Oleh Bonnie Triyana
Fidel Castro memilihnya sebagai wakil Indonesia dalam
sebuah konferensi di Kuba. Guru Gus Dur ini dicabut kewarganegaraannya.
Lelaki yang rambutnya memutih itu duduk di hadapan
saya. Jarak kami berdua dibatasi sebuah meja, dengan dua cangkir kopi terletak
di atasnya. Ketika pembicaraan dimulai, dia tampak berhati-hati. Saya lebih
banyak bertanya, dia menjawab seperlunya. Rupanya jarak di antara kami berdua
lebih dari sekadar ukuran meja pada sebuah kafe yang terletak di stasiun sentral
Amsterdam itu. Ibrahim Isa, lelaki yang saya temui pada sebuah hari di bulan
Juni 2004 itu, seperti sedang menahan diri supaya tak terlalu lepas menderas
cerita.
Mungkin dia cemas. Barangkali juga sedang berhati-hati
menghadapi seorang pemuda yang belum dikenalnya. Terlebih pertanyaan yang
dilontarkan kepadanya lebih banyak mengenai kisah terdamparnya dia di negeri
orang karena peristiwa G30S 1965. Peristiwa yang selalu disangkut-pautkan pada
PKI itu mulai terbuka untuk dibicarakan, tapi bagi sebagian orang, ia
adalah kisah yang tabu, juga membikin was-was.
Itulah kisah pertemuan saya dengan Ibrahim Isa untuk kali
pertama. Tiga tahun kemudian, kami bertemu lagi di kota yang sama tanpa ada
lagi jarak dan perasaan was-was darinya. Yang menarik diperhatikan adalah sikap
yang sama juga ditempuh oleh orang-orang lain yang nasibnya sama seperti
Ibrahim Isa. Trauma terlalu dalam tertanam. Tak mudah hidup sebagai penyintas
walau jauh dari negeri sendiri, tempat dari mana ancaman berasal.
Kedatangan Isa ke Belanda didahului kisah yang panjang.
Bermula ketika dia bertugas sebagai perwakilan Indonesia untuk Organisasi
Internasional Setiakawan Rakyat Asia-Afrika (OISRAA) di Kairo, Mesir pada
September 1960. Menurut Isa, tugas utama OISRAA adalah menggalang dan menyelenggarakan
kegiatan solidaritas untuk melawan kolonialisme, imperialisme dan rezimapartheid kulit
putih di Afrika Selatan.
Menurut Isa, OISRAA adalah organisasi masyarakat sipil
bangsa Asia-Afrika yang mengusung semangat Dasasila Bandung, hasil Konferensi Asia-Afrika
di Bandung 1955. Sebagai aksi praksis keputusan KAA 1955 itu, gerakan
masyarakat sipil dari negara Asia-Afrika yang sudah lebih dahulu merdeka
membantu menggalang solidaritas bagi pembebasan negeri-negeri yang masih
dijajah.
Dari Kairo, dia menjalin kontak dengan banyak gerakan
pembebasan di negeri-negeri Asia-Afrika. Salah satu peristiwa besar yang turut
dipersiapkannya adalah Konferensi Trikontinental, yang melibatkan negeri-negeri
di tiga benua: Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Konferensi diselenggarakan di
Havana, Kuba, Januari 1966.
Konferensi Trikontinental adalah kegiatan terakhir yang
diselenggarakan Isa dalam posisinya sebagai warga negara Indonesia resmi.
Mengapa demikian?
Karena setelah konferensi tersebut kewarganegaraannya
dicabut secara sepihak. Sedangkan untuk terang-terangan pulang ke tanah air pun
mustahil, karena cuma dua kemungkinan mengancam di depan mata: dibui atau mati.
Maka menjadi “orang klayaban” begitu kata Gus Dur menjuluki orang-orang seperti
Ibrahim Isa, jalan terbaik untuk bertahan hidup.
Dalam masa-masa persiapan Konferensi Trikontinental itu,
Isa harus bolak-balik perjalanan Kairo-Havana-Jakarta. Dia bahkan masih nekat
pulang pada minggu kedua Oktober 1965 untuk menghadiri Konferensi Internasional
Anti-Pangkalan Militer Asing (KIAPMA), 17 Oktober 1965. Konferensi tersebut
dibuka oleh Presiden Sukarno dan dihadiri beberapa negara yang aktif dalam
upaya pembebasan negeri di Asia-Afrika.
Selesai KIAPMA, Isa kembali ke Kairo dan tak lama setelah
itu balik lagi ke Havana, menyiapkan Konferensi Trikontinental. Di sinilah
ketegangan bermula. Pemerintah Indonesia mengirim delegasi lain di bawah
pimpinan Brigjen TNI Latief Hendraningrat, yang pernah jadi pengerek bendera
Merah Putih pada saat Proklamasi kemerdekaan. Isa dan kawan-kawan heran
sekaligus curiga pada kedatangan delegasi yang mengklaim membawa mandat
pemerintah untuk menjadi wakil dalam Konferensi Trikontinental itu.
