Oleh: Petrik Matanasi - 9
Agustus 2019
mahasiswa baru mengikuti upacara pembukaan pelatihan pemberlajaran
sukses bagi mahasiswa baru (ppsmb) palapa universitas gadjah mada (ugm) 2015
bertajuk integritas keilmuan menyambut asean comunnunity dengan semangat
pancasila di kampus ugm, sleman, yogyakarta, selasa (18/8). kegiatan ppsmb yang
diikuti sekitar 9.500 mahasiswa baru yang mengusung semangat menyiapkan
pemimpin muda yang cerdas, inspiratif dan berbudaya itu guna membangun
kesadaran, kepedulian, toleransi dan kebangsaan dalam kehidupan kampus maupun
negara. antara foto/andreas fitri atmoko/pras/15.
Budaya plonco
sudah ada sejak zaman kolonial. CGMI dan PKI menolaknya.
Plonco sudah jadi masuk ke Indonesia sejak lama dan jadi
budaya sejak zaman kolonial. Dalam novel legendaris Siti Nurbaya (1920),
Marah Rusli menggambarkan Samsul Bahri diplonco sebagai calon pelajar
sekolah dokter Jawa (STOVIA) di kota Batavia pada awal abad lalu.
Mohamad Roem—yang sebentar jadi siswa STOVIA dan belakangan jadi ahli hukum mewakili Indonesia di perundingan Roem-Royen (1949)—punya catatan yang lebih rinci dalam tulisannya di Bunga rampai dari sejarah - Volume 3 (1983, hlm. 81). Ia menyebut di STOVIA memberlakukan masa perploncoan selama tiga bulan. Bukan masa yang sebentar, tentunya.
Kata-kata keras biasa keluar dalam perploncoan tiga bulan itu. Roem tergolong pelajar keras kepala. Para siswa plonco di STOVIA tidak digunduli. Setelah STOVIA ditiadakan dan Geneeskundige Hoogeschool (sekolah tinggi kedokteran) berdiri, praktik perploncoan masih ada. Tentu saja di sekolah tinggi lain pun mengikuti. Kata sebagian orang, plonco bagus untuk membina mental dan persahabatan.
Mohamad Roem—yang sebentar jadi siswa STOVIA dan belakangan jadi ahli hukum mewakili Indonesia di perundingan Roem-Royen (1949)—punya catatan yang lebih rinci dalam tulisannya di Bunga rampai dari sejarah - Volume 3 (1983, hlm. 81). Ia menyebut di STOVIA memberlakukan masa perploncoan selama tiga bulan. Bukan masa yang sebentar, tentunya.
Kata-kata keras biasa keluar dalam perploncoan tiga bulan itu. Roem tergolong pelajar keras kepala. Para siswa plonco di STOVIA tidak digunduli. Setelah STOVIA ditiadakan dan Geneeskundige Hoogeschool (sekolah tinggi kedokteran) berdiri, praktik perploncoan masih ada. Tentu saja di sekolah tinggi lain pun mengikuti. Kata sebagian orang, plonco bagus untuk membina mental dan persahabatan.
Pada zaman kolonial, istilah Belanda untuk plonco
adalah ontgroening atau groentjes. Pada zaman pendudukan Jepang
yang tak menyukai budaya Belanda, namanya diganti menjadi プãƒãƒ³ã‚³ (puronko).
Rahardjo Darmanto Djojodibroto dalam Tradisi kehidupan akademik mengartikan
plonco sebagai "kepala gundul" (2004, hlm. 61).
Militer Jepang
berkepala gundul dan sangat terobsesi mengguduli kepala laki-laki lain. Memang,
standar kepala laki-laki ala fasis Jepang adalah botak, seperti halnya kepala
Perdana Menteri Hideki Tojo. Hanya Kaisar keturunan Dewa Matahari saja yang
boleh terlihat ada rambut, itu pun pendek. Cukup masuk akal jika diperkirakan
istilah plonco mulai dipakai sejak zaman Jepang.
Setelah sekolah-sekolah tinggi makin banyak dibuka pasca-1950, perploncoan tetap lestari. Digunduli atau tidak, mahasiswa baru tetap saja dibentak dan diperintah senior. Kata plonco, kemudian tak hanya mengacu kepada kepala botak saja.
Setelah sekolah-sekolah tinggi makin banyak dibuka pasca-1950, perploncoan tetap lestari. Digunduli atau tidak, mahasiswa baru tetap saja dibentak dan diperintah senior. Kata plonco, kemudian tak hanya mengacu kepada kepala botak saja.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikannya sebagai
“calon mahasiswa yang sedang mengikuti acara kegiatan pengenalan kampus” Kata
plonco sempat digunakan untuk menyebut kondisi orang baru yang belum
berpengalaman.
Kini, kata plonco lebih sering dipakai untuk
menggambarkan proses di mana orang baru menyesuaikan diri dengan menuruti
perintah orang lama. Orang yang diplonco tentu dianggap pemula.
CGMI Tolak Plonco
Pada era demokrasi terpimpin, Consentrasi Gerakan
Mahasiswa Indonesia (CGMI) menolak plonco. Organisasi mahasiswa ini dekat
dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Rumornya, seperti yang dibilang mantan
Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, dalam Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan
Peristiwa 15 Januari 74 (1998, hlm. 279), Kolonel Marsudi adalah tokoh di
belakang layar pendirian CGMI. Marsudi sendiri adalah perwira intel daripada
Soeharto waktu Serangan Umum 1 Maret 1949. Marsudi juga disebut-sebut sebagai
salah satu perwira Operasi Khusus (Opsus) daripada Ali Moertopo.
