HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Interview. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Interview. Tampilkan semua postingan

Senin, 30 September 2019

Mencari suara yang dibungkam


  • Wawancara dengan Francisca C. Fanggidaej


Francisca C. Fanggidaej
Foto dari koleksi pribadi

Lahir di pulau Timor pada tahun 1925. Ia adalah seorang wartawan, turut mendirikan Yayasan Studi Asia di Amsterdam dan menjadi salahsatu pengurusnya.

Fanggidaej adalah anak seorang pegawai tinggi yang bekerja untuk Belanda di jaman kolonial dan yang dirumah hanya boleh berbicara dalam bahasa Belanda.

Setelah Perang Dunia II, ia aktif dalam perjuangan Indonesia untuk kemerdekaan. Pada tahun 1949 ia menjadi ketua organisasi pemuda yang bernama Pemuda Rakyat. Tak lama sesudah itu, ia memulai karirnya sebagai wartawan yang memungkinkannya untuk melakukan perjalanan ke seluruh dunia.

Pada tahun 1957 ia ambil bagian dalam Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia mewakili golongan karya (bukan partai politik). Dengan fungsi ini Francisca Fanggidaej dikirim ke Chili pada tahun 1965 untuk menghadiri kongres organisasi wartawan internasional.

Dalam perjalanan ini, di Indonesia telah terjadi kudeta sehingga Francisca tak mungkin kembali ke tanah-airnya. Sebagai seorang eksil mula-mula ia berdiam di Cina selama duapuluh tahun. Sejak tahun 1985 ia tinggal dan bekerja di Negeri Belanda.

Dengarlah beberapa fragmen dari wawancara ini:
Bagian 1 - tentang Pesindo, 25 sec. (mp3, 403 Kb)
Bagian 2 - tentang perubahan dalam Pesindo, 51 sec. (mp3, 804 Kb)
Bagian 3 - tentang World Youth Festival II, 1951, 52 sec. (mp3, 825 Kb)

Jumat, 16 Agustus 2019

Bondan Kanumoyoso: Tentara Dilibatkan untuk Mencegah Orang Kiri Kuasai Perusahaan


Oleh: Fadrik Aziz Firdausi - 16 Agustus 2019

Bondan Kanumoyoso. tirto.id/Lugas 

"Perusahaan-perusahaan itu lalu diubah statusnya jadi BUMN. Direksinya diisi tentara [...] Pada akhirnya perusahaan-perusahaan itu stagnan juga."

Nasionalisasi perusahaan Belanda di Indonesia pada 1957 dilakukan dengan terburu-buru. Saat itu Indonesia belum memiliki tenaga profesional yang siap untuk menjalankan perusahaan. Kekosongan tersebut diisi dengan melibatkan tentara di level kepemimpinan dan manajemen.

Sebenarnya kelompok kiri adalah pihak yang paling berkehendak menguasai perusahaan yang dinasionalisasi. Apalagi para buruh lah yang mula-mula melakukan nasionalisasi lewat aksi-aksi mereka. Tapi pemerintah mencegahnya dengan keterlibatan tentara. Masalahnya, tentara bukan pihak yang cakap mengelola bisnis. Dan dari situ lah korupsi di tubuh perusahaan milik negara mulai merajalela.

"[...] ketika tentara yang memimpin, perusahaan juga tidak jalan. Sama saja, terjadi KKN. Itu memang penyakit karena nasionalisasi [dilakukan] tanpa kesiapan," tutur Bondan Kanumoyoso, sejarawan dan pengajar Departemen Ilmu Sejarah FIB UI

Penulis Tirto Fadrik Aziz Firdausi mewawancarai Bondan Kanumoyoso pada Kamis (8/8/2019). Pada 2001 Bondan menerbitkan buku bertajuk Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia. Buku tersebut diangkat dari tesis masternya di Universitas Indonesia.

Berikut wawancara utuh dengan doktor sejarah lulusan Universitas Leiden itu.

Literatur yang khusus membahas peristiwa nasionalisasi perusahaan Belanda 1957-1958 dan dampak setelahnya sangat minim. Buku yang Anda tulis adalah satu-satunya yang membahasnya secara khusus. Jadi, bagaimana nilai peristiwa ini dalam sejarah Indonesia merdeka?

Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Merdeka itu, kan, bukan hanya soal politik, tapi juga soal ekonomi, budaya, sosial, dan aspek-aspek lain. Tapi yang menonjol saat itu memang kemerdekaan politik. Sehingga ketika merdeka dan menegakkan kedaulatan selama revolusi, masalah-masalah itu kurang terperhatikan. Baru setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 isu ekonomi mulai terekspos. Dalam KMB Belanda memperjuangkan kepentingan ekonominya di Indonesia agar tetap bertahan, karena kolonialisme Belanda coraknya memang kolonialisme ekonomi.

Gara-gara itu, tujuan proklamasi dan perjuangan Indonesia dalam KMB untuk menegakkan kedaulatan tidak sepenuhnya tercapai. Kedaulatan Indonesia di bidang ekonomi patut dipertanyakan. Itu jadi masalah sepanjang tahun-tahun 1950-an. Isu ini lama-lama jadi besar karena pemerintah sendiri juga tidak bisa memberi jawaban yang memuaskan kepada masyarakat.

Puncaknya, masyarakat memutuskan sendiri bahwa persoalan ini harus segera diatasi. Kemudian inisiatif itu diwujudkan dalam bentuk pengambilalihan perusahaan Belanda. Dalam konteks itu, nasionalisasi sudah tentu peristiwa besar. Ini upaya masyarakat menegakkan kedaulatan ekonomi. Ini tonggak penting.

Jadi, nasionalisasi ini adalah kebijakan yang berkait dengan hasil-hasil KMB?

Ini memang satu tahap perkembangan. Dalam KMB ada klausul yang mengakomodasi kepentingan ekonomi Belanda, agar perusahaan-perusahaan Belanda tidak diganggu. Juga kemudian bank sentral itu harus tetap De Javasche Bank. Padahal Pemerintah Indonesia sudah mempersiapkan BNI pada 1946 untuk jadi bank sentral. Jelas gila jika suatu negara berdaulat, kok, bank sentralnya kepunyaan negara asing.

Jadi sebetulnya Belanda itu tidak memberikan pengakuan kedaulatan secara utuh. Pengakuan kedaulatan di KMB adalah keterpaksaan Belanda yang saat itu ditekan secara internasional. Kedaulatan ekonomi itulah yang kemudian [hendak] direbut.

Lalu, bagaimana kondisi ekonomi dan pelaku bisnis Indonesia sendiri pada dekade 1950-an?

Ketika Indonesia merdeka, lapisan-lapisan masyarakat sebenarnya belum siap. Karena selama dihegemoni Belanda, mayoritas masyarakat Indonesia ada di lapisan bawah. Kolonialisme menyebabkan kelas menengah Indonesia diisi oleh orang-orang timur asing, yaitu orang Cina dan Arab. Jadinya, ketika Indonesia merdeka, kelas menengah pribuminya kosong. Kalaupun ada, tipis sekali dan konsentrasi mereka kebanyakan di bidang politik, bukan ekonomi. Sehingga perusahaan-perusahaan Belanda itu sukar diganggu karena orang Indonesia sendiri belum siap.

Secara manajerial dan pendidikan kita belum kuat. Warga terdidik sampai jenjang tinggi totalnya paling hanya dua persen dari populasi. Lulusan tingkat SMA saja jumlahnya baru seribu atau dua ribu di seluruh Indonesia. Jelas tidak cukup untuk mengelola Indonesia yang penduduknya saat itu sekitar 60 juta. Kondisi riil itu tidak menguntungkan. Yang ada, kita punya semangat tinggi, tapi secara profesional belum siap.

Dalam kondisi macam itu, desakan untuk nasionalisasi datang dari mana?

Justru dari masyarakat bawah. Tapi kemudian tidak terakomodasi oleh kelompok elite politik di pemerintahan. Hanya beberapa elite politik yang melihat masalah ini. Kalau kita ingat, Tan Malaka semasa revolusi itu punya program “Merdeka 100 Persen”. Nah, pengikutnya dan orang-orang kiri umumnya sangat mendukung nasionalisasi. Tapi ada yang tidak terpikirkan oleh mereka: jika ada nasionalisasi, apakah orang Indonesia bisa mengelolanya? Itu masalah. Antara semangat dan realitas bertentangan. Dan lagi selama itu, isu ini dijadikan jargon politik oleh kelompok tertentu untuk menekan pemerintah. Aspirasi ekonomi masyarakat dijadikan alat untuk kepentingan politik. Jadi, nasionalisasi ini rumit sebenarnya.

Hanya berselang beberapa hari setelah PBB menolak membicarakan sengketa Irian Barat, para buruh melakukan pengambilalihan perusahaan Belanda. Apakah momentum ini kemudian jadi kunci melakukan nasionalisasi?

Dua isu ini memang saling memengaruhi. Masalah Irian Barat itu menambah masalah kedaulatan jadi kian besar. Indonesia sudah merdeka, tapi masyarakat merasa pengaruh Belanda, kok, tetap kuat. Yang terasa, di bidang ekonomi kiprah Indonesia tidak terlihat. Keutuhan wilayah juga tidak terwujud sepenuhnya karena Irian Barat masih dikuasai Belanda.

Kalau salah satu saja dari dua masalah itu tidak ketemu solusinya, kemungkinan akan pecah jadi konflik. Terbukti ketika untuk kesekian kalinya PBB menolak usulan Indonesia membahas masalah Irian Barat.

Itu menimbulkan kemarahan masyarakat yang sudah menunggu momentum untuk mengambil tindakan terhadap Belanda. Bisa dibilang, masalah Irian Barat adalah pemicu untuk mempercepat nasionalisasi. Tapi sebetulnya tanpa ada masalah itu pun Indonesia akan tetap melakukan nasionalisasi di kemudian hari.

Pemerintah juga berencana melakukan nasionalisasi?

Proses nasionalisasi sebenarnya sudah berlangsung. Misalnya De Javasche Bank yang dinasionalisasi secara gradual, tidak dadakan, dan dilakukan oleh serikat-serikat buruh seperti pada 1957. Pemerintah secara bertahap membeli sahamnya mulai 1951. Pada 1953 sahamnya terbeli semua dan ganti nama jadi Bank Indonesia. Tapi direksinya masih diisi orang-orang Belanda yang baru diganti semua pada 1957.

Apakah wacana nasionalisasi di kalangan buruh mengemuka gara-gara masalah Irian Barat di akhir 1957?

Tidak, karena sebelum tahun itu wacana sudah ada. Bahkan dari daerah-daerah, bukan hanya dari Jakarta. Saya temukan arsip sekretariat kabinet adanya surat tuntutan dari buruh perminyakan di Sumatra dan Cepu sekitar 1953. Tuntutan juga ada dari buruh perkebunan. Mereka menuntut harus ada tindakan dari pemerintah terhadap perusahaan yang dikuasai orang Belanda. Demonstrasi-demonstrasi sporadis di beberapa tempat juga ada.

Ketika sengketa Irian Barat gagal dibawa ke PBB, sebagai balasan pemerintah menyerukan agar buruh-buruh di perusahaan Belanda mogok kerja. Mereka kemudian bertindak lebih jauh melakukan pengambilalihan aset. Bagaimana reaksi masyarakat atas peristiwa itu?

Masyarakat yang jenuh dengan dominasi Belanda tentu menyambut hangat.
Aksi pengambilalihan itu disambut sebagai kemenangan ekonomi. Setelah sekian lama bekerja di bawah bos-bos orang Belanda, akhirnya perusahaan itu jadi milik Indonesia. Mereka senang tapi tidak sadar bahwa masalah sebenarnya adalah bagaimana menjalankan perusahaan itu. Para buruh, kan, tidak mengerti persoalan manajerial perusahaan modern. Orang-orang kiri juga punya banyak jargon, tapi tidak mengerti soal-soal manajerial macam itu.

Itulah ironinya. Beberapa tokoh elite, seperti Sjafruddin Prawiranegara dan Hatta, sebenarnya mengerti bahwa nasionalisasi tidak bisa berjalan tanpa persiapan matang. Karena itu mereka selalu bilang, nasionalisasi itu sebenarnya masalah gampang. Kesiapan kita mengelola itulah masalah sebenarnya. Sementara Sukarno memandang nasionalisasi itu sebagai kesempatan untuk menyelesaikan Revolusi Indonesia. Maka lakukan saja. Jika di kemudian hari timbul masalah, bisa diselesaikan bertahap. Yang penting kedaulatan tegak dulu.

