Ardanmarua
- Aktivist
Karl Marx & Lenin
Ada hantu menghantui toko-toko buku di kota tempat kita
tinggal; hantu Tololisme.
Jelang dirgahayu Kemerdekaan RI ke-74, pikiran-pikiran
sempit bertingkah gila mengakibatkan listrik padam dan api kebodohan menyala
dalam waktu bersamaan.
Empat orang pria yang mengatasnamakan diri Brigade Muslim
Indonesia (BMI), dengan pikiran berukuran sekolam, datang 'sidak' toko buku
Gramedia di Mall Trans Studio Makassar. Mereka kemudian merazia buku-buku
bergenre Marxisme, Komunisme, Leninisme.
Perbuatan ini membuat geram banyak pihak, termasuk saya,
yang mencintai sains dan mengharapkan adanya diskursus publik yang pluralistis,
dialektis sekaligus harmonis hadir di tiap lorong kehidupan, terutama dalam
percakapan antarwarga negara.
Gerombolan orang ini sama persis hantu; datang tak
diundang, pulang tak membayar sepeser pun barang yang mereka bawa pergi. Sok berkuasa
pula.
"Saya Zul, Ketua Brigade Muslim Indonesia. Saya bersama teman-teman sedang mencari buku yang berpaham Marxisme, Komunisme, dan Leninisme. Kami sudah sepakat dengan pihak Gramedia untuk menarik seluruh buku tersebut dan mengembalikan ke pihak percetakan," demikian penjelasan ketua Brigade atau komandannya Muslim Indonesia (BMI).
Di lain sisi, Direktur Komunikasi Kompas Gramedia, Rusdi Amral, berkata: "Razia buku, atau pengamanan barang-barang cetakan secara sepihak, tak lagi diperbolehkan sejak keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi pada 2010. MK memutuskan pelarangan buku mesti lewat proses peradilan," sebagaimana dilansir di Tirto.
Artinya, razia ini bersifat sepihak. Tidak ada
kesepakatan antara BMI dan pihak Gramedia, dan tentunya oknum BMI bertindak
melanggar putusan hukum. Penjelasan ketua Brigade Muslim Indonesia bukanlah
penjelas melainkan pengabur, hanya sekadar alibi untuk menyembunyikan tololisme
dan kegenitan yang ceroboh.
Saya juga tak habis pikir, bisa-bisanya,
setolol-tololnya, di zaman serba-daring (Dalam Jaringan), serba-mudah akses
seperti sekarang ini, masih ada manusia yang bergerombol diri rela bersusah
payah “sidak” toko buku untuk menyita bahan bacaan yang mereka anggap
berbahaya, bertentangan, dan dilarang. Padahal semua jenis bacaan telah sangat
mudah bisa diakses siapa saja dan dibaca melalui Google Search.
Pasti mereka tidak tahu bahwa e-book dan a-book (audio
book) sedang beredar pesat dan laris di pasaran, khususnya pasar di belahan
dunia barat. Hanya hantu tolol saja yang mau bergentayangan di siang bolong dan
melakukan sidak gadungan.
Titik Temu:
Meringkas Komunisme dan Islamisme
Saya pikir, gerombolan orang-orang ini (BMI) sama sekali
tidak paham apa itu Islam, terutama apa itu Komunisme. Maka perlu kiranya
menawarkan peta pikiran, jalan baru, pada mereka agar tidak tersesat di jalan
yang sesat.
Teori komunisme dapat diringkas dalam satu kalimat: Hapuskan
semua kepemilikan pribadi (Karl Marx). Apakah ringkasan ini bertentangan
dengan ajaran Islam yang menganjurkan emansipasi, pembebasan yang mencerahkan?
Tidak. Sama sekali tidak. Sekali lagi saya katakan: Tidak.
Karena di dalam Islam, kami telah diajarkan bahwa setiap
harta yang setiap orang miliki bukan merupakan miliknya semata—terdapat hak
orang lain di dalamnya. Pemeluk Islam pun diwajibkan untuk berbagi harta dan
kasta sosial (jangan sok paling berkuasa), dan tak berlaku tamak, alias rakus.
Dan orang-orang yang apabila menginfakkan (hartanya)
mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula terlalu kikir, dan infak itu di
pertengahan di antara yang demikian (QS Al-Furqan 25:67). Ayat ini
menunjukkan seperti apa watak sosialisme ala Marx, yang biasa disapa
"Komunisme", yang sebenarnya: sama rata, sama rasa.
Perbedaan paling mendasar yang sering kali disalahartikan
sebagai pertentangan paling prinsipil antara Komunisme dan Islamisme adalah
cara bertuhan dan beragama. Marx tidak pernah mengatakan bertuhan adalah candu
(apalagi mengingkari eksistensi Tuhan).
