Oleh Nur Janti
Nasib perempuan dalam praktik pergundikan di Hindia
Belanda. Pramoedya menggambarkan Nyai Ontosoroh sebagai pengecualian.
Nyai Ontosoroh dan Annelis Mellema dalam film arahan Hanung Bramantyo.
(Falcon Pictures).
DARI balik pintu muncul seorang perempuan pribumi
mengenakan kebaya putih berenda, berkain jarik dengan selop beludru hitam
berhias sulaman perak.
Dialah Nyai Ontosoroh, gundik Tuan Mellema yang banyak
dikagumi orang. Kehadirannya begitu mengesankan sebab selain penampilannya yang
anggun dan rapi, bahasa Belandanya pun apik. Hal yang sulit ditemui pada diri
seorang nyai.
Kisah Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia karangan
Pramoedya Ananta Toer menjadi gambaran umum kondisi pergundikan di era
kolonial. Praktik ini sebenarnya sudah dilakukan sejak VOC bercokol di Hindia
Timur.
Ketika Terusan Suez dibuka pada November 1869 peluang
kehadiran orang Eropa makin tinggi karena perjalanan lebih singkat. Antara
1870-1880 ada sekira sepuluh ribu orang Eropa yang datang ke koloni, kebanyakan
lelaki.
Perempuan Eropa masih amat langka, dengan perbandingan
tiap 10 ribu lelaki terdapat 123 perempuan kulit putih. Angka ini belum
termasuk golongan mestizo.
Karena kesulitan mencari pasangan satu ras inilah, para
bujangan Eropa kebanyakan hidup bersama nyai. Praktik pergundikan ini jamak
ditemui di tangsi militer, perkebunan, dan masyarakat sipil di kota.
“Mereka anggap tinggal bersama gundik sebagai tindakan illegal dan tidak diterima secara moral tapi di saat yang sama mereka membutuhkan bahkan diuntungkan dengan praktik ini,” kata Reggie Baay penulis buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda kepada Historia.
VOC dan pemerintah kolonial mendiamkan perilaku ini
karena selain memudahkan pengenalan adat dan bahasa setempat, mereka juga tak
dibebani tunjangan lebih karna status pegawai yang masih lajang. Para elite tak
perlu repot mendatangkan perempuan Eropa, juga tak perlu pusing oleh penyakit
kelamin yang tersebar di rumah bordil.
Namun, di balik semua keuntungan ini ada cibiran dan
penolakan masyarakat kolonial pada praktik pergundikan. Di era VOC, penolakan
paling dominan datang dari kalangan gereja yang melarang pernikahan dengan
orang non-kristen.
Sementara, di era berikutnya, penolakan lebih didasarkan
pada perbedaan rasial. Peraturan yang dikeluarkan Gubernur Jenderal Dymaer van
Twist pada 1850-an menyebut tentara yang hidup bersama nyai akan ditangguhkan
kenaikan pangkatnya.
Djoemiha tinggal bersama Alfred Wilhelm, anggota KNIL. (Repro Nyai
dan Pergundikan di Hindia Belanda).
Ketidaksukaan masyarakat kolonial pada praktik
pergundikan juga memunculkan asumsi bahwa alasan perempuan pribumi mau menjadi
nyai karena pertimbangan materialistis. Anggapan tersebut, menurut Tineke
Hellwig dalam Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda, melupakan
posisi para perempuan terjajah dalam sistem kolonial. Para perempuan muda ini
tidak punya suara apalagi pilihan. Ia hidup pada lingkungan tertindas di mana
kemauan lelaki (ayah atau tuannya) harus dipenuhi tanpa penolakan.
Ketidakberdayaan pada keputusan ayah ini pula yang
dialami Sanikem. Ia hanya bisa patuh pada keinginan ayahnya. Protes dari sang
ibu pun tak berbuah hasil, akhirnya mereka hanya bisa berbalas tangis dalam
perjalanan menuju rumah Herman Mellema. Nasib perempuan yang lebih buruk dikisahkan
Jan Breman dalam Menjinakkan Sang Kuli. Seorang kuli perempuan di
perkebunan Deli menolak pinangan tuannya untuk menjadi seorang nyai lantaran
ingin bersetia pada pasangan pribuminya. Keputusannya alih-alih diterima malah
berbuah hukuman dengan siksaan yang kejam.
Setelah jadi nyai pun, nasib para perempuan Asia ini
belum tentu mujur. Seorang nyai bisa dibilang tidak punya hak apa pun. Mereka
hanya diangap sebagai properti tuannya. Itulah mengapa beberapa orang Eropa
menyebut nyai dengan julukan penuh hinaan. Meubel atau inventarisstukkarena
mereka dengan mudah dipindahtangankan ke lelaki Belanda lain, atau bahkan
dilelang sebagai bagian dari inventaris.