Jadi, bisa dibilang nasionalisasi 1957 itu adalah proses yang tergesa-gesa?

Kalau melihatnya dari perspektif saintifik, tentu saja terburu-buru karena masyarakat belum siap. Tapi, sekali lagi, bagi masyarakat yang merasakan tekanan dominasi Belanda, saat itu adalah momentum terbaik. Lalu, bagaimana reaksi internasional? Bagi Amerika Serikat atau anggota PBB lainnya konflik Indonesia dan Belanda itu sudah bukan lagi isu strategis. Kebanyakan sudah tidak peduli. Toh, kepentingan-kepentingan mereka di Indonesia tidak ikut diganggu.

Tapi bagaimana dampak nasionalisasi terhadap usaha Indonesia merebut Irian Barat dari Belanda?

Saya kira itu jadi tekanan bagi Belanda. Peristiwa nasionalisasi juga menunjukkan bahwa jika PBB tidak mau mendukung penyelesaian sengketa Irian Barat, Indonesia bisa bertindak lebih tegas.

Dampak bagi perekonomian Indonesia sendiri?

Jelas kacau. Perusahaan-perusahaan itu jadi berhenti produksi sampai keluarnya Undang-Undang Nasionalisasi pada 1958. Semua jadi stagnan karena buruh-buruh itu tidak mengerti bagaimana manajemen dan alur produksi perusahaan.
Akhirnya pemerintah menugaskan golongan yang di masa itu dianggap punya tingkat pendidikan paling lumayan di antara golongan lain, yaitu Angkatan Darat.
Setidaknya tentara punya standar pendidikan, walaupun sebenarnya bukan untuk mengurusi perusahaan. Tentara punya struktur dan kepatuhan pada hierarki, sementara buruh tidak. Akhirnya merekalah yang diutus untuk menertibkan proses pengambilalihan perusahaan yang berantakan.

Nah, saat itulah awalnya konsep dwifungsi yang disuarakan Nasution diimplementasikan.
Setelah itu banyak tentara yang jadi pemimpin perusahaan, seperti Ibnu Sutowo yang menguasai perusahaan minyak. Itu juga jadi masalah di kemudian hari.

Gerakan pengambilalihan dilakukan pada Desember 1957, tapi aturan resminya baru terbit Desember 1958. Dalam jangka waktu setahun itu apa saja yang terjadi pada perusahaan-perusahaan yang diambilalih?

Untuk tindakan yang sebelumnya tidak direncanakan, undang-undangnya bisa terbit dalam setahun itu termasuk cepat sebenarnya. Pemerintah, kan, tidak merencanakan nasionalisasi, tapi mereka membiarkan para buruh bergerak mengambilalih perusahaan Belanda. Ketika nasionalisasi terjadi, pemerintah tentu tidak siap. Maka itu Undang-Undang Nasionalisasi 1958 berlaku surut.

Undang-undang itu mengamankan tindakan pengambilalihan oleh para buruh sebelumnya agar tidak muncul kekacauan dan tuntutan hukum.
Tindakan pengambilalihan itu, kan, bisa dibilang perebutan aset orang dan tidak ada payung hukumnya. Pengambilalihan itu sebenarnya bisa dituntut ke pengadilan internasional. Pemerintah pun pada akhirnya harus bayar ganti rugi karena aset-aset perusahaan itu diambil secara ilegal dan aset-aset itu juga diasuransikan. Perusahaan-perusahaan itu lalu diubah statusnya jadi BUMN. Direksinya diisi tentara, karena tentu saja tidak mungkin mempersiapkan kelas menengah profesional hanya dalam setahun. Pada akhirnya perusahaan-perusahaan itu stagnan juga.
TNI ditempatkan di perusahaan yang dinasionalisasi untuk mencegah orang-orang kiri mengambil keuntungan. Tanggapan Anda?

Ya memang begitu. Kalau dikuasai kelompok politik tertentu, aset-aset perusahaan itu nantinya juga bisa digunakan untuk kepentingan politik. Kelompok yang paling bersemangat dalam isu nasionalisasi juga memang orang-orang kiri.
Bagi mereka, ini kesempatan yang tidak boleh dilewatkan untuk menanamkan pengaruh di sektor ekonomi. Hal itu yang kemudian dicegah oleh pemerintah dengan menugaskan tentara. Tapi, ketika tentara yang memimpin, perusahaan juga tidak jalan. Sama saja, terjadi KKN. Itu memang penyakit karena nasionalisasi [dilakukan] tanpa kesiapan. Jadi masalahnya itu bukan siapa yang pegang kendali, tapi memang Indonesia belum siap.

Lantas, bagaimana nasib buruh setelah perannya digeser tentara?

Ya balik ke posisinya semula, jadi pekerja tingkat bawah lagi karena posisi-posisi manajerial diisi tentara. Tentara memang lebih rapi dalam hal organisasi, tapi tetap tidak bisa mengembangkan lebih lanjut.
Mereka-mereka ini yang kemudian menumbuhkan kelas menengah baru di masa Soeharto. Bahkan saya kira pengaruhnya merentang hingga kini. Tapi seperti yang dikatakan Yosihara Kunio, kelas menengah Indonesia itu kelas menengah semu.
Mereka lahir karena patronase, persekutuan politik, dan KKN, bukan dari profesionalisme.

Terakhir, refleksi apa yang bisa dipetik dari peristiwa ini?

Saya kira pelajaran dari proses nasionalisasi dan setelahnya, bahwa setiap kebijakan yang fundamental semestinya dipersiapkan dengan matang. Jangan sampai dikalahkan oleh kepentingan politik jangka pendek. Karena dampaknya terasa sampai puluhan tahun kemudian.

Reporter: Fadrik Aziz Firdausi
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan

Tirto.Id
 

Sukarno memandang nasionalisasi sebagai kesempatan untuk menyelesaikan Revolusi Indonesia.

Selasa, 13 Agustus 2019

Marxisme dan Jalan Menuju Fikih Pembebasan


Oleh: Muhammad Al-Fayyadl - 13/08/2019

Muhammad Al-Fayyadl dalam acara diskusi FIkih dan Marxisme | Sumber gambar: Dokumen pribadi

Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Itulah gambaran kehidupan saat ini di bawah sistem kapitalis yang menjangkiti sistem perekonomian global, tak terkecuali Indonesia.

Banyaknya kasus penggusuran rakyat, konflik sumber daya alam, ditambah lagi fenomena eksploitasi buruh atas nama “pasar kerja fleksibel”, menunjukkan bahwa sistem kapitalis telah mencengkeram kebebasan kelas bawah untuk dapat hidup secara manusiawi dan terhormat.

Untuk itu, kru Tanwirul Afkar (TA), Buletin Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, mewawancarai Gus Muhammad Al-Fayyadl (MAF), pegiat Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), alumnus jurusan filsafat kontemporer dari Université Paris 8, Prancis, yang juga pengajar di Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo; selepas mengisi kuliah umum berjudul “Fikih dan Marxisme, Menuju Fikih Pembebasan?” di hadapan mahasantri Ma’had Aly Salafiah Syafi’iyah, 11 Januari 2018.

Dengan kapasitasnya dalam ilmu agama maupun wacana sosial-kontemporer, ia mencoba merumuskan suatu konsep fikih yang pro-kaum tertindas. Teks berikut diadaptasikan dari wawancara tertulis yang termuat di Buletin Tanwirul Afkar edisi 538 (Maret 2018) dengan sejumlah revisi dan penyempurnaan untuk para pembaca Islam Bergerak.

TA: Gus, menurut Anda, apakah fikih kita condong kepada kapitalis atau sosialis?

MAF: Sebenarnya tidak otomatis condong kepada salah satunya. Hanya saja, fikih kita kerap terombang-ambing. Pada satu kondisi, produk-produk fikih hasil ijtihad ulama kita di Indonesia terkadang mendukung atau melegitimasi kapitalisme. Dari segala bentuknya, sektor produksi atau lainnya. Kadang di sisi lain, produk fikih mampu menahan laju kapitalisme (melindungi kepentingan rakyat, red.)

Cuma ya itu, apabila kita tidak memiliki kesadaran tentang apa dan siapa yang sebenarnya kita hadapi, maka fikih akan terus terombang-ambing dalam pilihan untuk menentukan keberpihakannya. Padahal saya kira, keberpihakan itu mestinya jelas, yaitu terhadap kaum Mustadl’afin, yakni kalangan yang tertindas atau terpinggirkan, rakyat, atau umat secara luas. Hanya saja, pada tataran metodologis, keberpihakan itu belum semuanya tercermin. Jadi, masih banyak PR untuk menjahit apa yang kurang dari bangunan fikih yang ada.

Dan kita  masih dalam euforia dengan “ekonomi Syariah” yang kita anggap simbol kemaslahatan. Ternyata, di sektor-sektor lain, hal itu belum bekerja. Ekonomi Syariah yang berkembang sekarang—catatan dan kritik saya—baru bergerak di sektor distribusi dan konsumsi, misalnya sertifikasi produk halal, distribusi uang dan penjaman modal yang diklaim non-riba. Tapi di sektor produksi, misalnya, kita lihat berapa kepemilikan tanah oleh swasta, oleh perusahaan, oleh konglomerat. Kita lihat juga milik siapa pabrik-pabrik besar manufaktur dan industri jasa di Indonesia. Itu tidak pernah disentuh oleh fikih.

Poster diskusih Fikih dan Marxisme: Menuju FIkih Pembebasan

Menurut Anda, apa konsep Fikih Mu’amalah yang perlu direkonstruksi?

Hemat saya, kita perlu lebih dulu bertanya, mengapa fikih bisa mandul atau dibuat mandul oleh kapitalisme? Sementara saya punya dua dugaan. Pertama, absennya kesadaran ekonomi-politik (Ekopol) dalam fikih. Dan kedua, karena absennya “materialisme” dalam epistemologi fikih.

Maksudnya, untuk poin pertama, fikih kurang menyadari bahwa penggerak kehidupan sosial adalah ekonomi-politik (Ekopol), yaitu hubungan-hubungan produksi di antara kelas-kelas sosial yang ada dan terus bertarung memperebutkan dominasinya terhadap pihak lain, baik melalui penguasaan ekonomi maupun kekuasaan politik. Fikih cenderung menganggap bahwa kehidupan umat Islam, kehidupan rakyat, sudah berjalan “baik”, tertata, harmonis. Ini karena bias kesadaran sosial yang cenderung melihat hierarki dan perbedaan status sosial sebagai “suratan takdir”. Atau setidaknya realitas kehidupan yang “mengalir” begitu saja. Padahal kan tidak.

Kehidupan sosial itu sarat dengan relasi yang timpang, dan di situ ada potensi ketidakadilan. Dulu, Mbah Kiai Sahal Mahfudz melakukan kritik atas hal itu melalui “Fikih Sosial”-nya. Nah, saya usul, setelah “Fikih Sosial”, kita perlu lanjutkan dengan “Fikih Ekopol”, Fikih Ekonomi-Politik, al-fiqh al-iqtishadi as-siyasi.

Di sini terletak masalah “materialisme”. “Materialisme” yang saya maksud bukan cinta keduniawian atau kebendaan. Tapi suatu cara pandang yang menempatkan hal-hal materiil dan konkret sebagai titik berangkat untuk memahami perkembangan kehidupan sosial kita. Jadi, saya menawarkan cara pandang terbalik. Daripada berangkat dari kaidah-kaidah atau dalil terlebih dulu, Fikih harus berangkat lebih dulu dari kenyataan materiil apa yang dihadapi. Dari situ lalu dicari kaidah dan dalilnya, baru diputus hukumnya, lalu dikembalikan lagi ke fakta materiilnya, bisa mengubah realitas materiil itu atau tidak.

Kalau dipetakan, kita kan mengenal ada dua kategori besar hukum Islam dalam bangunan fikih, yaitu al-ahkam at-taklifiyyah, hukum-hukum yang eksplisit halal-haram, mengenai kewajiban dan larangan bagi orang mukallaf yang dibebani hukum; dan al-ahkam al-wadl’iyyah, hukum-hukum yang berkaitan dengan syarat, sebab (sabab), atau faktor-faktor pencegah (mani’) yang memungkinkan suatu hukum berlaku atau tidak diberlakukan.

Nah, kesadaran Ekopol dan materialisme bisa dibangun pada tataran al-ahkam al-wadl’iyyah ini. Di situ kita bisa melihat, kalau realitas materiilnya sarat ketidakadilan, maka harus dicegah atau dilawan. Tentu kalau mengacu kepada al-ahkam at-taklifiyah, tidak ada dalil fikih yang menulis bahwa “kapitalisme itu haram”, karena istilah “kapitalisme” belum dikenal oleh ulama fikih Salaf. Tapi dilihat dari wadl’iyyah-nya, kita bisa bertanya, kapitalisme itu menjadi sebab datangnya mudlarat atau tidak. Kalau iya, maka konsekuensi Mu’amalah-nya bisa diputus haram.

