HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 05 Desember 2019

Survei Litbang Kompas soal Nasib Kasus HAM di Era Jokowi Selengkapnya

Kompas.com - 05/12/2019, 09:19 WIB
Penulis : Deti Mega Purnamasari
Editor : Fabian Januarius Kuwado

Komisioner Komas HAM Muhammad Choirul Anam dorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) keluarkan Perppu terkait pemenuhan hak korban kejahatan HAM masa lalu.(KOMPAS.com/ACHMAD NASRUDIN YAHYA)


JAKARTA, KOMPAS.com - Litbang Kompas merilis hasil riset untuk Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM). Hasil survei menunjukkan bahwa publik meragukan pemerintahan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin dapat menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu, tepatnya kasus penculikan aktivis.

Selain itu, publik kurang mengetahui kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Survei juga menunjukkan bahwa nuansa politik menjadi hambatan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Riset Litbang Kompas ini dilaksanakan pada 23 September 2019 hingga 4 Oktober 2019 dengan jumlah responden sebanyak 1.200 orang dan sampling error 2,8 persen.

Riset itu dilakukan di 34 provinsi di Indonesia dengan metodologi face to face interview, yakni menggunakan kuesioner dengan durasi wawancara maksimal 60 menit.

Empat Kasus HAM Masa Lalu 

Mengenai pemerintahan Jokowi-Ma'ruf diragukan menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu, survei menunjukkan bahwa keraguan itu muncul hanya dalam penyelesaian kasus penculikan aktivis tahun 1997-1998.

Sebanyak 51,7 persen menilai bahwa Jokowi tak mampu menyelesaikan kasus penculikan aktivis 1997-1998 dan 13,8 persen responden menganggap sangat tidak mampu. Adapun, responden yang menjawab mampu, sebanyak 34,5 persen.
"Makanya tergantung Presiden mau tidak selesaikan sesuai harapan publik," kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam saat pengumuman hasil riset Litbang Kompas untuk Komnas HAM yang dirilis pada Rabu (4/12/2019) di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat.
Selain kasus penculikan aktivis 1997-1998, terdapat tiga kasus lain yang juga diteliti Litbang Kompas. Ketiganya, yakni penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Semanggi-Trisakti 1998 dan kerusuhan 1997.

 Untuk kasus penembakan misterius, sebanyak 42,6 persen responden menyatakan bahwa Jokowi-Ma'ruf tak mampu tuntaskan kasus itu. Sebanyak 7,2 persen responden menyatakan sangat tidak mampu. Sebanyak 48 persen responden menyatakan mampu. Kemudian untuk kasus penembakan Trisakti-Semanggi 1998, sebanyak 41,8 persen responden menilai bahwa Jokowi-Ma'ruf tidak mampu menuntaskannya.

 Selanjutnya 6,6 persen menyatakan sangat tidak mampu dan 48,9 persen menyatakan mampu. Sementara untuk kasus kerusuhan Mei 1997, sebanyak 42,7 persen responden menilai bahwa Jokowi-Ma'ruf tak mampu menyelesaikannya, 8 persen menilai sangat tidak mampu dan 46,8 persen menilai mampu.

Hambatan Terbesar

Hasil riset juga menunjukkan, nuansa politik menjadi salah satu hambatan terbesar pemerintahan Jokowi-Ma'ruf menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Sebanyak 73,9 persen responden menyebutkan bahwa nuansa politik menjadi penghambat pemerintahan Jokowi dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Sisanya, ada 23,6 persen responden yang menyatakan bahwa Jokowi memang tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikannya.
"Ini hampir sesuai dengan dugaan Komnas HAM bahwa hambatan politik dalam pelanggaran HAM berat, khususnya masa lalu selalu mewarnai," ujar Choirul.
Menurut Choirul, persoalan politik yang menghambat penyelesaian kasus HAM ini tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lain.
"Makanya harus menjadi komitmen, apalagi Presiden Jokowi mengatakan bahwa penuntasan HAM adalah utang, tapi dalam penyelesainnya sulit karena ada nuansa politik," kata dia.
Hasil survei itu, lanjut Choirul, menunjukkan bahwa persoalan utama dalam menyelesaikan perkara HAM berat masa lalu bukanlah teknis hukum. Artinya, semestinya hukum di Indonesia dapat memuluskan jalan penyelesaian kasus itu.
"Masyarakat mengatakan, penyelesaian kasus ini adalah nuansa politis hambatannya sehingga kalau hambatan-hambatan ini bisa diselesaikan, maka sesuai UU, kalau kasus sudah 90 hari penyidikan masuk ke penuntutan bisa dilakukan," kata dia.
Dampaknya, kata dia, kurang dari setahun, kasus pun sudah bisa diselesaikan di pengadilan jika hambatan politisnya bisa dikurangi.

Diselesaikan Lewat Pengadilan

Hasil lain pada riset tersebut menunjukkan, publik menginginkan kasus pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan melalui pengadilan. Publik memilih mekanisme pengadilan, baik nasional maupun internasional untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Sebanyak 62,1 persen responden memilih mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan melalui pengadilan nasional. Sisanya, 37,2 persen memilih diselesaikan oleh pengadilan internasional. Hanya ada 0,5 persen saja yang memilih lainnya.
"Kalau kami berangkat dari survei ini, ya hasilnya mengatakan bahwa pengadilan itu menjadi jalan yang terbaik di antara jalan yang ada," kata Choirul.

Dorong Agar Masuk ke Kurikulum

Survei selanjutnya menunjukkan kurangnya pengetahuan publik tentang pelanggaran HAM berat masa lalu. Sebanyak 50 persen responden berusia kurang dari 22 tahun ( Gen Z) mengaku, tidak mengetahui apa saja kasus HAM berat masa lalu yang pernah terjadi di Indonesia.

Secara spesifik, peristiwa 1965 misalnya. Sebanyak 49,1 persen responden Gen Z menyatakan tidak tahu, sebanyak 39,6 persen menyebut kasus tersebut belum tuntas dan 11,3 persen menyebut sudah tuntas. Kemudian kasus penembakan misterius 1982-1985. Sebanyak 58,5 persen Gen Z mengaku tidak tahu kasus tersebut, sebanyak 37,7 persen menyebut belum tuntas dan 3,8 persen menyebut sudah tuntas.

Selanjutnya untuk kasus peristiwa Trisakti-Semanggi 1998. Sebanyak 49,1 persen responden Gen Z menyebut tidak tahu, sebanyak 43,4 persen menyebut belum tuntas dan 7,5 persen menyebut sudah tuntas. Kasus penculikan aktivis 1997-1998 juga hampir mirip fenomenanya.

 Sebanyak 49,1 persen responden Gen Z menyebut tidak tahu, 47,2 persen menyebut belum tuntas dan 3,8 persen menyebut sudah tuntas. Sementara, dalam kasus kerusuhan Mei 1998, 52,8 persen responden Gen Z tidak tahu, 41,5 persen menyebut belum tuntas dan 5,7 persen menyebut sudah tuntas.

Oleh sebab itu, Komnas HAM mendorong agar materi kasus HAM masa lalu masuk ke dalam kurikulum pendidikan di Indonesia.
"Ketidaktahuan kasus (HAM masa lalu) sendiri dan angka belum tuntas atau tuntas itu mengkonfirmasi bahwa kewajiban kita khususnya Mendikbud harus mensosialisasikan pendidikan HAM," kata Choirul.
"Jadi, ada baiknya kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat dimasukkan kurikulum, agar orang tahu bahwa dulu kita pernah mengalami nuansa yang gelap," lanjut dia.
Ia mengatakan, materi kurikulum jangan hanya mengakomodasi inovasi, nilai-nilai toleransi, tapi juga konteks HAM.
"Kita menjaga agar kegelapan itu tidak terulang kembali. Itu tugasnya Menteri Pendidikan, mulai TK sampai perguruan tinggi, dengan berbagai metodologi agar kasus ini menjadi tidak berulang. Ini tantangan bagi Pak Nadiem Makarim," kata dia.

Selasa, 09 Oktober 2018

Kebohongan besar itu terletak pada kurikulum nasional


Okky Madasari - Novelis indonesia
Singapura /   Sel, 9 Oktober 2018   / 13:38 siang

Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) tentang kejahatan terhadap kemanusiaan 1965 di Indonesia diadakan di Nieuwe Kerk di Den Haag, Belanda, pada 10 hingga 13 November. (Sumber dari Mahkamah Rakyat Internasional 1965 / -)

Jadi ini waktunya tahun lagi, dari akhir September hingga Oktober. Dan lagi kita dapat mengharapkan beberapa kontroversi konyol pada sejarah tergelap bangsa, yang terus menghantui kita bahkan seperti Indonesia merayakan tahun ini 20 th ulang tahun membebaskan diri dari rezim otoriter. 

Pembatalan acara untuk membahas insiden 1965 dan akibatnya di beberapa tempat di seluruh negeri - dengan pejabat militer dan sipil tampaknya memberikan dukungan mereka, dan dengan pemerintah berturut-turut menutup mata - menunjukkan bahwa dukungan untuk 32 tahun kebohongan rezim Orde Baru tetap ada kuat.

Almarhum Soeharto berhasil mengalihkan kesalahan dari seluruh insiden selama 30 September - 1 Oktober 1965, pada Partai Komunis Indonesia (PKI), menggunakan istilah "G30S / PKI" untuk pembunuhan para jenderal, dan memaksimalkan Insiden untuk mendapatkan kekuatan. Dia secara efektif menggunakan akronim untuk "September" 30 gerakan / Partai Komunis Indonesia ”dan disertai narasi untuk menekan kebebasan berekspresi, membungkam kritik dan menghancurkan setiap pemberontakan yang memungkinkan dia untuk mempertahankan kekuasaan selama lebih dari tiga dekade sejak setelah pembunuhan massal 1965-1966.

