenang peristiwa 54 tahun silam.
Ia kemudian diperintahkan oleh aparat keamanan untuk
memegang lampu petromaks di sisi lubang, karena malam semakin larut.
"Dar-Dor-Dar-Dor... dua puluh sembilan orang ditembak di lubang itu," ujar Petrus.
Petrus Bara Pa menjelaskan orang-orang yang dituding PKI dieksekusi
dengan laras panjang dan parang. BBC INDONESIA/DWIKI MARTA
Sementara, dua orang lagi dieksekusi dengan parang karena
laras panjang tidak bekerja.
"Pemegang parang langsung, 'TAK', kepalanya lewat ya sudah. Langsung orangnya ditendang (oleh eksekutor masuk ke lubang)," ujar Petrus.
Ia dan puluhan laki-laki lain yang bertugas juga
diperintahkan untuk merapikan 31 mayat itu dan menimbunnya dengan tanah, agar
jangan sampai kuburan massal itu diganggu binatang liar.
Sebagian besar dari orang-orang itu adalah kawan-kawan
guru Petrus.
'Jangan sampai
lepas'
Tugas Petrus belum tuntas. Keesokannya, ia diminta untuk
memegang kunci tahanan dan mengeluarkan satu per satu tahanan untuk
diinterogasi.
Masing-masing ibu jari orang yang dituding harus dia ikat
dengan benang bola dan mereka digiring pada aparat yang bertugas.
Ia ingat salah seorang laki-laki yang dibawanya
mengeluhkan apitannya yang terlalu kencang.
Petrus diperintahkan mengikat ibu jari para tahanan dengan benang bola.
BBC INDONESIA/DWIKI MARTA
"Adi kalau bisa tolong renggangkan sedikit," kata Petrus meniru lelaki itu.
Petrus mengaku ia harus mengapit para tahanan
kencang-kencang karena perintah aparat.
"(Kata aparat) berani terlepas berarti kami tidak mau susah-susah kejar. Saudara ganti. Ini perintah ABRI ini bukan main-main. Kita harus mau mengerti, memahami, bersikap, bertindak, memposisikan diri dalam keadaan perang," ujar Petrus.
Hari itu, tiga orang laki-laki, kembali dieksekusi, tak
jauh dari lokasi eksekusi pada malam sebelumnya.
'Perempuan yang
memalukan negara'
Dalam periode itu, para perempuan yang dituding masuk
dalam kelompok yang berkaitan dengan PKI, Gerakan Wanita Indonesia, Gerwani
juga ditahan selama beberapa hari.
Salah satunya adalah Sarlotha Kopi Lede, seorang guru di
Sabu Raijua, yang kala itu berusia 24 tahun.
Sarlotha ingat saat itu tengah di rumah karena masih
dalam masa cuti melahirkan. Anaknya yang nomor tiga baru berusia dua bulan
Rambut Sarlotha Kopi Lede, seorang guru di Sabu Raijua, dipotong saat
ditahan. BBC INDONESIA/DWIKI MARTA
"Ada segerombolan orang (teriak) Ganyang PKI! Ganyang PKI!," kenang Sarlotha, yang kini menghabiskan masa tua bersama anak-anak dan cucunya di Kupang.
Ada seorang guru yang kemudian berkata "Ina (panggilan akrab untuk perempuan muda) siap-siap ya."
"(Saya tanya) Siap untuk apa? Saya (diminta) tidak usah bicara. Istilahnya GTM, Gerakan Tutup Mulut."
Saat itu ia melihat sejumlah orang dipukul dengan batang
kayu, namun ia tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Para perempuan itu kemudian dibawa ke rumah fetor (istilah
yang dipakai pemerintah kolonial Belanda untuk orang penting kedua dalam sebuah
kerajaan) untuk ditahan selama tiga hari.
Di Sabu, rambut seorang perempuan digunting jika ia tertangkap basah
berzinah. BBC INDONESIA/ DWIKI MARTA
Pada masa penahanan itu, rambut Sarlotha yang panjangnya
sepinggang juga dipotong, suatu pelanggaran budaya bagi orang Sabu.
