Oleh: Muhammad Al-Fayyadl - 13/08/2019
Muhammad
Al-Fayyadl dalam acara diskusi FIkih dan Marxisme | Sumber gambar: Dokumen
pribadi
Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Itulah gambaran kehidupan saat ini di bawah sistem kapitalis yang menjangkiti
sistem perekonomian global, tak terkecuali Indonesia.
Banyaknya kasus penggusuran rakyat, konflik sumber daya
alam, ditambah lagi fenomena eksploitasi buruh atas nama “pasar kerja
fleksibel”, menunjukkan bahwa sistem kapitalis telah mencengkeram kebebasan
kelas bawah untuk dapat hidup secara manusiawi dan terhormat.
Untuk itu, kru Tanwirul Afkar (TA), Buletin
Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo,
mewawancarai Gus Muhammad Al-Fayyadl (MAF), pegiat Front Nahdliyin untuk
Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), alumnus jurusan filsafat kontemporer dari
Université Paris 8, Prancis, yang juga pengajar di Pondok Pesantren Nurul Jadid
Paiton Probolinggo; selepas mengisi kuliah umum berjudul “Fikih dan Marxisme,
Menuju Fikih Pembebasan?” di hadapan mahasantri Ma’had Aly Salafiah Syafi’iyah,
11 Januari 2018.
Dengan kapasitasnya dalam ilmu agama maupun wacana sosial-kontemporer,
ia mencoba merumuskan suatu konsep fikih yang pro-kaum tertindas. Teks berikut
diadaptasikan dari wawancara tertulis yang termuat di Buletin Tanwirul
Afkar edisi 538 (Maret 2018) dengan sejumlah revisi dan penyempurnaan
untuk para pembaca Islam Bergerak.
TA: Gus, menurut
Anda, apakah fikih kita condong kepada kapitalis atau sosialis?
MAF: Sebenarnya tidak otomatis condong kepada salah
satunya. Hanya saja, fikih kita kerap terombang-ambing. Pada satu kondisi,
produk-produk fikih hasil ijtihad ulama kita di Indonesia terkadang mendukung
atau melegitimasi kapitalisme. Dari segala bentuknya, sektor produksi atau
lainnya. Kadang di sisi lain, produk fikih mampu menahan laju kapitalisme
(melindungi kepentingan rakyat, red.)
Cuma ya itu, apabila kita tidak memiliki kesadaran
tentang apa dan siapa yang sebenarnya kita hadapi, maka fikih akan terus terombang-ambing
dalam pilihan untuk menentukan keberpihakannya. Padahal saya kira, keberpihakan
itu mestinya jelas, yaitu terhadap kaum Mustadl’afin, yakni kalangan yang
tertindas atau terpinggirkan, rakyat, atau umat secara luas. Hanya saja, pada
tataran metodologis, keberpihakan itu belum semuanya tercermin. Jadi, masih
banyak PR untuk menjahit apa yang kurang dari bangunan fikih yang ada.
Dan kita masih dalam euforia dengan “ekonomi
Syariah” yang kita anggap simbol kemaslahatan. Ternyata, di sektor-sektor lain,
hal itu belum bekerja. Ekonomi Syariah yang berkembang sekarang—catatan dan
kritik saya—baru bergerak di sektor distribusi dan konsumsi, misalnya
sertifikasi produk halal, distribusi uang dan penjaman modal yang diklaim
non-riba. Tapi di sektor produksi, misalnya, kita lihat berapa kepemilikan
tanah oleh swasta, oleh perusahaan, oleh konglomerat. Kita lihat juga milik
siapa pabrik-pabrik besar manufaktur dan industri jasa di Indonesia. Itu tidak
pernah disentuh oleh fikih.
Poster diskusih
Fikih dan Marxisme: Menuju FIkih Pembebasan
Menurut Anda, apa
konsep Fikih Mu’amalah yang perlu direkonstruksi?
Hemat saya, kita perlu lebih dulu bertanya, mengapa fikih
bisa mandul atau dibuat mandul oleh kapitalisme? Sementara saya punya dua
dugaan. Pertama, absennya kesadaran ekonomi-politik (Ekopol) dalam fikih. Dan
kedua, karena absennya “materialisme” dalam epistemologi fikih.