Itu yang pertama. Di sisi lain, kita juga perlu melihat hubungan antara Fiqih Ibadah dan Fikih Mu’amalah sendiri. Landasan Fikih Ibadah tentu bukan Ekopol atau materialisme, karena ketentuan ibadah datang dari petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah Rasul sendiri, yang sudah jelas (sharih). Kita kerap memahami ibadah dan mu’amalah terpisah. Seolah kalau ibadahnya baik, maka mu’amalah-nya otomatis baik. Kehidupan kapitalis saat ini menunjukkan sebaliknya. Meskipun ibadah kita baik, bisa menjalankan rukun Islam secara sempurna, naik haji ke Tanah Haram, belum tentu mu’amalah kita secara sistemik telah baik. Karena untuk haji pun, kita harus membayar mahal dan terjerat dalam sistem pasar, artinya, kita masih di bawah “hukum besi” kapitalisme.

Tawaran saya, kita perlu melihat dengan pola terbalik. Landasan awal berfikih kita adalah Fikih Mu’amalah dulu, baru Fikih Ibadah dan Fikih-fikih yang lain. Fikih Mu’amalah menjadi dasarnya, basisnya. Baru di atasnya diletakkan fikih-fikih yang lain. Artinya, hablum minan naas adalah dasar, baru hablum minallah di atasnya. Apabila titik berangkatnya dari hablum minan naas (hubungan sosial yang materiil dan konkret) sudah “beres”, maka keberislaman kita pada taraf hablum minallah (hubungan transendental-ilahiah yang abstrak) akan juga “beres”.

Konsekuensi dari peletakan semacam ini, Fikih Mu’amalah menjadi “basis”, meminjam istilah Karl Marx. Sedangkan Fikih Ibadah menjadi “suprastruktur” (bangunan atas). Kita kemudian bisa menata ulang orientasi fikih dengan lebih utuh. Bahwa fikih harus terlebih dulu melakukan koreksi pada tataran Mu’amalah secara utuh dan menyeluruh, agar seluruh dimensi ibadah (‘ubudiyah) umat Islam punya makna sejati bagi kehidupan bersama.

Persoalannya, Fikih Mu’amalah hari ini masih diperlakukan secara parsial, dan seolah bukan porsi utama fikih. Pembelajaran fikih di pesantren masih lebih banyak ditekankan pada Fikih Ibadah. Fikih Mu’amalah disinggung sedikit, lebih sedikit diketahui oleh kaum santri daripada Fikih Ibadah. Ini yang membuat kesadaran atas problem kapitalisme tidak pernah muncul.
Ibaratnya, kita “buta”, kita hidup di zaman apa, menghirup udara apa. Kita bisa beribadah  khusyuk sendirian atau berjamaah, tapi begitu keluar dari masjid atau pesantren, kita dibuat bingung dengan lalu-lalang kehidupan yang sudah berubah cepat. Keluar masjid, kita belanja di Indomaret atau pergi ke bank, tanpa sengaja sudah terjerat dalam kapitalisme.

Contoh lain, kalau banyak koruptor, itu pasti ada ketimpangan ekonomi. Koruptor kan tidak muncul begitu saja. Kalau koruptor misalnya dipersoalkan, apakah harus dihukum mati atau potong tangan, persoalan ini pada tataran “suprastruktur”. Di “basis”, di tingkat mu’amalah-nya, perlu ditanya, kenapa kok bisa terjadi korupsi? Terjadinya korupsi pasti dikarenakan praktik mu’amalah yang tidak benar sampai terjadi pencurian. Korupsi bukan hanya pencurian. Kita juga harus melihat korupsi dalam hubungannya dengan kapitalisme. Bagaimana kapitalisme melahirkan kelompok-kelompok yang memiliki modal yang sangat besar sehingga mampu menyogok pejabat atau pemerintah. Ini semua pada tataran “basis” bisa dibongkar. Maka, Fikih menjawab persoalan korupsi tidak cukup dengan pendekatan pidana (jinayat), potong tangan. Perlu juga memakai Fikih Mu’amalah.

Bagi saya, Fikih Mu’amalah perlu mulai dipertimbangkan untuk menjadi dasar fundamental dalam fikih. Tidak akan maksimal, alias tetap sepotong-potong, kita bicara tentang Fikih Zakat, Fikih Jinayat, Fikih Munakahat, dan lain-lain, tetap berpotensi luput menangkap realitas ketidakadilan, jika kita tidak berangkat terlebih dulu dari Fikih Mu’amalah, tentu dalam pengertian yang baru dan “diperluas”.

Apakah Fikih Mu’amalah bisa digabungkan dengan paradigma lain seperti Marxisme atau Kapitalisme?

Buat saya, bisa dijahit, bukan digabungkan. Nah, “jahitan” itu nanti pada logika hukumnya.
Fikih dikaitkan dengan logika kapitalis, juga bisa saja. Hanya nantinya kita lihat secara global, bahwa logika kapitalis niscaya bertentangan dengan Islam. Misalnya, praktik perdagangan yang orientasinya pada penumpukan (takatsur atau ihtikar) itu dilarang, dan itu yang persis didorong oleh kapitalisme. Walaupun fikih saat ini luput melihat hal itu, melainkan sekadar menghukumi transaksinya saja.

Makanya, hukum-hukum jual beli (ahkam al-buyu’) itu baru satu aspek saja. Kalau kita berhenti ngaji kitab al-bay’, mu’amalah kita tidak berkembang. Kita tidak tahu di balik transaksi itu produknya dari mana, siapa yang punya, melibatkan rente atau tidak, akumulasi atau tidak, dan lain-lain. Kajian ilmiah seperti Marxisme bisa membantu untuk mempertajam fikih.

Marxisme itu apa, kok fikih perlu “melirik” Marxisme? Bukannya produk Barat yang asing bagi ajaran Islam, apalagi fikih? Bukannya Marxisme itu identik dengan komunisme yang dimusuhi oleh sebagian umat Islam, bahkan sangat terdengar menakutkan bagi kita di Indonesia? Ini yang perlu sedikit diperjelas.

Marxisme itu sederhananya adalah suatu perangkat ilmiah membongkar sistem kapitalisme. Suatu ilmu untuk membedah kapitalisme. Kapitalisme kan hidup setidaknya dua abad lebih, dengan dampaknya yang luar biasa terhadap dunia, salah satunya melahirkan kolonialisme yang dulu menjajah bangsa kita, dan sekarang melahirkan globalisasi. Selama ini, tidak ada kajian ilmiah yang sekritis Marxisme dalam melawan kapitalisme dan menunjukkan letak-letak kesalahan kapitalisme. Ini karena lawan Marxisme adalah Ekonomi-Politik Borjuis sendiri, yakni teori ekonomi yang dianut oleh para ekonom yang mendukung kapitalisme. Jadi, mau tidak mau, untuk mengerti seluk beluk kapitalisme, kita harus mengerti dua bidang ilmu sekaligus. Ekonomi-Politik Borjuis (biasanya disebut Teori Klasik atau Neoklasik dalam ilmu ekonomi). Dan Marxisme, yang menjadi pisau kritiknya.

Sebenarnya, kalau menurut para sarjana Marxis sendiri, ada tiga aspek besar Marxisme. Pertama, Kritik atas Ekonomi-Politik Borjuis. Ini Marxisme sebagai teori ekonomi. Kedua, yang disebut “Historical materialism”, materialisme historis. Ini paham sejarahnya. Ini studi Marxisme atas perkembangan suatu kehidupan masyarakat dilihat dari faktor-faktor produksinya dan dinamika materiilnya. Misalnya di situ dibahas soal adanya kelas dan kasta-kasta sosial, lahirnya kaum elite, lahirnya kaum pemodal dan kaum buruh, lahirnya perbudakan, kerja upahan, perang, konflik, lahirnya Negara-negara, dan lain sebagainya. Dan ketiga, sosialisme. Ini teori politiknya. Ini lebih berupa orientasi gerakan politik Marxisme, yaitu untuk mewujudkan masyarakat alternatif setelah krisis masyarakat kapitalis.

Yang relevan untuk fikih, saya kira untuk sementara, kedua aspek pertama dari Marxisme. Yaitu, sebagai Kritik atas Ekopol Borjuis dan Materialisme Historis-nya. Ini kalau bisa dijadikan “alat bantu” untuk fikih, kita mendapat banyak “pencerahan” untuk melangkah ke fikih yang membebaskan dari segenap problem dan akar ketidakadilan. Suatu fikih pembebasan.

Cuma begini. Jangan lupakan Ushul Fikih. Kita mengetahui, Ushul Fikih adalah logika dasar dari fikih, metodologinya. Di sana termuat metode, dan aksioma-aksioma yang menjadi acuan penalaran fikih. Ushul Fikih tetap dipakai, sebagai acuan metodologisnya, misalnya dalam menyeleksi mana aspek yang prinsipil (ushul), mana yang turunan atau sekunder (furu’).
Mana aspek yang bisa berubah, mana yang tetap (karena datang dari Nash yang sharih.). Di sisi lain, bersamaan dengan Ushul Fikih, ada Maqashid Syari’ah. Di sana terdapat acuan aksiologisnya, misalnya kategori maslahat dan mafsadat. Untuk menentukan bobot materiil maslahat dan mafsadat itulah, nanti Marxisme bisa membantu memberikan gambaran komprehensif mengenai realitasnya di lapangan.

Jadi misalnya begini, kita berhadapan dengan kasus pendirian perusahaan A di suatu lokasi. Mengacu pada maslahat atau mafsadat-nya, ternyata mafsadat-nya secara jangka panjang akan lebih besar, karena perusahaan itu akan menghancurkan kemandirian ekonomi masyarakat di sekitarnya, misalkan. Maka bisa diharamkan. Solusinya, diganti jenis usaha lain yang tidak berdampak seperti itu. Ini hanya mungkin kalau kita mengerti soal relasi eksploitasi, watak modal, dan sebagainya yang dianalisis oleh Marxisme. Jadi, tidak cukup menghukumi transaksinya saja. Karena kalau hanya transaksinya yang dinilai, selesai sudah. Wa ahallallah al-bai’ wa harrama ar-riba.

Menurut Gus, apakah Fikih Mu’amalah itu historis?

Ya, bersifat historis. Fikih Mu’amalah harus dilihat secara historis dari masa ke masa. Tentu berbeda memperlakukan Fikih Mu’amalah di era pra-kapitalisme dengan era kapitalisme. Karena dunia dan kehidupan umat manusia berubah secara mendasar, tidak sama seperti era-era sebelumnya, dengan adanya kapitalisme. Kapitalisme harus dilihat sebagai penentu sejarah kehidupan kita saat ini, kalau kita tidak mau terbawa ilusi kehidupan masa lalu. Apa bedanya? Karena hanya di era kapitalisme ini, semua ketidakadilan tampak diwajarkan dan menjadi sistemik. Ya itu, realitas adanya masyarakat berkelas yang dibangun di atas penumpukan modal secara tidak terbatas di satu sisi, dan eksploitasi kerja mereka yang hanya punya keringat di sisi lain. Dan sekarang, meluas ke eksploitasi alam dan seisinya untuk kepentingan modal.

Ambil contoh pembahasan mengenai upah. Kita jangan terjebak konsep upah ratusan tahun lalu sebelum kapitalisme. Jadi, Fikih Mu’amalah pernah meninjau ulang status upah dan kerja upahan. Kalau dulu di zaman Rasulullah, kerja upahan dalam bentuk sederhana antara pihak pemberi kerja (al-mustajir) dan pekerja  (al-ajir), sekarang kapitalisme sudah membuatnya jadi rumit dan kompleks sekali. Karena antara investor dan buruh tidak ada kontak langsung, tapi dimediasi oleh perusahaan.
Perusahaan inilah yang mencari tenaga kerja, dan adanya lapangan pekerjaan—dijelaskan oleh analisis Marxis—bukan karena kebaikan perusahaan atau si investor-kapitalis, tapi karena tekanan kehidupan di kalangan rakyat miskin yang membuat mereka terpaksa menjual tenaga mereka ke pabrik. Artinya, orang tidak mungkin menjadi buruh, masuk dalam kerja upahan, kalau tidak ada keterpaksaan yang sistemik. Inilah alasan kenapa upah dan kerja upahan dulu dan sekarang berbeda.