Di Sabu, rambut seorang perempuan digunting jika ia
tertangkap basah berzinah.
Ia mengatakan hatinya sangat sedih ketika rambutnya akan
dipotong, tapi dia pasrah.
"Saya bilang saya tidak takut, ini mahkota yang diberi Tuhan. Gunting sudah rambut ini…(digunting) tidak teratur... Hati hancur," kata Sarlotha.
Orang yang memotong rambut Sarlotha adalah kawannya
sendiri, Petrus Bara Pa.
Sejumlah orang yang dilibatkan dalam eksekusi mengatakan mereka tidak
punya pilihan lain selain menuruti perintah. BBC INDONESIA/ DWIKI MARTA
Sampai hari ini, Petrus pun masih mengingat saat ia
memangkas rambut belasan perempuan.
"Saya pakai gunting. Pakai sisir juga. Jadi yang saya gunting masih rapi sedikit (dibandingkan yang memakai pisau). Ada sekitar lima centimeter rambut dibiarkan," ujar Petrus.
Mengapa rambut mereka harus digunting?
"Ya mungkin itu suatu tanda bahwa mereka orang yang sementara direndahkan, kalau di Sabu biasa begitu, seperti perempuan yang berzinah...Satu tanda penghinaan mereka membuat sesuatu yang memalukan negara," ujar Petrus.
Para prajurit bersenjata mengangkut para terduga anggota Pemuda Rakyat,
pada 10 Oktober 1965, dua hari sebelum diumumkannya penangkapan Letkol Untung. BETTMANN
/ GETTY IMAGES
Terlalu berat tapi apa daya…
Suami Sarlotha sendiri adalah salah satu orang yang
dieksekusi. Namun, ia tidak tahu di mana suaminya dimakamkan. Dia menduga
suaminya dimakamkan di Rote.
Ia hanya ingat pesan terakhir suaminya dan kakak iparnya
di tahanan sebelum diangkut para aparat.
"Dia bilang jaga anak baik-baik ya," ujar Sarlotha dengan mata berkaca-kaca.
Menilik ke insiden setengah abad lalu itu, Petrus
menyatakan dia tidak punya pilihan lain selain melaksanakan apa yang diminta
aparat.
Petrus, yang dulu anggota Partai Nasional Indonesia (PNI)
ditunjuk karena merupakan salah satu tokoh masyarakat di daerahnya.
"Sangat terpaksa jelas. Saya sendiri itu sampai sekarang belum pernah bunuh ayam," ujar Petrus.
Markas Partai Komunis Indonesia (PKI) di Jakarta, pada 8 Oktober,
hancur lebur oleh amukan massa, menyusul Peristiwa G30S. GETTY IMAGES
"Saya sebenarnya kalau bisa mengundurkan diri dari situ, menjauh."
Namun, menurut Petrus, saat itu keadaan terlalu bahaya.
Semua orang yang menentang apa yang terjadi bisa dianggap pro-PKI dan menerima
hukuman serupa.
Ia merasa sebetulnya dia juga korban dalam peristiwa ini.
"Dalam hati sanubari saya merasa sebagai korban juga. Bukan korban fisik secara langsung dengan kotor darah, otak, saya sudah jadi korban, yang berkesan (membekas) cukup lama."
"Apalagi membawa mereka yang teman seperjuangan saya dalam pendidikan, harus saya dorong, kawal mereka untuk dihabisi nyawanya. Itu satu hal yang menurut saya terlalu sulit, terlalu berat, tapi apa daya saya."
'Bapa tolong doakan'
Kisah serupa juga dialami seorang mantan polisi, yang
meminta identitasnya untuk disembunyikan
Jon, bukan nama sebenarnya, menceritakan bahwa 54 tahun
lalu ia adalah seorang polisi muda di sebuah kabupaten di Nusa Tenggara Timur.
13 Oktober 1965: Sekelompok mahasiswa Muslim membakar markas Pemuda Rakyat
di Jakarta. CAROL GOLDSTEIN/KEYSTONE/GETTY IMAGES
Ia ingat betul, sesaat setelah G30S/PKI, Jon, yang
bertugas di kepolisian sektor di daerah itu, mendapat perintah untuk menangkap
sejumlah orang yang dituding PKI.