Hantu "G30S / PKI" masih menghantui bangsa ini karena banyak orang, yang dicuci otak selama lebih dari 30 tahun, tetap yakin dengan narasi langkah heroik Soeharto untuk menyelamatkan bangsa dari pengambilalihan komunis.

Tidak dapat dipahami bahwa pergolakan 1965-1966 dan akibatnya yang menyebabkan pembantaian ratusan ribu, bahkan jutaan orang Indonesia - tragedi yang menjadi fondasi Orde Baru Indonesia untuk waktu yang lama - belum ditangani secara memadai selama 20 tahun. setelah orang yang bertanggung jawab atas propaganda itu turun dan mati.   

Sementara beberapa penelitian telah memperjelas bahwa pembunuhan massal versi Orde Baru adalah kebohongan besar, pemerintah pasca-Soeharto berturut-turut telah berbuat banyak untuk menjelaskan tragedi itu.  

Tragedi terbesar bagi Indonesia, bagaimanapun, adalah bahwa kebohongan-kebohongan ini dipertahankan sebagai kebenaran bagi generasi muda karena versi yang digambarkan dengan sempurna oleh film propaganda Pengkhianatan G30S PKI  (Pengkhianatan G30S / PKI) - tetap berada dalam kurikulum sekolah meskipun era reformasi kita sekarang .

Pernahkah Anda bertanya kepada anak-anak kita, terutama yang belajar di sekolah menengah atas apa yang dikatakan guru mereka tentang tragedi 1965? Pernahkah Anda membaca buku-buku sejarah yang digunakan di ruang kelas?

Kurikulum 2013 terbaru sekarang diterapkan oleh semua sekolah di Indonesia. Ia mempertahankan istilah "G30S / PKI" untuk merujuk pada penculikan dan pembunuhan para jenderal pada 30 September 1965. Dengan demikian ajaran acara tersebut mengikuti propaganda, sehingga membunuh upaya-upaya yang dilakukan oleh orang-orang pemberani pada dekade pertama reformasi. era untuk merevisi buku-buku sejarah, dan sejarah Indonesia, meskipun hanya dengan menghapus kata "PKI" dari "G30S."

Satu perbedaan kecil dari versi Orde Baru, yang berlanjut dari era reformasi awal, adalah bahwa kurikulum ini mengakui berbagai skenario sekitar kudeta yang gagal pada 1965; dalam dirinya sendiri ini adalah kemajuan.

Buku pelajaran untuk kelas 12 menyatakan ada kontroversi di sekitar siapa yang berada di belakang gerakan 30 September 1965. Buku itu juga menyebutkan bahwa setidaknya ada enam skenario yang mungkin untuk menjelaskan kudeta.

Skenario pertama adalah bahwa kudeta itu hanya masalah internal di dalam tentara, dipicu oleh kecemburuan para elit Angkatan Darat. Yang kedua adalah bahwa kudeta itu adalah bagian dari konspirasi dari Central Intelligence Agency Amerika Serikat. Yang ketiga adalah skenario bahwa pertumpahan darah politik diciptakan oleh AS dan Inggris untuk menghilangkan Sukarno dari kekuasaan.

Teori keempat dalam buku itu mengatakan Sukarno sendiri yang menciptakan kudeta. Kelima mencoba menjelaskan tidak ada skenario dan aktor tunggal dan apa yang terjadi, terjadi begitu saja. Dan teori terakhir adalah narasi utama dalam sejarah Indonesia: PKI adalah aktor dari percobaan kudeta.

Buku ini memberi sebagian besar ruang bagi upayanya untuk menjelaskan apa yang PKI lakukan pada awal 1960-an yang menciptakan kemarahan dan kekerasan di kalangan akar rumput dan dalam birokrasi, yang mengarah pada percobaan kudeta. Cerita berakhir dengan Soeharto mengambil alih kekuasaan dan memimpin gerakan untuk menghapuskan unsur-unsur yang dicurigai dari gerakan tersebut, diikuti oleh perburuan elit PKI di banyak daerah. 

“G30S / PKI telah dimusnahkan dengan sukses, dan itu juga berarti bahwa keberadaan Partai Komunis Indonesia telah berakhir,” demikian bunyi buku itu.
   
Itulah akhir pelajaran sejarah untuk kelas 12.   

Tidak disebutkan tentang pembantaian ratusan ribu orang yang dituduh sebagai anggota PKI atau secara samar dikaitkan dengan partai di banyak daerah, dengan banyak yang percaya sekarang bahwa orang-orang ini sebenarnya adalah penduduk desa yang tidak tahu apa-apa tentang politik.
Tidak ada cerita sama sekali tentang orang-orang yang dipenjara tanpa proses hukum.

Meskipun ada perubahan pada buku teks, tidak ada pengakuan akan kebenaran bahkan setelah begitu banyak penelitian yang dipublikasikan termasuk kesaksian korban dan korban tentang pembantaian dan penganiayaan.

Jika kurikulum nasional dengan sengaja tidak mengakui, dan bahkan menutupi pembunuhan besar-besaran dari generasi muda hanya untuk menenangkan keluarga dan organisasi yang berpengaruh dan berpengaruh di Indonesia, bagaimana kita dapat menemukan keadilan bagi keluarga korban?

Keadilan datang setelah masuk.

Di atas segalanya, kelalaian dan pemalsuan sejarah ini mempertahankan pemujaan kebohongan besar bagi generasi Indonesia dari generasi ke generasi. Kebohongan besar yang disponsori negara ini harus diakhiri sekarang. Menghilangkan kejahatan terhadap kemanusiaan berarti negara juga telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Generasi masa depan seperti apa yang dapat kita harapkan jika mereka terus menerus diberi kebohongan? Dan yang lebih penting, Indonesia seperti apa yang bisa kita harapkan jika dibangun di atas kebohongan? Anak muda Indonesia yang pekerja keras dan sopan layak mendapatkan yang lebih baik, jauh lebih baik dari ini. Kami pantas mendapatkan kejujuran sekali untuk selamanya.

***
Penulis adalah seorang penulis novel dan tamu tamu di National University of Singapore.

Jumat, 28 September 2018

Tragedi 1965 dalam Kurikulum Nasional


Jumat 28 September 2018, 15:32 WIB

Okky Madasari (Foto: Tia Agnes/detikHOT)

Jakarta - Akhir September dan 1 Oktober kembali tiba. Ribut-ribut soal PKI dan komunisme kembali marak. Ada yang ingin film G30S/PKI kembali diputar di mana-mana, ada yang asal menuduh seseorang atau kelompok tertentu sebagai komunis dan PKI. Belum lagi jika kita menyebut sederet catatan pembubaran acara yang dituduh bagian dari upaya menyebarkan komunisme dan menghidupkan PKI kembali.

Dua puluh tahun setelah Orde Baru tumbang, masih sulit bagi bangsa ini untuk membuka diri pada kesalahan masa lalu dan bersama-sama mencari kebenaran atas apa yang sesungguhnya terjadi. Dalam kenyataan seperti ini, bagaimana peristiwa penting dalam sejarah bangsa tersebut diajarkan di bangku sekolah? Apa yang disampaikan oleh guru dan buku pelajaran pada siswa-siswa di ruang kelas?

Kurikulum sekolah yang berlaku sekarang ini adalah Kurikulum 2013. Peristiwa 30 September 1965 sudah diajarkan sejak bangku SD hingga SMU dengan porsi dan penekanan yang berbeda-beda. Pada tingkat SD, peristiwa ini diajarkan melalui pengenalan pahlawan-pahlawan revolusi. Materi pengajaran yang cukup komprehensif atas peristiwa ini ada pada pelajaran Sejarah Kelas XII (Kelas 3 SMU).

Dalam buku Sejarah untuk siswa Kelas XII yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2015, peristiwa yang terjadi pada 30 September 1965 itu kembali disebut dengan menggunakan istilah "G30S/PKI". Penggunaan istilah ini tak bisa diabaikan begitu saja.

Salah satu buah dari Reformasi 1998 adalah adanya upaya dari segenap elemen masyarakat untuk mempertanyakan segala narasi tunggal atas sejarah bangsa ini, termasuk apa yang terjadi pada akhir September 1965. Salah satu wujud dari upaya itu adalah sikap untuk menganggalkan kata "PKI" dari istilah "G30S". Maka, pada tahun-tahun awal Reformasi, penyebutan peristiwa itu cukup dengan "G30S", bukan "G30S/PKI". Pelajaran sejarah di sekolah pada tahun-tahun pertama Reformasi pun menggunakan G30S, bukan G30S/PKI. Kini, dengan Kurikulum Nasional 2013, melalui buku-buku yang resmi diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pengajaran sekolah kembali menggunakan konsep yang diciptakan dan disebarluaskan oleh Orde Baru: G30S/PKI.

Satu hal yang sedikit menggembirakan dari pelajaran sejarah saat ini adalah adanya pengakuan bahwa masih ada kontroversi dan perdebatan atas apa yang terjadi pada 30 September 1965. Dalam buku terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tersebut disebutkan ada enam teori yang mencoba menjelaskan siapa dalang peristiwa tersebut.