Kalau dilihat lebih utuh seperti ini, Fikih Mu’amalah jadi lebih tanggap pada kapitalisme. Tidak cukup hanya berfatwa, perusahaan wajib membayar gaji buruh atau memberi pesangon. Tapi juga bertanya, sampai kapan kaum buruh akan terus terlibat dalam kerja upahan. Apakah bisa menghapusnya? Apa alternatif kerja upahan? Itu perlu terus digali. Jadi, jangan mandek hanya pada konsep  ujroh (upah), lalu selesai.

Mungkin ada pemikiran tokoh-tokoh Islam mengenai fikih yang berdialog dengan Marxisme?

Ada, seperti Sayyid Muhammad Baqir Shadr, dalam karyanya Iqtishaduna. Di sana Baqir Shadr memiliki konsep-konsep menarik, terlebih memikirkan bank yang bukan kapitalistik. Dia mengambil kritik Marxis terhadap kapitalisme, walaupun melakukan kritik yang juga keras terhadap Marxisme.
 Baqir Shadr menyerukan, misalnya, adanya perhatian yang lebih besar terhadap distribusi dan redistribusi yang adil, menolak penumpukan aset dan kepemilikan pribadi seperti dalam sistem kapitalis. Tapi pemikirannya mungkin tidak populer di Indonesia karena Shadr sendiri seorang ulama Syi’ah. Tradisi fikih Syi’ah sendiri lebih kritis terhadap kapitalisme daripada di Sunni. Kita di Sunni ini, yang agaknya cenderung ikut arus kapitalisme. Menghalalkan kepemilikan pribadi tanpa batas dan kurang peduli dampak sosial dan lingkungannya.

Baru sejak adanya Fikih Maqashid, sepertinya mulai ada perimbangan ke ranah fikih yang lebih “sosialistik”. Tapi itu kalau kita menggali betul apa yang dimaksud dengan “mashalih kulliyyah” (kemaslahatan yang universal) dan “mashalih ‘ammah” (kemaslahatan umum). Karena, bisa tidak, kemaslahatan ini merebut kepentingan kelas kapitalis yang hanya memikirkan keuntungan dirinya?

Kita patut mengapresiasi perkembangan Fikih Maqashid, sambil membacanya terkait dengan kapitalisme dan dinamika sosial-ekonomi yang terjadi.

Apa pesan Anda kepada kalangan santri dalam menyikapi kapitalisme?

Pertama, kita (kaum santri) harus memperlakukan kapitalisme sebagai masalah serius di dalam keilmuan agama kita, sehingga kita perlu menggalakkan kajian-kajian kritis tentang kapitalisme. Untuk bisa memahami dinamika global dan nasional, misalnya ada May Day, kenapa kok ada buruh turun ke jalan. Ini kalau kita (kaum santri) tidak mengerti, kan kita menganggap mereka yang demo itu tidak ada hubungannya dengan agama. Padahal, itu bagian dari perjuangan hak, yang juga sangat diperintahkan oleh agama.

Nah selama ini, kalangan santri belum banyak mengetahui atau ambil peduli tentang dinamika di luar pesantren, jadi wajar kalau seolah-olah pondok pesantren itu steril dari kapitalisme, padahal tidak.

Kedua, kita perlu mempelajari ilmu-ilmu sosial kritis, seperti Marxisme ini, dan jangan takut dengan propaganda-propaganda yang tidak benar. Kalau itu propaganda, kita bisa cek sendiri ke bukunya atau referensinya. Apakah Marxisme boleh dipelajari di Indonesia? Saya rasa boleh sebagai sarana pendidikan. Cuma memang masih banyak propaganda yang tidak enak didengar. Antara lain kalau belajar Marxisme itu nanti membawa ateisme. Padahal, itu dua hal yang berbeda. Ateisme itu sikap teologis, Marxisme itu wawasan ilmiah. Dan ada banyak propaganda lainnya. Itu yang akhirnya membuat kita enggan, takut mempelajarinya.

Selain Marxisme, kita juga harus mempelajari ilmu ekonomi secara menyeluruh dan kritis. Jangan menelan mentah-mentah setiap teori. Termasuk melakukan kajian mendalam terhadap hakikat Ekonomi Syari’ah. Ekonomi Syari’ah yang berwawasan pembebasan. Kalau Ekonomi Syari’ah yang tidak berorientasi pembebasan, ya tidak akan mengubah banyak hal, hanya melanggengkan sistem yang tidak adil ini.

Hasilnya nanti akan terasa ketika kaum santri bisa memberikan solidaritasnya terhadap apa yang dialami oleh rakyat. Banyak masyarakat di luar pesantren yang mengalami penderitaan oleh kebijakan negara yang tidak berpihak kepada mereka, tapi berpihak kepada kepentingan kapitalis. Tapi kita, kaum santri, masih bingung menyikapinya karena tidak tahu apa yang harus diperbuat. Saatnya kita sadar dan bangun dari kejahilan ini.

***

Sabtu, 27 Juli 2019

Upaya Kosong Rekonsiliasi Pembantaian ’65


27 Juli 2019

©Rizky/Bal

Penyelesaian kasus Pembantaian 1965-1966 (Pembantaian ’65) adalah pekerjaan yang pelik hingga saat ini. Rupanya di Indonesia, lebih mudah untuk memasukkan unta ke dalam lubang jarum daripada menyelesaikan kasus Pembantaian ’65. Dilansir dari Historia, pada tahun 2016 lalu International People’s Tribunal (IPT), sebuah LSM internasional, merilis laporan akhir. Berdasar laporan tersebut, setidaknya terdapat 10 bukti tindak kejahatan yang dilakukan Indonesia dalam kasus Pembantaian ’65.
 Bukti tindak kejahatan tersebut diperoleh melalui penyelidikan IPT 65, badan turunan dari IPT. Meskipun tidak memiliki kekuatan hukum apapun, keputusan IPT adalah langkah maju bagi penyelesaian pelanggaran HAM.

Akan tetapi, meski telah ada inisiatif internasional untuk pengusutan kasus Pembantaian ’65, namun sikap pemerintah terlihat enggan menanggapi hasil pengusutan tersebut secara substansial. Seperti yang dilansir dari laman resmi IPT 65, Kejaksaan Agung tidak segera menindaklanjuti fakta temuan IPT sebagai bukti hukum. Sikap itu dipertegas oleh kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kedua pasangan calon presiden pada debat bertopik Hukum, HAM, dan Terorisme tak menyinggung kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Termasuk peristiwa  Pembantaian ’65, salah satu kasus pelanggaran HAM berat menurut Komnas HAM.

Menanggapi hasil penyelidikan IPT 65 tersebut, BALAIRUNG mewawancarai Usman Hamid selaku Direktur Amnesty International untuk Indonesia dan Aktivis HAM. Ia terus mendesak pemerintah untuk mengusut peristiwa tersebut melalui upaya rekonsiliasi. Guna mendapatkan gambaran yang lebih jernih terhadap pengusutan dan rekonsiliasi peristiwa Pembantaian ’65, berikut hasil wawancara BALAIRUNG.

Apa itu rekonsiliasi? Mengapa hal tersebut penting untuk dilakukan?

Rekonsiliasi adalah pemecahan masalah terhadap sistem yang menindas. Biasanya dilakukan setelah masyarakat melalui penindasan itu dalam periode yang cukup panjang. Baik itu di bawah kediktatoran militer, atau totalitarian komunis. Rekonsiliasi juga bermakna mengubah dan meninggalkan sistem antikemanusiaan yang bekerja dalam suatu negara-bangsa. Misalnya, atas nama antikomunisme di masa Orde Baru (Orba), seluruh pranata hukum, politik, badan peradilan, dan keamanan diorientasikan untuk membenarkan praktik-praktik antikemanusiaan. Praktik itu ditujukan terhadap siapapun yang dituduh komunis, baik yang betul-betul anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) atau sekadar dianggap komunis. Pembenaran itu dilakukan dengan beragam cara seperti doktrin, dogma dan segala bentuk propaganda yang diciptakan hingga masuk ke seluruh sistem pendidikan. 

Sejak kapan wacana rekonsiliasi ini hadir?

Pada tahun 1998 sebenarnya sudah muncul wacana rekonsiliasi. Upaya itu kemudian dirumuskan hingga mendetail berupa identifikasi bentuk-bentuk penyimpangan di masa Orba seperti penyalahgunaan kekuasaan, kekerasan, hingga pelanggaran HAM. Selain mengidentifikasi, upaya tersebut juga mendorong proses pengungkapan kebenaran tentang apa yang terjadi di masa lalu. 

Apa tujuan dari rekonsiliasi?    

Rekonsiliasi adalah bagian dalam perbaikan sejarah yang telah menyimpang dan diseragamkan di masa lalu. Rekonsiliasi ditujukan untuk memperbaiki seluruh sistem yang salah dan memberi keadilan kepada korban. Upaya rekonsiliasi berusaha mengakhiri sebuah sistem penindasan struktural terhadap mereka yang dicap komunis. Sebuah persoalan yang coba dipecahkan tapi tidak pernah berhasil dilakukan. Usaha-usaha untuk melawan propaganda sebenarnya telah muncul sejak awal Orba tapi tidak pernah berhasil.

Siapa saja terlibat dalam rekonsiliasi?

Rekonsiliasi ditujukan kepada korban langsung. Para korban tersebut harus mendapatkan pengakuan atas apa yang mereka alami. Tentu saja, mereka yang paling bertanggung jawab atas penyimpangan di Orba harus didorong melakukan pertanggungjawaban.

Kemudian, dalam konteks Pembantaian ’65 kenapa permasalahan tersebut masuk sebagai pelanggaran HAM berat menurut Komnas HAM, dan membutuhkan rekonsiliasi?

Barangkali peristiwa  Pembantaian ’65 merupakan peristiwa paling gelap dalam sejarah hak asasi Indonesia modern karena menyangkut ratusan ribu hingga jutaan orang yang mengalami ketidakadilan. Mereka dibunuh, dihilangkan paksa, diusir, diperkosa, dan disiksa. Mereka juga mengalami kekerasan struktural selama bertahun-tahun dalam bentuk diskriminasi sosial, ekonomi, dan stigmatisasi politik. Contohnya, Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1975 tentang Perlakuan Terhadap Mereka yang Terlibat G.30.S/PKI. Peraturan tersebut membersihkan seluruh pranata pemerintahan dari orang-orang yang dituduh komunis atau dituduh terkait dengan Peristiwa Pembantaian ’65. Kalau mengutip Sulami (Alm.) Ini adalah suatu bentuk pelanggaran berat HAM yang tiada taranya.

Dalam hukum internasional Statuta Roma, peristiwa  Pembantaian ’65 jelas melanggar Pasal 7. Artinya ia termasuk suatu kejahatan yang bisa diadili dimana saja karena termasuk pada kejahatan melawan kemanusiaan. Bahkan, dalam tindak tertentu sejumlah akademisi menimbang-nimbang kemungkinan ini bukan sekedar kejahatan kemanusiaan tapi juga genosida politik. Peristiwa Pembantaian ’65 sebagai kejahatan kemanusiaan dan sudah dituangkan dalam laporan penyelidikan Komnas HAM yang bersifat projustitia. Sedangkan kesimpulan bahwa peristiwa Pembantaian ’65 adalah genosida politik masih menjadi perbincangan di kalangan akademisi.

Anda mengatakan rekonsiliasi bertujuan menghadirkan keadilan untuk para korban. Apa keadilan yang diharapkan?

Keadilan dalam pengertian yang seutuh-utuhnya. Keadilan yang menuntut para pelakunya diadili, terutama yang paling bertanggung jawab, misalnya Soeharto. Ada pula keadilan yang bersifat restoratif. Keadilan yang bukan saja menghukum pelaku tetapi juga memperbaiki kehidupan korban. Ada restorasi tanggung-jawab yang dibebankan kepada para pelaku dalam undang-undang restitusi. Tapi ada juga, dan ini yang saya kira lebih penting, restorasi yang dijadikan pertanggungjawaban negara dalam bentuk kompensasi. Dalam pengalaman Afrika Selatan, kompensasi dapat berupa pengembalian tanah yang dirampas, atau dalam kasus Argentina adalah pengembalian rumah yang dirampas. Jadi pengembalian hal-hal yang pernah dimiliki oleh para korban, entah itu pekerjaan, pendidikan, atau kesehatan. 

Bagaimana langkah konkret untuk menghadirkan keadilan tersebut?