Maksudnya, untuk poin pertama, fikih kurang menyadari
bahwa penggerak kehidupan sosial adalah ekonomi-politik (Ekopol), yaitu
hubungan-hubungan produksi di antara kelas-kelas sosial yang ada dan terus
bertarung memperebutkan dominasinya terhadap pihak lain, baik melalui
penguasaan ekonomi maupun kekuasaan politik. Fikih cenderung menganggap bahwa
kehidupan umat Islam, kehidupan rakyat, sudah berjalan “baik”, tertata,
harmonis. Ini karena bias kesadaran sosial yang cenderung melihat hierarki dan
perbedaan status sosial sebagai “suratan takdir”. Atau setidaknya realitas
kehidupan yang “mengalir” begitu saja. Padahal kan tidak.
Kehidupan sosial itu sarat dengan relasi yang timpang,
dan di situ ada potensi ketidakadilan. Dulu, Mbah Kiai Sahal Mahfudz melakukan
kritik atas hal itu melalui “Fikih Sosial”-nya. Nah, saya usul, setelah “Fikih
Sosial”, kita perlu lanjutkan dengan “Fikih Ekopol”, Fikih
Ekonomi-Politik, al-fiqh al-iqtishadi as-siyasi.
Di sini terletak masalah “materialisme”. “Materialisme”
yang saya maksud bukan cinta keduniawian atau kebendaan. Tapi suatu cara
pandang yang menempatkan hal-hal materiil dan konkret sebagai titik berangkat
untuk memahami perkembangan kehidupan sosial kita. Jadi, saya menawarkan cara
pandang terbalik. Daripada berangkat dari kaidah-kaidah atau dalil terlebih
dulu, Fikih harus berangkat lebih dulu dari kenyataan materiil apa yang
dihadapi. Dari situ lalu dicari kaidah dan dalilnya, baru diputus hukumnya,
lalu dikembalikan lagi ke fakta materiilnya, bisa mengubah realitas materiil
itu atau tidak.
Kalau dipetakan, kita kan mengenal ada dua kategori besar
hukum Islam dalam bangunan fikih, yaitu al-ahkam at-taklifiyyah,
hukum-hukum yang eksplisit halal-haram, mengenai kewajiban dan larangan bagi
orang mukallaf yang dibebani hukum; dan al-ahkam al-wadl’iyyah,
hukum-hukum yang berkaitan dengan syarat, sebab (sabab), atau faktor-faktor
pencegah (mani’) yang memungkinkan suatu hukum berlaku atau tidak diberlakukan.
Nah, kesadaran Ekopol dan materialisme bisa dibangun pada
tataran al-ahkam al-wadl’iyyah ini. Di situ kita bisa melihat, kalau
realitas materiilnya sarat ketidakadilan, maka harus dicegah atau dilawan.
Tentu kalau mengacu kepada al-ahkam at-taklifiyah, tidak ada dalil fikih
yang menulis bahwa “kapitalisme itu haram”, karena istilah “kapitalisme” belum
dikenal oleh ulama fikih Salaf. Tapi dilihat dari wadl’iyyah-nya, kita
bisa bertanya, kapitalisme itu menjadi sebab datangnya mudlarat atau
tidak. Kalau iya, maka konsekuensi Mu’amalah-nya bisa diputus haram.
Itu yang pertama. Di sisi lain, kita juga perlu melihat
hubungan antara Fiqih Ibadah dan Fikih Mu’amalah sendiri. Landasan Fikih Ibadah
tentu bukan Ekopol atau materialisme, karena ketentuan ibadah datang dari
petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah Rasul sendiri, yang sudah jelas (sharih). Kita
kerap memahami ibadah dan mu’amalah terpisah. Seolah kalau ibadahnya baik, maka
mu’amalah-nya otomatis baik. Kehidupan kapitalis saat ini menunjukkan
sebaliknya. Meskipun ibadah kita baik, bisa menjalankan rukun Islam secara
sempurna, naik haji ke Tanah Haram, belum tentu mu’amalah kita secara sistemik
telah baik. Karena untuk haji pun, kita harus membayar mahal dan terjerat dalam
sistem pasar, artinya, kita masih di bawah “hukum besi” kapitalisme.
Tawaran saya, kita perlu melihat dengan pola terbalik.