Teori pertama, Gerakan 30 September merupakan persoalan internal Angkatan Darat yang dipicu oleh kecemburuan terhadap elite TNI AD. Teori kedua, bahwa dalang Gerakan 30 September adalah Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA). Teori ketiga menyebut bahwa Gerakan 30 September bisa terjadi karena ada pertemuan kepentingan Inggris dan Amerika Serikat untuk menggulingkan Sukarno. Teori keempat, Sukarno adalah dalang Gerakan 30 September. Teori kelima menjelaskan bahwa tak ada skenario besar dan pemain tunggal dalam peristiwa tersebut; semuanya pecah dalam improvisasi di lapangan. Teori terakhir, yang menjadi narasi dominan hingga hari ini, dalang Gerakan 30 September adalah PKI.

Buku tersebut menyebut teori yang antara lain dikemukakan oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh ini merupakan teori yang paling umum didengar mengenai kudeta 30 September 1965. Meski diakui adanya beragam versi, toh tetap saja versi keenam yang mendapat porsi besar dalam uraian buku yang menjadi pegangan siswa berdasarkan Kurikulum Nasional 2013.

Cerita pun bergulir mulai dari segala tindak-tanduk PKI yang membuat resah masyarakat di berbagai daerah, segala pertentangan, dan bahkan kekerasan dalam masyarakat yang kemudian mencapai puncaknya dengan pemberontakan yang terjadi pada malam 30 September. Setelah itu, dalam situasi yang penuh ketidakpastian, Soeharto mengambil alih kepemimpinan untuk menumpas G30S/PKI dan menangkap pentolan PKI di daerah-daerah.

Soeharto pun menjadi pahlawan. Persis seperti penggambaran dalam filmG30S/PKI yang selama Orde Baru berkuasa selalu diputar pada malam 30 September. Dan, cerita pun berakhir. Pelajaran tentang G30S untuk siswa Kelas XII diakhiri dengan narasi keberhasilan penumpasan PKI.

Tak ada kisah tentang pembantaian ratusan ribu manusia di berbagai daerah. Tak ada cerita tentang orang-orang yang dipenjara, disiksa, diperkosa, diasingkan tanpa proses peradilan. Belum lagi fakta bahwa tak semua dari orang-orang tersebut adalah mereka yang tak tahu apa-apa tentang hiruk-pikuk politik masa itu. Tentu saja juga tak ada cerita tentang keturunan anggota PKI yang seumur hidup juga harus menanggung hukuman.

Dua puluh tahun setelah Reformasi, kurikulum nasional kita masih menyembunyikan fakta kelam tersebut, mengabaikan segala bentuk temuan, kesaksian, pemberitaan di dalam maupun di luar negeri. Apa yang kita harapkan dari pelajaran sejarah macam ini? Bagaimana bisa kita mengharapkan lahirnya generasi-generasi kritis yang membawa perubahan jika yang mereka pelajari di sekolah adalah bagian dari propaganda usang?

Mengakui bahwa pembantaian dan segala bentuk kekejian itu ada merupakan langkah pertama dalam upaya mencari kebenaran dan keadilan. Dan, memasukkan pengakuan tersebut dalam pelajaran sekolah adalah sebuah keharusan yang tak bisa lagi ditunda.

Okky Madasari, novelis, visiting fellow di National University of Singapore

Sumber: News.Detik.Com 

Minggu, 28 Mei 2017

Pers Mahasiswa Menggugat Orde Baru


Fadrik Aziz Firdausi - 28 Mei 2017

Pers mahasiswa menjadi alternatif informasi di tengah hegemoni Orde Baru. Kendati mengalami pergeseran fokus, kritisisme mahasiswa tetap hidup.

Suasana dalam "Diskusi dan Ngopi Bareng Historia: Dari Breidel sampai Hoax, Mengenang Masa Kelam Kebebasan Pers Era Soeharto" di Tanamera Coffee Jakarta, Rabu 24 Mei 2017. Foto: Nugroho Sejati

Pada masa Soeharto berkuasa, pemerintah menerapkan kontrol penuh terhadap pers dan tak jarang represif. Karenanya rezim Soeharto dikenal sebagai rezim pengendali pers. Pemerintahan Orde Baru kerap melakukan pengekangan terhadap lembaga pers profesional. Keadaan itu membuat mahasiswa generasi 1990-an merasakan masa suram demokrasi.

Kelompok mahasiswa idealis saat itu tidak tertarik menjadi wartawan di media yang dikendalikan pemerintah. Karenanya, mereka mimilih untuk membuat media sendiri sebagai alternatif. Mereka menyajikan informasi alternatif yang lebih kritis. Pemberedelan Majalah Tempo dan Monitor pada 1994 adalah momentum menggeliatnya pers mahasiswa yang bergerak secara underground.
“Periode 1994 hingga 1998 itu juga ditandai dengan munculnya pers-pers bawah tanah yang kemudian memberikan informasi alternatif,” kata Ignatius Haryanto ketika berbicara dalam diskusi bertajuk “Dari Breidel Sampai Hoax: Mengenang Masa Kelam Kebebasan Pers Era Soeharto”, Rabu (24/5/2017).
Media yang mereka terbitkan kerapkali memacak headline atau artikel yang kritis terhadap pemerintah. Saat itu salah satu wacana yang santer diangkat pers mahasiswa adalah soal posisi militer dalam politik. Tak jarang, pers mahasiswa mengkritisi militerisme Orde Baru melalui kartun-kartun provokatif.
 “Makanya pers mahasiswa itu laris. Dicetak 4000 sampi 5000 eksemplar lalu dijual di lapak-lapak luar kampus. Dan itu laku, bahkan hampir semua peneliti luar yang menelaah Indonesia mengoleksi itu,” ungkap Nezar Patria, anggota Dewan Pers, yang turut menjadi pembicara.
Kritisisme lembaga pers mahasiswa itu membuat mereka juga menjadi sasaran represi rezim Soeharto. Akibatnya media terbitan lembaga pers mahasiswa diputus pembiayaannya oleh pihak perguruan tinggi atas tekanan dari penguasa.
“Tak habis akal, akhirnya media itu diproduksi dengan difotokopi. Padahal, kalau sekarang kita baca-baca lagi lebih kental propagandanya daripada beritanya,” ujar Nezar Patria.
Karena muatan propaganda itu media terbitan lembaga pers mahasiswa memiliki andil dalam Reformasi 1998. Media itu menjadi pemersatu elemen-elemen mahasiswa selama aksi Reformasi. Mulai dari awal pembentukan gerakan di kampus, aksi-aksi demonstrasi, hingga perkembangan wacana di kalangan aktivis mahasiswa semua dilakukan dengan memanfaatkan media pers mahasiswa.

Kini, seiring perkembangan zaman, pers mahasiswa juga mengalami pergeseran.
 “Soal fokus, kini pers mahasiswa lebih banyak mengangkat isu-isu internal kampus. Mungkin juga kondisi riil sekarang ini tidak membuat mereka merasa perlu turun tangan. Tapi, hal seperti itu sebenarnya kembali kepada mahasiswa sendiri yang menjadi penggerak pers kampus,” ujar Ignatius.
Andina Dwifatma, dosen komunikasi Universitas Atma Jaya, yang ikut menjadi pembicara berpendapat bahwa kritisisme tetap menjadi ciri khas pers mahasiswa. Dia mencontohkan kasus pemberedelan Majalah Lentera yang diterbitkan oleh mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Majalah itu diberedel lantaran mengangkat soal Tragedi 1965.
“Jadi, kita tidak bisa menyebut mahasiswa sekarang kurang kritis,” tutur Andina.
Namun, dia menengarai ada usaha-usaha untuk menjauhkan mahasiswa dari kritisisme. Itu dilakukan dengan mengarahkan mahasiswa untuk lebih berorientasi akademis dan menghindari politik.
“Memang ada pewacanaan bahwa mahasiswa harus netral dan sebaiknya tidak terlibat politik. Kepada mereka ditekankan bahwa tugasnya hanyalah belajar, cepat lulus, dan bekerja,” pungkasnya.

Jumat, 27 Maret 2015

Seteru Sang Guru


Sebagian murid sekolah Islam Sumatera Thawalib balik arah menuju komunisme. Langkah awal melawan pemerintah kolonial

Wenri Wanhar - 27 Maret 2015

Datuk Batuah (kedua dari kanan).

HAJI Rasul risau. Pemimpin Sumatera Thawalib Padang Panjang itu tidak sependapat dengan komunisme. Dia berpandangan, komunis sebenarnya hendak menghilangkan agama dengan cara menunggangi agama.
“Suatu hari pada 1923, Haji Rasul berdebat sengit dengan Datuak Batuah dan murid-murid Thawalib yang pro komunis. Perdebatan itu menghilangkan wibawa Inyiak Rasul di depan murid Thawalib,” kata Ketua Alumni Thawalib Padang Panjang, Yan Hiksas kepada Historia.
Selepas itu, entah dari mana ujung pangkalnya, tiba-tiba beredar desas-desus bahwa Datuk Batuah dan Natar Zainuddin bersekongkol dengan para penghulu adat untuk memberontak terhadap pemerintah dan membunuh orang-orang Eropa, termasuk asisten residen Padang Panjang.
“November 1923, Belanda mengirim satu detasemen polisi bersenjata ke Koto Laweh untuk menangkap Datuk Batuah dan Natar Zainudin,” tulis Audrey Kahin dalam buku Dari Pemberontakan Ke Integrasi.
“Setelah ditahan di Padang selama sekitar setahun, keduanya diasingkan ke Timor dan kemudian dipindahkan ke Boven Digul pada awal 1927.”
Desember 1923, giliran Djamaludin Tamin yang ditangkap karena artikel-artikelnya di Pemandangan Islam memprotes penangkapan rekan-rekannya. Ia dijatuhi hukuman dua tahun penjara pada Mei 1924. Menjalani hukuman selama lima belas bulan di penjara Cipinang, Jakarta dan dibebaskan pada September 1925.
“Para siswa Sumatera Thawalib menyalahkan Haji Rasul karena penangkapan guru-guru muda mereka,” tulis Kahin. Puncaknya, Haji Rasul undur diri dari Thawalib. Dia pulang kampung ke Maninjau.
Awal 1925 Haji Rasul ke Jawa menemui menantunya, AR. Sutan Mansur yang telah menjadi pemuka Muhammadiyah di Pekalongan. Bulan Juni dia kembali ke Minang. Dan, langsung gencar mempropagandakan Muhammadiyah di setiap dakwahnya.

