HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Hendra Gunawan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hendra Gunawan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 31 Maret 2019

Banjir Drama Pelukis Hendra

oleh Chabib Duta Hapsoro | 31 Maret 2019

Surga Kemelut Pelukis Hendra. Agus Dermawan T. Kepustakaan Populer Gramedia. 2018. 290 hlm.

Agus Dermawan T. mengungkapkan banyak kisah Hendra Gunawan, beberapa di antaranya hanya bisa diketahui dari jarak teramat dekat. Perspektif ini mengajak kita untuk memahami konteks seni rupa modern Indonesia melalui sudut pandang paling intim terhadap salah satu seniman terpentingnya.
Hendra Gunawan adalah salah satu dari tiga seniman modern Indonesia terpenting, bersama Sudjojono dan Affandi. Seni rupa modern Indonesia muncul dan tumbuh pada masa revolusi. Seniman-seniman itu muncul dan berdaya di tengah masyarakat yang masih dilanda ketidakpastian. Perang terjadi sewaktu-waktu. Seni rupa di tengah situasi sulit menjadi semacam alat untuk mengobarkan gairah perjuangan, memupuk semangat kebangsaan, dan mempersatukan rakyat untuk mengupayakan lepas dari penjajahan.
Praktik seni lukis tiga serangkai ini menjadi kritik atas praktik seni lukis Mooi Indie yang marak di Hindia Belanda pada abad ke-18 dan ke-19. Menurut mereka, aliran seni lukis ini menghadirkan keindahan alam (gunung, sawah, sungai, pohon kelapa) yang hanya dilihat dari jauh--menyajikan pandangan mata burung, yang menangkap objek dari jarak yang jauh. Karena itu, keindahan lukisan macam ini menampilkan keindahan semu, yang “menyembunyikan keberadaan petani-petani yang mengeluh, merintih dan menangis karena kakinya kena pacul, berdarah dan luka parah.”[1] Ia memperlihatkan watak antroposentris manusia, menjadikan alam dan manusia sebagai objek pengetahuan yang kemudian melegitimasi mereka untuk melakukan eksploitasi dan penjajahan.
Sudjojono, Affandi, dan Hendra punya kesadaran untuk melawan praktik melukis Mooi Indie semacam ini, yang kala itu lazim dibawa oleh pelukis-pelukis Eropa ke Hindia Belanda. Praktik Mooi Indie ini di kalangan kolonial telah melembaga. Semakin banyak pelukis Eropa bermukim di wilayah-wilayah yang bagi mereka asri dan indah—dari pandangan mata burung. Pelukis lokal juga turut mempraktikkannya. Lukisan-lukisan ini laku di pasaran, menjadi cendera mata bagi turis barat yang pelesir ke Hindia Belanda. Imaji lukisan Mooi Indie juga direproduksi dalam wujud poster-poster, reklame, dan kartu pos sebagai promosi wisata Hindia Belanda.
Dalam melawan seni lukis Mooi Indie ini, lukisan Sudjojono, Affandi, dan Hendra kebanyakan menampilkan manusia dalam pandangan mata katak. Gaya lukisan ini menampilkan dalam jarak dekat orang-orang yang mengungsi, ibu-ibu yang sedang bertransaksi di pasar, pengemis, hingga gerilyawan semenjana yang sedang mengaso.
Menurut saya, praktik seni lukis ini terilhami oleh gerakan seni lukis realisme di Perancis yang diperkenalkan Gustave Courbet pada abad ke-19. Lukisan-lukisan Courbet menggambarkan keadaan rakyat yang sedang bekerja, atau orang-orang biasa dalam situasi keseharian dalam jarak dekat. Gaya seni lukis ini menjadi kritik atas gaya romantisisme yang menekankan glorifikasi masa lalu dan kemegahan yang mencerminkan fragmen-fragmen kehidupan kelas borjuis.
Tiga serangkai ini mencari dan menemukan gaya ungkap dalam menggambarkan objek-objek yang mereka lukis. Hal ini bisa dilihat sebagai keragaman wajah genre seni rupa Indonesia modern. Sudjojono dengan kredo jiwa kethok: melukis sebagai praktik menggoreskan jejak kepengarangan sang seniman, sehingga meninggalkan aura yang menggetarkan pelihat. Affandi melukiskan objek dan suasana dengan pelototan cat yang memperlihatkan ekspresi dan vitalitas manusia. Sedangkan Hendra dikenal melalui pemiuhan figur manusia yang khas wayang dan pengadopsian elemen dekoratif batik.
Hendra berfokus menghadirkan jiwa manusia Indonesia, yang berabad-abad tercerabut dari akarnya oleh penjajahan. Masing-masing wajah itu menyerukan bahwa manusia Indonesia bisa punya keberanian untuk menyampaikan gagasan sebagai manusia seutuhnya, sebagai “bangsa muda menjadi”, yang “baru bisa bilang aku.”[2]
Posisi mereka juga signifikan karena di tengah masa-masa susah itu mereka mau bekerja lebih repot: menyumbang banyak pemikiran melalui tulisan, menginisiasi serta mengelola sanggar atau kolektif untuk mematangkan teknik seni lukis demi memapankan seni rupa Indonesia modern dan menyebarkan kepercayaan dan harapan bahwa seni rupa Indonesia itu ada.
Konteks-konteks di atas memperlihatkan perlunya mengangkat narasi sosok ataupun pembacaan mendalam atas kekaryaan para seniman Indonesia modern melalui publikasi yang dapat dijangkau semua kalangan.
Visi kerakyatan para pelukis ini dapat dikatakan agak berbeda dengan narasi seni rupa di Indonesia yang acap hadir dalam buku-buku meja kopi berukuran besar, bersampul keras dan tebal, berbahan premium yang membuatnya dibandrol dengan harga mahal. Publikasi semacam ini hanya terjangkau bagi kalangan kelas menengah. Ini, bagaimanapun, merupakan masalah dalam pertukaran dan diseminasi pengetahuan kesenirupaan di Indonesia.
Buku Surga Kemelut Pelukis Hendra: Dari Pengantin Revolusi Sampai Terali Besi ini merangkum ketokohan pelukis Hendra Gunawan dengan format buku Surga Kemelut Pelukis Hendra lebih mudah diakses sebagaimana cita-cita kerakyatan mereka: berukuran tidak terlalu besar, bersampul paperback, dan karenanya harganya pun terjangkau. Sesuatu yang layak diapresiasi.
Judul “Surga kemelut” seperti berhasil menempatkan kisah-kisah Hendra menjadi yang paling dramatik dibandingkan dua pelukis lainnya. “Surga kemelut” mengandung ironi. Frasa ini menggabungkan dua kata yang bermakna sangat bertolak belakang. Surga seperti apa yang berisi kemelut yang lekat dengan tragedi atau kesan ketidakstabilan? Terminologi surga bisa merujuk pada tempat yang membuat kita nyaman. “Surga kemelut” mengesankan bahwa Hendra justru menikmati kemelut yang tak pernah usai dari hidupnya.
Dramatisasi yang terasa berlebihan ini juga menghiasi beberapa gaya pengisahan penulis terhadap detail-detail kehidupan Hendra yang lain. Mereka ibarat laku penyuntingan gambar bergerak zoom in, diimbuhi potongan musik yang menegangkan pada sebuah adegan sinetron kejar tayang.
Namun demikian, beberapa detailnya masih perlu dikritisi. Subjudul “Dari Pengantin Revolusi Sampai Terali Besi” sebenarnya kurang menggarisbawahi muatan apa pun selain bunga dramatisasi. “Pengantin Revolusi” merujuk pada salah satu judul lukisan Hendra yang terbaik. “Terali Besi” merujuk kisah tragis Hendra sebagai tapol saat dipenjara pada 1965. Kendati diceritakan dalam buku, dua hal ini tidak memiliki hubungan yang terlalu jelas sebagai fondasi pendukung narasi tentang kemelut Hendra.
