Oktober 18, 2019 - 1.34 pm
WIB - Tim Lindsey
Dedi Sinuhaji/EPA
Wafatnya presiden ketiga Indonesia, BJ Habibie, pada 11
September 2019, sangatlah ironis karena seminggu kemudian Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) mengesahkan
revisi undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)–yang
melumpuhkan lembaga tersebut.
Pada satu sisi, ironi muncul karena Habibie pada 1999
dipaksa untuk meninggalkan upayanya bertahan sebagai presiden persis karena
tipe skandal-skandal korupsi yang kemudian sukses diungkap dan dibawa ke
pengadilan oleh KPK.
Habibie, yang eksentrik dan memimpin proyek-proyek
teknologi yang sangat besar saat menjabat Menteri Riset dan Teknologi di masa
Orde Baru, punya catatan buruk sebagai bagian lingkaran dalam Soeharto.
Di sisi lain, ironi terjadi karena, walau punya banyak
kekurangan, Habibie berperan penting dalam proses besar yang mentransformasi
Indonesia antara tahun 1999 dan 2002, hingga akhirnya KPK terbentuk.
Habibie pernah menjadi salah satu kroni Soeharto,
penguasa rezim represif yang bertahan tiga dekade hingga tahun 1998 sebelum
Habibie menggantikannya.
Namun, selama 517 hari ia menjabat presiden–periode
paling singkat di antara presiden Indonesia lainnya–ia memimpin sebagian
perubahan hukum dan politik paling penting dalam sejarah Indonesia.
Soeharto adalah mentor Habibie, tapi Habibie mengawasi
pembongkaran sistem otoriter Soeharto yang korup, mengantar Indonesia menuju
demokrasi liberal dan membuka sistem ekonomi dan politik yang lebih terbuka dan
bersaing.
Ironi lainnya ialah kegagalan Habibie maju lagi menjadi
presiden pada 1999 justru menunjukkan betapa sistem telah berubah di bawah
kepemimpinannya.
Habibie sworn in as president.
Menjadi bapak
demokrasi karena kecelakaan
Sering dikatakan bahwa Habibie tak punya banyak pilihan
dalam semua perubahan itu. Ia memulai kepemimpinan sebagai wakil presiden yang
tidak populer dan mendapati dirinya ada di pucuk pemerintahan hanya karena
Soeharto dipaksa turun.
Kendali Habibie atas kekuasaan lemah sejak dari awal. Ia
dikelilingi pesaing yang ambisius dan iri, termasuk dari kalangan militer, dan
Indonesia sedang terbakar dalam kekerasan–yang saat itu disebut “Kristal”
(krisis total), krisis ekonomi dan politik total.
Pada situasi begini, merangkul demokratisasi adalah
satu-satunya cara Habibie dapat tetap memegang kekuasaan.
Para pengkritik Habibie yang paling keras bahkan menuduh
Habibie melakukan itu sebagai upaya untuk membuka jalan elite Orde Baru Suharto
untuk kembali dan terus hidup–nyata kebanyakan kemudian berhasil.
Analisis ini ada benarnya, tapi tidak sepenuhnya. Habibie
berada dalam posisi yang sangat sulit ketika ia dilantik pada 21 Mei 1998.
Namun, ia mengambil keputusan yang tidak akan pernah
diambil oleh beberapa pesaingnya–salah satunya Jenderal Prabowo Subianto.
Habibie merangkul aspirasi gerakan
reformasi yang demokratis dan liberal.
Keputusan itu ia ambil dengan risiko politik yang besar.
Prabowo bahkan dirumorkan mengepung istana dengan truk-truk penuh tentara untuk
menyuarakan keberatannya kepada pemerintahan Habibie.
Saya berjumpa dengan Habibie beberapa kali selama masa
pemerintahannya, dan dia meyakinkan saya bahwa dukungannya terhadap Reformasi
itu murni.
Bahkan kemudian dia bersikeras bahwa demokratisasi akan
menjadi warisannya–sesuatu yang tampaknya sangat tidak mungkin ketika ia
meninggalkan jabatan presiden pada 1999.
Monumen untuk Habibie di Gorontalo, Indonesia. Fiqhi Rizky /
Wikimedia, CC
BY-SA
Sejarah berpihak padanya, kata Habibie. Dan setelah
bertahun-tahun mengasingkan diri di Jerman sambil menunggu situasi mereda, ia
memastikan warisannya itu dengan menerbitkan memoar yang diterima banyak
kalangan dengan baik, Decisive
Moments.
Memoar ini menggambarkan Habibie sebagai bapak
demokratisasi, sebuah citra yang sekarang diakui di seluruh Indonesia.