Perkumpulan Sendi Aman yang didirikannya di Sungai Batang, Tanjung Sani, Maninjau, atas persetujuannya menjadi Muhammadiyah cabang Maninjau. Ketuanya Haji Yusuf Amrullah, adiknya.
“Boleh dikatakan inilah cabang pertama Muhammadiyah di Sumatera dan di luar Jawa,” tulis Hamka dalam Ayahku: Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera.
Atas arahannya, pada 20 Juni 1925 murid-murid Sumatera Thawalib Padang Panjang asal Maninjau mendirikan kelompok Tabligh Muhammadiyah. Jamaluddin Sutan dan Makmur Salim bertindak sebagai ketua dan sekretarisnya.
“Mereka menerbitkan Khatib al-Ummah. Inilah jurnal Muhammadiyah pertama di daerah ini,” tulis Burhanuddin Daya dalam Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib.
Meski menyokong Muhammadiyah, sepanjang hayatnya, Haji Rasul tidak pernah tercatat sebagai anggota, apalagi menjadi pengurus. Dia hanya lakon balik layar.
“Haji Rasul melihat Muhammadiyah bagaikan sebuah kendaraan yang bisa ia tumpangi untuk lebih mempercepat gerakan pembaruannya,” tulis Tamrin Kamal dalam Purifikasi Ajaran Islam pada Masyarakat Minangkabau.
Basis-basis Muhammadiyah kian meluas. Akan tetapi, komunisme tak kalah hebat. Dalam laporan untuk gubernur jenderal, 23 Juli 1924, penasehat pemerintahan, R. Kern mencatat, komunisme kian subur.
“Walaupun Asisten Residen Whitklau telah mengemukakan bahwa pergerakan perlawanan akan padam setelah tertangkapnya Datuk Batuah dan Zainudin, ternyata enam bulan setelah penangkapan itu, orang komunis lebih banyak dari yang sudah-sudah,” tulis Kern dalam laporan berjudul Voorstel om Natar Zainuddin en Hadji Datoeq Batoewah te Interneren, Adviz aan G.G.

Rabu, 17 Desember 2014

Senyap, Upaya Penegakan HAM dan Pelurusan Sejarah


Dec 17th, 2014 - Oleh : Ary Dwi Prasetyo



Senyap – The Look of Silence, lanjutan dari film dokumenter JAGAL karya Joshua Oppenheimer yang menceritakan tentang tragedi tahun 1965 dibulan September. Dalam peristiwa tersebut, 3 juta rakyat yang merupakan anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dibunuh. Bentuk genosida terbesar di abad 20 setelah yang dilakukan oleh Nazi.
PKI yang saat itu merupakan salah satu partai komunis terbesar diluar Uni Soviet dan Cina, memiliki pengaruh baik di Indonesia maupun di dunia, sehingga untuk menghentikan “domino effect” penyebaran paham ideologi Komunisme yang dimulai di Eropa Timur sampai ke Asia, maka Negara-negara kapitalisme mencegah penyebaran ideologi Komunisme dengan mengambil alih Indonesia yang merupakan lumbung sumber daya alam besar di Asia.
Pencegahan ideologi komunisme tersebut dilakukan dengan cara menyokong kekuatan militer untuk mengambil alih Negara serta menyebarkan fitnah kepada PKI dengan cap tidak beragama, liberal serta pembunuh 7 jendral yang memicu kemarahan membabi buta dari rakyat yang terprofokasi dengan propaganda militer yang saat itu dipimpin oleh Soeharto dan di dukung oleh pihak imperialis Amerika Serikat dan Inggris.
Setelah tregedi 65, beberapa media Amerika Serikat seperti majalah TIME menulis headline dalam pemberitaannya “kemenangan besar di Asia”. Agar militer tidak mengotori tangannya dan tersangkut masalah genosida, militer menggunakan milisi sipil untuk membunuh 3 juta rakyat. Hal ini berhubungan dengan 2 film dokumenter “Jagal (The Act of Killng)” dan “Senyap (The Look of Silence)” karya Joshua Oppenheimer.
Kedua film dokumenter tersebut menceritakan peristiwa 30 september dari sudut pandang pelaku penjagalan dengan aktor utama “Anwar Congo” di film Jagal serta dari sudut pandang keluarga korban Ramli kakak “Adi Rukun” di film Senyap. Terdapat perbedaan ekspresi saat menyaksikan film jagal dan senyap. Saat menonton jagal, ekspresi utama yang biasanya ditunjukan adalah perasaan jengkel, marah, dan emosi melihat Anwar Congo memperagakan bagaimana dia membunuh orang yang di identifikasi komunis.
Berbeda dengan ekspresi yang di tunjukan penonton ketika menyaksikan Senyap, banyak dari para penonton merasa sedih, terharu, dan perasaan yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata karena tidak sedikit dari para penonton yang memposisikan dirinya sebagai Adi Rukun (tokoh utama/adik korban) yang dengan teguh menggali fakta dan kebenaran dari peristiwa 30 september dan pembunuhan kakaknya.
Film dokumenter Senyap bertujuan untuk meluruskan kembali sejarah yang dibelokkan oleh rezim sejak kekuasaan Orde Baru. Hal ini sejalan dengan yang kami inginkan dalam upaya pelurusan sejarah kelam bangsa Indonesia. Senyap sudah diputar dibeberapa daerah di Indonesia termasuk di samarinda yang diputarkan pada hari sabtu, 13 Desember 2014 di Fakultas Hukum Universitas Mulawarman yang merupakan kerja sama antara Konsentrasi Mahasiswa Progresif-Sentra Gerakan Muda Kerakyatan (KOMA PROGRESIF-SGMK), Kongres Politik Organisasi Perjuangan Rakyat pekerja (KPO-PRP), JATAM KALTIM dan POKJA 30.
Pemutaran film senyap tersebut dihadiri oleh mahasiswa UNMUL, pelajar dari SMAN 1 dan 5 Samarinda, Dosen, LSM dan komunitas lainnya. Setelah pemutaran film Senyap dilanjutkan dengan pembacaan testimoni dan diskusi. Permasalahan sejarah dan kemanusiaan adalah yang paling banyak diungkapkan oleh para penonton film Senyap seperti yang di ungkapkan Ana salah satu pelajar dari SMAN 1 Samarinda, “saya tidak suka dengan para pelaku pembantaian, mereka tidak merasa bersalah, mereka hanya menganggap masalah ini sudah berlalu, dan berpendapat yang lalu biarlah berlalu dan kita pikirkan saja masa depan”.
“Sejarah yang sekarang sudah di belokkan, sejarah yang sesungguhnya dibalikkan faktannya, bagaimana mereka tega membunuh dengan begitu kejamnya dengan alasan membela Negara, tapi apakah itu bisa dijadikan alasan, apa yg harus kita lakukan adalah tegakkan sejarah yang sebenarnya”, ujar Ana. Pendapat dari Ana ini dirasa mampu mewakili perasaan dan pendapat para pelajar yang selama ini dibohongi dan dibodohi oleh rezim yang berkuasa dengan cara memalsukan dan menutup fakta sejarah bangsa ini.
Karena sejarah yang kita pelajari mulai dari bangku pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi adalah sejarah yang ditulis oleh rezim Soeharto sebagai pemenang dari pertarungan ideologi Kapitalisme vs Komunisme. Menjawab pertanyaan mengenai mengadili para pelaku dan pelurusan sejarah, Najidah salah satu dosen fakultas hukum menjawab “menegakkan hukum adalah hal yang mungkin dan mudah. Tapi, meluruskan sejarah adalah hal yang sulit tapi itu mungkin”.
Permasalahan pelurusan sejarah adalah hal yang pelik mengingat rezim yang hari ini berkuasa masihlah seperti rezim pemerintahan yang terdahulu dan sejarah pendidikan yang ada saat ini pun masihlah sejarah buatan rezim terdahulu sehingga penting bagi kita menggalang persatuan antara pelajar, mahasiswa, akademisi dan rakyat luas untuk menegakkan HAM dan pelurusan sejarah, agar sejarah yang diajarkan kepada para generasi muda bukanlah sejarah yang dibuat-buat dan menolak alasan pembantaian 3 juta penduduk adalah untuk melindungi dan membela Negara seperti yang di ucapkan oleh ibu Adi di dalam film Senyap “bela Negara, Negara apa?” kata-kata ini menunjukan bahwa ibu Ramli dan Adi sudah tidak percaya dengan Negara yang membunuh rakyat dan anaknya yang tidak pernah minta maaf kepada rakyat bahkan tidak juga merasa bersalah sedikitpun.
Karena upaya pembangunan kesadaran masyarakat bukanlah hal yang instan sehingga perlu upaya berkelanjutan dan konsisten dalam proses pembangunannya. Oleh karena itu pemutaran dan diskusi film senyap tidak boleh berhenti sampai di sini saja dan harus dibawa ke ruang-ruang publik, ditonton, direnungkan, didiskusikan dan ditindaklanjuti oleh semua orang. Demi pelurusan sejarah bangsa, karena kondisi sekarang ini marak dengan eksploitasi dan perampokan sumber daya alam, perampasan lahan, pendidikan mahal, upah/gaji rendah adalah hasil dari sejarah masa lalu yang menghabisi gerakan rakyat melawan penindasan manusia atas manusia.
Oleh : Ary Dwi PrasetyoKader Koma Progresif – SGMK dan Kontrobutor Arah Juang Samarinda.