Perdebatan pun terjadi. Isa merasa dialah yang berhak
mewakili Indonesia dalam Konferensi Trikontinental, sementara itu Latief pun
mengaku memiliki tugas resmi mewakili Indonesia. Ternyata dualisme delegasi
Indonesia sampai ke telinga Fidel Castro. Tapi Castro sudah punya sikap
politik: Ibrahim Isa cum suis adalah delegasi resmi Indonesia yang
berhak mewakili dalam Konferensi Trikontinental.
Sebagai wujud dukungan itu, Castro menyempatkan diri
untuk bertandang ke hotel Habana Libre, tempat Isa dan kawan-kawannya tinggal.
Menurut Isa pertemuan itu murni inisiatif Castro. Selain Isa, ada dua anggota
delegasi lain dari Indonesia, Francisca Fangidaej dan Umar Said, dua jurnalis kawakan yang aktif dalam Persatuan
Wartawan Asia Afrika (PWAA). Pertemuan itu terabadikan dalam dua lembar foto
yang memperlihatkan suasana penuh ketegangan: Castro tampak menggenggam
telepon, Isa bertopang dagu dan Francisca bersedekap.
Setelah keputusan itu, maka konflik semakin meruncing.
Kedua delegasi tetap ikut konferensi. Tak lama setelah itu, Isa dinyatakan
bukan warga negara Indonesia lagi. Dicap pengkhianat. Paspornya dicabut
semena-mena. Hidupnya berubah, menjadi seorang pelarian politik walaupun dia
menyangkal sebutan itu karena tak pernah merasa lari dari negerinya. Dia
bertugas atas nama bangsa dan negaranya.
Isa dan keluarga kemudian pindah ke Tiongkok. Berkumpul
dengan beberapa eksil dari Indonesia lainnya. Di negeri itu dia menetap selama
20 tahun, sejak 1966 sampai 1986, di mana dia menjadi saksi pergolakan politik
Tiongkok masa revolusi kebudayaan. Sebagaimana banyak kaum eksil Indonesia
lainnya di Tiongkok pada masa itu, Isa dan keluarganya tinggal di sebuah desa
di Nanchang.
Sejak 1986, Isa dan keluarga boyongan pindah ke Belanda.
Tak lama kemudian mereka mendapatkan kewarganegaraan Belanda. Kabar beredar,
dalam rangka normalisasi hubungan Indonesia-Tiongkok, orang-orang yang dianggap
bakal mengganggu hubungan kedua negara itu harus dilokalisir. Isa menuturkan
kepada saya bahwa pihak pemerintah Indonesialah yang mengajukan hal itu sebagai
syarat kepada pemerintah Tiongkok. Saya belum menemukan informasi baik yang
mendukung maupun membantah keterangan tersebut.
Anak Meester Cornelis
Ibrahim Isa bin Isa Gelar Datuk Sinaro Panjang lahir di
Meester Cornelis (Jatinegara) 20 Agustus 1930, berbarengan pada masa malaise
mendera Hindia Belanda. Dari nama dan gelarnya, ayah kandung Isa berdarah
Minangkabau. Sedangkan ibunya, Nila Utama, yang biasa dipanggilnya “Mak”,
berasal dari Mukomuko, Bengkulu.
Isa senior bekerja sebagai guru. Posisinya itu membuat
anak-anaknya bisa menempuh pendidikan di sekolah dasar bagi anak-anak Belanda,
Europeesch Lagere School (ELS). Isa pun sempat mengenyam pendidikan di ELS.
Satu hari saja! Karena Isa kecil yang anak bontot itu tak fasih berbahasa
Belanda sebagaimana saudara-saudara kandungnya yang lain. Jarak umurnya dengan
kakak-kakaknya terpaut jauh, sehingga menurutnya dia kehilangan kawan untuk
berbicara bahasa Belanda dan lebih sering menggunakan bahasa Melayu dengan
kawan-kawan sepermainannya.
Tak bisa terus di ELS, Isa pindah sekolah ke
Vervolgschool di bilangan pasar Mencos. Menurut Isa, sekolah ini didirikan oleh
pemerintah kolonial untuk sekadar menciptakan lulusan siap kerja sebagai
pegawai rendahan dalam birokrasi kolonial. Tapi belum lagi usai sekolah, Jepang
keburu datang.
Sekolah berbau Belanda bubar. Isa pindah ke sekolah
Muhammadiyah.
Ketika Jepang hengkang, Isa remaja bergabung dengan Badan
Keamanan Rakyat (BKR). Dalam usia remaja pula, menurut pengakuan Isa, dia melek
politik. Buku politik pertama yang dibacanya adalahDari Penjara ke Penjara karya
Tan Malaka yang dia pinjam dari SM. Sjaaf, wartawan salah satu pendiriBerita
Indonesia, surat kabar pertama setelah Indonesia merdeka. Kelak Sjaaf jadi
kakak ipar Isa.