Agus Derwaman T. (ADT) adalah penulis yang paling sering menuliskan sosok pelukis Hendra, baik dalam buku kumpulan tulisan ataupun dalam monograf. Beberapa informasi dalam buku ini pernah ia sebutkan dalam Hendra Gunawan: A Great Modern Indonesian Painter (2001) yang ia tulis bersama Astri Wright, sejarawan seni dari Kanada. Pengisahan ADT dalam buku ini enak diikuti, setidaknya hingga bab IV. Bab V hingga bab VIII tampak seperti kumpulan informasi yang terserak, tidak tampak terjahit dengan baik, meski mengandung informasi-informasi penting.
Kemelut Drama dan Peristiwa-peristiwa Ganjil dalam Kehidupan Hendra
Hendra lahir pada 11 Juni 1918 di tengah keluarga menak. Ayahnya, Raden Prawiradilaga, adalah pegawai mapan di perusahaan kereta milik negara yang berkantor di Bandung. Ibunya, Raden Odah Tedjaningsih, seorang kelas menengah juga, dari Desa Jelekong, Bandung Selatan. Ibunya adalah putri dari Raden Karna Soemantri, organisator kongres Boedi Oetomo pada 1928 (hlm 1). Silsilah keluarga Hendra sekali lagi membuktikan bahwa kelas menengah acap menjadi pendorong perubahan.
Drama mulai hadir ketika ayahnya tak betah di rumah dan menemukan pujaan baru di sosok Anna, seorang Indo Belanda. Prawiradilaga akhirnya bercerai dengan Odah. Hendra pun menjadi lebih dekat dengan ibunya dan diam-diam membenci ayahnya. Ia kemudian sering pergi dari rumah selama berhari-hari. Hendra bisa berjalan-jalan mengelilingi kebun teh, ataupun memasuki hutan dan menyeberangi sungai hingga merasa terpanggil untuk menjadi pelukis. Panggilan ini bertolak dari gejolak eskapisme Hendra dari kehidupan keluarga yang disfungsional.
Hendra banyak memetik pelajaran hidup dari sang ibu. Diceritakan sebuah peristiwa yang terus menginspirasi Hendra seumur hidupnya. Saat di sungai kecil ia menangkup segerombolan ikan cethul berwarna-warni dan ditunjukkan ke ibunya. Ibunya kemudian berkata “tingali nu laleutik, maneh bakalan manggih nu galede” (hlm 5), “perhatikan yang kecil, kamu bakal menemukan yang serba besar”.
ADT menjelaskan, keterpesonaan Hendra atas warna-warna ikan cethul itu mendorongnya untuk memperhatikan ratusan jenis ikan lain, dengan warna yang lebih beraneka. Warna-warna ikan itu kemudian menginspirasi warna lukisan-lukisannya di masa depan.
Kesan kedekatan Hendra dengan sang ibu muncul dari lukisan-lukisannya yang sarat menampilkan sosok-sosok perempuan berdada besar, berkebaya dengan beraneka aktivitas: berjualan di pasar, kerokan, hingga mencari kutu.
Di masa kecil, Hendra juga suka iseng membongkar kuburan-kuburan orang dan mengumpulkan tulang-tulang manusia tanpa alasan jelas (hlm 5). Hal ini mungkin dapat dihubungkan dengan kebisaan Hendra di masa depan sebagai dukun yang mampu menyembuhkan orang-orang gila.
Kisah yang paling sinetron agaknya adalah saat Hendra remaja diangkat anak oleh seorang pria di Bandung. Periode ini adalah saat ia sering lari dari rumah. Di rumah pria itu, Hendra selalu disuguhi makanan enak. Ia tinggal di sana dalam waktu cukup lama hingga sebuah momen menggerus emosinya. Saat berjalan-jalan mencari objek menggambar, ia melihat pengemis menyodorkan nampan di di bawah jendela sebuah restoran. Ia mendekati pria itu dan terhenyak karena pria itu adalah ayah angkatnya sendiri. Ternyata makanan mewah yang ia santap hampir setiap hari adalah hasil mengemis sisa-sisa makanan di restoran. Perut Hendra mendadak mual. Ia kemudian memohon pamit kepada ayah angkatnya sembari dalam hati berjanji bahwa ia akan berkarya dengan memberi tempat pada orang-orang miskin (hlm 8).
Kisah-kisah superlatif dan nyeleneh ini makin didramatisasi sang penulis dengan pilihan diksi atau ungkapan yang berlebihan atau penggunaan kalimat langsung yang seolah-olah berasal dari Hendra sendiri.
Drama kehidupan Hendra kembali hadir saat ia dicokok aparat pada Desember 1965 di Bandung. Sebagai Ketua Lekra Jawa Barat, ia ditangkap pemerintah Orde Baru dengan alasan ia adalah simpatisan komunis.
Saat ditangkap, salah satu yang paling ia khawatirkan adalah beberapa lukisannya. Dan kekhawatirannya menjadi kenyataan. Saat ia dipenjara di Kebon Waru, Bandung, situasi di luar sangat kacau. Kemarahan rakyat terhadap PKI tak terbendung. Rumah Hendra juga dijarah. Banyak barangnya dihancurkan, termasuk lukisannya. Oleh penjarah lukisan Pengantin Revolusi, lukisan itu bahkan digorok. Sebelum penggorokan tuntas, lukisan itu rupanya bisa diselamatkan oleh sahabat Hendra, Tatang Ganar (hlm 80).
Jika anda kebetulan bisa masuk ke ruang kerja Direktur Museum Seni Rupa dan Keramik di kompleks Kota Tua Jakarta, anda akan dapat melihat lukisan Pengantin Revolusi. Anda hanya membutuhkan sedikit kecermatan untuk melihat beberapa garis samar yang saling berpotongan membagi-bagi lukisan tersebut yang menandai bekas sambungan. Lukisan ini bersejarah karena menggambarkan sebuah peristiwa unik yang dialami Hendra saat menjadi saksi di garis depan pertempuran revolusi fisik. Hendra saat itu tergabung dalam kelompok Pelukis Front yang bertugas merekam situasi pertempuran baik dengan lukisan maupun sketsa.
Salah satu peristiwa yang terekam dalam sketsa Hendra adalah pernikahan warga biasa di sela-sela pertempuran di kawasan Karawang. Sepasang pengantin itu berjalan diarak dengan iringan orkes tanjidor. Keunikan sepasang pengantin itu muncul dari busana pernikahan mereka. Sang mempelai pria mengenakan baju tentara. Sedangkan mempelai perempuan menggunakan busana penari topeng Betawi. Keduanya adalah busana pinjaman.
Sang pengantin perempuan duduk di rangka sepeda yang dipegang kemudinya oleh sang pria tanpa dikendarai. Dalam lukisan, sepasang pengantin itu menatap kosong ke depan. Sementara Hendra dan dua orang kawannya tampak menatap mereka dengan tawa yang sedikit menghina. Momen dalam lukisan ini amat mengharukan. Pasangan pengantin ini memulai sebentuk komitmen kehidupan baru dalam situasi serba sederhana, suatu imaji yang dapat kita anggap sebagai metafora keadaan pada masa awal terbentuknya republik.
Kendati sketsa ini dibikin sejak zaman revolusi fisik, baru pada 1955 ia ditindaklanjuti sebagai lukisan. Hidup di zaman yang susah membuat keadaan rumah tangga Hendra dan keluarga tak menentu. Sketsa-sketsa Hendra harus mengantre cukup lama untuk dieksekusi sebagai lukisan.
Lukisan-lukisan Hendra pada periode revolusi ini rata-rata berwarna kusam. Wajar saja, Hendra dan para pelukis ketika itu susah memperoleh bahan melukis bermutu. Mereka hanya bisa memperoleh pigmen-pigmen murahan dari toko besi dan mencampurnya dengan bahan-bahan lain. Hendra pun mengaku saking susahnya ia mendapatkan kanvas sampai-sampai ia mengambil jarit istrinya dan jarit itu digunakannya melukis.
Detik-detik saat Hendra ditangkap disampaikan sekali lagi secara dramatis. ADT mengutip pernyataan Hendra, “Saya dulu juga ikut perang, memerdekakan Indonesia (hlm. 76).” Pernyataan Hendra itu secara ironis dapat berarti negeri yang ikut diperjuangkan kemerdekaannya oleh Hendra justru di kemudian waktu memenjarakannya. Hendra dipenjara dan meninggalkan istri dan ketiga anaknya. Karmini, sang istri, harus bekerja keras menghidupi tiga anaknya. Untungnya Hendra masih diperbolehkan melukis di penjara. Lukisan-lukisan itu Karmini jual dari rumah ke rumah.