Sabtu, 11 Mei 2013

Siapa Itu Kaum Tani?


11 Mei 2013


Kaum tani adalah klas yang ambil bagian langsung dalam produksi pertanian dan menderita karena penghisapan feodalisme di pedesaan yang luas yang didominasi oleh imperialisme. Kaum tani adalah golongan mayoritas rakyat Indonesia saat ini yakni mencapai 65 persen dari seluruh jumlah penduduk +237 jiwa; berdasar sensur 2010). Sektor yang sangat terbelakang ini menjadi andalan utama operasi kapital imperialisme di Indonesia di samping pertambangan, perdagangan dan industri.

Dalam perjuangan untuk mewujudkan demokratis nasional, tugas pertamanya adalah memenuhi tuntutan kaum tani atas tanah dan kaum tani menjadi kekuatan pokok sekaligus penentu kemenangan. Pembebasan tenaga produktif kaum tani dari penghisapan feodal adalah syarat bagi kebebasan klas lainnya termasuk klas buruh.

Sejarah perjuangan kaum tani melawan feodalisme telah berlangsung lama yakni sejak jajahan Belanda. Mereka melakukan pemberontakan terhadap tuan tanah jahat, birokrasi, perusahaan-perusahaan yang merampas tanah mereka. Organisasi mereka telah terbentuk setelah berdirinya Sarekat Islam (SI) yang semakin teradikalisasi dan terlibat dalam perjuangan bersenjata 1926.

Begitu juga keterlibatan mereka dalam aksi-aksi pendudukan tanah atas kepemilikan imperialis dan tuan tanah pada era pemerintahan nasionalis Soekarno melalui organisasi revolusionernya, yakni Barisan Tani Indonesia.

Kaum tani telah terbagi dalam klas-klas berdasarkan basis ekonomi dan pandangan politik masing-masing. Karenanya setiap klas juga memiliki peranan yang berbeda dalam perjuangan demokratis nasional.

Tani Kaya

Tani kaya adalah klas penguasa tanah cukup luas dan memiliki alat kerja yang lebih serta menjalankan penghisapan feodal di pedesaan meski pun terlibat kerja secara langsung yang dapat mencapai 15 persen dari kerja yang terserap dalam keseluruhan produksi di tanahnya. Sebagian besar hidup dan kekayaannya diperoleh dari membeli tenaga buruh tani, tani miskin dan juga tani sedang bawah.

Dari pembelian kerja tersebut dia memperoleh produk lebih yang dapat ditabung, membeli tanah, membeli alat-alat pertanian baru dan sarananya, serta investasi terbatas. Tani kaya juga mempraktekkan sewa tanah terutama sistem bagi hasil, riba secara terbatas baik dalam produksi maupun dalam perdagangan. Jika sebagian besar hidupnya dari bentuk-bentuk penghisapan feodal tersebut maka ia telah berubah menjadi tuan tanah.

Tani kaya mengalami penindasan dari tuan tanah yang memonopoli atas tanah, tenaga kerja, serta pengaturan harga input dan out-put pertanian. Oleh karena itu, ia memiliki kebencian terhadap tuan tanah dan memiliki pandangan ekonomi dan politik yang berbeda dengan tuan tanah. Ia memiliki aspirasi demokratis dan anti imperialis, termasuk membantu kaum tani agar dapat memperbaiki hidupnya. Karenanya, tani kaya tidak menjadi sasaran landreform sejati. Ia golongan yang bimbang tetapi ia dapat menjadi bagian dalam perjuangan demokratis nasional.

Kaum tani kaya ini pernah menjadi korban dari program landreform palsu yang dirancang imperialis, UUPA 1960, yang menempatkan mereka sebagai sasaran dengan istilah “tanah kelebihan” meskipun mendapatkan kompensasi. Dampaknya, mereka bersatu dengan tuan tanah di bawah pimpinan fasisme Soeharto untuk memukul petani yang menuntut landreform sejati.

Tani Sedang

Tani sedang adalah kaum tani yang menguasai tanah dan alat kerja lainnya yang cukup di pedesaan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Dalam keadaan sekarang tani sedang dapat digolongkan dalam tiga lapisan. Yaitu,

–   Tani sedang lapisan atas;
Tani sedang lapisan atas menguasai tanah dan alat kerja yang cukup. Klas ini secara aktif bekerja dalam produksi di atas tanahnya sendiri dan juga membeli tenaga kaum tani lainnya sekitar 10-15% dari kerja yang terserap dalam produksi karena keluasan tanahnya. Karenanya, klas ini juga menjalankan beberapa bentuk penghisapan feodal seperti upah buruh tani yang murah dan beberapa berprofesi sebagai tengkulak dan riba meski pun terbatas. Mereka juga memiliki kecenderungan untuk menjadi petani kaya.
Walaupun ambil bagian besar partisipasi langsung dalam produksi, mereka juga menghadapi tindasan dan penghisapan dari tuan tanah. Karena itu, mereka juga memiliki pandangan politik yang demokratis dan mendukung landreform sejati.  

–   Tani sedang lapisan tengah;
Seperti halnya tani sedang lapisan atas, klas ini menguasai tanah dan alat kerja lainnya di pedesaan dalam ukuran yang cukup untuk kehidupan keluarganya. Ia ambil bagian dalam produksi atas tanahnya secara penuh dan memobilisasi seluruh keluarganya untuk kepentingan tersebut. Meski demikian, klas ini kadang-kadang menggunakan tenaga kerja kaum tani lainnya dan menjual tenaga kerjanya sendiri untuk memenuhi kebutuhan mendesak.

Klas ini memiliki aspek demokratis karena kesulitan mengembangkan kehidupannya yang lebih baik bahkan bisa jatuh miskin ketika krisis produksi pertanian melanda, seperti jatuhnya harga komoditas. Ia memiliki sikap pasif meski terlibat dalam kegiatan perjuangan.

–   Tani sedang lapisan bawah;
Mereka menguasai tanah, alat kerja serta kapital yang terbatas untuk berproduksi. Mereka mengerjakan tanahnya sendiri dan tidak melakukan pembelian atas tenaga kerja lainnya. Sebaliknya, ia harus menjual tenaga kerjanya hingga 50 persen untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang terus mengalami kekurangan.

Tani sedang bawah adalah sasaran utama peribaan yang diterapkan oleh tuan tanah dan tani kaya. Mereka bersama tani miskin adalah korban bagi hasil yang timpang. Hutang yang besar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan untuk berproduksi menimbulkan keinginan kuat memperoleh tambahan tanah.

Karena bergantung hidup dari penjualan tenaga kerja pada tuan tanah, klas ini tidak memiliki pandangan politik yang bebas. Mereka dipaksa untuk mengikuti pandangan politik tuan tanah. Meski demikian, mereka bagian dari kekuatan pokok kaum tani di pedesaan bersama-sama dengan buruh tani dan tani miskin dalam perjuangan Demokratis Nasional. 

 Tani Miskin

Tani miskin adalah klas yang menguasai tanah sangat kecil begitu juga alat kerja dan kapital yang dimilikinya. Klas ini dapat menjual sebagian besar tenaganya kepada tuan tanah untuk bertahan hidup karena pendapatannya yang sangat minim, bahkan ia harus menjual tenaganya lebih besar lagi untuk melunasi utang-utang. Karenanya, sebagian besar hasil produksi atas tanahnya hanya dipergunakan untuk membayar utangnya kembali kepada lintah darat.

Klas ini adalah mayoritas dari kaum tani di Indonesia saat ini dan sangat rentan menjadi buruh tani ataupun setengah proletar di perkotaan. Di beberapa daerah di Jawa, mereka ambil bagian dalam kerja musiman di perkotaan ketika pekerjaan di pertanian sedang terhenti atau sepi. Mereka bekerja dalam proyek konstruksi di perkotaan dan pekerjaan klas setengah proletar lainnya. Karena keadaannya yang demikian, klas ini adalah bagian dari kekuatan pokok kaum tani dalam perjuangan mewujudkan landreform sejati dan demokratis nasional.

Buruh Tani

Buruh tani adalah mereka yang memiliki tanah lebih kecil dari tani miskin bahkan tidak menguasai tanah sejengkal pun termasuk alat kerja. Mereka menjual seluruh tenaga kerja yang dimiliki pada tuan tanah. Pendapatan tambahan didapatkan dari beberapa pekerjaan sekunder seperti membuat kerajinan secara terbatas, kuli angkut hasil panen, dan menjual tenaga kerjanya pada tuan tanah dan tani kaya.

Klas ini bahkan kesulitan memperoleh utang dari para periba karena sama sekali tidak memiliki kepastian atas pekerjaan dan tidak adanya jaminan. Mereka hanya mendapatkan pinjaman apabila mereka sedang menjalankan sebuah pekerjaan. Klas ini adalah cadangan klas buruh dan setengah proletar di perkotaan di samping kaum tani miskin. Klas ini adalah bagian dari kekuatan pokok dalam mewujudkan landreform sejati.