Pendekatan terhadap pemenuhan keadilan ini setidaknya memiliki empat komponen. Pertama, mendorong proses pencarian kebenaran. Proses ini berusaha mencari tahu apa yang salah dalam sistem politik yang kerap menindas di masa lalu. Mencari tahu alasan PKI yang semula resmi tiba-tiba dilarang. Mencari tahu mengapa komunisme sebagai sebuah kerangka analisis untuk memahami kondisi sosial masyarakat itu tiba-tiba menjadi sangat tabu. Kemudian, lebih jauh lagi, mencari tahu alasan penanaman kebencian kepada tertuduh komunis atau paham komunisme itu sendiri selama puluhan tahun lewat film, sastra, pendidikan, peradilan, dan kebijakan pemerintah. 

Kedua, keadilan hukum. Proses penyelidikan tidak semata ditujukan untuk melihat pola dari kekerasan sistematis yang dilakukan oleh negara atau kekuasaan. Penyelidikan juga menghendaki pertanggungjawaban kriminal perorangan karena tindakan membunuh dan menyiksa bagaimanapun juga adalah sebuah kejahatan. 

Ketiga adalah reparasi yaitu suatu usaha untuk memperbaiki kondisi kehidupan korban sebelum peristiwa terjadi. Bisa saja yang semula punya rumah, hanya karena ia dituduh PKI kemudian rumahnya dirampas dan ia kehilangan itu selama puluhan tahun. Perampasan tersebut juga termasuk pekerjaan, keluarga dan lainnya. Reparasi ini bisa dalam bentuk materiel atau nonmateriel. Kompensasi materiel adalah, yang telah saya jelaskan sebelumnya, harta benda, pekerjaan, dan aset korban. Sedangkan kompensasi moral berarti negara atau pemerintahan yang berkuasa wajib meminta maaf kepada para korban. Selain permintaan maaf institusional dari negara dan pemerintah, pelaku secara individual juga memiliki tanggung jawab moral untuk meminta maaf. Korban pun juga difasilitasi untuk mendengarkan pengakuan tersebut dan menimbang-nimbang apakah pemberian maaf bisa diberikan kepada para pelaku. 

Keempat, memastikan bahwa sistem yang menindas itu betul-betul dihapuskan. Ini ditujukan supaya tidak mengundang peristiwa serupa terulang serupa di masa depan. Entah itu menghapus kebijakan seperti Undang-undang atau menghapus lembaga negara yang merepresi seperti Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban.

Bagaimana negara harus meminta maaf? Permintaan maaf seperti apa yang harusnya diberikan?

Tentu saja pemberian maaf harus didahului dengan menentukan siapa yang harus meminta maaf dan siapa yang berhak memberikan maaf. Nah, sebelum menentukan kedua predikat tersebut, harus terlebih dulu diidentifikasi perbuatan apa yang hendak dimaafkan itu. Jadi apa kesalahan persisnya? Membunuh? Menyiksa? Merampas rumah? 

Seringkali, wacana elite di dalam diskursus politik Indonesia mereduksi pertanyaan mendasar ini seolah-olah sudahlah saling memaafkan. Pemberian maaf menurut para elite tadi tidak didahului dengan satu proses dimana perbuatan yang hendak dimintakan maafnya itu dikenali terlebih dahulu. Proses identifikasi itu dalam hukum dikenal sebagai penyelidikan dan pencarian fakta yang kemudian diakui sebagai sebuah kejahatan. 

Kemudian kita bertanya apakah pelaku menyadari dan mengakui kejahatannya sebagai sebuah kesalahan lalu berjanji untuk tidak mengulanginya? Dalam pengalaman banyak negara termasuk Afrika Selatan, pemberian maaf terjadi dalam situasi yang sangat emosional, sangat dramatis. Tetapi sebagian lagi justru mengakibatkan kemarahan yang luar biasa karena ketidaktulusan dalam meminta maaf. Permintaan maaf yang tulus inilah yang belum ada di Indonesia. 

Dalam kasus lain, yaitu kasus kejahatan kemanusiaan di Aceh, bagian kecil dari proses tersebut baru saja dimulai. Berlangsung proses dengar kesaksian yang difasilitasi oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh di Pendopo Gubernur Provinsi Aceh.Ada sekitar 14 orang yang memberikan kesaksian dari mulai penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, sampai dengan penyiksaan seksual. Tapi sayangnya belum terlihat ada dukungan penuh dari pemerintah khususnya pemerintah pusat.

Kalau dari tingkatan masyarakat, tantangan apa yang ditemui dalam proses rekonsiliasi?

Saya kira prasangka politik yang negatif terhadap komunisme. Tantangannya adalah menghapus prasangka masyarakat yang percaya pada kejahatan komunis atau partai komunis. Jadi ini yang berat, mengubah cara pandang. Dulu, saya sempat diyakinkan oleh teman-teman pendukung pemerintahan sekarang bahwa ada keinginan untuk memasukkan rekonsiliasi ke dalam agenda revolusi mental. Untuk berhasil, revolusi mental juga memerlukan perubahan pikiran. Tapi yang terjadi tidak demikian.

Saya kira ada beberapa teman yang berseloroh ini sebenarnya bukan revolusi mental tapi méntal (terpental-Jawa). Usaha untuk melakukan revolusi pikiran itu sudah jauh terlempar jadi benar-benar méntal. Revolusi pikiran dibutuhkan dan dapat dimulai dengan merombak sistem pendidikan. Kawan saya, Hilmar Farid, sedang bekerja keras untuk mendorong perubahan-perubahan epistemik itu di sektor pendidikan, terutama kebudayaan.

Dari pengamatan saya, ada dua kelompok yang saya kira cukup sulit untuk menerima upaya rekonsiliasi seperti angkatan bersenjata dan beberapa kelompok keagamaan. Mengapa perlawanan tersebut terjadi?

Pertama-tama tentu saja karena merekalah yang ikut memproduksi penyeragaman sejarah. Mereka memproduksi narasi tidak seimbang bahwa PKI adalah dalang tunggal penculikan dan pembunuhan perwira militer. Penyeragaman sejarah itu terutama datang dari kalangan militer yang belum berubah hingga hari ini. Malahan itu ditransfer tiap tahun di dalam dunia kemiliteran seperti Akademi Militer atau bahkan, pada tingkat tertentu, Akademi Kepolisian. Sampai saat ini TNI maupun Polri masih kelihatan menempatkan ideologi itu sebagai ancaman dalam pengertian Orde Baru. 

Kesalahan memahami sejarah juga terjadi dalam faksi islam konservatif. Mereka masih mewarisi pandangan sejarah yang manipulatif baik setelah maupun sebelum kemerdekaan Indonesia. Saya kira Merle C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008) menulis dengan baik proses islamisasi di Jawa itu berbenturan secara langsung dengan kekuatan-kekuatan kiri meskipun dalam barisan kiri terdapat banyak tokoh Islam. Antara fakta sejarah dan identitas pelaku sejarah itu dikaburkan hingga akhirnya hari ini sulit untuk diterangi kembali. Ditambah dengan elite-elite lama dari kelompok keagamaan yang menolak rekonsiliasi ini sebenarnya bagian dari pelaku di masa lalu. Entah saat itu ia merencanakan penyerangan terhadap pemuda-pemuda rakyat atau mereka ikut melakukan pembunuhan-pembunuhan itu secara langsung.

Dapat diambil kesimpulan bahwa beberapa elite yang terang-benderang menolak agenda rekonsiliasi ini memang tidak memiliki jarak dengan masa lalu. Sehingga rekonsiliasi menjadi sulit terwujud selain karena larangan resmi terhadap komunisme dalam TAP MPRS dan Kepres No. 28 Tahun 1975, disebabkan juga karena dua kubu itu. Militer, khususnya TNI AD, dan Islam konservatif masih tidak berjarak dengan masa lalu. 

Sebenarnya ada faksi lain yang sedang tumbuh dalam diri keduanya. Kalau di kalangan militer kita lihat orang seperti Letnan Jenderal (Letjen) Agus Widjojo dan Letjen Agus Wirahadikusumah. Di kalangan Islam ada tokoh-tokoh seperti Gus Dur dan Kyai Imam Aziz, salah satu ketua Pengurus Besar NU. Mereka adalah orang-orang yang mendukung proses rekonsiliasi. Sayangnya tokoh-tokoh tersebut sampai kini belum menemui keberhasilan karena kekurangan dukungan dan kekuatan politis. Begitulah perjuangan HAM. Selalu terlihat sulit dan kompleks sampai kita bisa memenangkannya.

Apa kepentingan kedua kalangan tersebut dalam melanggengkan narasi antikomunis?

Saya kira keuntungan paling minimum dari pelestarian narasi kebencian ini adalah terhindar dari proses pertanggungjawaban. Misalnya, mereka yang berasal dari lingkar keluarga pelaku kejahatan tentu saja diuntungkan dengan membendung upaya rekonsiliasi. Orang semacam itu memilih untuk hidup di dalam kegelapan supaya masa lalunya tidak diketahui oleh masyarakat. Bisa jadi untuk menjaga posisinya yang sekarang secara formal dihormati. 

Keuntungan lain yang didapatkan sebenarnya bersifat materiel. Ada hubungan lukratif antara Organisasi Masyarakat (Ormas) tertentu dengan struktur teritorial mulai dari Komando Daerah Militer (Kodam), Komando Resort Militer (Korem), Komando Distrik Militer (Kodim), Komando Rayon Militer (Koramil), sampai tingkat desa. Untuk yang semacam itu masyarakat mungkin lebih mengerti kaitannya. Hubungan yang saling menguntungkan tersebut memunculkan bisnis-bisnis ilegal seperti narkotika, tambang, pembalakan liar. Jika tidak, bisa juga berbentuk bisnis-bisnis kecil seperti diskotik, parkir atau jasa keamanan. 

Jadi intinya, penolakan terhadap komunis atau sikap antikomunis itu terlebih muncul karena memang ada keuntungan baik materiel dan nonmateriel yang didapatkan oleh kedua kelompok tersebut. Keuntungan materiel berupa keuntungan komersial dari komodifikasi ketakutan massal terhadap PKI dan paham komunisme. Keuntungan immateriel berupa perasaan aman karena terlindung dari perbuatan masa lalu dan kemungkinan pertanggungjawaban apabila ada upaya pengusutan. Impunitas dari pengusutan tak hanya dinikmati oleh kelompok Islam reaksioner dan Militer saja. Beberapa orang yang mendaku dirinya budayawan juga terkadang bermain aman dan menikmati privilese-privilese mereka di bawah bendera antikomunisme. Tapi untuk kelompok yang satu ini perlu satu wawancara lagi untuk tuntas membahasnya. Hahaha.

Penulis: Hanif Janitra
Penyunting: Cintya Faliana


Jumat, 05 Juli 2019

Wawancara khusus JK: Saya dan Prabowo punya tujuan sama, pembangunan ekonomi yang adil


5 Juli 2019

DUA kali menjadi wakil presiden untuk mendampingi presiden berbeda, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan kemudian Joko Widodo, tidaklah berlebihan untuk menyebut sosok Jusuf Kalla sebagai politikus senior yang diperhitungkan.

Dan menjelang berakhirnya masa jabatannya sebagai wakil presiden, peranan Jusuf Kalla dibutuhkan ketika suhu politik nasional memanas akibat hasil Pilpres 2019 yang sempat ditolak salah satu kubu.

Kalla, kelahiran 1942, menyodorkan dirinya untuk berperan sebagai "jembatan" antara capres Joko Widodo dan Prabowo Subianto di tengah polarisasi politik yang tajam usai Pemilu 2019.
"Beliau (Prabowo) menerima prinsip penyelesaian masalah sesuai aturan, sesuai undang-undang. Setelah itu beliau memerintahkan seluruh anak buahnya untuk menghentikan aksi-aksi massa," ungkap Kalla menggambarkan isi pertemuannya dengan Prabowo, dalam wawancara khusus dengan BBC News Indonesia, awal Juli 2019 lalu.
Setelah pertemuan itu, Daeng Ucu - begitu sapaan akrabnya - meyakini bahwa pertemuan antara Joko Widodo dan Prabowo, yang diharapkan menjadi simbol rekonsiliasi nasional, tinggal menunggu waktu.
"Apalagi katakanlah bulan depan, 17 Agustus, itu momen-momen penting untuk bisa mempertemukan (Jokowi-Prabowo). Tapi bisa juga digelar sebelumnya," kata Kalla.
Dalam wawancara yang berlangsung sekitar satu jam, Kalla juga menyoroti apa yang disebutnya sebagai isu ketidakadilan atau ketimpangan ekonomi di Indonesia.