Berakhirnya
‘waralaba’ korupsi
Habibie lalu sering diidentikkan dengan gerakan
Reformasi, gerakan yang berjuang untuk mengakhiri “waralaba” korupsi yang
dikembangkan oleh Soeharto. Sistem yang korup ini mengikat elite politik,
bisnis, dan militer dalam jaringan patron yang kompleks–yang sayangnya masih
ada hingga kini.
Waralaba korupsi Soeharto mengakibatkan dunia bisnis
Indonesia didominasi oleh sekelompok kecil keluarga yang saling berhubungan.
Tetapi jaringan ini tidak akan pernah bisa dibongkar
kecuali Indonesia membangun sesuatu yang tidak pernah ada sebelumnya: sebuah
lembaga anti-korupsi yang independen, kuat, berkomitmen, dan ditakuti.
KPK, yang didirikan pada tahun 2002, tumbuh menjadi
lembaga semacam itu–ini mengejutkan banyak pihak. Jadi tidak sulit untuk
memahami mengapa elite politik dan bisnis sangat membenci dan takut akan KPK.
Banyak dari elite politik dan bisnis yang takut KPK
adalah kroni Soeharto yang berhasil selamat dari kejatuhan Orde Baru. Banyak
juga pendatang baru yang ingin merenggut sisa-sisa kekuasaan, termasuk dengan
mengeluarkan uang besar untuk memenangkan pemilu atau jabatan.
Semua orang ini memiliki alasan membenci KPK.
Dari 1,000 penuntutan lebih, KPK
baru kalah sekali saja. KPK telah menggunakan penyadapan dan penggerebekan
untuk menjatuhkan polisi, jaksa, hakim, taipan, bankir, jenderal, gubernur,
anggota partai politik, menteri, dan bahkan ketua DPR yang korup. KPK telah
sangat sukses dan sangat populer di masyarakat.
Politikus telah mengerahkan semua upaya untuk mengalahkan
KPK selama lebih dari satu dekade, tetapi KPK telah berulang kali menggunakan
dukungan rakyat untuk memaksa para presiden–termasuk kroni Orde Baru yang
selamat, Susilo Bambang Yudhoyono–untuk mendukung KPK melawan kelompok elite.
Sampai sekarang.
Upaya politikus untuk menghancurkan KPK akhirnya
membuahkan hasil pada 17 September, hanya beberapa hari setelah Habibie
meninggal.
Pada hari itu, DPR berhasil meloloskan
undang-undang baru yang mensyaratkan penyadapan, penggeledahan dan
penyitaan harus mendapat izin dari dewan pengawas baru yang ditunjuk oleh
presiden.
Tidak banyak yang yakin presiden saat ini, Joko “Jokowi”
Widodo, akan menunjuk dewan yang mendukung pada agenda anti-korupsi KPK.
Bahkan, dia
baru-baru ini menyetujui ketua KPK baru, seorang tokoh polisi senior
yang dituduh korupsi. Dewan pengawas baru diyakini akan menghentikan
investigasi ini.
Undang-undang otoriter baru Joko Widodo bisa meruntuhkan demokrasi
liberal. EPA / Feline Lim
Selama berminggu-minggu, Jokowi telah berada di bawah
tekanan keras dari masyarakat sipil dan pengunjuk rasa jalanan untuk
mengeluarkan keputusan darurat dan mencabut undang-undang KPK yang baru itu,
tetapi sejauh ini ia telah menolak.
Sikap Jokowi untuk mempertahankan undang-undang ini
sebagian besar karena dia berada di bawah tekanan yang lebih kuat lagi dari
partai-partai politik.
Terlebih lagi, Jokowi mendapat tekanan dari
kepolisian–musuh bebuyutan KPK–yang telah dia izinkan untuk secara pelan-pelan
menempatkan orang-orang mereka di sejumlah lembaga negara penting lainnya,
mulai dari kabinet, badan intelijen hingga badan urusan logistik.
Merubuhkan warisan
Habibie
Di sinilah terletak sebuah ironi lain. Jokowi adalah
presiden pertama sejak Soeharto yang bukan pemain politik di era Orde Baru.
Jokowi pertama kali terpilih karena dipandang sebagai
orang luar yang bersih dan tidak termasuk dalam elite politik.
Namun, dialah yang membiarkan KPK–sebuah lembaga kunci
dalam pemerintahan demokratis yang bangun oleh reformasi pasca Orde Baru–untuk
dihancurkan.
Kenyataan ini mengungkap situasi yang Indonesia hadapi
kini, dua dekade setelah masa kepemimpinan Habibie yang pendek namun berdampak
besar.
Pelumpuhan KPK bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri.
Demokrasi liberal di Indonesia sekarang berada dibawah gempuran para elite.