Daftar nama-nama itu, ujar Jon, dia terima dari
kepolisian resor.
Pagi setelahnya, ia menangkap tiga orang juga seorang
ibu, berusia sekitar 30 tahun, dan anaknya yang masih bayi.
Serdadu mengawasi para tersangka Komunis yang ditahan di
sebuah lokasi di Tangerang, Oktober 1965 GETTY IMAGES
Saat itulah, hati Jon hancur.
"Menurut saya kemungkinan, pasti mama dan anak itu nggak bersalah. Ini semuanya rasa sentimen, benci. Mengakibatkan mama dan anakanya menderita," ujarnya.
Namun, Jon mengatakan saat itu ia tidak bisa berbuat
apa-apa karena mendapat perintah untuk menyerahkan tahanan ke kepolisian resor.
Ia ingat apa yang dikatakan perempuan itu.
"'Kami minta, bapa tolong doakan'. Kami tidak bisa buat apa-apa. Menangis juga salah, bilang tidak apa-apa juga salah. Kita diam saja," ujar Jon.
Sejumlah serdadu, tak jauh dari rongsokan sebuah mobil yang terbakar di
hari-hari awal Oktober 1965, menyusul gagalnya G30S. BERYL BERNAY/GETTY IMAGES
Memori itu terus menghantuinya hingga saat ini, diikuti
pula proses penahanan yang brutal.
"(Tahanan) dipukul, ditendang, dipopor. Jatuh-jatuh diinjak lagi. Tapi saya itu lihat saja. Kalau saya bilang 'jangan' dikira terlibat. Kasihan tidak boleh," ujarnya.
Sama seperti Petrus, Jon mengatakan dia adalah korban.
"Saya itu korban perasaan. Karena orang yang saya bikin (tangkap) ini apa benar ini bersalah atau tidak? Itu yang selalu timbul di saya pu (punya) hati, pikiran."
Saat itu, Jon mengatakan dia tidak memegang bukti apa pun
terkait keterlibatan orang-orang yang dia tangkap.
"Kita tangkap ini sebagai alat negara, kita ikut perintah tangkap orang yang diduga terlibat. Bukti tidak pernah kita lihat."
Menurut Pernyataan
Komnas HAM tentang Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat 1965-1966, ,
sejumlah individu atau para Komandan Militer yang dapat dimintai
pertanggungjawaban antara lain:
Komandan pembuat kebijakan
Komandan yang memiliki kemampuan kontrol secara efektif (duty
of control) terhadap anak buahnya.
Pernyataan itu menjabarkan daftar orang-orang yang
dituduh PKI bermula dari Surat Keputusan PANGKOPKAMTIB KEP1/KOPKAM/12/1965
tanggal 21 Desember1965 tentang penunjukan para PENGANDA dan PANGDAM untuk
menentukan oknum-oknum G.30.S/PKI yang termasuk tokoh.
Berdasarkan surat keputusan inilah kemudian para PEGANDA
dan PANGDAM beserta struktur yang ada dibawahnya menentukan daftar orang yang
dituduh terlibat G30S.
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Letnan
Jenderal (Purn) Agus Widjojo tidak menampik bahwa daftar orang-orang yang
dieksekusi berasal dari militer.
"Mungkin...itu bisa terjadi karena, harus diingat, saat itu Indonesia adalah negara dunia ketiga yang mencari sistem politik yang benar, juga stabilitas," ujar Agus dalam wawancaranya dengan Rebecca Henschke.
Ia mengatakan saat itu masih terasa pula dampak perang
dunia di mana ada pertentangan ideologi komunis dan anti komunis.
"Bukan tidak mungkin (daftar itu berasal dari militer) karena mereka merasa tidak berdaya saat partai komunis 'berkuasa'. Meski partai itu tidak memegang posisi kekuasaan, partai itu adalah favorit Presiden Sukarno saat itu," kata Agus.
Kepada siapa saya harus ungkapkan perasaan saya
Petrus Bara Pa mengakui bahwa di masa lalu terdapat
konflik antara partainya, PNI, dengan para anggota PKI.