Kalla mengatakan apabila isu ini dapat diatasi maka persoalan-persoalan di seputar politik identitas yang marak belakangan dapat dikurangi.
"(Ketimpangan ekonomi) ini memang sesuatu yang perlu kita dalami dan kita perlu terbuka dalam mendalaminya untuk memperbaiki kondisi ini," kata Kalla, yang juga dikenal sebagai pengusaha ini, panjang lebar.
Kepada BBC News Indonesia, Kalla juga mengaku sempat "kecewa" terhadap ucapan Ketua umum Partai Aceh, Muzakir Manaf, yang dilaporkan melontarkan semacam ancaman menggelar referendum di Aceh, karena kecewa terhadap Jakarta.

Ucapan Muzakir Manaf itu kemudian melahirkan polemik keras, sehingga Malik Mahmud (eks pimpinan GAM dan kini Wali Nanggroe Aceh) harus terbang ke Jakarta untuk menemui Kalla.
"Bukan menelpon, tapi beliau (Malik Mahmud) langsung datang ke Jakarta, dan menjelaskan hal itu kepada saya," ungkap Kalla.
Seperti diketahui, saat menjadi Wapres mendampingi Presiden SBY, Kalla merupakan sosok sentral dalam perundingan damai Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 2005 di Helsinki.

Kalla juga menjawab pertanyaan seputar sosok Ma'ruf Amin, wapres terpilih, hingga nasib puluhan WNI yang "masih terjebak" di Suriah akibat bergabung dengan ISIS, serta rencana aktivitasnya setelah berhenti menjadi wapres pada Oktober nanti.
"(Saya) Tidak lagi (aktif di politik), dalam artian kepartaian, tapi politik dalam arti kata kenegaraan, ya pasti," ungkapnya.

Wawancara khusus JK: Saya dan Prabowo punya tujuan sama, pembangunan ekonomi yang adil

5 Juli 2019

ADEK BERRY/AFP

Dua kali menjadi wakil presiden untuk mendampingi presiden berbeda, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan kemudian Joko Widodo, tidaklah berlebihan untuk menyebut sosok Jusuf Kalla sebagai politikus senior yang diperhitungkan.

Dan menjelang berakhirnya masa jabatannya sebagai wakil presiden, peranan Jusuf Kalla dibutuhkan ketika suhu politik nasional memanas akibat hasil Pilpres 2019 yang sempat ditolak salah satu kubu.

Kalla, kelahiran 1942, menyodorkan dirinya untuk berperan sebagai "jembatan" antara capres Joko Widodo dan Prabowo Subianto di tengah polarisasi politik yang tajam usai Pemilu 2019.

"Beliau (Prabowo) menerima prinsip penyelesaian masalah sesuai aturan, sesuai undang-undang. Setelah itu beliau memerintahkan seluruh anak buahnya untuk menghentikan aksi-aksi massa," ungkap Kalla menggambarkan isi pertemuannya dengan Prabowo.

Setelah pertemuan itu, Daeng Ucu - begitu sapaan akrabnya - meyakini bahwa pertemuan antara Joko Widodo dan Prabowo, yang diharapkan menjadi simbol rekonsiliasi nasional, tinggal menunggu waktu.

"Apalagi katakanlah bulan depan, 17 Agustus, itu momen-momen penting untuk bisa mempertemukan (Jokowi-Prabowo). Tapi bisa juga digelar sebelumnya," kata Kalla dalam wawancara khusus dengan Heyder Affan, Olivia Rosalia, Oki Budhi dan Dwiki Marta dari BBC News Indonesia di kantornya, Rabu (03/07).

Dalam wawancara yang berlangsung sekitar satu jam, Kalla juga menyoroti apa yang disebutnya sebagai isu ketidakadilan atau ketimpangan ekonomi di Indonesia.



ADEK BERRY/AFP

Kalla mengatakan apabila isu ini dapat diatasi maka persoalan-persoalan di seputar politik identitas yang marak belakangan dapat dikurangi.

"(Ketimpangan ekonomi) ini memang sesuatu yang perlu kita dalami dan kita perlu terbuka dalam mendalaminya untuk memperbaiki kondisi ini," kata Kalla, yang juga dikenal sebagai pengusaha ini, panjang lebar.

Kepada BBC News Indonesia, Kalla juga mengaku sempat "kecewa" terhadap ucapan Ketua umum Partai Aceh, Muzakir Manaf, yang dilaporkan melontarkan semacam ancaman menggelar referendum di Aceh, karena kecewa terhadap Jakarta.

Ucapan Muzakir Manaf itu kemudian melahirkan polemik keras, sehingga Malik Mahmud (eks pimpinan GAM dan kini Wali Nanggroe Aceh) harus terbang ke Jakarta untuk menemui Kalla.

ADEK BERRY/AFP

"Bukan menelpon, tapi beliau (Malik Mahmud) langsung datang ke Jakarta, dan menjelaskan hal itu kepada saya," ungkap Kalla.

Seperti diketahui, saat menjadi Wapres mendampingi Presiden SBY, Kalla merupakan sosok sentral dalam perundingan damai Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 2005 di Helsinki.

Kalla juga menjawab pertanyaan seputar sosok Ma'ruf Amin, wapres terpilih, hingga nasib puluhan WNI yang "masih terjebak" di Suriah akibat bergabung dengan ISIS, serta rencana aktivitasnya setelah berhenti menjadi wapres pada Oktober nanti.

"(Saya) Tidak lagi (aktif di politik), dalam artian kepartaian, tapi politik dalam arti kata kenegaraan, ya pasti," ungkapnya.

Berikut petikan wawancaranya:

Hasil Pemilu 2019 sudah ditetapkan setelah melalui berbagai drama dan kontroversi. Apa penilaian Anda atas proses pemilu kali ini?

Pemilu 2019 sudah berjalan sesuai undang-undang. Artinya, pemungutan suara, penghitungannya sesuai tahapan, dan jika ada yang tidak puas dapat mengajukan gugatan ke MK, dan itu sudah dilakukan, serta semua berjalan dengan baik.

Memang di antaranya ada kejadian 21 dan 22 Mei, ada demo yang kemudian cenderung berkonflik. Itu saja masalahnya. Di luar itu, semua sudah berjalan sesuai aturan.

Walaupun demo itu mengakibatkan jatuhnya korban meninggal dunia?

Itu saya katakan tadi, adanya demo yang keras. Tapi itu ada pihak yang melakukannya, atau malah sering disebut itu demo yang dibayar. Karena demo yang formal itu sangat sopan dan itu sesuai aturan juga.

Mahkamah Konstitusi telah menolak keberatan kubu Prabowo-Sandiaga, dan masyarakat menunggu ucapan selamat dari pihak yang kalah kepada pemenang. Dan ternyata sampai sekarang ucapan itu belum ada?

Itu soal etika saja, dan bukan pelanggaran. Mungkin pada waktunya akan dilakukan. Ini persoalan waktu saja.

Wapres Jusuf Kalla (kanan) , capres Joko Widodo dan cawapres Ma'ruf Amin di hadapan massa pendukungnya di Gelora Bung Karno, saat kampanye Pemilu 2019, 17 April 2019. EDI ISMAIL/NURPHOTO VIA GETTY IMAGES

Kalau Prabowo sejak awal legowo, mau menerima kekalahan dalam Pemilu Presiden 2019, tentu akan membuat persoalan politik yang berlarut-larut akan selesai?

Kita lihat dan dengar serta menyaksikan pernyataan Pak Prabowo itu jelas mengakui kekalahannya secara resmi. Apa yang diputuskan MK itu diterima dengan baik. Cuma satu saja, tinggal waktu pengucapkan selamat.

Kalau hal itu dilakukan lebih awal kan lebih baik?

Ya, tentu lebih baik, tapi ini kan juga masalah psikologis. Menunggu waktu yang tepat. Saya percaya Pak Prabowo sebagai negarawan juga menerima sistem demokrasi. Tinggal soal waktu saja.

Pemilu sudah berakhir, tapi yang menjadi pekerjaan rumah adalah masyarakat sudah terlanjur mengalami apa yang disebut polarisasi yang sangat tajam. Anda, yang berpengalaman dua kali menjadi wapres, apa jalan keluar untuk mengatasi masalah ini?

Setiap pemilu selalu terpolarisasi. Walaupun memang kali ini di masyarakat, masuk faktor ideologi, khususnya faktor agama, tapi jumlahnya menurut saya, tidak terlalu besar seperti yang dipikirkan.

"Saya sampaikan ke Pak Jokowi, minta izin, kalau dibutuhkan, saya akan bertemu Pak Prabowo, untuk mengetahui pandangan-pandangannya," kata Kalla. Foto atas: Spanduk Jokowi-Kalla saat Pilpres 2014 sedang dipasang oleh pendukungnya, 9 Juli 2014. BAY ISMOYO/AFP

Buktinya, setiap demo makin menurun. Jadi tidak seperti demo 212. Ada polarisasi, tapi tidak semakin tajam. Bukti lainnya, saat putusan MK, tidak banyak orang berdemo. Dan masyarakat juga menyadari ini suatu proses demokrasi yang harus didukung.

Bahwa masih ada beberapa kelompok yang menolak putusan MK, tapi tidak secara nasional ada polarisasi sampai berlarut-larut. Saya kira semua orang sudah menerima kenyataan yang ada.

Walaupun residunya masih dirasakan masyarakat, bahkan di tingkat keluarga pun terjadi perpecahan gara-gara pemilu. Jadi, apa jalan keluarnya?

Ha-ha-ha, itu kasuistis. Akan selesai dengan sendirinya. Tidak perlu berbuat banyak. Yang penting pemahaman kita tentang demokrasi kepada tujuan kebangsaan, terus kita dengungkan.

Yang penting apa yang dilakukan oleh presiden terpilih yang tidak membeda-bedakan.

Pada waktunya, Pak Jokowi dan Pak Ma'ruf nanti pada waktunya memimpin bangsa ini secara keseluruhan, tidak membeda-bedakan, walaupun di suatu tempat kalah, tetapi akan tetap memperlakukan sebagai satu bangsa yang besar.

"Saya ini Ketua Dewan Pengarah tim kampanye Pak Jokowi-Ma'ruf. Itu saja jawabannya. Mana mungkin saya mendukung pihak lain (Prabowo), sementara di satu pihak saya ketua tim pengarah (Jokowi-Ma'ruf)," kata Kalla. Foto atas: Cawapres Prabowo, capres Joko Widodo dan serta cawapres Jusuf Kalla dalam sesi debat di Pilpres 2014, 5 Juli 2014. ROMEO GACAD/AFP

Dalam hal pembangunan, pemerintah tidak akan berbuat 'oh, kita akan membangun wilayah ini, karena di pemilu lalu, kita menang di wilayah itu'. Tidak seperti itu. Kalau itu yang dilakukan, kita tidak akan bisa rukun.

Berulangkali Presiden terpilih Joko Widodo mengutarakan niatnya menggelar rekonsiliasi. Dan Anda disebut sebagai figur yang dapat menjembatani kubu Prabowo dan kubu Joko Widodo. Apa yang sudah Anda lakukan?

Sebelumnya, tentu saya bertemu Pak Prabowo dan menyampaikan bahwa kita memiliki tujuan yang sama, yaitu kemajuan bangsa yang adil. Dan beberapa usulan dari Pak Prabowo memang sudah dilaksanakan juga dengan baik oleh pemerintah. Karena itu memang seharusnya dibuat seperti itu.

Sehingga dari sisi Pak Prabowo sendiri itu kan menyatakan terserah MK, dan mereka menerima apapun putusannya. Jadi selesai dari sisi itu.

Dalam jumpa pers 1 Mei 2009 di Jakarta, pendiri Partai Gerindra, Prabowo Subianto (kanan) dan mantan Wapres sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, Jusuf Kalla (kiri) menyatakan berkoalisi di parlemen setelah Pileg 2009. ADEK BERRY/AFP

Memang pada waktunya, kita mendorong pertemuan langsung antara Pak Prabowo dan Pak Jokowi. Menurut saya itu soal waktu saja. Kita tunggu tenang dulu suasananya. Insya Allah itu terjadi.

Anda yakin sekali pertemuan itu akan terjadi?

Saya yakin itu, pasti. Soal waktu saja.

Momentumnya apa?

Momentumnya banyak, bisa diatur. Apalagi katakanlah bulan depan, 17 Agustus, itu momen-momen penting untuk bisa mempertemukan. Tapi bisa juga digelar sebelumnya.

Seperti apa kronologi pertemuan Anda dengan Prabowo (pada 4 Juni 2019)?