Bagi Marx, setiap orang berhak milik sendiri bagaimana
cara dirinya bertuhan. Cara itu pun tak mesti seragam atau sama dengan cara
orang lain bertuhan.
Umumnya, Marx 'hanya' men-judge cara beragama yang
naif, yang membiarkan penindasan atas manusia terjadi—beragama yang hanya
memuja kuasa solut (kuasa buatan manusia) dan membiarkan individu manusia
memonopoli harta dan status sosial, bagi Karl Marx, adalah candu dan berbahaya
bagi kelangsungan hidup masyarakat.
Baginya, umat manusia hanya bisa bebas, setara, dan
saling menghargai, melengkapi satu sama lain, manakala cara beragama yang
membiarkan manusia dikekang supranatural palsu dilenyapkan dari muka bumi.
Selama varian agama seperti ini masih ada, manusia akan
tetap terbelenggu, seperti hamba sahaya yang pasrah dan sabar-diam meski
tertindas.
Sedangkan Islam itu sendiri, seluruh penganut Islam tahu,
adalah rahmatan lil alamin, goodness for all: saling memberikan
kebaikan yang telah Tuhan berikan kepada self untuk the other (semesta
beserta seluruh isinya).
Tidak bisa seseorang menganggap dirinya sendiri atau
orang lain menyebutnya muslim apabila tingkah-lakunya kufur dan uzur. Kufur
karena menutupi jalan bagi keberagaman pendapat hadir, dan uzur karena
menghalangi orang lain menggali nilai-nilai kebaikan baru dari keburukan atau
kegagalan-kegagalan di masa lampau.
Semarah-marah apa pun seorang muslim, Islam tetap
mewajibkannya untuk berlaku baik dan menciptakan kebaikan bagi semesta seru
sekalian alam. Dan, sebaik-baiknya orang bodoh adalah mereka yang tidak
merugikan orang lain.
Melawan Hantu
Tololisme
Sialnya, buku-buku yang dirazia Brigade Muslim Indonesia
(BMI) sebagian besar buku menantang Marxisme-Leninisme itu sendiri. Buku karya
Franz Magnis-Suseno pun turut disita.
"Jadi itu bagi saya adalah tanda kebodohan besar, kebodohan yang tidak ada batasnya," kata Romo Magnis saat dihubungi beberapa awak media.
Meski mereka salah sita buku akibat membenci kulit tanpa
memahami isi, kebodohan yang pongah selalu punya implikasi signifikan dan
pastinya berbahaya bagi kehangatan bercengkerama dengan saling silang pendapat.
Jadi, hantu Tololisme yang gentayangan sembarangan harus dipukul dengan
undang-undang dan adab keilmuan yang sedang berlaku.
Tahun 2010, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan
putusan yang mencabut Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan
terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum.
Pada putusan tersebut lantang ditegaskan tidak boleh ada
lagi pelarangan buku, razia buku secara sepihak yang asal mau sita saja.
Jangankan hantu tololisme, aparat, bahkan seorang Presiden pun bisa disalahkan
bila melakukan razia buku semau-maunya saja.
Selain melawan dengan hukum, saya pikir, setiap toko buku
di negeri ini, khususnya pihak Gramedia dalam kasus ini, semestinya
mempekerjakan minimal satu orang pembaca ahli di setiap gerai toko buku milik
mereka, agar bisa memberikan penjelasan kepada orang-orang semacam ini. Pun
agar supaya pegawai toko tidak plonga-plongo dan hanya terpaku membisu, andai
kata insiden ini terjadi lagi (semoga ini kejadian terakhir).
Sebab insiden ini bukan sekadar minim animo membaca, tapi
berakar jauh dalam tubuh sejarah bangsa, yakni dari pergumulan Islamisme,
Komunisme, Nasionalisme, di awal-awal kemerdekaan perihal gagasan besar
sebab-musabab bernegara.
Maka saya pikir, Presiden Joko Widodo perlu lebih serius
memikirkan perjamuan ide-ide ini kembali dalam suatu forum yang penuh khidmat
dan lebih serius. Karena ini adalah beban sejarah dan tugas utama setiap
Presiden yang tak satu pun Presiden menunaikannya, kecuali Gus Dur.
Masa sih seorang Presiden seperti Jokowi yang tak punya
'beban' gagap mengucapkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Masa
sih Jokowi tak bisa segagah Gus Dur yang dengan tegas mengatakan isme-isme apa
pun tak bisa dilarang, dan simpatisan PKI berhak dilindungi oleh Negara?
Akhir kata, bukan buku, tetapi ketololan dan
pertentangan isme yang tak diselesaikanlah yang acap kali menjadi
dalang, biang kerok, pembuluh darah segala kemunkaran.
0 komentar:
Posting Komentar