AHMAD
NAUFAL DZULFAROH -
14/08/2019, 05:30 WIB
Pramoedya Ananta
Toer.(KOMPAS/LASTI KURNIA)
KOMPAS.com - Sosok Pramoedya Ananta Toer, kembali menjadi perbincangan ketika novelnya yang berjudul Bumi Manusia difilmkan.
Pram, nama panggilannya, merupakan sastrawan Indonesia
yang pernah menjadi tahanan politik di masa Orde Baru. Ia dituduh terlibat
dengan PKI, sehingga dipenjara bersama ribuan tahanan politik lainnya di Pulau
Buru pada tahun 1966.
Berbicara sosok Pram, tak bisa dilepaskan dari Pulau
Buru. Selama 13 tahun dalam masa tahanannya, Pram menghasilkan karya besar
berupa Tetralogi Pulau Buru yang hingga saat ini masih bisa kita nikmati.
Tetapi, apakah empat novel tersebut ditulis tanpa fasilitas mesin tik, kertas,
dan meja tulis?
Dikutip dari Harian Kompas (15/5/2006), Pram tidak
memiliki fasilitas untuk menulis atau mengarang sebagaimana tahanan politik
lainnya.
Para tahanan, termasuk Pram, diharuskan bekerja di ladang
atau kerja fisik lainnya hampir sembilan jam per hari. Humor dan Seks Di malam
hari pun, lampu wajib dimatikan pada pukul 20.00 malam.
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang dipenjara di Pulau Buru sekitar
tahun 1977, menyelesaikan karya-karyanya dengan sebuah mesin tik tua.
(KOMPAS/SINDHUNATA)
Dalam kondisi demikian, sulit bagi para tahanan untuk menulis. Selain tidak ada waktu, para tahanan juga tidak memiliki fasilitas untuk itu. Akan tetapi, Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro datang ke Pulau Buru pada tahun 1972 dan menanyakan kebutuhan yang diinginkan Pram.
Pada saat itu juga si pengarang ulung itu mengajukan
permintaan untuk memperoleh mesin tik, dan alat tulis-menulis. Permintaan
tersebut pun segera dipenuhi oleh Jenderal Soemitro.
Baru pada tahun 1973, Pram diperlakukan lebih khusus
dibandingkan dengan ribuan tahanan lainnya dan mendapatkan fasilitas yang ia
minta sebelumnya.
Penderitaan Pram di Pulau Buru juga berpengaruh pada gaya
penceritaannya. Pram hampir tidak pernah menyelipkan humor dan seks dalam
novelnya.
"Hidup saya dalam penindasan terus, bagaimana mau ketawa? Paling-paling yang bisa saya lakukan mengejek. Kalau soal seks banyak, cuma tidak mendetail," kata Pram seperti diberitakan Harian Kompas (4/4/1999).
Apa yang membuat Pram begitu ditakuti dulu, namun
dirayakan kini?
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Hilmar Farid, pernah meneliti tentang dekolonisasi dalam karya Pram.
Ia menyebut, di Orde Lama kritik yang disampaikan Pram lewat esai dan ceritanya
juga dilakukan oleh banyak penulis lainnya.
Namun setelah Orde Baru berkuasa, Pram menjadi satu dari
sedikit penulis yang masih berani melawan kendati dalam tahanan.
"Tahun 1970-an bentuk novel sejarah seperti Pram enggak banyak. Boleh dibilang dari segi itu Pram pelopor lah, bikin historical novel. Ini genre yang khas karena selalu berusaha menggambarkan masyarakat sebagai totalitas, bukan fragmen. Dari segi itu belum ada bandingannya," kata Fay, panggilan akrab Hilmar Farid dalam perbincangan dengan Kompas.com beberapa waktu lalu.Penulis : Ahmad Naufal Dzulfaroh
Editor : Sari Hardiyanto
0 komentar:
Posting Komentar