Para politikus–didominasi partai-partai besar yang
terhubung dengan oligarki yang kaya raya dan mafia media (atau keduanya)–juga
telah berupaya keras untuk memberlakukan revisi Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (RKUHP) yang
sangat regresif.
Dalam RKUHP mengkritik presiden adalah tindakan pidana,
membawa mundur kebebasan pers yang diupayakan oleh Habibie.
Semua hubungan seks di luar nikah juga akan dipidana,
suatu ketentuan yang telah membuat turis Australia ngeri tetapi sebenarnya jauh
lebih mengancam bagi kelompok LGBT+ Indonesia yang menghadapi gelombang
penganiayaan baru di seluruh negeri.
RKUHP juga memperluas aturan penistaan agama yang selama
10 tahun terakhir sangat sering digunakan untuk menindas agama-agama minoritas
dan kelompok Muslim yang tidak ortodoks.
Ada juga undang-undang
keamanan siber baru yang akan mengubah Badan Siber dan Sandi Negara
yang ada–yang dipimpin oleh seorang mantan jenderal militer–menjadi badan super
dengan kekuatan luar biasa.
Badan ini bisa menyensor internet, menghapus materi,
memblokir situs, dan memperlambat atau memblokir internet secara
total–kemampuan yang hanya bisa diimpikan Soeharto.
Yang paling mengkhawatirkan, elite politik sekarang
secara terbuka sedang membicarakan kemungkinan amandemen konstitusi yang akan
membawa kembali aspek-aspek rezim represif Suharto.
Beberapa orang bahkan secara
terbuka mengatakan bahwa ini dapat berujung pada berakhirnya era
pemilihan umum langsung presiden dan menempatkan kembali kuasa di tangan
legislator.
Jika semua undang-undang ini disahkan, transisi Indonesia
pasca-Soeharto ke arah demokrasi liberal tidak akan berumur jauh lebih lama
dari Habibie, orang yang membidaninya.
Pengunjuk rasa
sekarang tidak mengintimidasi elit
Bagaimana ini bisa terjadi? Para pemuda dan pemudi
pemberani telah memimpin gerakan reformasi dari tahun 1998 hingga 2002 dan
tahun-tahun selanjutnya sekarang berusia 40- dan 50-an tahun.
Banyak dari mereka telah beralih dari Lembaga Swadaya
Masyarakat dan kelompok lobi yang memajukan agenda demokrasi liberal. Anak-anak
mereka, netizen yang tidak memiliki banyak ingatan tentang kejahatan Orde Baru,
sekarang menjadi suara rakyat.
Usia rata-rata orang Indonesia saat ini sangat muda,
yaitu 31 tahun; 40% populasi berusia di bawah 24. Mereka menyukai KPK namun
mungkin mereka tidak sepenuhnya paham seberapa penting KPK dalam pemerintahan
Indonesia.
Pengunjuk rasa belum memiliki jumlah atau kemarahan yang
sebanding untuk mengintimidasi elit seperti di akhir 1990-an. EPA / Mast
Irham
Mereka telah berdemo di jalanan dan tiga telah
meninggal dengan tragis namun mereka belum memiliki jumlah atau amarah yang
sebanding dengan pendemo yang mengintimidasi elite di tahun 1990-an.
Jadi, walau mereka telah berhasil membuat pengesahan
RKUHP ditunda,
mereka belum dapat memaksa Jokowi untuk membalikkan undang-undang KPK, yang
sebenarnya mudah bagi Jokowi kalau dia mau.
Undang-undang keamanan siber dan sejumlah undang-undang
regresif lainnya, masih ada dalam agenda, seperti halnya agenda untuk amandemen
konstitusi.
Semakin dilihat, semakin jelas perbedaannya antara
Habibie dan presiden saat ini.
Habibie tidak pernah menjalani masa jabatan penuh, Jokowi
akan dilantik untuk masa jabatan kedua pada 20 Oktober.
Habibie, bagian dari kelompok elite, memilih bersekutu
dengan gerakan reformasi rakyat. Jokowi, yang menampilkan dirinya dekat dengan
rakyat, tampaknya telah bersekutu dengan elite untuk mengagalkan usaha
melestarikan reformasi.
Di tengah berbagai rintangan, Habibie menempatkan dirinya
dalam sejarah sebagai pemimpin yang memimpin transisi Indonesia menuju
demokrasi liberal.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah sejarah akan
mengingat Jokowi sebagai tokoh yang memimpin kemunduran Indonesia menuju
otoritarianisme.
Tim Lindsey, Malcolm Smith Professor of
Asian Law and Director of the Centre for Indonesian Law, Islam and Society,
University of Melbourne
Fahri Nur Muharom
menerjemahkan artikel ini dari Bahasa Inggris.
0 komentar:
Posting Komentar