Landasan awal berfikih kita adalah Fikih Mu’amalah dulu, baru Fikih Ibadah dan
Fikih-fikih yang lain. Fikih Mu’amalah menjadi dasarnya, basisnya. Baru di
atasnya diletakkan fikih-fikih yang lain. Artinya, hablum minan naas adalah
dasar, baru hablum minallah di atasnya. Apabila titik berangkatnya
dari hablum minan naas (hubungan sosial yang materiil dan konkret)
sudah “beres”, maka keberislaman kita pada taraf hablum minallah (hubungan
transendental-ilahiah yang abstrak) akan juga “beres”.
Konsekuensi dari peletakan semacam ini, Fikih Mu’amalah
menjadi “basis”, meminjam istilah Karl Marx. Sedangkan Fikih Ibadah menjadi
“suprastruktur” (bangunan atas). Kita kemudian bisa menata ulang orientasi
fikih dengan lebih utuh. Bahwa fikih harus terlebih dulu melakukan koreksi pada
tataran Mu’amalah secara utuh dan menyeluruh, agar seluruh dimensi ibadah (‘ubudiyah)
umat Islam punya makna sejati bagi kehidupan bersama.
Persoalannya, Fikih Mu’amalah hari ini masih diperlakukan
secara parsial, dan seolah bukan porsi utama fikih. Pembelajaran fikih di
pesantren masih lebih banyak ditekankan pada Fikih Ibadah. Fikih Mu’amalah
disinggung sedikit, lebih sedikit diketahui oleh kaum santri daripada Fikih
Ibadah. Ini yang membuat kesadaran atas problem kapitalisme tidak pernah
muncul.
Ibaratnya, kita “buta”, kita hidup di zaman apa,
menghirup udara apa. Kita bisa beribadah khusyuk sendirian atau
berjamaah, tapi begitu keluar dari masjid atau pesantren, kita dibuat bingung
dengan lalu-lalang kehidupan yang sudah berubah cepat. Keluar masjid, kita
belanja di Indomaret atau pergi ke bank, tanpa sengaja sudah terjerat dalam
kapitalisme.
Contoh lain, kalau banyak koruptor, itu pasti ada
ketimpangan ekonomi. Koruptor kan tidak muncul begitu saja. Kalau koruptor
misalnya dipersoalkan, apakah harus dihukum mati atau potong tangan, persoalan
ini pada tataran “suprastruktur”. Di “basis”, di tingkat mu’amalah-nya, perlu
ditanya, kenapa kok bisa terjadi korupsi? Terjadinya korupsi pasti dikarenakan
praktik mu’amalah yang tidak benar sampai terjadi pencurian. Korupsi bukan
hanya pencurian. Kita juga harus melihat korupsi dalam hubungannya dengan
kapitalisme. Bagaimana kapitalisme melahirkan kelompok-kelompok yang memiliki
modal yang sangat besar sehingga mampu menyogok pejabat atau pemerintah. Ini
semua pada tataran “basis” bisa dibongkar. Maka, Fikih menjawab persoalan
korupsi tidak cukup dengan pendekatan pidana (jinayat), potong tangan. Perlu
juga memakai Fikih Mu’amalah.
Bagi saya, Fikih Mu’amalah perlu mulai dipertimbangkan
untuk menjadi dasar fundamental dalam fikih. Tidak akan maksimal, alias tetap
sepotong-potong, kita bicara tentang Fikih Zakat, Fikih Jinayat, Fikih
Munakahat, dan lain-lain, tetap berpotensi luput menangkap realitas
ketidakadilan, jika kita tidak berangkat terlebih dulu dari Fikih Mu’amalah,
tentu dalam pengertian yang baru dan “diperluas”.
Apakah Fikih
Mu’amalah bisa digabungkan dengan paradigma lain seperti Marxisme atau
Kapitalisme?
Buat saya, bisa dijahit, bukan digabungkan. Nah,
“jahitan” itu nanti pada logika hukumnya.
Fikih dikaitkan dengan logika kapitalis, juga bisa saja.
Hanya nantinya kita lihat secara global, bahwa logika kapitalis niscaya
bertentangan dengan Islam. Misalnya, praktik perdagangan yang orientasinya pada
penumpukan (takatsur atau ihtikar) itu dilarang, dan itu yang persis
didorong oleh kapitalisme. Walaupun fikih saat ini luput melihat hal itu,
melainkan sekadar menghukumi transaksinya saja.