Karier politik Isa justru bermula ketika dia bekerja
sebagai guru di sekolah perguruan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS).
Pergaulannya semakin luas. Debut pertamanya dalam kegiatan internasional
bermula ketika dia ditugasi oleh Panitia Persiapan Kongres Pemuda Sedunia untuk
mewakili Indonesia dalam sebuah pertemuan persiapan kongres pemuda itu di
Kopenhagen, Denmark pada 1952.
Namun setahun sebelum berangkat Isa muda kena ciduk razia
Agustus 1951 yang kemudian dikenal sebagai peristiwa Razia Soekiman. Soekiman
adalah Perdana Menteri dari Masyumi. Keputusannya merazia anggota PKI karena
ada kasus penyerbuan kantor polisi di Tanjung Priok oleh orang-orang yang
mengenakan kaos bersimbol palu arit. Tak lama masuk sel, Isa bisa dibebaskan
dan berangkat ke Denmark setahun kemudian.
Salah satu murid Isa di sekolah perguruan KRIS adalah
Abdurrachman Wahid (Gus Dur). Ada kisah menarik soal satu ini. Ketika Gus Dur
menjadi presiden, dia mengadakan kunjungan ke Belanda pada 2000 yang lampau.
Kepada stafnya dia mengatakan bahwa dia ingin bertemu dengan “Engku Isa”,
gurunya semasa sekolah. Engku Isa yang dimaksud Gus Dur adalah Ibrahim Isa.
Maka bertemulah guru dan murid ini setelah berpuluh tahun tak bersua.
“Saya kagum pada
daya ingat Gus Dur,” kata Isa kepada saya.
Setiap kejadian yang dialaminya selalu berbuah menjadi
sebuah tulisan. Tulisan itu dia sirkulasikan sendiri melalui mailing list (jaringan
email) kepada kolega-koleganya. Belakangan Isa akrab dengan media sosial dan
menggunakan facebook sebagai medium menyebarkan tulisannya. Tentu
saja untuk pria seumurnya, dia sangat aktif. Yang lucu, kalau tak boleh
dibilang menggelikan, ucapan ulang tahun kepada kawan-kawan terdekatnya pun
disebarkannya sebagaimana dia menyebarkan tulisan-tulisan seriusnya.
Tak jarang tulisan-tulisannya itu mendapatkan kritik.
Beberapa bahkan terkesan merendahkan. Namun dia tak reaktif menimpalinya. Dari
beberapa kritik itu ada juga yang membuat saya bertanya-tanya apakah
tuduhan-tuduhan yang diarahkan kepadanya itu benar? Dalam soal kepindahan para
eksil dari Tiongkok ke Belanda misalnya. Agak kurang pantas disebutkan di sini
terlebih ketika Isa sudah wafat dan tak punya hak untuk mengimbangi tuduhan itu
berdasarkan versinya sendiri.
Rahasia Isa
Dia tak pernah terbuka pada saya apakah dia anggota PKI
atau tidak. Dia hanya menjawab bahwa dia seorang Sukarnois. Tak lebih, tak
kurang. Tapi Isa memang punya hubungan dekat dengan Njoto, pemimpin PKI dan
juga redaktur terkemuka di Harian Rakjat. Njoto memang aktif sebagai salah
satu ketua OISRAA bersama Utami Suryadarma, ketua umumnya.
Sebagian orang bisik-bisik, kalau Isa jauh lebih
beruntung dari eksil lain: keluarganya lengkap. Tak ada istilah derita jauh
dari anak dan istri. Semua lengkap mendampingi. Tapi mungkin derita, seperti
juga nasib kata Chairil Anwar, adalah kesepian masing-masing. Ia tak
terlihat sekilas dari luar.Sawang sinawang, begitu ungkapan orang Jawa.
Berbagai macam cerita berseliweran tentang dia. Minor
maupun mayor. Mungkin itu justru membuatnya terlihat sebagai seorang manusia
biasa. Bukan malaikat, apalagi iblis. Mungkin juga berbagai macam komentar yang
terlontar tentangnya karena dia aktif mencurahkan komentar-komentarnya yang
disebarnya sendiri melalui jaringan email (mailing list) dan belakangan melalui
media sosial facebook.
“Isa kalau cerita soal pengalaman eksil di Tiongkok nggak usah
dipercaya, kalau dia cerita soal Asia Afrika, dia bisa dipercaya,” kata
seseorang kepada saya.
Saya belum sempat mengkonfirmasi beberapa kisah kepada
Isa, namun sayang dia keburu wafat pada 16 Maret 2016. Selamat jalan, Pak Isa.
0 komentar:
Posting Komentar