Kamis, 16 Desember 2010

Sejarah Gerakan Wanita Indonesia -


December, 2010


Gerwani dan Perjuangan Lewat Pena Pembibitan jurnalis perempuan sejatinya sudah jauh dirintis Tirto Adhi Surjo lewat Poetri Hindia. Suratkabar ini terbit pertama pada 1 Juli 1908. Tertulis di bawah nama koran, "SOERAT KABAR DAN ADVERTENTIE BOEAT POETRI HINDIA".
Sebenarnya, ruang bagi wanita pribumi pada suratkabar berbahasa Melayu sudah muncul pada koran Soenda Berita (terbit pertama pada Februari 1903).

Di Soenda Berita Tirto menuliskan pemikirannya yang diberi judul "Pengajaran Buat Perempuan Bumiputera" (lihat, Soenda Berita, Th. II No. 20, 1904). Namun Poetri Hindia jauh lebih leluasa menyoal perempuan dengan jumlah halaman lebih banyak.


Poetri Hindia bukan saja tempat belajar mengelola suratkabar, ia juga ajang perempuan belajar menulis. Salah satunya Siti Soendari, yang nantinya menjadi punggawa suratkabar Wanita Swara. Siti Soendari adalah adalah satu di antara perempuan yang pada masanya punya ketajaman pena, cerdas, dan berani. Malahan ia berulangkali berurusan dengan polisi rahasia Belanda.

Siti Soendari adalah wanita yang dicitrakan radikal, tak segan membela dan turun langsung ke akar rumput membela kaum buruh. Keradikalannya dan ideologi yang dianut semakin tampak ketika bergabung dengan Marco Kartodikromo di Doenia Bergerak. Siti Soendari adalah titik semai perempuan pribumi yang memadupadankan sosialis dan feminisme.

Setelah Poetri Hindia gulung tikar, muncullah Soenting Melajoe dari tanah Minang yang dipunggawai oleh Rohana Kudus. Pada tahun terbitnya Soenting Melajoe, di Jawa (Brebes) terbit juga suratkabar bernama Wanita Swara, yang memperkenalkan nama Siti Soendari.

Wanita Swara adalah sebuah suratkabar yang diterbitkan oleh perkumpulan Boedi Oetomo cabang Pacitan. Soendari hanya menyebut demikian, dan tak diketahui pasti apakah organ pers Boedi Oetomo atau sayap wanita Boedi Oetomo cabang Pacitan. Jika memang diterbitkan oleh sayap wanita, berarti Wanita Swara adalah suratkabar perempuan awal yang dijadikan sebagai organ atau corongnya organisasi perempuan meski hanya sayap wanita dari sebuah organisasi.
Dari sinilah bermunculan suratkabar atau majalah perempuan yang notabene adalah organ dari organisasi perempuan. Tradisi ?pers? sebagai corong organisasi hingga kini pun terus bertahan.

Di tahun-tahun gelap sesudah penjajahan Jepang, yang waktu itu hanya membolehkan keberadaan satu organisasi perempuan Fujinkai, muncullah Gerwis yang tergolong organisasi wanita radikal. Keradikalan Gerwis tak lepas dari pengaruh tokoh-tokohnya, yakni S.K. Trimurti, Salawati Daud, Sujinah, Sulami dan Sri Panggihan, yang memang telah kenyang merasai asam manis perjuangan. Selain itu terdapat nama Moenasiah, aktivis perempuan PKI dan Sarekat Islam "merah" bagian perempuan awal tahun 1920-an.

Ia juga menjadi dedengkot "Aksi Caping Keropak" atau demonstrasi buruh perempuan menuntut perbaikan nasib. Corong organisasi yang radikal ini adalah majalah "Wanita Sedar". Seiring dengan perubahan nama organ Gerwis menjadi Gerwani pelahan "Wanita Sedar" harus menemui ajalnya. Melalui Api Kartini plus Harian Rakjat itulah Gerwani menyatakan dirinya keluar.

Selain Api Kartini Gerwani juga menerbitkan Berita Gerwani. Keduanya beda segmen pembaca sesuai klasifikasi perempuan ala Gerwani, yakni perempuan yang telah "sadar" dan perempuan lapisan menengah ke bawah yang sedang tumbuh menuju "sadar". Api Kartini ditujukan bagi pembaca lapisan tengah yang sedang tumbuh.

Berita Gerwani adalah majalah intern organisasi, sehingga lebih banyak berisi kegiatan organisasi, dan kunjungan-kunjungan ke organisasi perempuan di negeri-negeri sosialis. Isi Berita Gerwani jauh lebih radikal, guna mendukung kinerja kader organisasi. Hanya saja usia Berita Gerwani tak panjang, lantaran persoalan ekonomi.

Api Kartini masih lumayan, bernafas lebih panjang daripada Berita Gerwani. Ada banyak rubrik yang disediakan untuk kaum menengah yang sedang tumbuh , misalnya rubrik semacam mode, pengasuhan anak, Busana, Tokoh, Sruk (puisi), Arena Remaja, Masakan, Rawat Muka dan Rambut, Bacaan Anak-Anak Kita, dan Ruangan Pendidikan. Dengan aneka rubrik itu, Gerwani ingin mencitrakan bahwa ia peduli juga dengan persoalan-persoalan perempuan tradisional.

Politik keredaksian yang dianuti Api Kartini jelas, yakni keberpihakan terhadap persoalan perempuan akar rumput termasuk buruh tani dan buruh industri. Ada berita Seminar Wanita Tani yang diadakan Gerwani pada 20 Januari 1961 di Gedung Wanita, Jakarta, dan berita serupa juga diwartakan di lembar Harian Rakjat.

Yang membedakan Api Kartini dengan majalah perempuan lain selain persoalan ideologi dibalik pengelola majalah adalah sebagaimana yang ia rumuskan sendiri dan pernah termuat dalam Api Kartini:

"Ada majalah wanita yang hanya berupa hiburan, ada pula majalah yang lahirnya dibuat sangat menarik tapi isinya mencegah kaum wanita menjadi sadar akan keadaan yang tidak adil. Tetapi sebagaimana tumbuhnya gerakan wanita yang progresif, pesat juga perkembangan Pers Wanita yang demokratis. Tidak saja berisi hiburan, tetapi juga berbicara ke hati mereka (perempuan), mendidik mereka, meninggikan kesadaran?untuk berjuang sampai cita-cita mereka tercapai."

Sedangkan PKI memberikan fasilitas kepada Gerwani space khusus "Ruangan Wanita" di koran Harian Rakjat. ? Ruangaan Wanita? hadir setiap hari rabu, mengisi setengah halaman III Harian Rakjat. Lewat Harian Rakjat teman-teman satu ideologi seperti Gerwani, Lekra, BTI, SOBSI dan PKI saling dukung satu sama lain dalam berbagai kegiatan. Misalnya saat Gerwani mengadakan seminar wanita tani, Lekra turut serta memberikan materi pada seminar tersebut, BTI memberi sambutannya. Tak lupa ketua CC PKI D.N. Aidit turut serta memberi dukungan dalam pidatonya:

"Kaum wanita tani adalah tenaga produktif jang sangat penting. Oleh karena itu, untuk melaksanakan ?landreform? para wanita harus ambil bagian jang se-aktif2nja. Tanpa kaum wanita tani ambil bagian, dan bagian yang aktif, "landreform" tidak mungkin terlaksana. Djuga pelaksanaan Undang2 Bagi Hasil tidak mungkin baik selama kaum wanita tani tidak ambil peran aktif. Pendeknja tiap2 kemadjuan di desa, walaupun bagaimana ketjilnja harus dengan ikut serta setjara aktif kaum wanita tani." (Harian Rakjat, 21 Januari 1961).

Nj. Umi Sardjono ketua DPP Gerwani mengatakan bahwa Harian Rakjat adalah suratkabar yang membela emansipasi wanita:

"Harian Rakjat sebagai organisator dan agistor kolektif partai dan massa Rakjat, telah memainkan peranan penting dalam membangkitkan, memobilisasi dan mengorganisasi massa Rakjat, chusunja massa wanita setjara luas kepada perdjuangan melawan imperialisme, feodalisme....." (Harian Rakjat, 30 Januari 1965).

Nj. Umi Sardjono nampaknya sadar betul peran Harian Rakjat salah satu koran politik terbesar dalam memfasilitasi Gerwani:

"...dalam perdjuangan Gerwani "HR" telah memberikan bantuan jang berharga sekali dalam berbagai lapangan. Di samping "HR"memuat berita2 kegiatan organisasi dan kegiatan perdjuangan aksi2 wanita menuntut perbaikan nasib...."HR" djuga setjara terus menerus mengadakan ruangan rubrik chusus ruangan wanita, memuat artikel2 penting jang selalu diikuti dengan teliti oleh massa anggota terutama oleh kader2 Gerwani....."HR" telah memberikan dorongan timbulnja berbagai aktivitet di lain2 daerah dan telah melahirkan penulis2 wanita muda di lingkungan kader2 Gerwani...." (Harian Rakjat, 30 Januari 1965).

"Ruangan Wanita" tidak hanya menjadi ajang Gerwani mewartakan organisasi dan kegiatannya. Di "ruangan wanita" juga menjadi ajang berbagi informasi, disuguhkan dari masalah wanita dan politik, kegiatan organisasi sampai belajar menyulam, memasak, menulis cerpen, atau mendidik anak.

Lewat pelbagai media yang tersebut di muka, Gerwani telah menyebarkan pandangan politik, tujuan-tujuan, dan kegiatan-kegiatan organisasi yang akhirnya memberikan andil besar pada perkembangan organisasi.
Sekitar 4 Juni 1950 pada saat di mana Rakjat Indonesia dihadapkan pada suatu kenyataan dengan telah ditandatanganinya Perjanjian KMB, yang pada hekekatya merestorasi kedudukan modal monopoli Belanda di Indonesia.