Makanya, hukum-hukum jual beli (ahkam al-buyu’) itu baru
satu aspek saja. Kalau kita berhenti ngaji kitab al-bay’, mu’amalah kita
tidak berkembang. Kita tidak tahu di balik transaksi itu produknya dari mana,
siapa yang punya, melibatkan rente atau tidak, akumulasi atau tidak, dan
lain-lain. Kajian ilmiah seperti Marxisme bisa membantu untuk mempertajam
fikih.
Marxisme itu apa, kok fikih perlu “melirik” Marxisme?
Bukannya produk Barat yang asing bagi ajaran Islam, apalagi fikih? Bukannya
Marxisme itu identik dengan komunisme yang dimusuhi oleh sebagian umat Islam,
bahkan sangat terdengar menakutkan bagi kita di Indonesia? Ini yang perlu
sedikit diperjelas.
Marxisme itu sederhananya adalah suatu perangkat ilmiah
membongkar sistem kapitalisme. Suatu ilmu untuk membedah kapitalisme.
Kapitalisme kan hidup setidaknya dua abad lebih, dengan dampaknya yang luar
biasa terhadap dunia, salah satunya melahirkan kolonialisme yang dulu menjajah
bangsa kita, dan sekarang melahirkan globalisasi. Selama ini, tidak ada kajian
ilmiah yang sekritis Marxisme dalam melawan kapitalisme dan menunjukkan
letak-letak kesalahan kapitalisme. Ini karena lawan Marxisme adalah
Ekonomi-Politik Borjuis sendiri, yakni teori ekonomi yang dianut oleh para
ekonom yang mendukung kapitalisme. Jadi, mau tidak mau, untuk mengerti seluk
beluk kapitalisme, kita harus mengerti dua bidang ilmu sekaligus. Ekonomi-Politik
Borjuis (biasanya disebut Teori Klasik atau Neoklasik dalam ilmu ekonomi). Dan
Marxisme, yang menjadi pisau kritiknya.
Sebenarnya, kalau menurut para sarjana Marxis sendiri,
ada tiga aspek besar Marxisme. Pertama, Kritik atas Ekonomi-Politik Borjuis.
Ini Marxisme sebagai teori ekonomi. Kedua, yang disebut “Historical materialism”,
materialisme historis. Ini paham sejarahnya. Ini studi Marxisme atas
perkembangan suatu kehidupan masyarakat dilihat dari faktor-faktor produksinya
dan dinamika materiilnya. Misalnya di situ dibahas soal adanya kelas dan
kasta-kasta sosial, lahirnya kaum elite, lahirnya kaum pemodal dan kaum buruh,
lahirnya perbudakan, kerja upahan, perang, konflik, lahirnya Negara-negara, dan
lain sebagainya. Dan ketiga, sosialisme. Ini teori politiknya. Ini lebih berupa
orientasi gerakan politik Marxisme, yaitu untuk mewujudkan masyarakat
alternatif setelah krisis masyarakat kapitalis.
Yang relevan untuk fikih, saya kira untuk sementara,
kedua aspek pertama dari Marxisme. Yaitu, sebagai Kritik atas Ekopol Borjuis
dan Materialisme Historis-nya. Ini kalau bisa dijadikan “alat bantu” untuk
fikih, kita mendapat banyak “pencerahan” untuk melangkah ke fikih yang
membebaskan dari segenap problem dan akar ketidakadilan. Suatu fikih pembebasan.
Cuma begini. Jangan lupakan Ushul Fikih. Kita mengetahui,
Ushul Fikih adalah logika dasar dari fikih, metodologinya. Di sana termuat
metode, dan aksioma-aksioma yang menjadi acuan penalaran fikih. Ushul Fikih
tetap dipakai, sebagai acuan metodologisnya, misalnya dalam menyeleksi mana
aspek yang prinsipil (ushul), mana yang turunan atau sekunder (furu’).