Meski dinaungi keterbatasan, hasrat melukis Hendra tak pernah padam. Bahkan periode penjara adalah periode paling produktifnya sebagai pelukis. Merujuk lagi ke judul “Surga Kemelut”, Hendra menjumpai drama kembali ketika ia bertemu Nuraeni, seorang tahanan lantaran aktivitasnya dalam Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) yang oleh aparat juga dilabelkan sebagai simpatisan komunis. Nuraeni pada awalnya adalah murid melukis Hendra yang kemudian ia angkat menjadi asisten. Setelah itu, ADT menyebut ada cinlok—cinta lokasi (diksi yang dipilih ADT) di antara Hendra dan Nuraeni. Mereka akhirnya menikah di penjara. Kisah semacam ini menjadi bumbu klise yang menyesakkan. Kebencian Hendra terhadap ayahnya yang menduakan ibunya seolah tidak berbanding lurus terhadap lakunya sendiri.
Kisah Dramatis Hendra dengan Para Figur Penting
Drama kehidupan Hendra juga belum habis kendati Hendra sudah berpulang. Setelah Hendra wafat pada 1983, kasus-kasus pemalsuan lukisannya semakin menjadi karena harga lukisannya membumbung di balai lelang. Lukisan Hendra dipalsukan dengan beberapa cara. Para pemalsu ini tampak cerdik menggambar sama persis dengan lukisan Hendra. Ataupun, melukis dengan gaya Hendra dengan perupaan yang belum pernah Hendra buat. Kedua jenis perupa ini membubuhkan tanda tangan serupa dengan tanda tangan Hendra.
Kasus pemalsuan lukisan ini memanas ketika muncul buku monografi berjudul Hendra Gunawan Sang Pelukis Rakyatoleh Agung Tobing dan keluarga Hendra pada 2014 (hlm. 126). Ratusan lukisan Hendra di buku terindikasi palsu dan saya pun meyakininya. Status kasus ini masih mengambang sampai sekarang dan memperlihatkan pincangnya pranata seni rupa Indonesia. Seni rupa Indonesia masih terlalu dikuasai pasar. Norma dan standar moral terhadap penghormatan atas hak cipta masih belum terwadahi. Proses pertukaran pengetahuan juga masih terkendala akibat masih dipingitnya karya-karya seni rupa penting di rumah-rumah kolektor sehingga publik kurang dapat menjangkaunya.
Dalam buku ini ADT juga menceritakan momen-momen penting Hendra dalam hidupnya saat berhubungan dengan tokoh-tokoh besar di Indonesia, yang menjadikan Hendra seorang tokoh. Interaksi dengan tokoh-tokoh ini memberikan sejumlah dorongan bagi Hendra untuk keputusan-keputusan penting dalam hidupnya.
Tentu saja kisah-kisah ini tak luput dari drama.
Pertama, interaksi Hendra dengan Abdullah Suriosubroto dan anaknya, Basoeki Abdullah hadir saat Hendra akan berguru melukis. Hendra di rumah Abdullah menunggu keputusan apakah ia akan diterima sebagai murid oleh Abdullah. Ia tak sengaja mencuri dengar percakapan antara Abdullah dan anaknya itu. Basoeki meminta sang ayah untuk tidak menerima murid karena takut saingan melukis akan bertambah. Mendengarnya, Hendra mengaku bahwa ia lantas pergi tanpa menunggu jawaban Abdullah (hlm 11).
Hendra kesal akan percakapan itu, sembari bersumpah bahwa kelak, saat ia akan menjadi pelukis yang mapan ia akan membuka rumahnya sebagai sanggar agar para calon pelukis bisa belajar melukis darinya dengan percuma. Sumpah ini terbukti saat Hendra mendirikan Pelukis Rakyat.
Setelah tidak jadi berguru kepada Abdullah, Hendra kemudian berguru kepada Wahdi Sumanta, seorang pelukis pemandangan yang cukup terkenal di Bandung. Setelah lumayan cakap melukis, ia berusaha berguru kepada Affandi. Untuk meluluhkan hati Affandi, Hendra kerap menyapu halaman, membuatkan kopi atau teh untuk Affandi. Hingga Affandi pun mengizinkannya untuk berguru sembari menyindirnya sebagai anak bangsawan yang mau belajar ke orang miskin (hlm 12). ADT seperti mengutip pernyataan Affandi sebagai berikut, “Bagus kalau anak tunggal keluarga ningrat mau jadi batur.” Saya lagi-lagi tidak bisa memastikan apakah itu pernyataan dari Affandi sendiri atau gubahan ADT yang merujuk pada esensi pernyataan Affandi yang sebenarnya.
Selanjutnya, interaksi Hendra dengan Sukarno. Hendra adalah salah satu dari banyak seniman yang hijrah ke Yogyakarta saat ibukota negara dipindahkan untuk sementara. Hendra meminta Sukarno membuka pameran tunggalnya pada 1946. Pamerannya itu adalah pameran pertama setelah Indonesia merdeka, menempati gedung KNIP di Jalan Malioboro. Ada kisah dramatis pula dalam pameran ini, karena Hendra mengumpulkan para pengemis untuk menjadi pagar bagus dan pagar ayu dalam seremoni pembukaan. Sukarno yang pada awalnya tak mengetahui bahwa mereka pengemis terharu hingga menitikkan air mata saat mendapati fakta ini (hlm 31). Sukarno agaknya merasa diingatkan bahwa kerja kemerdekaan saat itu “belum selesai, belum apa-apa.”[3]
Peristiwa ini juga seakan melunasi janji Hendra kepada ayah angkatnya dulu untuk mengangkat derajat kaum miskin. Penggambaran kaum kecil yang juga acap hadir pada lukisan Hendra.
Interaksi berbau kebatinan adalah salah satu momen dramatis yang di luar prediksi. Dikatakan dalam buku ini bahwa ada satu interaksi saat Hendra berhubungan dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Hendra dan para anggota Pelukis Rakyat sedang getol melakukan eksplorasi memahat patung dengan material batu kali. Teknik ini amat susah sehingga membuat Hendra menimba ilmu kepada ahli pembuat kijing atau nisan kuburan di Yogyakarta.
Eksplorasi ini masuk akal, Hendra hendak mewarisi kembali ilmu seni pahat batu khas Nusantara di candi-candi yang pengetahuannya makin hilang akibat penjajahan. Setelah melakukan beberapa kali eksperimen Hendra akhirnya memberanikan diri untuk membuat patung tubuh Jenderal Sudirman yang niatnya untuk ditaruh di depan Gedung Agung pada 1950.
Lantaran Sudirman telah wafat—dan entah kenapa Hendra tak berusaha mencari foto sang jenderal sebagai model— Hendra justru memutuskan bersemedi untuk bertemu Sudirman “di dalam hati dan alam pikir” (hlm 45). Setelah mendapatkan wangsit, Hendra memberanikan diri untuk membuat patung itu. ADT menyebut bahwa saat Hendra menatahkan besi pahatnya di atas batu tatah itu, ia seakan merasakan batu tatah itu berjalan sendiri membentuk sesuatu. Setelah patung itu selesai, istri dan anak Sudirman dikabarkan sampai pingsan saat melihat saking persisnya wajah patung Sudirman itu dengan wajah Sudirman dalam kenyataan.
Ada lebih banyak lagi kisah di buku ini. Setelah membaca buku ini, pembaca akan mendapatkan kesan bahwa Hendra mengalami momen-momen dramatik di luar kewajaran. Momen-momen itu mungkin dapat membuat pembaca menitikkan air mata atau geleng-geleng kepala atau malah sedikit jengah.
Di balik fasihnya ADT menceritakan drama hidup pelukis Hendra, narasi tentang kepakaran melukis Hendra justru lumayan terabaikan, meski kita masih dapat menemukan pemikiran-pemikiran Hendra yang otentik tentang kebudayaan di buku ini. Padahal, narasi kepakaran melukis itu justru urgen untuk dihadirkan, karena dapat memperlihatkan bagaimana seni rupa Indonesia modern menyumbang wacana khas bagi kebudayaan Indonesia modern.
[1] Dikutip dari S. Sudjojono, “Seorang Seniman dengan Sendirinya Harus Seorang Nasionalis” dalam Seni Lukis, Kesenian dan Seniman, Yayasan Aksara Indonesia, 2000, hlm. 33.
[2] Dari Buat Gadis Rasid oleh Charil Anwar (1948)
[3] Dari Karawang Bekasi oleh Charil Anwar (1949).
Sumber: JurnalRuang