Pertama, saya sampaikan ke Pak Jokowi, minta izin, kalau dibutuhkan, saya akan bertemu Pak Prabowo, untuk mengetahui pandangan-pandangannya.
Karena itu saya bikin kontak dengan Pak Prabowo dan selang beberapa hari, saya bertemu, berbicara tentang negara dan bangsa yang tujuan beliau yaitu pembangunan ekonomi yang adil.

Kita sama tujuannya dalam hal itu, karena itu saya jabat tangan. Kemudian ada beberapa masalah yang akan kita selesaikan bersama.

"Banyak orang mengatakan, kalau disebut Jusuf Kalla, mereka teringat perdamaian bangsa ini, mendamaikan konflik-konflik nasional. Itu selalu menjadi ingatan orang, kalau mengingat saya," kata Jusuf Kalla. OSCAR SIAGIAN/GETTY

Dalam pertemuan itu, apa yang masih menjadi ganjalan Prabowo?

Saya kira tidak ada. Beliau menerima prinsip penyelesaian masalah sesuai aturan, sesuai undang-undang. Setelah itu beliau memerintahkan seluruh anak buahnya untuk menghentikan aksi-aksi massa.

Dan di depan saya dia instruksikan (agar tidak melakukan aksi massa). Saya hormat dan mengapresiasi langkah-langkah beliau.

Sebetulnya hubungan Anda dengan Prabowo itu seperti apa selama ini?

Ha-ha-ha, hubungan baik, saling menghargai satu sama lain.

Di mesin pencari Google, kalimat 'Jusuf Kalla mendukung Prabowo' saat pemilu lalu pernah banyak dicari orang. Banyak orang penasaran dengan sikap politik Anda dalam pilpres kemarin, apakah mendukung Prabowo atau Jokowi. Apa yang bisa pak Kalla katakan?

Secara jelas, saya ini Ketua Dewan Pengarah tim kampanye Pak Jokowi-Ma'ruf. Itu saja jawabannya. Mana mungkin saya mendukung pihak lain (Prabowo), sementara di satu pihak saya ketua tim pengarah (Jokowi-Ma'ruf).

Pemilu 2024 akan menjadi tahun politik yang menarik mengingat para calon presiden dan wapres pastinya merupakan tokoh-tokoh baru. Siapa yang bapak jagokan?

Presiden Joko Widodo (tengah) dan Wapres Jusuf Kalla (kiri) dan Anies Baswedan (kanan) jelang salat Jumat di komplek Istana Merdeka, Jakarta, 24 Oktober 2014. ROMEO GACAD/AFP

Kita belum tahu sekarang. Kita sabar saja dulu. Karena penilaian kita dan penilaian masyarakat sangat tergantung apa yang dilakukan calon-calon itu, apa yang diperbuatnya dan apa prestasinya dalam lima tahun ke depan. Itu akan menjadi kriteria penting untuk terpilih atau tidak terpilih.

Termasuk sosok-sosok yang sekarang menjadi gubernur atau walikota?

Oh, ya, posisi itu bisa menjadi bagian dari cara (untuk dicalonkan).

Anda sudah dua kali menjadi wapres dengan presiden yang berbeda, SBY dan Jokowi. Pengalaman seperti apa dari Anda yang bisa dibagi kepada penerus Anda, yaitu wapres terpilih Ma'ruf Amin, mengingat latar belakang Anda dan Ma'ruf Amin berbeda?

Pertama, masing-masing pemimpin memiliki cara berbeda. Pak SBY berbeda dengan kepemimpinan Pak Jokowi. Pak Jokowi selalu memilih kebersamaan. Hampir semua keputusan penting itu diputuskan dalam suatu rapat, baik rapat terbatas atau rapat paripurna kabinet. Karena itulah, maka kebersamaan selalu diutamakan dalam mengambil keputusan.

Maka, wakil presiden harus siap untuk memberikan sumbangan pikiran dan juga apabila diberi mandat untuk melaksanakan sesuatu, harus siap untuk itu. Juga mengambil inisiatif yang penting untuk mendukung program pemerintah.

Apa saran Anda kepada wapres terpilih Ma'ruf Amin?

Tentu saran saya pertama, harus berpartisipasi dan memberikan ide-ide. Kemudian juga siap melaksanakan ide-ide yang disepakati bersama.oleh presiden. Dan harus menjadi pembantu yang baik. Pembantu yang baik harus berpartisipasi. Kalau diam saja bukan pembantu yang baik.

Wakil Presiden Jusuf Kalla (kiri) berjabat tangan dengan Wakil Presiden terpilih KH Ma'ruf Amin (kanan) sebelum melakukan pertemuan di Kantor Wapres, Jakarta, Kamis (04/07). AKBAR NUGROHO GUMAY/ANTARA FOTO

Latar belakang Ma'ruf Amin adalah ulama dan juga tokoh ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama. Apakah latar belakang seperti ini akan membantu untuk menetralisir isu agama yang selama ini dikaitkan dengan Joko Widodo?

Mestinya bisa. Jangan lupa, contohnya saja, gerakan-gerakan besar seperti 212, itu didasari dengan nama pendukung fatwa Majelis Ulama Indonesia (MU). Nah, Pak Ma'ruf Amin kan pimpinan MUI. Jadi mestinya bisa bersinergi antara kelompok masyarakat yang besar itu dengan Pak Ma'ruf Amin.

Dan tentu beliau sebagai bagian pimpinan NU tentu dia punya massa yang cukup besar. Buktinya, pak Jokowi-Ma'ruf menang besar di Jateng dan Jatim. Itu juga tidak terlepas pengaruh NU dan PDI-P.

Ada yang mengartikan rekonsiliasi itu sama dengan bagi-bagi kursi kabinet kepada Partai Gerindra atau PKS. Apakah Anda melihatnya sebagai hal yang tidak terhindarkan dalam realitas politik Indonesia?

Tergantung kondisinya, bisa ya dan bisa tidak. Rekonsiliasi itu artinya bisa saling 'mari kita berjuang bersama untuk bangsa ini' dengan pengertian, berada dalam pemerintahan, dan di lain pihak bukan di pemerintahan. Bukan oposisi, tapi memberikan koreksi.

Bisa juga terjadi rekonsiliasi seperti tahun 2014. Pihak di sebelah yaitu Golkar, PPP dan PAN, menjadi bagian pemerintahan. Tetapi itu punya sebab. Sebabnya karena waktu itu pendukung Jokowi-JK itu hanya 40% di DPR, sehingga perlu mayoritas demi kelancaran jalannya pemerintahan, sehingga tiga partai masuk dan koalisi menjadi 60%.

Wapres Jusuf Kalla dan Presiden Joko Widodo dalam arak-arakan usai Pilpres 2014, 20 Oktober 2014. AFP/ROMEO GACAD

Tetapi sekarang kan sudah 61%. Secara perhitungan, sebenarnya kalau pun tidak masuk (koalisi Jokowi), tidak apa-apa. Tapi kalau masuk juga ada manfaatnya. Tapi ini terserah kebijakan Pak Jokowi.

Kalau boleh saya menyimpulkan, Anda cenderung untuk membiarkan kelompok oposisi memainkan perannya seperti sediakala, karena kubu Jokowi mayoritas menguasai kursi di parlemen?

Tentu, saya katakan, tidak menghalangi jalannya pemerintah, apabila koalisi ini berjalan. Tapi juga, apabila ingin ditambah jumlah koalisinya, tentu lebih kuat lagi di DPR, itu semua kebijakan Pak Jokowi yang akan mengambilnya atau tidak.

Politik identitas dan populisme diyakini saat ini berkembang di Indonesia. Anda sebagai figur yang dianggap mewakili kelompok Islam moderat, apa yang bisa Anda katakan terkait masalah ini?

Politik identitas itu bagi kita ada hubungannya dengan ideologi, khususnya masalah agama.

Kalau populisme dalam artian apa yang terjadi di Amerika, Eropa, lebih bersifat hubungannya dengan politik juga ekonomi. Yaitu mendahulukan kepentingan seperti dikatakan Trump 'american first'. Jadi terjadi proteksionisme. Untuk mendapat dukungan dalam negeri, menjadi populis, mendapat dukungan politis untuk terpilih. Itu bagian dari sistem kampanye.

Di Eropa, timbul Brexit di Inggris, supaya dia ingin proteksionis. Dunia sekarang ini menjadi terbalik. Kalau dulu negara sosialis cenderung proteksionis, sekarang terbalik. Sosialis kayak China cenderung liberal. Kapitalis yang cenderung liberal menjadi proteksionis, seperti di Amerika. Jadi terjadi perubahan.

Untuk konteks Indonesia, ketika hadir kelompok-kelompok yang mengatasnamakan identitas agama, seperti Islam, apa yang bisa Anda lakukan untuk menetralisir? Artinya, walaupun tetap memberi panggung kepada mereka, tapi tidak menganggu penerapan nilai-nilai Pancasila?

Memang butuh waktu untuk memberikan pengertian. Semua ini adalah sisa-sisa kampanye Pemilu 2014, yang mengatakan Pak Jokowi itu ada unsur PKI, ataupun mendukung penista agama. Sisa-sisa seperti itu yang memunculkan terjadi pertentangan dalam politik.

Wapres Jusuf Kalla, Menteri Agama Lukman Hakim Saefudin dan Presiden Joko Widodo dalam acara Nuzulul Quran di Istana Merdeka, Jakarta, 5 Juni 2018. ANTON RAHARJO/NURPHOTO VIA GETTY IMAGES

Tapi dengan adanya kesadaran sekarang, saya kira itu menurun. Kalau pun masih ada, dibutuhkan pendekatan, dibutuhkan kemajuan ekonomi, dibutuhkan kerja nyata di dalam keadilan ekonomi, dan bukan hanya jargon. Juga persatuan bangsa, saya kira akan kembali bersatu.

Saya soroti istilah Pak Kalla yaitu keadilan ekonomi. Anda pernah mengutarakan hal ini yaitu dua atau tiga tahun lalu dan menjadi polemik. Seberapa serius masalah keadilan ekonomi itu untuk mengatasi masalah politik, termasuk persoalan politik identitas?

Begini, ini memang sesuatu yang perlu kita dalami dan kita perlu terbuka dalam mendalaminya untuk memperbaiki kondisi ini. Kita harus mendorong kemajuan, yang sebetulnya sudah kita lakukan dengan antara lain UKM, pengusaha - katakankah - pengusaha pribumi, kalau mau kita sebut seperti itu. Realistislah kita mengatakan itu.

Karena kalau kita mau menyembunyikan masalah, justru tidak menyelesaikan masalah. Malah bisa menimbulkan masalah.

Jusuf Kalla (atas) pernah menjadi calon presiden bersama cawapresnya, Wiranto, dalam Pemilu Presiden 2009. Namun pasangan ini kalah oleh pasangan SBY-Budiono. (Foto atas: Jusuf Kalla dalam acara kampanye di Jakarta, 14 Juni 2009, saat Pilpres 2009). BAY ISMOYO/AFP

Di masa pemerintahan Pak Jokowi dan Anda, ada hubungan yang tidak harmonis antara pemerintah dan kelompok-kelompok Islam tertentu. Nah, Anda yang relatif bisa diterima oleh kelompok-kelompok Islam itu, apa yang sudah Anda sarankan kepada Pak Jokowi terhadap masalah ini? Dan seperti apa sarannya?

Kelompok-kelompok mereka muncul dalam politik setelah pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Muncul pendukung Ahok yang dianggap melakukan penista agama dan kelompok yang tidak mendukung Ahok.

"Politik identitas itu bagi kita ada hubungannya dengan ideologi, khususnya masalah agama," kata Jusuf Kalla. BAY ISMOYO/AFP

Tapi setelah ada kenyataan yang baru, dan permasalahan ini diselesaikan lewat hukum, masalah ini mulai mereda. Puncaknya adalah kehadiran kelompok 411, 212, tapi setelah posisi Gubernur DKI dimenangkan oleh Anies Baswedan, konflik-konflik itu reda, walaupun terjadi dalam pemilu lalu, tapi berjalan dalam koridor demokrasi.

Tidak dalam hal massa besar-besaran, tapi itu masih sisa-sisa. Tapi saya harap sisa-sisa itu akan tergerus apabila kita semua melaksanakan program-program yang lebih memberikan ruang kesempatan kepada para pengusaha-pengusaha kecil, pengusaha pribumi, atau masyarakat umum.

Polisi baru saja menangkap terduga teroris berlatar organisasi Jemaah Islamiyah (JI). Organisasi ini sebelumnya dianggap sudah bubar, namun ternyata sel-selnya masih eksis. Apa yang terjadi ini dan apa solusinya?