Mana aspek yang bisa berubah, mana yang tetap (karena
datang dari Nash yang sharih.). Di sisi lain, bersamaan dengan
Ushul Fikih, ada Maqashid Syari’ah. Di sana terdapat acuan aksiologisnya,
misalnya kategori maslahat dan mafsadat. Untuk menentukan bobot
materiil maslahat dan mafsadat itulah, nanti Marxisme bisa
membantu memberikan gambaran komprehensif mengenai realitasnya di lapangan.
Jadi misalnya begini, kita berhadapan dengan kasus
pendirian perusahaan A di suatu lokasi. Mengacu pada maslahat atau mafsadat-nya,
ternyata mafsadat-nya secara jangka panjang akan lebih besar, karena
perusahaan itu akan menghancurkan kemandirian ekonomi masyarakat di sekitarnya,
misalkan. Maka bisa diharamkan. Solusinya, diganti jenis usaha lain yang tidak
berdampak seperti itu. Ini hanya mungkin kalau kita mengerti soal relasi
eksploitasi, watak modal, dan sebagainya yang dianalisis oleh Marxisme. Jadi,
tidak cukup menghukumi transaksinya saja. Karena kalau hanya transaksinya yang
dinilai, selesai sudah. Wa ahallallah al-bai’ wa harrama ar-riba.
Menurut Gus, apakah
Fikih Mu’amalah itu historis?
Ya, bersifat historis. Fikih Mu’amalah harus dilihat
secara historis dari masa ke masa. Tentu berbeda memperlakukan Fikih Mu’amalah
di era pra-kapitalisme dengan era kapitalisme. Karena dunia dan kehidupan umat
manusia berubah secara mendasar, tidak sama seperti era-era sebelumnya, dengan
adanya kapitalisme. Kapitalisme harus dilihat sebagai penentu sejarah kehidupan
kita saat ini, kalau kita tidak mau terbawa ilusi kehidupan masa lalu. Apa
bedanya? Karena hanya di era kapitalisme ini, semua ketidakadilan tampak
diwajarkan dan menjadi sistemik. Ya itu, realitas adanya masyarakat berkelas yang
dibangun di atas penumpukan modal secara tidak terbatas di satu sisi, dan
eksploitasi kerja mereka yang hanya punya keringat di sisi lain. Dan sekarang,
meluas ke eksploitasi alam dan seisinya untuk kepentingan modal.
Ambil contoh pembahasan mengenai upah. Kita jangan
terjebak konsep upah ratusan tahun lalu sebelum kapitalisme. Jadi, Fikih
Mu’amalah pernah meninjau ulang status upah dan kerja upahan. Kalau dulu di
zaman Rasulullah, kerja upahan dalam bentuk sederhana antara pihak pemberi
kerja (al-mustajir) dan pekerja (al-ajir), sekarang kapitalisme sudah
membuatnya jadi rumit dan kompleks sekali. Karena antara investor dan buruh
tidak ada kontak langsung, tapi dimediasi oleh perusahaan.
Perusahaan inilah yang mencari tenaga kerja, dan adanya
lapangan pekerjaan—dijelaskan oleh analisis Marxis—bukan karena kebaikan
perusahaan atau si investor-kapitalis, tapi karena tekanan kehidupan di
kalangan rakyat miskin yang membuat mereka terpaksa menjual tenaga mereka ke
pabrik. Artinya, orang tidak mungkin menjadi buruh, masuk dalam kerja upahan,
kalau tidak ada keterpaksaan yang sistemik. Inilah alasan kenapa upah dan kerja
upahan dulu dan sekarang berbeda.
Kalau dilihat lebih utuh seperti ini, Fikih Mu’amalah
jadi lebih tanggap pada kapitalisme. Tidak cukup hanya berfatwa, perusahaan
wajib membayar gaji buruh atau memberi pesangon. Tapi juga bertanya, sampai
kapan kaum buruh akan terus terlibat dalam kerja upahan. Apakah bisa
menghapusnya? Apa alternatif kerja upahan? Itu perlu terus digali. Jadi, jangan
mandek hanya pada konsep ujroh (upah), lalu selesai.
Mungkin ada
pemikiran tokoh-tokoh Islam mengenai fikih yang berdialog dengan Marxisme?
Ada, seperti Sayyid Muhammad Baqir Shadr, dalam
karyanya Iqtishaduna. Di sana Baqir Shadr memiliki konsep-konsep menarik,
terlebih memikirkan bank yang bukan kapitalistik. Dia mengambil kritik Marxis
terhadap kapitalisme, walaupun melakukan kritik yang juga keras terhadap
Marxisme.