Minggu, 21 Oktober 2018

85 Tahun Amrus Natalsya

Ulang Tahun Ke-85 Perupa Amrus Natalsya
Catatan: Misbach Tamrin 

Kredit Foto: Misbach Tamrin
Amrus Natalsya! Hanya dia seorang diri saja lagi yang tertinggal alias tersisa. Sebagai tokoh eksponen dari komunitas seniman ASRI Sore yang pernah eksis dan berkibar di era awal tahun 1950-an.
Kini, pada tanggal 21 Oktober 2018, telah berulang tahun yang ke-85, menjelang ke-86 tahun.

Ultahnya telah dirayakan secara sederhana. Di Galerinya Amrus Bumi Tarung, di jalan Bata Alam, Lido - Cigombong, Bogor, Jawa Barat.

Disamping oleh keluarga dan kerabatnya. Juga dihadiri para seniman sahabat dekatnya. Antara lain Martin Aleida (sastrawan), EZ Halim (kolektor), Dolorosa Sinaga (pematung), Salim M. (Pelukis), isteri penyair Oey Hay Djoen. Dan beberapa seniman pelukis kalangan aktivis pejuang HAM lainnya. Termasuk di antaranya Yayak Yatmaka dan Yohanes Andreas Iswinarto.
Dalam satu dan dua tahun belakangan ini telah meninggal dunia 2 tokoh seniman komunitas ASRI Sore. Yaitu Arby Samah, dikenal selaku pematung abstrak asal dari Padang, dalam usia 83 tahun. Dan Soenarto PR, pelukis realis, dan ketua sesepuh Sanggar Bambu dalam usia 84 tahun. Menyusul kawan-kawan almarhum terdahulu, seperti Arwan Isa, Abdullah Siddiq, Abdullah Saleh, Gani Lubis dan Widodo.

Foto: Misbach Tamrin
Generasi mereka mewakili suatu angkatan penerus generasi pejuang kemerdekaan Revolusi Agustus 1945. Yang dipelopori triumvirat maestro legendaris "SAH" : Sudjojono, Affandi dan Hendra Gunawan. Yang tak asing lagi di khazanah senirupa Indonesia.
Amrus Natalsya, selain itu di samping pernah sebentar sebagai warga sanggar "Pelukis Rakyat" pimpinan Hendra, sebelumnya. Juga selaku ketua pendiri Sanggar Bumi Tarung (SBT) selama 4 tahun (1961 - 1965) di Yogyakarta. Sebelum tergusur rezim Orde Baru di peristiwa '65.

Kredit Foto: Misbach Tamrin
Hingga sekarang, jam terbang berkaryanya telah beranjak 64 tahun (1954 - 2018). Dengan berjibun karya-karya senirupanya yang tak terhitung. Tersebar dari di tanah air hingga di manca negara. Meliputi 3 genre media karya : patung kayu, lukisan kayu dan lukisan kanvas. Sekaligus 3 orde zaman, dirambah karier juang kesenimanannya : orde lama, orde baru dan orde reformasi.
Rencana Amrus Natalsya, jika masih ada khayat dikandung badan. Ia akan berupaya menyempatkan kesempatan pameran tunggal retropektif usia senjanya. Di ruang gedung Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki (TIM) pada tanggal 16 Februari 2019 mendatang
***

Jumat, 10 Agustus 2018

100 Tahun Hendra Gunawan : Satu Kisah dari Kebon Waru


Oleh: Dika Irawan & Diena Lestari 10 Agustus 2018 | 02:00 WIB



Indonesia beruntung memiliki maestro seni lukis seperti Hendra Gunawan. Semasa hidupnya, dia berjuang menyuarakan suara rakyat lewat lukisan-lukisannya. Kepeduliannya terhadap bidang kesenian, tak dapat diragukan.

Namun, dunia seni rupa Indonesia juga mujur memiliki sosok kolektor seperti Dr (HC) Ir. Ciputra. Pengusaha sukses di bidang properti ini tidak sekadar pengumpul lukisan-lukisan Hendra, tetapi juga menjaga hasil karya sahabatnya dengan sepenuh hati.

Janji seorang Ciputra untuk membuatkan museum yang menyimpan karya dan mengenalkan sosok Hendra Gunawan kepada generasi muda pun terwujud. Pada Agustus ini, Begawan Properti bahkan menggelar peringatan 100 Tahun Hendra Gunawan.

Ajang yang berlangsung hingga 12 Agustus di Ciputra Artpreneur Jakarta ini, memamerkan lukisan karya sang maestro yang belum pernah diperlihatkan kepada para pencinta seni. Pameran ini mengangkat tajuk Prisoner of Hope dan dikuratori oleh Agus Dermawan T. dan Aminudin TH Siregar.