Pada waktu itu organisasi wanita harus menjawab dua problem politik sesuai dengan situasi tanah air: setuju atau tidak dengan perjanjian KMB. Selain itu juga apakah setuju atau tidak menggabungkan diri dalam dalam Gabungan Wanita Demokratis Sedunia (GWDS) atau keluar dari keanggotaan GDWS.
 Saat itulah Gerwis dilahirkan. Enam organisasi perempuan, yakni Rupindo dari Semarang, Persatuan Wanita Sedar dari Surabaya, Istri Sedar dari Bandung, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwindo) dari Kediri, Wanita Murba Madura, dan Perjuangan Putri Republik Indonesia dari Pasuruan bersepakat meleburkan diri dalam satu organisasi yang dinamai Gerwis. Jadilah tersusun pengurus besar Gerwis yang dipanglimai Tris Metty.

Gerwis didirikan atas dasar pengertian bahwa perempuan mempunyai kepentingan dalam perjuangan anti penjajahan. Karena perempuan seringkali menjadi korban paling riil, terutama menyangkut kebutuhan hidup sehari-hari keluarga. Penjajah yang dimaksud adalah mereka yang dikategorikan sebagai kaum pemodal alias para kapitalis dan imperialis, yang sulit berdamai dengan kaum proletar.

Gerwis juga identik dengan kaum merah ataupun kaum kiri. Apalagi ada kemungkinan bahwa PKI turut andil dalam pembentukan Gerwis. Dalam Gerwis ada juga tarik menarik antara sayap feminis dengan mereka yang ingin menonjolkan pengaruh PKI dalam organisasi, sekaligus menjadikan Gerwis bukan semata organisasi kader (terbatas) tetapi adalah organisasi massa.

Pertarungan dua kubu makin memuncak saat kongres I Gerwis pada 1951. Sayap feminis makin terpencil, meski PKI harus tergopoh menempatkan kadernya agar menjadi pucuk pimpinan Gerwis. Nama organisasi pun diputuskan berubah dari Gerwis menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Namun adanya perlawanan dari sebagian anggota Gerwis yang tidak menghendaki dominasi PKI, membuat terjadinya kompromi, bahwa untuk sementara waktu nama Gerwis tetap dipakai. Perubahan nama baru terlaksana pada 1954, ketika diadakan kongres II Gerwis. Namun demikian, sebelum 1954, nama Gerwani mulai akrab, dan dipakai di beberapa daerah.

Gerwani sendiri merefleksikan Gerwis sebagai organisasi cikal bakal yang mampu mengambil sikap dan terus berkembang: ?dari 500 orang menjadi 6000 orang pada waktu konggres ke I 1951 dan menjadi 74. 977 orang waktu konggres II Januari 1954. Ini merupakan hal yang sangat baik. Akan tetapi Gerwis juga memiliki kelemahan-kelemahannya yang serius, yaitu karena Gerwis dihinggapi penyakit sektarisme, sehingga kurang berkembang luas dikalangan massa wanita.

Kemudian hari Gerwani melihat penyakit sektarisme Gerwis:

"... sikap yang kurang mau kerjasama dengan ormas-ormas lain dan kurang bekerja dengan garis massa. Nama Gerwis sendiri, yaitu Gerakan Wanita Indonesia Sedar berarti membatasi keanggotaan organisasi. Yang diterima menjadi anggota organisasi hanyalah mereka wanita-wanita yang telah sadar saja, padahal berjuta-juta massa wanita banyak yang belum "sedar" dan harus ditarik dalam perjuangan. Selama itu Gerwis berkembang." (Harian Rakjat, Januari 1965).

Ini Gerwani bukan Gerwis

"Apa hak moril tuan-tuan di Barat akan mengedjek2 wanita kita?" (Harian Rakjat, 17 Januari 1965),
Demikian Njoto dalam artikelnya bertajuk "Wanita dan Marxisme; kerdja di kalangan wanita tani jang utama" yang dimuat bersambung pada Harian Rakjat. Njoto melanjutkan:

"Timur dihuni oleh pengembara2 dan orang2 liar, kata tuan, dan sebagai ilustrasi atas keliaran Timur tuan sebutkan kedudukan wanita Timur. Baik kita diskusikan soal keliaran ini. Di pentas2 ruangan2 musik di Eropa berpuluh-puluh dan beratus-ratus wanita diseluruh mempertontonkan keterlandjangannja. Tidaklah bagi tuan lajak bahwa menarik perhatian umum kepada tubuh wanita telandjang harus membangkitkan protes2 tertentu dari ibu2, isteri2 dan kakak2 dari kaum intelektuil Eropa?... Bagi saja, penarikan minat jang memuakkan dan vulger ini tak ajal lagi bukti atas kenjataan bahwa borjuasi Eropa melorot kedalam keliaran dan dekadensi".

Lalu bagaimana dengan Gerwani salah satu gambaran wanita Indonesia yang dibela-bela Njoto dengan kesamaan dan seperkawanan ideologi?
Gerwani cepat-cepat berbenah diri, tak mau mengulang penyakit sektarisme Gerwis yang menghambat perkembangan organisasi dan untuk melaksanakan garis massa.

Perubahan dilakukan, cara kerja lebih revolusioner untuk mengimbanginnya. Anggaran Dasar pun diubah. Gerwani mulai meluaskan aksi-aksi untuk pembelaaan hak-hak wanita dan anak-anak serta memperkuat aksi-aksi untuk kemerdekaan nasional dan memperkuat setiakawan internasional.

Euforia politik yang terus memanas sejak Soekarno memutuskan hubungan dengan PBB disikapi Gerwani dengan tegas yaitu mendukung situasi perjuangan terutama dalam mensukseskan Dwikora dan mengganyang Malaysia dan mendukung sepenuhnya keluarnya RI dari PBB. Sikap PBB dianggap tidak mengindahkan perjuangan Rakyat Indonesia dengan mendudukkan Malaysia dalam Dewan Keamanan PBB dan menunjukkan bahwa PBB masih didominasi kaum imperialis, terutama imperialis AS.

"DPP Gerwani telah menjatakan sikap memprotes PBB, mendukung sepenuhnja komando presiden agar Indonesia keluar dari PBB dan menuntut agar semua perwakilan PBB maupun organisasi/lembaga2 PBB lainnja segera angkat kaki dari bumi Indonesia." (Harian Rakjat, 14 Januari 1965).

Dukungan untuk mensukseskan DWIKORA, meningkatkan perjuangan penggayangan "Malaysia" proyek neokolonialisme Inggris dan imperialis AS diujudkan nyata dengan membuka dan melatih sukarelawati untuk mempersiapkan ketahanan keamanan yang diserukan pada perayaan hari Wanita Internasional oleh DPP Gerwani:

"Basis2 Gerwani supaja segera mempersiapkan latihan2 sukarelawati, membentuk brigade2 tempur/produksi....mempertinggi kewaspadaan nasional sehingga kampung dan desa2, mengembangkan aksi2 seluruh rakjat Indonesia dalam melawan subversi dan intervensi imperialis Amerikat, jang semakin nekad berhubung dengan keluarnja Indonesia dari PBB... (Harian Rakjat, 8 Maret 1965)

Tak main-main, sekira tiga bulan kemudian tepatnya tanggal 4 Juni 1965 dilembar Harian Rakjat melangsir foto sukarelawati Gerwani di daerah Bali yang tengah berlatih militer. Kredit title foto itu berbunyi "Sukwati Gerwani Bali mengadakan latihan-latihan kemiliteran dalam training center untuk menggajang projek "Malaysia". Gerwani memang bersegera membentuk unit-unit sukwati terkecil di basis tempat tinggal terdiri dari 10-12 orang. Dibentuk pula Sukwati tingkat cabang. Sukwati Gerwani ini adalah salah satu bagian teraktif dalam tubuh Gerwani.

Pembentukan sukarelawati ini sejatinya dicetuskan Gerwani bertolak dari komando PJM presiden Sukarno yang mengomandokan kepada seluruh seluruh sukarelawan Dwikora untuk membentuk unit-unit sukarelawan kecil dan kemudian mengadakan gerakan turun ke bawah (turba). Menurut Gerwani, gerakan Sukwati ini adalah salah satu upaya mendongkrak pandangan-pandangan kolot yang menempatkan kaum wanita pada tempat yang terbelakang untuk sebatas mengurus dapur, anak-anak dan rumah tangga:

...Sukwati sebagai panggilan revolusi telah menarik kaum wanita dari keadaan dan pandangan jang kolot dan terbelakang tersebut, dan tampillah ke depan ibu2, wanita2, jang tidak hanja pandai menggurus rumahtangga, tetapi djuga siap sedia memikul tugas2 dalam masjarakat.? (Harian Rakjat, 8 Juli 1965)

Dengan lima azimat revolusi Indonesia (1) Nasakom, (2) Pancasila, (3) Manipol, (4) Trisakti Tavip, dan (5) Berdikari, sukwati-sukwati dan para sukarelawan kian giat mengintensifkan latihan-latihan untuk berjuang lebih keras untuk melaksanakan Dwikora, menggayang Malaysia dan imperialis AS. Inilah sekilas gambaran Sukwati Gerwani:

"Seorang Ibu jang djuga menjatakan dirinja sebagai sukwati Gerwani, sambil menggendong anaknja jang sapihan di belakang dan jang masih menjusu di depan, dan karena sulitnja perhubungan dengan djalan kaki menempuh djarak 17 km siap dalam appel dan menjatakan kesiapannja melaksanakan tugas dan segala instruksi DPP Gerwani.