Baqir Shadr
menyerukan, misalnya, adanya perhatian yang lebih besar terhadap distribusi dan
redistribusi yang adil, menolak penumpukan aset dan kepemilikan pribadi seperti
dalam sistem kapitalis. Tapi pemikirannya mungkin tidak populer di Indonesia
karena Shadr sendiri seorang ulama Syi’ah. Tradisi fikih Syi’ah sendiri lebih
kritis terhadap kapitalisme daripada di Sunni. Kita di Sunni ini, yang agaknya
cenderung ikut arus kapitalisme. Menghalalkan kepemilikan pribadi tanpa batas
dan kurang peduli dampak sosial dan lingkungannya.
Baru sejak adanya Fikih Maqashid, sepertinya mulai ada
perimbangan ke ranah fikih yang lebih “sosialistik”. Tapi itu kalau kita
menggali betul apa yang dimaksud dengan “mashalih kulliyyah” (kemaslahatan yang
universal) dan “mashalih ‘ammah” (kemaslahatan umum). Karena, bisa tidak,
kemaslahatan ini merebut kepentingan kelas kapitalis yang hanya memikirkan
keuntungan dirinya?
Kita patut mengapresiasi perkembangan Fikih Maqashid,
sambil membacanya terkait dengan kapitalisme dan dinamika sosial-ekonomi yang
terjadi.
Apa pesan Anda
kepada kalangan santri dalam menyikapi kapitalisme?
Pertama, kita (kaum santri) harus memperlakukan
kapitalisme sebagai masalah serius di dalam keilmuan agama kita, sehingga kita
perlu menggalakkan kajian-kajian kritis tentang kapitalisme. Untuk bisa
memahami dinamika global dan nasional, misalnya ada May Day, kenapa kok
ada buruh turun ke jalan. Ini kalau kita (kaum santri) tidak mengerti, kan kita
menganggap mereka yang demo itu tidak ada hubungannya dengan agama. Padahal,
itu bagian dari perjuangan hak, yang juga sangat diperintahkan oleh agama.
Nah selama ini, kalangan santri belum banyak mengetahui
atau ambil peduli tentang dinamika di luar pesantren, jadi wajar kalau
seolah-olah pondok pesantren itu steril dari kapitalisme, padahal tidak.
Kedua, kita perlu mempelajari ilmu-ilmu sosial kritis,
seperti Marxisme ini, dan jangan takut dengan propaganda-propaganda yang tidak
benar. Kalau itu propaganda, kita bisa cek sendiri ke bukunya atau
referensinya. Apakah Marxisme boleh dipelajari di Indonesia? Saya rasa boleh
sebagai sarana pendidikan. Cuma memang masih banyak propaganda yang tidak enak
didengar. Antara lain kalau belajar Marxisme itu nanti membawa ateisme.
Padahal, itu dua hal yang berbeda. Ateisme itu sikap teologis, Marxisme itu
wawasan ilmiah. Dan ada banyak propaganda lainnya. Itu yang akhirnya membuat
kita enggan, takut mempelajarinya.
Selain Marxisme, kita juga harus mempelajari ilmu ekonomi
secara menyeluruh dan kritis. Jangan menelan mentah-mentah setiap teori.
Termasuk melakukan kajian mendalam terhadap hakikat Ekonomi Syari’ah. Ekonomi
Syari’ah yang berwawasan pembebasan. Kalau Ekonomi Syari’ah yang tidak
berorientasi pembebasan, ya tidak akan mengubah banyak hal, hanya melanggengkan
sistem yang tidak adil ini.
Hasilnya nanti akan terasa ketika kaum santri bisa
memberikan solidaritasnya terhadap apa yang dialami oleh rakyat. Banyak
masyarakat di luar pesantren yang mengalami penderitaan oleh kebijakan negara
yang tidak berpihak kepada mereka, tapi berpihak kepada kepentingan kapitalis.
Tapi kita, kaum santri, masih bingung menyikapinya karena tidak tahu apa yang
harus diperbuat. Saatnya kita sadar dan bangun dari kejahilan ini.
***
0 komentar:
Posting Komentar