Hubungan tuan-gundik nyatanya tak melulu buruk. Ada yang
hidup bahagia seperti Nyai Ontosoroh, mendapat kesempatan megembangkan
kemampuan membaca, menulis, dan berbahasa Belanda.
“Tentu ada pengecualian. Meski secara umum ditolak oleh masyarakat kolonial, ada juga lelaki Eropa yang bersikap baik seperti perlakuan Herman pada Ontosoroh. Penulis Willem Welraven misalnya. Relasi baik jadi kesempatan nyai untuk mendapat pengetahuan baru, meningkatkan intelektualitas, dan statusnya,” kata Reggie Baay.
Willem Welraven adalah penulis dan wartawan yang hidup
pada pergantian abad ke-19. Ia menikahi gundiknya, Itih dan memperlakukannya
laiknya ibu dan istri. Ia mengajari Itih membaca, menulis, berhitung, dan
berbahasa Belanda. Ia juga mengajari Itih cara mengelola keuangan setelah
sebelumnya jengkel pada ketidakpahaman istrinya itu. Walraven tak ambil pusing
dengan stigma kolonial. Ia bahkan tak malu mengenalkan Itih sebagai istrinya.
Kawin campur Welraven-Itih bisa terjadi setelah
pelarangan pernikahan dengan non-kristen dihapus pada 1848. Disusul kemudian
pemberian status Eropa bagi para gundik yang dinikahi tuannya pada 1898.
Setelah pernikahan campuran diakui, ada 80-100 pasangan yang menikah tiap tahun
pada dekade 1886-1897.
Hanneke Ming dalam “Barracks-Concubinage in the Indies,
1887-1920” mencatat anggota tentara baru diizinkan menikahi pasangan pribuminya
pada 1908. Namun perilaku hipokrit masyarakat kolonial tak hilang begitu saja.
Mereka mengejek pergundikan, namun ketika pasangan beda ras ini hendak melegalkan
hubungannya, ancaman karier menghadang si lelaki.
Hal inilah yang dialami pasangan Gow Pe Nio dan suaminya
Jurjen seperti diceritakan Reggie Baay dalam bukunya Nyai dan Pergundikan
di Hindia Belanda. Jurjen merupakan apoteker militer kelahiran Belanda. Sementara
Pe Nio bekerja sebagai pembantu di rumah residen Bandung.
Gow Pe Nio dan suaminya Jurjen. (Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda).
Kekhawatiran adanya hambatan karier juga dirasakan tentara KNIL Alfred Wilhelm. Alfred menjalin hubungan dengan perempuan bumi putera asal Gombong, Djoemiha Noerawidjojo. Mereka bertemu di warung makan tempat kerja Djoemiha. Alfred rupanya datang tak hanya mencari makan tetapi juga mencari pasangan. Ia pun meminta Djoemiha menjadi nyainya. Djoemiha-Alfred tak pernah menikah formal namun mereka saling menemani hingga dipisah maut dengan selisih lima hari pada 1954 di Jakarta.
Mereka bertemu ketika Jurjen bertamu ke rumah residen
itu. Jurjen meminta Pe Nio menjadi nyainya yang disambut kata setuju. Pada 1908
mereka dikaruniai anak pertama lalu menikah setahun setelahnya. Keputusan ini
berdampak pada karier Jurjen. Ia lantas keluar dari dinas militer dan membuka
apotek di Bandung.
Gow Pe Nio dan suaminya Jurjen. (Nyai dan Pergundikan di
Hindia Belanda).
Kekhawatiran adanya hambatan karier juga dirasakan
tentara KNIL Alfred Wilhelm. Alfred menjalin hubungan dengan perempuan bumi
putera asal Gombong, Djoemiha Noerawidjojo.
Mereka bertemu di warung makan
tempat kerja Djoemiha. Alfred rupanya datang tak hanya mencari makan tetapi
juga mencari pasangan. Ia pun meminta Djoemiha menjadi nyainya.
Djoemiha-Alfred tak pernah menikah formal namun mereka
saling menemani hingga dipisah maut dengan selisih lima hari pada 1954 di
Jakarta.
Hubungan Tragis
Kisah Nyai Ontosoroh selain memberikan gambaran perempuan
mandiri, juga mencerminkan kerapuhan posisi nyai. Dalam hubungan pergundikan,
tak ada pengakuan secuil pun baik sebagai pasangan lelaki Eropa atau ibu.