Karya yang dipamerkan di Prisoner of Hope sangat kental dengan nilai kemanusiaan melalui teladan Hendra Gunawan sebagai pelukis. Pascapemberontakan G30S/PKI, Hendra harus mendekam di balik jeruji besi.

Stigma sebagai seniman komunis dan hidup menderita sebagai tahanan politik tidak lantas membuatnya berkecil hati. Semangatnya untuk berkarya tetap hidup. Hendra melampaui penderitaan dirinya itu sebagai risiko atas komitmennya membela kemanusiaan.

Salah satu kurator sekaligus kritikus seni Agus Dermawan T. tidak sepakat jika Hendra Gunawan dituduh sebagai komunis. Justru Hendra adalah filosof dan pejuang yang kerap melukiskan kondisi rakyat kecil karena empati dan keinginan untuk dekat dengan rakyat.

Kebetulan dia melihat visi tentang kerakyatan diusung oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Akhirnya Hendra pun bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), salah satu organisasi underbow PKI.
“Hampir semua seniman masuk [Lekra] pada saat itu. Jadi melihat kesamaan visi saja, sehingga mereka sepakat masuk [menjadi anggota], tetapi bukan berarti menjadi komunis,” jelasnya.
Penulis buku berjudul Surga Kemelut Hendra: Dari Pengantin Revolusi Sampai Terali Besi ini mengatakan bahwa Hendra bukan partisan politik. 
Ketertarikannya terhadap kerakyatan yang membuatnya menjadikan rakyat sebagai objek lukisan. “Reputasi seni, ketajaman pikiran dan luasnya pergaulan Hendra pada suatu era menjadi idaman para pengelola organisasi politik. Hendra pun serta merta dilibatkan dan melibatkan diri dalam politik,” katanya.

Senada, Ciputra mengatakan bahwa tuduhan yang dilekatkan bahwa Hendra Gunawan adalah komunis tidak tepat. Dia menilai, Hendra justru berjuang melawan penindasan melalui karya lukisnya.
“Dia adalah pelukis rakyat. Hampir semua karya-karyanya menggambarkan manusia Indonesia kelas bawah. Tak ada gedung-gedung tinggi menjulang, dan manusia modern Indonesia dalam karyanya.”
Pada pameran yang diselenggarakan oleh Ciputra Artpreneur ini terlihat lukisan karya Hendra dari era post-revolusi dan post-politik. Ciri-ciri dari muatan lukisan periode ini adalah menonjolnya aspek human-interest, yang dalam tema menghadirkan hubungan harmoni antarmanusia.

Para pencinta seni dapat menikmati karya a.l. berjudul Tukang Duren, Penari Ular, Menangkap Kupu-kupu, Menyusui, dan Wanita Mencuci di Tepi Kali.

Sebagian besar lukisan post-revolusi dan post-politik yang diciptakan dalam penjara diberi tanda KW, singkatan dari Kebon Waru.

Jatuh Cinta

Tercatat sebagai kolektor terbesar lukisan dari Hendra Gunawan, dapat dikatakan bahwa sosok Ciputra jatuh cinta pada pandangan pertama dari karya seniman kelahiran 11 Juni 1918 tersebut.
“Saya akui [kehebatan] seniman-seniman lain [Basoeki Abdullah, Affandi, dan S. Sudjojono], tetapi yang paling saya kagumi adalah Hendra Gunawan. Karyanya sungguh luar biasa. Mulai dari warna, kompsisi, dan figur yang dilukisnya,” tuturnya.
Dalam pandangan Ciputra, warna-warna yang menjadi pilihan Hendra saat melukis sangat menari. Keterampilan Hendra menarikan jemari di atas kanvas tidak luput dari perhatian Ciputra.
“Hendra itu langsung melukis tanpa foto atau objek di depan mata. Semua konsep ada dalam pikirannya, dan langsung dituangkan pada kanvas. Dia tidak pernah mengulang atau mengoreksi karya. Dia sangat pasti dalam melukis. Pilihan warnanya juga luar biasa,” ujarnya.
Saat ini, lebih dari 100 lukisan karya Hendra Gunawan yang dimiliki oleh Ciputra. Di antara koleksinya tersebut, Ciputra sangat mengagumi karya Hendra yang bertajuk Pangeran Diponegoro Terluka (cat minyak pada kanvas, 204 x 495 cm, 1982).

Lukisan ini menyimpan misteri karena Hendra tidak menyelesaikan gambar wajah Pangeran Diponegoro. Hendra sendiri tidak menjelaskan kenapa tidak melanjutkan gambar itu. Hingga pelukis itu meninggal belum diketahui alasan tak merampungkan karyanya itu.
“Masih misterius,” tuturnya.
Melalui pameran Prisoner of Hope, Ciputra berharap para pencinta seni dapat mengapresiasi karya salah satu maestro seni lukis Indonesia. Menurutnya, Hendra adalah pelukis langka dan memiliki ciri khas yang tak dimiliki oleh seniman lainnya. Di belahan dunia lain, tak ada seniman yang menyamai pencapaiannya.

Presiden Direktur Ciputra Artpreneur Rina Ciputra Sastrawinata menambahkan, dalam peringatan 100 tahun Hendra Gunawan juga digelar workshop tentang terapi lewat seni. Menurutnya, publik belum banyak mengetahui bahwa terapi melalui seni sangat bermanfaat.

Rina menjelaskan, workshop ini dipilih karena sejalan dengan gagasan Hendra.
“Sewaktu di penjara, Hendra tetap aktif memberikan pengajaran tentang tarian, senandung, dan nyanyian. Jadi kami melihat ada hal positif yang Hendra tularkan melalui hal tersebut.”
Editor: Diena Lestari
Sumber: http://surabaya.bisnis.com/read/20180810/466/826296/100-tahun-hendra-gunawan-satu-kisah-dari-kebon-waru

Rabu, 02 Oktober 2013

Menyoal Stigma Hendra

EDISI, 2 OKTOBER 2013

Agus Dermawan T., 
PENULIS BUKU 'HENDRA GUNAWAN, A GREAT MODERN INDONESIAN PAINTER'


Namun, sampai 30 tahun setelah kematian, bahkan sampai dunia seni internasional membukukan karya Hendra senilai Rp 5 miliar selembarnya, pemerintah Indonesia tetap tidak memutihkan namanya.
"Saya masih ingat, Bapak dijemput tentara di Ciparay pada Desember 1965." Itulah tutur Karmini, istri pelukis Hendra Gunawan. Sejak itulah Hendra dimasukkan ke sel tapol (tahan an politik) Kebon Waru, Bandung, tanpa pengadilan sama sekali. 
Dan sejak itu pula, namanya masuk lembaran hitam sejarah Indonesia. Ia dituduh sebagai seniman pencedera bangsa lantaran dalam hidupnya pernah sangat bersahabat dengan para seniman Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi onderbouw PKI (Partai Komunis Indonesia). 

Kudeta G30S (Gerakan 30 September) yang syahdan didalangi PKI telah menyeret Hendra ke dalam kehidupan yang membingungkan. Pemerintah Orde Baru menuduh Hendra sebagai penyebar paham Marxisme dan Leninisme lewat seni rupa, sehingga perlu dibenamkan ke dasar bumi. Sedangkan Hendra berkali-kali menunjukkan bukti bahwa ia sesungguhnya tidak memberangkatkan karyanya dari basis politik. Namun penistaan tetap berjalan, sehingga seniman kelahiran Bandung, 11 Juni 1918, ini tetap dikurung sampai 1978.