Namanya teroris, mereka bekerja berdasarkan sel-sel, supaya keberadaannya tidak terdeteksi. Dan teroris ini ada di banyak negara. Di Australia ada, di New Zealand ada. Apalagi di daerah Asia, terutama di Timur Tengah. Karena itu dulu pengaruh Al-Qaeda sampai ke sini, ISIS juga sampai ke sini.

Jadi dua organisasi besar ini juga punya pengaruh, baik langsung atau melalui media sosial. Juga melalui teknologi. Mereka belajar melalui jalur itu.

Tapi kita mengapresiasi kepolisian kita, khususnya Densus 88, yang merupakan salah-satu institusi kepolisian di dunia yang sangat efektif untuk memberantas sel-sel teroris.

"Kalau faktor ideologi, berbahaya kalau dipulangkan. Tapi kalau yang kena karena alasan ekonomi, misalnya keluarganya, ya perlu dipertimbangkan (untuk dipulangkan)," kata Jusuf Kalla soal permintaan sejumlah WNI yang minta dipulangkan dari Suriah. Foto atas: Wapres Jusuf Kalla (kanan) mendampingi Presiden Jokowi di lokasi bom di Terminal Kampung Melayu, 25 Mei 2017. TUBAGUS ADITYA IRAWAN/GETTY

Tentu saja tidak hanya dibutuhkan semata penegakan hukum?

Ya, kita memiliki Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang antara lain bertugas mendeteksi juga melakukan sistem deradikalisasi. Tapi peran deradikalisasi ini juga dijalankan masyarakat, pemimpin agama.

Anda setuju terpidana terorisme, Abu Bakar Ba'asyir dibebaskan dari hukuman penjara?

Ada dua hal di sini. Faktor hukum karena dia sudah dijatuhi vonis oleh pengadilan. Faktor kedua adalah kemanusiaan, karena umur dll. Jadi dua hal ini perlu dipertimbangkan.

Kalau dia memang sakit-sakitan, dan alasan kemanusiaan, tapi dengan jaminan bahwa Abu Bakar Basyir tidak aktif dalam penyebaran faham radikal dan membina teroris, tentu kita dapat memahami apabila faktor kemanusiaan bisa menjadi pertimbangan.

Walaupun Ba'asyir tidak mau menerima Pancasila dan UUD 1945?

Karena itulah dihukum. Tapi bahwa dia berkelakuan baik dan ada alasan kemanusiaan, itu juga adalah sistem hukum kita.

Wapres Jusuf Kalla memberikan ceramah agama jelang salat tarawih di masjid Sunda Kelapa, Jakarta, 1 June 2017. DONAL HUSNI/NURPHOTO VIA GETTY IMAGES

Ada sejumlah WNI bergabung ke ISIS di Suriah itu adalah kenyataan yang tidak bisa dibantah. Sebagian mereka, juga istri dan anak-anaknya, meminta agar dapat dipulangkan kembali ke Indonesia. Namun masyarakat Indonesia saat ini terbelah, ada yang tidak keberatan mereka dipulangkan, namun lainnya menolak. Bagaimana sikap Anda?

Kalau kita lihat alasan mereka ke Suriah, ada dua hal. Ada alasan ideologi, yaitu mereka garis keras. Ada pula terbuai alasan ekonomi, yaitu hidup lebih baik, gaji lebih tinggi. Ini terjadi ketika ISIS masih kaya, masih menguasai ladang minyak dll. Tapi setelah mengalami kekalahan, kekayaan mereka hilang, dan tidak bisa menggaji secara ekonomi.

Jadi, kalau faktor ideologi, berbahaya kalau dipulangkan. Tapi kalau yang kena karena alasan ekonomi, misalnya keluarganya, ya perlu dipertimbangkan (untuk dipulangkan). Tentu saja saat mereka pulang tetap diawasi. Bisa juga dikarantina dulu, seperti mereka yang dulu pulang dari Afghanistan. Dilakukan deradikalisasi lebih dulu.

Meskipun tidak ada jaminan mereka tidak kembali melakukan kegiatan terorisme. Artinya, jika mereka dipulangkan, seperti yang disuarakan masyarakat yang menolak mereka, itu berisiko dan riskan?

Ya, riskan. Karena itu ada alasan. Yang ekonomi, misalnya sekeluarga, bisa dipulangkan. Kalau yang pergi sendiri dengan niat bertempur, itu lain persoalan.

Anda adalah tokoh yang berperan penting dan terlibat langsung selama proses perdamaian antara RI dan GAM di Aceh. Dan saat pemilu lalu, masyarakat dikejutkan pernyataan pimpinan Partai Aceh, Muzakir Manaf, yang mengancam menggelar referendum terkait hasil pilpres. Anda kecewa dengan pernyataan Muzakir?

Tentu (kecewa), tapi saya dijelaskan oleh Pak Malik Mahmud (Wali Nanggroe Aceh) bahwa itu spontan, mungkin karena suasana. Tidak dimaksudkan begitu. Dan juga kemudian Muzakir Manaf juga menjelaskan dan mengklarifikasi ucapannya tidak dimaksud untuk betul-betul referendum.

Tapi mungkin pada saat itu dia lagi ada sesuatu emosional atau apapun, sehingga terjadi istilah itu. Tapi kemudian diralat.

Wapres Jusuf Kalla di Jakarta menyambut eks pemimpin GAM, Malik Mahmud (kiri) dan Zaini Abdullah (tengah) yang baru kembali dari pengasingan mereka di Swedia, 27 April 2006, menyusul kesepakatan damai Indonesia-GAM di Helsinki. ADEK BERRY/AFP

Anda sendiri yang menelpon Malik Mahmud?

Bukan menelpon, tapi beliau langsung datang ke Jakarta, dan menjelaskan hal itu kepada saya.

Dalam pernyataannya yang kontroversial itu, Muzakir Manaf mengaitkan isu referendum dengan apa yang disebutnya sebagai bentuk kekecewaan terhadap Jakarta yang dianggapnya tidak serius menjalankan beberapa pasal dalam MOU Helsinki?

Saya juga klarifikasi hal itu kepada Pak Malik Mahmud. Yang mana (yang belum dilaksanakan)? Dan tidak bisa dijelaskan yang mana. Pasal berapa yang tidak kita laksanakan? Semua sudah dilaksanakan. Justru saya minta penjelasan, yang mana yang dimaksud tidak dilaksanakan dalam poin-poinnya? Malah lebih luas lagi pelaksanaannya.

Fasilitator perundingan RI-GAM, yang juga mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari (kanan), berdiri bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla (tengah) dan mantan pemimpin GAM, Malik Mahmud pada 21 Januari 2006, sekitar enam bulan setelah kesepakatan damai di Helsinki. TOR WENNSTROM/AFP

Bagaimana soal pembagian keuntungan antara Jakarta dan Aceh soal penjualan minyak bumi?

Itu sudah dilaksanakan. Memang ada perhitungannya, harus dikeluarkan ongkos dulu, karena ini cost recovery. Jadi tidak semua, tapi mesti potong ongkos, karena sistem minyak itu cost recovery, pemerintah harus bayar dulu. Jadi yang dibagi itu nett-nya.

Mungkin ada salah pengertian?

Mungkin salah pengertian saja. Saya jelaskan (kepada Malik Mahmud) bahwa dibagi 75% dan 25% sesuai UU Pemerintah Aceh. Cuma perhitungan seperti itu, harus nett.

Bagaimana dengan salah-satu pasal yang disepakati dalam MOU Helsinki agar persoalan dugaan pelanggaran HAM di Aceh di masa konflik harus diselesaikan? Dan ini belum terlaksana karena UU KKR dibatalkan oleh MK?

Karena kita ada perjanjian, itu justru lebih kuat daripada komisi itu (KKR). Dan MOU sudah masuk dalam UU Pemerintahan Aceh, dan juga dengan memberikan amnesti kepada GAM, itu sebenarnya sudah terjadi rekonsiliasi. Semuanya kita maafkan. Itu sudah rekonsiliasi yang hebat.

Mantan Wapres Jusuf Kalla (kanan) dan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf naik becak motor di dekat masjid Baiturrahman, Banda Aceh, di sebuah acara pada 13 Juni 2009. AFP

Walaupun faktanya ada sejumlah kasus dugaan pelanggaran HAM saat Aceh dibawah Darurat Operasi Militer (DOM) yang belum diselesaikan?

Kalau soal dugaan pelanggaran HAM, dua-duanya (TNI atau GAM) mempunyai pelanggaran. Bukan hanya pihak tentara (Indonesia) yang melanggar. Pihak GAM juga bakar sekolah. Jadi sama-sama. Jadi, kita maafkan saja, lupakan saja.

Peran sentral Anda dalam proses perdamaian di Aceh, Maluku, dan Poso, membuat dunia internasional memberi kepercayaan kepada Anda untuk mengambil peran lebih besar dalam menyelesaikan konflik-konflik di berbagai belahan dunia?

Saya dulu berusaha menyelesaikan masalah di Thailand selatan, kemudian sekarang kita berusaha untuk menyelesaikan masalah di Afghanistan. Saya dan teman-teman ke Kabul.

Wapres Jusuf Kalla dan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani di sela-sela konferensi di ibu kota Afghanistan, Kabul, membahas penyelesaian damai persoalan Taliban, 28 Februari 2018. SHAH MARAI/AFP

Jangan lupa, konstitusi mengamanatkan bahwa Indonesia terlibat dalam perdamaian dunia. Jadi bukan tugas saya sebagai pribadi, tetapi juga tugas negara.

Mereka yang mengundang, karena kita memiliki pengalaman. Presiden Afghanistan mengundang dulu, Perdana Menteri Thailand dulu mengundang saya. Di Kolombia, dia (presidennya) meminta saya memberikan pandangan dan nasihat.

Saya berulang kali memberikan pandangan dan nasihat berulangkali kepada presidennya, dan ketika perdamaian terjadi, presidennya mengatakan kepada Menlu (Indonesia) 'ini karena wapresmu, maka kami bisa damai'. Jadi bukan saya yang meminta, tapi mereka yang mengundang, karena kita punya pengalaman.

Jusuf Kalla (kanan) terlibat pembicaraan dengan Rafael Seguis (kiri), anggota juru runding pemerintah Filipina dalam upaya perdamaian dengan kelompok Moro Islamic Liberation Front (MILF) di sela-sela "International Negotiators Conference" di Manila, 28 Mei 2010. TED ALJIBE/AFP

Formula atau jalan keluar seperti apa yang pak Kalla berikan kepada mereka terkait konflik yang mendera negerinya?
Formula itu berbeda-beda tergantung keadaan. Tidak bisa satu formula untuk semua. Tergantung keadaan, kondisi dan sebabnya.

Tapi secara umum apa yang Anda utarakan ketika dimintai nasihat terkait penyelesaian konflik yang mereka alami?

Secara umum dalam penyelesaian konflik itu tidak ada satu pihak untuk kehilangan muka. Kedua, harus win-win solution. Dan harus mendahulukan dialog. Tapi hasilnya harus memenangkan kedua pihak.

Kurang-lebih empat atau tiga bulan ke depan, masa jabatan Pak Kalla sebagai Wakil Presiden akan berakhir. Apa yang Anda lakukan setelahnya?

Saya akan mengurus pendidikan, sosial dalam hal ini PMI, keagamaan yaitu mengurusi Dewan Masjid, dan juga hal-hal lain, keumatan. Dan tentunya juga menjadi pembicara di banyak tempat, kalau diundang. Itu penting untuk memberikan pesna-pesan kepada generasi berikutnya.

"Saya akan mengurus pendidikan, sosial dalam hal ini PMI (Palang Merah Indonesia), keagamaan yaitu mengurusi Dewan Masjid, dan juga hal-hal lain, keumatan," kata Jusuf Kalla. Foto atas: Wapres Kalla menghadiri acara donor darah, 29 Maret 2015, di Jakarta. DONAL HUSNI/NURPHOTO/GETTY

Apakah Anda tetap terjun ke dunia politik?

Tidak lagi, dalam artian kepartaian, tapi politik dalam arti kata kenegaraan, ya pasti.

Dari banyak sumbangsih pak Kalla untuk negeri ini, legacy apa yang paling berharga untuk Indonesia?

Banyak orang mengatakan, kalau disebut Jusuf Kalla, mereka teringat perdamaian bangsa ini, mendamaikan konflik-konflik nasional. Itu selalu menjadi ingatan orang, kalau mengingat saya. Itu yang dimaksud legacy, yang melekat dalam ingatan orang.