Namun, ia menyesalkan apa yang terjadi di tahun '65.
Kini, ia menyebut memori-memori di masa lampau menjadi persoalannya sendiri
karena para korban telah tiada.
"Mengapa kita sampai jadi seperti itu di waktu lalu? Kepada siapa lagi saya harus berhadapan dan ungkapkan rasa saya?" katanya.
Yang kini dilakukan Petrus adalah menjalin relasi dengan
para keluarga korban, seperti istri maupun kakak atau adik korban.
Sarlotha Kopi Lede menjalin hubungan baik dengan Petrus Bara Pa, dan
putrinya Pendeta Paoina Bara Pa. BBC INDONESIA/DWIKI MARTA
Hal itu dapat berjalan karena Petrus adalah mantan guru
dan kebanyakan korban di Sabu adalah guru.
"Kita ketemu berusaha lupakan yang buat jarak di
antara kita. Ya (kita ingat) suasana-suasana keintiman kita di waktu lalu, saat
waktu masih pendidikan... Kami mengenang hal-hal positif sebelum kejadian itu
terjadi.
Petrus sendiri membantu anaknya, Pendeta Paoina Bara Pa,
dalam melaksanakan penelitian penyintas '65 dalam penyusunan buku Memori-Memori
Terlarang, Perempuan Korban dan Penyintas Tragedi '65 di Nusa Tenggara Timur.
Dengan bantuan Petrus, Paoina, ketua Jaringan Perempuan
Indonesia Timur (JPIT), dapat menyusun pertanyaan-pertanyaan yang tepat untuk
para penyintas '65 untuk penelitiannya.
Paoina sendiri mengatakan memiliki hubungan yang erat
dengan sejumlah penyintas '65 termasuk Sarlotha Kopi Lede, yang rambutnya
pernah dipotong ayahnya.
Sarlotha mengatakan meski masa lalunya pahit, dia mencoba untuk
mengampuni. BBC INDONESIA/ DWIKI MARTA
Apakah Sarlotha masih menyimpan dendam pada Petrus?
"Sonde (tidak). (Dia) Teman baik. Sama mamanya Ina (Pendeta Paoina) saya satu sekolah," ujar Sarlotha.
Sarlotha mengatakan meski masa lalunya pahit, dia mencoba
untuk memaafkan.
"Katong (kami) penyintas ini sudah mengampuni. Tuhan tolong jangan berikan saya sedih. Berikan saya hati sukacita," ujarnya.
Petrus Bara Pa mengharapkan pemerintah dapat berperan
menjadi mediator dalam rekonsiliasi kasus '65.
"Negara harus memahami, mengerti tindakan apa yang harus dilakukan supaya negara tidak dibebani hal-hal yang sebenarnya bisa diselesaikan."
Sebagian kalangan menganggap Soeharto memanfaatkan G30S untuk merebut
kekuasaan, dan sesudahnya melakukan pembasmian terhadap para simpatisan komunis
dan kalangan kiri, termasuk pembunuhan ratusan ribu orang. GETTY IMAGES
Berbeda dengan Petrus, purnawirawan polisi, Jon, bukan
nama sebenarnya, mengatakan enggan untuk melakukan rekonsiliasi.
Ia masih takut disangkutpautkan dengan peristiwa yang
telah terjadi setengah abad itu.
"Karena (kalau) kita dukung nanti dituduh terlibat. Sekarang ini kita juga harus hati-hati, jangan sembarangan," katanya.
Upaya rekonsiliasi
gereja dan para penyintas 1965 di Nusa Tenggara Timur dibahas di salah satu
artikel dalam buku Keluar Dari Ekstremisme: Delapan Kisah "Hijrah"
Dari Kekerasan Menuju Binadamai oleh PUSAD Paramadina.
Bingung memilih situs ? berikut link Link Alternatif Sbobet yang bisa kalian coba.
BalasHapusbagi para pengemar game online, ini adalah game joker123 terpercaya di indonesia, selamat bergabung
BalasHapusGAME JOKER123
Sbobet123 Online Indonesia Merupakan Agen Judi Sbobet Resmi Indonesia yang terbesar di Asia
BalasHapus