Apa yang diucapkan Hendra akhirnya diakui oleh berbagai pihak. Mochtar Kusumaatmadja, Menteri Luar Negeri, menyebut bahwa Hendra adalah seorang humanis, bukan komunis. 
“Ia ditangkap semata-mata karena sahabat Bung Karno. Hendra memang sering diundang koffie uurtje (minum teh pagi hari, adt) oleh Bung Karno di istana presiden. Ia hanyalah seniman yang diseret-seret ke politik,” tuturnya dalam pidato pembukaan pameran pelukis Nuraeni, istri kedua Hendra, di Mitra Budaya, Jakarta, 1990.
Jauh hari sebelumnya, semasa Hendra masih dalam penjara, Mashudi, jenderal yang jadi Gubernur Jawa Barat, telah menjelaskan kepada para aparat agar Hendra selalu “dipelihara”, karena ia “bukan siapa-siapa”. 
Namun aparat pemburu tapol tampak tidak peduli. Dengan demikian, menjelang 1975, Hendra nyaris dibuang jauh ke Pulau Buru. 

Untung Aloysius Sugianto segera menghalangi upaya sembarangan itu. Aloysius bertindak atas instruksi diam-diam Jenderal Ali Moertopo, yang mengatakan bahwa keberadaan Hendra di Kebon Waru hanyalah untuk penyelamatan dari tindakan liar segelintir para pemburu tapol. Artinya, bukan untuk penghukuman. Hal yang sama dilakukan oleh Muluk Lubis, atas pesan dari M. Jusuf, jenderal yang kemudian menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan. 

Seniman revolusi 

Pemosisian Hendra Gunawan sebagai pelukis “total kiri” juga dirasakan muskil oleh sahabat-sahabatnya yang seprofesi, bahkan yang berada di pihak “kiri-kanan”. Abas Alibasyah, pelukis yang pernah jadi Ketua Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia “Asri” Yogyakarta, mengatakan bahwa Hendra dicap kiri hanya lantaran mendirikan dan memimpin sanggar Pelukis Rakyat sejak 1948. 

Ia mengatakan bahwa, pasca-1965, segala yang beraroma rakyat memang langsung dianggap komunis. Dan siapa pun yang “komunis” pasti dikubur, meski kontribusinya terhadap bangsa dan negara bukan main banyaknya, seperti Hendra.

Hendra memang bukan seniman biasa. Di samping melukis, mendidik, serta memikirkan prospek kebudayaan, ia adalah pejuang revolusi yang tak pernah kendur. 
Pada 1940-an, bersama Sudjana Kerton, Abedy, dan lain-lain, ia mendirikan Pelukis Front, yang misinya terang-terangan melawan pendudukan pasukan kolonial. 
Dengan pensil, kuas, dan senjata di tangan, Hendra mengintai dan menghadang musuh. Lokasi-lokasi yang mereka tuju adalah sekitar Bekasi, Karawang, Bogor, Tasikmalaya, sampai Jakarta. Dari situ, ia lantas bergabung dalam Tentara Pelajar.

Ketika Belanda tergusur dan Jepang menguasai Indonesia pada 1942, Hendra aktif dalam Poetra (Poesat Tenaga Rakyat), yang dipimpin Empat Serangkai, Ir Sukarno, Mohamad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansur. Dalam organisasi ini, ia tak cuma siap bertempur, namun juga membuat poster-poster persiapan kemerdekaan yang ditempel sendiri di berbagai sudut Bandung. Isinya adalah seruan untuk mengusir Jepang. Ketika Poetra dibubarkan Jepang dan diganti Jawa Hokokai, Hendra tak mengurangi aktivitasnya.

Pada bulan-bulan setelah kemerdekaan, ia banyak membuat poster yang isinya mewaspadai gerak-gerik NICA. Poster-poster itu sebagian merupakan transformasi konsep yang didapat dari Angkatan Pemuda Indonesia, yang berkedudukan di Jalan Menteng 31, Jakarta. Juga dari Adam Malik dan Chairul Saleh.

Patriotisme Hendra mengundang minat Bung Karno, sang presiden, untuk mensponsori dalam pameran tunggal. Pameran itu digelar pada 1946 di gedung Komite Nasional Indonesia (KNI) Pusat, jalan Malioboro. Di sini sebuah drama terjadi pada saat peresmian pameran. Bung Karno disambut serombongan kere (tunawisma). Beberapa saat Presiden tertegun, untuk kemudian takjub dan terharu atas ulah Hendra yang betul-betul pro-rakyat itu. Sejak itulah Bung Karno dan Hendra bersahabat. Siapa pun tak menyangka, persahabatan itu pula yang kelak menghadirkan sejarah kehidupannya yang ganjil.

Hendra dibebaskan dari penjara pada 1978. Untuk mencari ketenteraman, pada 1980 ia pindah ke Ubud, Bali. Pada 17 Juli 1983, ia meninggal karena berbagai penyakit yang dibawanya dari penjara. Pada saat kematiannya, kembali terbukti betapa sesungguhnya Hendra adalah pelukis humanis non-politik yang sangat banyak memiliki sahabat.  

Dokter Murdowo, yang selama beberapa tahun mengurus kesehatan Hendra tanpa biaya, memulangkan jenazah Hendra ke Bandung. Setelah disembahyangi secara Hindu oleh warga setempat, jenazah diberangkatkan dengan mobil ambulans milik Koperasi Rumah Sakit Sanglah, Denpasar. Perjalanan jauh ditempuh, sehingga pengemudi ambulans perlu istirahat di Yogyakarta. Maka, jenazah Hendra secara spontan disemayamkan dulu di rumah pelukis dan koreografer Bagong Kussudiardja, di Jalan Singosaren Kidul, Yogyakarta. 

Di kediaman Bagong, jenazah Hendra kembali diselubungi doa-doa. Keluarga Bagong mengupacarainya secara Kristen. Puluhan pelayat, di antaranya pelukis Affandi, Sapto Hudojo, Amri Yahya, dan Djajeng Asmoro, menghantarnya secara Islam. Beberapa pelukis keturunan Tionghoa memetikkan doa secara Buddha. 
Jenazah Hendra akhirnya sampai di Bandung, untuk kemudian diberangkatkan ke Purwakarta menuju pekuburan Muslimin, di Gang Pekuburan, Jalan Ahmad Yani. 

Pada Selasa, 19 Juli 1983, itu Kiai Haji E.Z. Muttaqien menghantar jasad Hendra ke liang kubur dengan khidmat. Setelah pemakaman, Ketua Majelis Ulama Jawa Barat itu berkata bahwa Hendra adalah seorang nasionalis yang tidak ada alasan untuk dilukai stigma politik. Namanya harus dianggap bersih, sebersih kain kafan yang mengantarnya ke alam baka. 

Namun, sampai 30 tahun setelah kematiannya, bahkan sampai dunia seni internasional membukukan karya Hendra senilai Rp 5 miliar selembarnya, pemerintah Indonesia tetap tidak memutihkan namanya.  

