Siaran Pers ELSAM
Buku Bagian dari Kebebasan
Akademik, Penyapuan Buku Tindakan
Melawan Hukum
Belum genap setahun dari peristiwa sebelumnya di awal
Januari lalu, kini penyapuan (sweeping) terhadap buku-buku yang
kiri/marxis kembali terjadi. Diawali dengan penangkapan dua pegiat
literasi di Probolinggo, Jawa Timur, pada akhir Juli lalu (29/07), dengan
tuduhan menyebarkan buku-buku bermateri komunisme/marxisme/leninisme.Sweeping terhadap
buku-buku dengan konten serupa kembali terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan,
pada awal Agustus ini (4-5/8).
Tindakan penyapuan dan pelarangan ini seringkali
didasarkan pada TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 dan UU No. 27/1999, tentang larangan
penyebaran ajaran komunisme/marxisme/leninisme, yang sampai dengan hari ini
masih dipertahankan dalam peraturan perundang-undangan kita. Meski
aturan tersebut, secara konstitusional dapat dikatakan tidak lagi sejalan
dengan Pasal 28F UUD 1945, yang menyatakan “setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi dan menyebarkannya dengan menggunakan
segala jenis saluran yang tersedia”.
Bahkan terhadap pemberlakuan UU No. 27/1999 sendiri, ada
sejumlah pengecualian dalam penerapannya, salah satunya ketentuan ini tidak
bisa diterapkan ketika konten yang dimaksud ditujukan untuk kepentingan
akademik, pengajaran, dan pengetahuan. Larangan ini baru berlaku jika ajaran
komunism/marxisme/leninisme dimaksudkan untuk mengubah atau mengganti Pancasila
sebagai dasar negara. Jadi dalam penerapannya terdapat persyaratan dolus
specialis, yang memang dimaksudkan untuk mempersempit implementasinya.
Lebih jauh, khusus yang terkait dengan pelarangan buku,
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan No. 6-13-20/PUU-VIII/2010 pada pengujian
UU 4/PNPS/1963 tentang Pelarangan Barang-Barang Cetakan, berpendapat bahwa
pelarangan dan penyitaan buku yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung tanpa proses
peradilan merupakan bentuk pelanggaran terhadap negara hukum (the rule of law).
Tindakan itu, sama juga dengan pengambilalihan hak milik
pribadi secara sewenang-wenang, yang amat dilarang oleh Pasal 28H ayat (4) UUD
1945 tentang perlindungan terhadap hak milik.
Dikatakan pula oleh MK, tindakan pelarangan atau
pembatasan terhadap suatu kebebasan—termasuk buku sebagai pengetahuan dan
informasi, tanpa melalui proses peradilan, merupakan suatu eksekusi tanpa
peradilan (extra judicial execution) yang
sangat ditentang dalam suatu negara hukum yang menghendaki adanya due
process of law. Ditegaskan MK, tindakan pembatasan yang demikian,
bertentangan dengan kaidah pembatsan yang diatur oleh Pasal 28J UUD 1945.
Dengan pertimbangan tersebut, MK kemudian membatalkan UU No. 4/PNPS/1963, yang
secara otomatis pula membubarkan tim pelarangan buku (clearing house) yang dibentuk oleh Kejaksaan Agung.
Dengan demikian, segala tindakan penyapuan dan pelarangan
terhadap buku-buku “kiri”, sesungguhnya telah kehilangan legitimasi dan
dasar hukum, serta menyalahi prinsip-prinsip due process of law. Putusan
MK di atas menghendaki setiap tindakan pelarangan, haruslah terlebih dahulu
diputuskan melalui suatu proses peradilan. Pengadilan harus digelar secara
terbuka dan akuntabel, kedua belah pihak harus didengar keterangannya secara
berimbang (audi et alteram partem),
serta putusannya dapat diuji pada tingkat pengadilan yang lebih tinggi.
Tegasnya, setiap tindakan pelarangan harus melalui suatu proses penegakan
hukum, untuk menentukan ada tidaknya unsur pelanggaran hukum di dalamnya.
Peredaran buku-buku tersebut harus pula ditempatkan
sebagai bagian dari kebebasan akademik, untuk kepentingan pengetahuan, serta
aplikasi dari hak atas kebebasan berpendapat dan memperoleh informasi.
Buku-buku tersebut bukanlah medium atau sarana untuk mengganti ideologi negara,
apalagi menggulingkan pemerintahan yang sah, melainkan sarana pengajaran dan
pertukaran pengetahuan. Oleh karenanya, setiap buku dan peredarannya dijamin
oleh konstitusi dan hukum, pelarangan terhadap sebuah buku hanya bisa dilakukan
sepanjang materi muatannya telah dinyatakan oleh pengadilan bertentangan dengan
hukum.
Dengan sandaran pertimbangan di atas, Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat (ELSAM) lagi-lagi menolak secara keras semua bentuk
penyapauan/pengamanan buku. Tindakan tersebut telah
mengingkari prinsip-prinsip perlindungan kebebasan berekspresi dan
memperoleh informasi, selain juga tak-sejalan dengan prinsip due process
of law. Oleh karena itu, ELSAM hendak mengingatkan kembali
perihal pentingnya:
1. Aparat
penegak hukum, khususnya kepolisian dan kejaksaan, secara konsisten menjalankan
mandat konstitusi dan undang-undang, termasuk dalam melakukan tindakan
perampasan terhadap kebebasan, yang terlebih dahulu harus melalui sistem
peradilan (due process of law).
2. Kepolisian
seharusnya melakukan tindakan hukum terhadap pihak-pihak (tidak berwenang) yang
secara semena-mena melakukan tindakan penyapuan terhadap sejumlah judul buku.
Padahal buku-buku tersebut tidak pernah dinyatakan bertentangan dengan suatu
hukum atau undang-undang oleh putusanpengadilan.
3. Proses
pengungkapan kebenaran dan penyelesaian tuntas atas berbagai dugaan kasus
pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Publik memiliki hak untuk tahu (right
to know), atas berbagai peristiwa yang terjadi di masa lalu, sehingga
mendapatkan narasi sejarah bangsa yang lebih berimbang. Situasi hari ini
memperlihatkan, kita masih terbelenggu dengan berbagai peristiwa yang terjadi
di masa lalu, khususnya dalam konteks komunisme/marxisme/leninisme, yang kerap
digunakan sebagai instrumen politik kelompok tertentu, yang imbasnya justru
menciderai jaminan kebebasan warga negara.
Jakarta, 6 Agustus 2019
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
Untuk informasi lebih lanjut silakan menghubungi Miftah Fadhli (Peneliti ELSAM),
telepon: 087885476336; atau Wahyudi
Djafar (Deputi Direktur Riset ELSAM), telepon:081382083993.
0 komentar:
Posting Komentar