CGMI cukup bertaring sebelum Presiden Sukarno tumbang. Di mata lawan-lawan politik PKI, CGMI sepaket dengan PKI. Dalam kenangan Guru Besar Sejarah UNY Husein Heikal, anak-anak CGMI tak senecis anak Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Tapi, meski terlihat lusuh, buku yang dibaca anak-anak CGMI lebih tebal. Husein Heikal sendiri mantan anggota HMI pada 1965.
CGMI cukup bertaring sebelum Presiden Sukarno tumbang. Di mata lawan-lawan politik PKI, CGMI sepaket dengan PKI. Dalam kenangan Guru Besar Sejarah UNY Husein Heikal, anak-anak CGMI tak senecis anak Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Tapi, meski terlihat lusuh, buku yang dibaca anak-anak CGMI lebih tebal. Husein Heikal sendiri mantan anggota HMI pada 1965.
CGMI pernah tampil sebagai pahlawan bagi mahasiswa yang
tidak suka atau merasa menderita karena perploncoan. Tak hanya CGMI, tapi juga
PKI. Menurut Rahardjo Darmanto Djojobroto, CGMI dan PKI menolak plonco karena
praktik tersebut adalah "tradisi kolonial” (2004, hlm. 66). Tak keliru
memang, karena sejarah plonco di sekolah memang dikembangkan sejak zaman
Belanda, makin berkembang di zaman Jepang, dan terus terpelihara setelah
Indonesia merdeka.
Masih menurut Rahardjo, perploncoan dilarang, akan tetapi
kemudian ada yang disebut Masa Kebaktian Taruna (1963). Lalu, setelah CGMI
dihabisi Orde Baru ada yang Masa Prabakti Mahasiswa yang alias Mapram (1968),
Pekan Orientasi Studi (1991), dan sekarang istilah perploncoan paling populer
adalah: Orientasi Studi Pengenalan Kampus yang disingkat OSPEK.
Tapi, apapun namanya dan berapapun durasinya, plonco selalu punya kedok program masa orientasi di kampus atau sekolah. Ada ketakutan dari siswa baru yang tidak ingin ikut. Misalnya takut kehidupannya setelah masa OSPEK dipersulit. Di kampus yang mahasiswanya sedikit, anak baru bahkan ketakutan sulit mendapat pekerjaan.
Kisah plonco Indonesia abad ini tak lagi datang di bekas sekolah tinggi yang didirikan di zaman kolonial. Meski mirip MOSVIA dan OSVIA zaman kolonial, yang sama-sama mendidik pegawai negeri untuk departemen dalam negeri, insan Sekolah Tinggi Pemerintah Dalam Negeri (STPDN) tentu tak mau disamakan. STPDN mulai eksis sejak 18 Agustus 1990, waktu Menteri Dalam Negeri dijabat Jenderal Rudini yang lulusan akademi militer Breda.
Semua tahu mahasiswa STPDN bergaya ala tentara. Sangat terlihat mereka meniru Akabri. Perploncoan di dalam kampusnya luar biasa brutal. Hukuman bagi siswa baru bukan cuma push up, tapi juga pukulan. Pada 2000, Erry Rahman jadi korban kekejaman senior dalam masa OSPEK. Dua tahun kemudian, Wahyu Hidayat menyusul. Perploncoan sadis itu sempat membuat STPDN jadi bahan berita nasional.
Nama STPDN pun berganti menjadi Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Tapi, lagi-lagi ada korban jiwa pada 2003, namanya Cliff Muntu.
Tapi, apapun namanya dan berapapun durasinya, plonco selalu punya kedok program masa orientasi di kampus atau sekolah. Ada ketakutan dari siswa baru yang tidak ingin ikut. Misalnya takut kehidupannya setelah masa OSPEK dipersulit. Di kampus yang mahasiswanya sedikit, anak baru bahkan ketakutan sulit mendapat pekerjaan.
Kisah plonco Indonesia abad ini tak lagi datang di bekas sekolah tinggi yang didirikan di zaman kolonial. Meski mirip MOSVIA dan OSVIA zaman kolonial, yang sama-sama mendidik pegawai negeri untuk departemen dalam negeri, insan Sekolah Tinggi Pemerintah Dalam Negeri (STPDN) tentu tak mau disamakan. STPDN mulai eksis sejak 18 Agustus 1990, waktu Menteri Dalam Negeri dijabat Jenderal Rudini yang lulusan akademi militer Breda.
Semua tahu mahasiswa STPDN bergaya ala tentara. Sangat terlihat mereka meniru Akabri. Perploncoan di dalam kampusnya luar biasa brutal. Hukuman bagi siswa baru bukan cuma push up, tapi juga pukulan. Pada 2000, Erry Rahman jadi korban kekejaman senior dalam masa OSPEK. Dua tahun kemudian, Wahyu Hidayat menyusul. Perploncoan sadis itu sempat membuat STPDN jadi bahan berita nasional.
Nama STPDN pun berganti menjadi Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Tapi, lagi-lagi ada korban jiwa pada 2003, namanya Cliff Muntu.
Lama tak makan
korban, tujuh tahun kemudian, giliran Rinra Sujiwa Syahrul Putra yang tewas.
Putra dari Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo ini bukan korban
terakhir. Masih ada Jonoly Untayanadi yang jadi korban pada 2017.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Windu Jusuf
0 komentar:
Posting Komentar