Sumber: Tempo.Co 

Sabtu, 05 Juni 2010

Buah Tangan Bujang Parewa


Sabtu, 5 Juni 2010 | 11.01 WIB | Oleh Iwan Komindo*)
Nusa Kambangan, 1979
“Kita segera bebas,” bisik Ragil. Kumis tebalnya menggelitik daun telinga Bujang Parewa. “Ah… geli ah,” gerutu Bujang Parewa seraya mundur beberapa langkah dan menggosok-gosok daun telinga.
“Aku serius! Kita dapat amnesti internasional. Tahun 1979 ini seluruh tahanan dapat ampunan,” lanjut Ragil meyakinkan. Dia tetap berbisik.
Kali ini matanya membelalak menatap Bujang Parewa dalam-dalam guna mempertegas kabar yang dibawa itu benar adanya. Sejurus kemudian, wajahnya yang keriput dimakan usia clingukan menyapu segala arah. Bola matanya berkeliaran memeriksa keadaan.

Mereka berdua, sekamar di Lembaga Pemasyarakatan Candi, Nusa Kambangan. Meski usia bertaut jauh, keduanya berkawan akrab. Persamaan nasib membuat dua laki-laki ini kerap berbagi dalam banyak hal.

Empat belas tahun sebelumnya, paska hura-hara September 1965, Ragil tercerabut dari akar sosialnya. Lurah yang sangat dihormati di Jogjakarta itu ditangkap oleh tentara atas tudingan terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI).

Begitu pula Bujang Parewa. Aktivis Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) ini ditangkap bulan Desember 1965 saat berusia 15 tahun. Kala itu dia masih duduk di kelas 3 SMP.

***

Senin hingga Sabtu, tahanan politik di Nusa Kambangan dipaksa bekerja. Ada yang menjadi kuli kasar membangun ini dan itu. Ada yang berkebun menanam berbagai sayur-mayur, umbi-umbian dan aneka pohon berbuah. Hari Minggu mereka dapat jatah libur.

Selain rutinitas itu, tahanan juga kebagian piket jaga malam. Tugasnya selain mengontrol keamanan juga memastikan gardu listrik tetap beroperasi dengan baik. Piket jaga malam ini dibagi bergiliran. Dalam seminggu, seorang tahanan kebagian sekali.

Lain halnya dengan Bujang Parewa. Dia piket malam dua kali dalam seminggu. Bukan karena tambahan hukuman, melainkan menggantikan tugas Pak Ragil yang sakit-sakitan. Sebetulnya Pak Ragil tak pernah meminta tolong agar tugasnya digantikan. Bujang Parewa-lah dengan kesadaran penuh menawarkan diri.
“Bapak istirahat saja. Tak baik berjaga malam.”
Di kamar itu Bujang Parewa dipercaya sebagai palkam-sebutan untuk kepala kamar. Dialah yang bertanggungjawab atas apapun yang terjadi di kamar yang dihuni 21 orang tahanan politik dari berbagai kota.

Bila melihat orang tua berambut putih itu kedinginan dan batuk-batuknya kumat di malam hari, Bujang Parewa seringkali berbagi selimut. Tak hanya itu, dia juga kerap memijit Pak Ragil.

Semua dilakukannya dengan senang hati. Tanpa ada embel-embel apapun. Bujang Parewa selalu ingat dengan nasehat ibunya yang mengingatkan agar selalu ikhlas melakukan apapun dan senantiasa membantu orang yang butuh pertolongan.

***
“Nih…ada titipan surat buat kamu Parewa,” tutur Pak Ragil seraya menyodorkan secarik amplop berbungkus rapi. Parewa sedikit terheran-heran, “dari siapa ya?” gumamnya bertanya pada diri sendiri. Surat itu disambarnya dan dipatutnya lama-lama. Setelah dibolak-balik beberapa kali, surat itupun dibuka perlahan.
Melalui surat, Pak Ragil rupanya menceritakan segala yang dialami di Nusa Kambangan kepada keluarganya di Jogjakarta, termasuk kisah tentang perlakuan Bujang Parewa. Hal itu diketahui Parewa ketika membaca surat yang dikirim Sri, anak perempuan Pak Ragil.

Beberapa hari kemudian, saat hendak berkirim surat ke Jogja, Pak Ragil bertanya,
“Parewa, mau nitip surat ndak buat adekmu di Jogja?” “Oiya, tentu. Tunggu sebentar,” sahut Parewa.
Hari demi hari telah berlalu. Senin hingga Sabtu tahanan tetap melakukan rutinitas seperti biasanya. Nguli dan berkebun. Minggu libur. Hanya saja kini Parewa punya tambahan kerjaan baru, yakni berbalas-balasan surat dengan Sri. Surat yang dikirimnya selalu satu amplop dengan surat Pak Ragil. Dalam satu amplop dua surat. Begitu pula surat datang dari Jogja.
Satu amplop untuk dua orang, Pak Ragil dan Parewa.

Kini, Parewa sudah tahu paras Sri lewat foto yang dikirim. Gadis yang duduk di kelas 3 SMA itu berparas ayu, menurut Parewa. Keayuan Sri-lah yang menginspirasi Parewa melukis sekuntum bunga di sehelai kertas. Lukisan itu dikirimkan ke Jogja berikut kata-kata penuh rayuan tentunya.

Bukan main senangnya hati Sri menerima kiriman lukisan itu. Bunga itu membuatnya berbunga-bunga. Di tempat terpisah, Parewa-pun berbunga-bunga. Padahal, semenjak kecil Parewa tipikal orang yang tak berani berhadapan dengan perempuan. Jangankan menggoda, bertegur sapapun dia tak bernyali.

Semasa sekolah dulu, tiap berpapasan dengan perempuan dia selalu merunduk. Di jalan, bila berpapasan dengan perempuan di persimpangan jalan, dia memilih menyimpang. Hal itulah yang memunculkan sindiran dari teman sebaya: Parewa jumpa perempuan lansung ciut ibarat kerupuk disiram air.

***

Di Nusa Kambangan banyak hal dipelajari. Penjara tak ubah universitas. Di sinilah Parewa berjumpa Hendra Gunawan, maestro senirupa tanah air yang bersahabat dengan pelukis Affandi. Parewa menaruh minat besar terhadap senirupa. Dia berguru kepada Hendra yang tak pernah pelit berbagi kepandaian.
“Tahanan PKI itu orangnya pintar-pintar dan tidak pernah pelit dengan ilmunya. Jadi, di sini, kalau mau belajar bahasa asing ada gurunya, belajar melukis ada gurunya…” begitu bunyi surat Parewa kepada Sri suatu waktu.
Bermacam hal terkait ilmu senirupa didulang Parewa dari Hendra Gunawan. Dia belajar melukis dan mengukir. Perkakas merupa seperti cat, kain kanvas dan pahat untuk mengukir didapat dari orang-orang yang membesuk.

Berkarya itu berhubungan erat dengan rasa. Setiap manusia tentu punya rasa. Rasa muncul karena pengaruh sekitar. Rasa dingin dan panas dipengaruhi suhu. Rasa jengkel maupun senang juga dipengaruhi hal-hal yang ada di sekitar. Pendek kata, setiap manusia tentu punya rasa. Rasa menangkap keadaan.

Saat muncul rasa ingin kencing, maka segera keluarkan. Muncul rasa ingin buang air besar, segera keluarkan. Kalau tidak dikeluarkan jadi penyakit dia. Begitupula berkarya, saat merasakan sesuatu, terbayang akan sesuatu langsung keluarkan. Tuangkan rasa itu menjadi sebuah karya. Kalau tidak akan berdampak buruk bagi kesehatan jiwa. Jadi hidup ini sebetulnya perkara mengolah rasa.