Ketika Annelis dan Robert sudah diaku sebagai anak Herman
Mellema, mereka berhak menyandang nama belakang ayahnya dan punya status
sebagai orang Eropa. Pengakuan ini di lain sisi, membuat posisi sosial mereka
lebih tinggi dibanding ibunya sendiri.
Aturan tentang pengakuan keturunan mulai dikeluarkan pada
1828 lantaran anak-anak hasil pergundikan tak terhitung jumlahnya. Bila si ayah
tak ingin mengadopsi anaknya, pendaftaran kelahiran tetap bisa dilakukan.
Anak-anak yang tak diadopsi tapi tetap didaftarkan kelahirannya itu menyandang
nama ayahnya dengan penulisan terbalik. Misal, Kijdsmeir dari van Riemsdijk,
Rhemrev dari Vermehr, Snitsevorg dari Grovestins, atau Esreteip dari Pieterse.
Aturan lain menyusul kemudian yang memuat tentang hak
asuh anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 40 dan 354 tahun 1848.
Anak-anak hasil pergundikan yang sudah diadopsi ayahnya, secara hukum hubungan
dengan ibu kandungnya gugur. Anak-anak itu murni milik ayahnya. Bila suatu hari
ayahnya meninggal, si ibu tidak dapat mengambil alih hak asuh anak itu.
Itulah sebabnya setelah kematian Herman Mellema,
perwalian Annelis diserahkan ke tangan Maurits Mellema, yang secara hukum
diakui punya hubungan kekerabatan. Sementara Nyai Ontosoroh tak punya kuasa apa
pun di mata hukum koloni.
Keputusan pengadilan yang mengalihkan hampir seluruh hak
waris dan perwalian Annelis ke tangan Maurits meruntuhkan segala usaha Nyai
Ontosoroh yang ia bangun bertahun-tahun. Pada akhirnya Nyai Ontosoroh dilempar
dari permainan hukum kolonial yang tidak berpihak pada kaum bumi putera.
Annelis, satu-satunya harapan Nyai Ontosoroh, pun
akhirnya dikirim Maurits ke Belanda. Menjadi pelengkap kisah tragis dalam
hubungan nyai dan anaknya.
Perpisahan para nyai dengan anaknya ini jadi kasus yang
jamak terjadi. Hal serupa juga dialami ayah Reggie Baay. Ayah Reggie tak tahu
betul siapa ibunya. Jejaknya hanya tertinggal dalam akta pengakuan keturunan
yang dibuat kakeknya, Daniel Baay.
Nenek Reggie, bernama Moeinah yang berasal dari kelaurga
muslim miskin di Jengkilung, Surakarta (kemugkinan kini Desa Pendem,
Sumberlawang, Sragen). Ia bekerja sebagai pelayan di rumah Daniel Baay dan Parijem,
anak dari bangsawan rendah Kraton Surakarta.
Rupanya Louis Baay, anak Daniel, menaruh perhatian pada
Moeinah. Mereka pun hidup bersama di villa kecil milik keluarga Baay di
Surakarta. Hubungan ini membuat Moeinah melahirkan seorang putra, ayah Reggie
pada 1919. Belum genap setahun mengurus bayinya, Moeinah diminta meninggalkan
rumah dan kembali ke desanya.
Pada 1926, ketika Moeinah berusia sekira 25 tahun, ia
kembali dipanggil oleh keluarga Baay untuk pembuatan “akta” anaknya. Setelah
hak atas anak jatuh pada keluarga Baay, Moeinah kembali dilupakan. Ia tidak
diperkenankan menemui anaknya.
“Saya seorang indo. Nenek saya dulu seorang nyai, tapi ayah saya tak pernah tahu siapa ibu kandungnya,” kata Reggie.
Moeinah dipisahkan dan dipaksa melupakan anaknya. Namun
kenangan atas anak yang ia lahirkan dan rawat selama beberapa bulan, barangkali
tak bisa ia lupakan begitu saja.
Ayah Reggie lebih-lebih tak punya bayangan seperti apa
rupa ibunya. Ia pun selalu menolak membicarakan tentang ibu kandungnya itu. Namun,
sedikit ingatan buram pada masa kecilnya, ia catat di belakang akta pengakuan.
Ketika masih kecil beberapa kali ia menyaksikan seorang
perempuan Jawa berdiri di dekat pagar rumah.
“Berkali-kali ia berusaha untuk mendekatiku tetapi kerap dihalau oleh pelayan kami. Akankah ia…”
0 komentar:
Posting Komentar