"Sukwati dari daerah Wonogiri, Prajumantoro dengan tidak bersepatu berbaris tegap2 dari djarak tidak kurang 40 km. Diorama mukanja terlukis kesanggupannja untuk mempertahankan tanahairnja dan menjelematkan revolusi dari rorongan nekolim, setan dunia, dan tudjuh setan desa, djuga siap untuk menghadapi dan terus berkonfrontasi dengan Malaysia". (Harian Rakjat, 27 September 1965).

Sikap Gerwani ini sejatinya adalah kompas bahwa organisasi wanita pada massanya berkembang dan tak anti dengan masalah politik bangsa. Dalam perpolitikan DPP Gerwani juga mendukung keputusan-keputusan Presiden melarang ?BPS? dan melarang untuk sementara kegiatan Partai Murba beserta ormas-ormas pendukungnya. Menurut Gerwani keputusan-keputusannya ini adalah usaha? untuk menjelamatkan RI dan mensukseskan Dwikora sangat tepat dan perlu diteruskan dengan adanja retooling terhadap aparat-aparat dan lembaga-lembaga negara dari semua oknum2?
Lalu diserukan bagi kaum wanita sendiri mengahalau bahaya imperialis dengan ? mempertinggi kewaspadaan dan memperkuat persatuan nasional revolusioner berpatokan Nasakom, untuk menghadapi kegiatan dari kombinasi 3 kekuatan jahat, yaitu kaum imperialis, kapitalis birokrat dan Trotskis.

Di bidang Internasional, Gerwani senantiasa aktiv mengikuti sidang-sidang GWDS dan mengirim delegasi-delegasi ke berbagai negeri untuk mengumandangkan cita-cita wanita Indonesia dan tujuan revolusi Indonesia.Gerwani memperkuat setiakawan dengan perjuangan Rakyat Vietnam Selatan, Kongo untuk menggayang agresi imperialis AS, bertekat untuk turut serta menentang pangkalan-pangkalan asing dan memboikot film-film AS:

"DPP Gerwani dalam tilgramnja djuga menjatakan protes keras dan menuntut agar pemerintah AS menghentikan serangan dan menaati persetudjuaan Djenewa, menarik semua pasukan AS dari Vietsel. ...Selain itu djuga dinjatakan ucapan selamat dan sukses atas hasilnja Tentera Rakjat Vietnam menembak djatuhnja pesawat terbang AS!" (Harian Rakjat, 10 Februari 1965).

Untuk mengembangkan organisasi, Gerwani meluaskan sayapnya tidak hanya di Jawa, tetapi juga di pulau-pulau lainnya. Sedangkan untuk kepentingan regenerasi dimulai adanya pendidikan kader-kader wanita yang menjadi tulang punggung organisasi. Satu hal yang penting dalam usaha Gerwani ialah dengan berjuang secara gigih dalam pemilihan umum dimana Gerwani mengorganisasi lebih 30.000 aktivis untuk memenangkan daftar calon pimpinan-pimpinan dari Gerwani.

Untuk mengintensifkan gerakan dan mencetak kader-kader wanita revolusioner, berfikiran cerdas dan berkemauan keras maka sidang Pleno ke IV DPP Gerwani 15-18 Januari 1965, memutuskan untuk mendirikan Yayasan Pendidikan Wanita Revolusioner dengan nama "Sri Panggihan". Yayasan pendidikan ini yang akan mendirikan institute pendidikan sekolah-sekolah wanita revolusioner dari tingkat pusat sampai anak cabang. Sebagai mata pelajaran pokok adalah Marxisme:

"Untuk mempersiapkan institute, Pleno menugaskan Dewan Harian untuk segera mengadakan kursus aplikasi guru agar segera dapat mentjukupi tenaga2 chusus di bidang pendidikan wanita revolusioner, Marxisme adalah ilmu jang kompeten untuk mendjelaskan revolusi... sebelum tugas2 institut bisa dilaksanakan, maka Pusat, Daerah Tjabang sampai Anak Tjabang harus tetap mengusahakan adanja pendidikan jang bermatjam bentuknja..."

Gerwani nampaknya menyadari bahwa pendidikan adalah salah satu senjata penting untuk menciptakan kader revolusioner, hal tersebut bisa dilihat dengan segera mereka berbenah dan merapikan dan mengintensifkan bidang pendidikan kader. Pembentukan Yayasan? Sri Panggihan? secara resmi diumumkan pada hari Wanita Internasional 8 Maret 1965, dan bentukan cabang-cabang yayasan akan diresmikan pada peringgatan Hari Kartini 21 April 1965.

Bulan Juni 1965 pada rapat umum Gerwani diumumkan pembukaan angkatan pertama pendidikan wanita revolusioner? Sri Panggihan?. Angkatan pertama ini beranggotakan wanita-wanita dari berbagai daerah untuk mengikuti pendidikan. Pendidikan ? Sri Panggihan? ini berjalan kurang lebih selama dua bulan, pada tanggal 9 September 1965 diwisudalah anggkatan pertama ? Sri Panggihan? (Harian Rakjat, 9 September 1965).
Kendati demikian realisasi lulusan ?Sri Panggihan? dalam Gerwani tak terlihat nyata menggingat pada bulan yang sama pecah peristiwa September 1965.

Masalah pendidikan anak tak luput dari perhatian Gerwani, sejak tahun 1954 mulai didirikan 24 Taman Kanak-kanak dibawah naungan "Jajasan Pendidikan". Taman Kanak-kanak yang diasuh Gerwani berlandaskan; (1) Tjinta tanah air, (2) Tjinta Ilmu Pengetahuan, (3) Tjinta kerdja dan Rakjat Pekerdja, (4) Tjinta Perdamaian dan Persahabatan antar bangsa2 dan (5) Tjinta orang tua (Harian Rakjat, 15 Juni 1965).

Taman Kanak-kanak (TK) Melati ini didirikan untuk menyediakan sekolah murah bagi para buruh dan tani. Dan hingga tahun 1963 TK Melati Gerwani terus berkembang bahkan mulai dipikirkan untuk mendirikan sekolah lanjutan, serta pendidikan untuk guru-guru, maka ketika berlangsung konggres ke II dari GTKI Gerwani menaruh perhatian besar dan ikut bergabung di dalamnya dan memberikan prasarana meningkatkan mutu guru-guru TK dan sekolah lanjut dengan kursus dan training.

Dengan adanya usaha-usaha yang giat Gerwani mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini bisa dilihat dari naiknya keanggotaan Gerwani, yaitu dari 74.977 orang menjadi 631.342 pada kongres ke III di Solo tahun 1957 dan menjadi 1.056.436 pada konggres ke IV 1961 di Jakarta. Cabang-cabang Gerwani mulai berkembang di seluruh kepulauan Indonesia.

Gerwani juga menyelenggarakan seminar-seminar wanita tani di daerah dan nasional. Seminar wanita tani pertama kali diselenggarakan pada tanggal 17-20 Januari 1961, tujuannya adalah untuk meningkatkan sumbangan kaum wanita tani dalam meningkatkan masyarakat adil makmur, melaksanakan manipol, meningkatkan taraf hidup wanita tani dan melaksanakan Undang-undang bagi hasil dan Landreform. (Lihat Harian Rakjat, 7 Januari 1961).
Menurut Hj. Umi Sardjono seminar wanita tani ini diselenggarakan dalam rangka melaksanakan kongres ke-3 Gerwani dan Sidang pleno ke-1 DPP Gerwani, yang menekankan pentingnya menyimpulkan hasil penelitian dari aktivis-aktivis Gerwani, baik pusat maupun daerah setelah melakukan gerakan turun ke bawah di desa-desa. Di samping untuk menyambut ketetapan MPRS serta komando Presiden tentang pelaksanaan pembangunan pertama yang menggariskan bahwa basis-basis pembangunan adalah landreform. (Harian Rakjat, 18 Januari 1961)

Seminar ini diikuti delegasi-delegasi dari Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimanatan Selatan, Kalimantan Timur, Manado, Djawa Timur, Djawa Tengah, Djawa Barat dan Djakarta Raja. (Lihat Harian Rakjat,17 Januari 1961)

Perlu digarisbawahi meskipun Gerwani segaris dan pendukung setia Sukarno namun tidak berarti organisasi ini tak kritis pada pemerintah, buktinya ketika pemerintah menaikkan harga-harga kebutuhan 50-150% dalam satu bulan Gerwani ikut berteriak pada kebijakan pemerintah:

"Gerwani mengusulkan agar distribusi beras bagi pegawai negeri tidak diganti dengan uang, kenaikan tarif ditindjau dan mentjegah kenaikan tarif lainnja, penjaluran 9 bahan pokok kebutuhan se-hari2 diawasi dengan mengikut sertakan Rakjat jang terorganisasi dan melaksanakan ketetapan MPRS, untuk mempertinggi produksi". (Harian Rakjat, 27 Juli 1965)

Untuk memperkuat basis massa kegiatan Gerwani memang menyentuh berbagai aspek kehidupan politik, sosial, pendidikkan, anak, dan ekonomi secara nasional maupun internasional. Gerwani sebagai organisasi wanita revolusioner harus bernasib naas seperti organisasi-organisasi seideologinya. Peristiwa 1 Oktober 1965 adalah awal gemuruhnya lonceng kematian bagi siapapun dan organisasi mana pun yang sekawan atau seideologi dengan PKI. Begitu pula dengan aktivis, anggota Gerwani, bahkan simpatisannya.

Catatan ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu tertentu, wanita Indonesia pun memiliki keahlian memainkan penannya sendiri. Mereka pun mengikuti dan mencebur dalam perkembangan politik, ekonomi, pendidikan dan masalah-masalah sosial bangsa hingga bergerak dalam identitasnya sendiri. [ki]