Petitih itu didapatnya dari Hendra Gunawan yang terkenal dengan lukisan berjudul ‘Pengantin Revolusi’. Hendra adalah pelukis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Sebelum di Lekra dia pernah bergabung di Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) yang didirikan S. Sudjojono pada tahun 1937.

Di zaman pendudukan Jepang, Persagi berusaha merealisir seni lukis Indonesia baru dengan semangat menolak estetika seni lukis Mooi Indie yang hanya mengungkapkan keindahan dan eksotisme saja.

Dengan semangat nasionalisme, Persagi ingin membawa seni lukis Indonesia pada kesadaran tentang realitas sosial yang dihadapi bangsa dalam penjajahan. Di samping itu, dia ingin membawa nafas baru pengungkapan seni lukis yang jujur dan empati yang dalam dari realitas kehidupan lewat ekpresionisme.

Tak ayal Persagi jika di ranah senirupa, Persagi ditempatkan sebagai pemberontak estetika “Mooi Indie” yang telah mapan dalam kultur kolonial feodal. Bagi mereka seni adalah implementasi dari perjuangan estetika yang mengandung moral etik kontekstualime dan nasionalisme.

Di Nusa Kambangan, sepertinya tidak beralaku pepatah siapa yang menabur angin dia yang menuai badai/siapa yang menanam dia yang memetik. Para tahanan memang diwajibkan berkebun dari hari Senin sampai Sabtu, tapi memanen tidak bisa sembarangan.

Karena lapar, lantaran minimnya makanan, tak sedikit tahanan yang diam-diam mencuri buah-buahan atau tanaman lainnya. Makanya Parewa membuat lukisan berjudul ‘Mencuri Tanaman Sendiri’.

Banyak pelajaran didapat Parewa di Nusa Kambangan, termasuk belajar melawan rasa takut terhadap perempuan. 
“Usia bertambah terus. Kalau gini-gini aja kapan punya istri. Jangankan punya istri, pacar aja nggak akan dapat,” pikirnya.
Ketakutan harus dilawan. Mulailah dia bergerilya memantau perempuan-perempuan di Nusa Kambangan. Aw…aw…pilihan jatuh kepada Ratih, anak gadis kepala sipir penjara. Ini dia perempuan paling cantik di sini…

Suatu hari, Kapten Heng, si kepala sipir memerintahkan Parewa menyapu dan mengepel rumahnya. Tak ada tahanan yang berani menolak perintah Kapten Heng. Jadilah Parewa ngesot melantai di kediaman sipir yang dikenal galak itu.

Kebetulan Ratih sedang asyik membaca di ruang tengah. Jantung Parewa berdebar-debar. Ratih tampak asyik dengan bukunya. Dalam hati, Parewa berpikir, ini saatnya mencoba keberanian dengan gadis paling cantik. Kalaupun ditolak tak apa, yang penting coba dulu. Ditolak sama gadis paling cantik apa salahnya.

Sambil ngesot tanpa menegadah sedikitpun, Parewa mendekati Ratih. Semakin dekat…semakin dekat…dan matanya tertumbuk pada betis bunting padi nan mulus. Parewa memberanikan diri menyentuh kaki itu dengan kain pelnya.
“Eh, maaf Neng,” Parewa berbasa-basi dalam kepura-puraan.
“Eh, nggak apa-apa,” Ratih menimpali.
“Nggak sengaja,” kali ini Parewa melirik ke paras Ratih nan aduhai.
Mata bertemu mata. Entah pelet apa yang dimainkan Parewa, bunga desa Nusa Kambangan itu meraih kedua tangan anak muda kita dan menariknya berdiri.
 Jangan-jangan bunga yang sedang mekar itu rindu akan sentuhan kumbang. Ratih memang kesepian. Dia tak punya teman sebaya.

Merasa dapat angin segar, Parewa langsung melontar kata, 
“Neng cantik sekali. Mau saya lukis?”
Rupanya sanjungan itu ampuh, kawan. Ratih tergoda.
“Boleh,” katanya tersipu malu.
“Saya pikir Neng sombong, ternyata tak hanya cantik, Neng juga baik hati,” lagi-lagi Parewa melempar rayuan maut. Ratih semakin melambung.
Sepi. Selain mereka berdua tak ada orang lain di rumah itu. Berbekal kertas dan pensil yang diberikan Neng Ratih, Parewa mulai berkarya.
“Hari ini sayalah manusia yang paling bahagia di dunia ini,” gumam Parewa sambil menggambar.
“Kenapa?”
“Bagaimana tidak? Saya bisa berlama-lama menatap gadis paling cantik yang pernah saya jumpai.”
“Ah, Akang bisa aja.”
Semenjak pertistiwa itu, Parewa sembuh dari sakitnya. Dia tak lagi canggung dengan kaum hawa. Makanya, ketika anak Pak Ragil menyurati, dia tak gamang sedikitpun menguntai kata-kata indah penuh rayuan.

***

Amnesti internasional menjadi topik utama. Buah bibir para tahanan politik Nusa Kambangan tak lepas dari itu. Angin segar itu menyejukkan hati Parewa. Dalam hati dia berpikir aku harus meninggalkan kenang-kenangan di sini.

Minggu, setiap hari libur Parewa berjalan sendirian ke Goa Ratu, di daerah Candi membawa perkakas ukir. Tanpa diketahui banyak orang dia membuat totem (memahat batu) di mulut goa. Kepandaian Hendra Gunawan telah turun padanya. Batu itu disulap menjadi tumpukan manusia dengan berbagai ekspresi wajah.

Wajah-wajah itu seolah menatap siapapun yang akan masuk ke goa. Ada yang melotot marah, ada yang berteriak sekeras-kerasnya, ada yang meminta belas kasihan dan lain sebagainya. Totem itu hidup. Sangat ekspresionis. Wajah-wajah itu menggambarkan perasaan orang-orang yang ditahan empat belas tahun di Nusa Kambangan tanpa pernah diadili.

Di Goa Ratu pula, Parewa menemukan dua buah batu mulia yang menurutnya punya kwalitas paling bagus. Yang satu digosoknya sampai mengkilat, satunya lagi diolahnya menjadi sebuah cincin. 
“Batu ini akan kuberikan pada Sri jika bebas nanti,” gumamnya dalam hati.
Namun sayang seribu kali sayang, totem itu belum rampung betul saat Parewa bebas. Dari Nusa Kambangan seluruh tahanan ditampung di Jogja selama dua hari, baru kemudian dipulangkan ke kotanya masing-masing.

Pak Ragil dijemput keluarganya. Sri ikut serta. Inilah kali pertama Parewa bermuka-muka dengan Sri. Tak sekadar bersalaman. Mereka berpelukan dan bertangis-tangisan. Batu yang memang sudah dipersiapkan diberikan kepada Sri.

***

Jakarta, Mei 2010

NB: Baru-baru ini saya nonton tivi. Kebetulan acaranya mengulas tentang Nusa Kambangan. Dan tivi itu menyorot totem yang saya buat dulu. Dalam siarannya reporter tivi menduga-duga kalau totem itu karya manusia goa yang hidup ribuan tahun lalu. Saya hanya bisa senyum-senyum di depan tivi. Bagaimana dengan Sri, nanti deh lain waktu saya ceritakan…

*) Penulis adalah jurnalis dan pencinta sastra. Seringkali dia dijuluki sebagai Pengabar Jalanan atau Si Tukang Dongeng.

Sumber: BerdikariOnline