HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Rabu, 29 Agustus 2018

Bagaimana Gubernur Soerjo Dibunuh Pengikut PKI?

Oleh: Petrik Matanasi - 29 Agustus 2018


Ilustrasi Gubernur Soerjo. tirto.id/nadya



Soerjo tidak sengaja berpapasan dengan sisa kombatan yang terlibat dalam Peristiwa Madiun. Di sekitar jalan poros Ngawi Sragen itu nyawanya melayang.
Waktu zaman Jepang, Maladi Jusuf adalah pelajar di Sekolah Bahasa Nippon. Setelah Agustus 1945, ia sudah jadi komandan kompi dalam laskar Pemuda Republik Indonesia (PRI) di bagian utara kota Surabaya. Laskar ini ikut terlibat dalam pertempuran 10 November. Belakangan, pasukan Maladi Jusuf makin banyak. Ia lalu menjadi pemimpin batalyon.

Menurut Fransisca Fanggidaej dalam Memoar Perempuan Revolusioner (2006: 133), Batalyon pimpinan Maladi Jusuf berada di bawah komando Brigade 29 di tahun 1948. Komandan Brigadenya adalah Letnan Kolonel Dachlan. Di dalam brigade pimpinan Dachlan ini banyak sekali orang-orang kiri. Kebanyakan bekas Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) bergabung di dalamnya.

Diungkapkan Harry Albert Poeze dalam Madiun 1948: PKI Bergerak (2011: 197), Brigade 29 bermarkas besar di Kediri. Sementara batalyon elite pimpinan Maladi Jusuf bermarkas di selatan Kediri. Brigade ini terlibat dalam Peristiwa Madiun dan belakangan dianggap melakukan pembangkangan. Mereka bertempur melawan tentara kiriman dari Pemerintah Republik di Yogyakarta.

Di antara pasukan Dachlan, Batalyon Maladi Jusuf adalah yang paling unggul. Tentara pemerintah sulit menaklukannya. Setelah Brigade Dachlan disikat, Batalyon Maladi Jusuf selalu berhasil kabur. Menurut Himawan Soetanto dalam Perintah Presiden Soekarno: Rebut Kembali Madiun (1994: 215-217), batalyon ini kerap bertempur untuk melindungi rombongan mantan Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin, sang pemimpin Front Demokrasi Rakjat (FDR).

Setelah Oktober 1948, sisa batalyon Maladi Jusuf belum hancur. Pasukan ini bertahan di sekitar jalan poros Ngawi-Sragen. Di jalan poros itu, sisa pasukan yang bersenjata, dan sudah pasti berbahaya, bisa mencegat siapa saja yang melewatinya.

Diperintahkan Amir Sjarifoeddin

Dalam bukunya yang lain, Madiun: Dari Republik ke Republik (2006: 181), Himawan Soetanto mengisahkan bahwa pada 9 November 1948 ada pergerakan pasukan dari arah Lawu menuju utara, menyeberangi jalan poros itu. Warga desa Plang Lor terheran-heran melihat banyaknya rombongan pasukan. Ada yang berseragam militer, ada juga yang berpakaian hitam seperti warok (pendekar Ponorogo).
“Tiba-tiba dari arah barat meluncur suatu mobil sedan berwarna hitam. Dari mobil itu keluar tiga orang yang langsung ditodong dengan senapan, dilucuti dan diseret beramai-ramai,” aku Kromo Astro, seorang kamitua Prang Lor, seperti dicatat dalam Lubang-lubang Pembantaian: Petualangan PKI di Madiun (1990: 156-157). 
Para pengepung menebak bahwa mereka yang berada di mobil hitam itu adalah pembesar yang pulang dari Yogyakarta. “Wah, ini pembesar yang kerjanya makan enak tidur enak,” kata orang-orang FDR itu. 

Kromo Astro mengaku, ketika para penumpang mobil itu hendak dibunuh, ia berusaha mencegahnya. Jika dibunuh di pasar, maka warga desa akan merasa ngeri. 



Kemudian datanglah seseorang dengan mengendarai kuda. Para pengepung memanggilnya "Pak Amir". Dalam catatan kaki di buku Harry Poeze disebutkan bahwa beberapa sumber menyatakan Amir Sjarifoeddin berada di lokasi kejadian dan sempat berbincang-bincang dengan tawanan.
“Pak Amir memerintahkan agar ketiga orang itu dibunuh di saja di hutan yang lebih jauh. Ketiga orang itu kemudian diarak beramai-ramai ke dalam hutan sambil terus disoraki dan dicaci maki,” aku Kromo Astro. 
Tiga orang yang dibunuh itu memang pejabat negara. Belakangan diketahui, para korban adalah Komisaris Besar Doeryat, Komisaris Polisi Soeroko, dan Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo. Nama terakhir adalah mantan Gubernur Jawa Timur. Meski tak jadi gubernur lagi ketika disergap, orang-orang tetap mengenalnya sebagai Gubernur Soerjo.

Di sekitar tempat pembunuhan itu, kemudian dibangun sebuah monumen untuk mengenang Ario Soerjo. 

“Laporan tentang peletakan batu pertama monumen pada 14 Juli 1973 mencantumkan tanggal 10 November, dan menyebut Maladi Jusuf sebagai pimpinan dari kelompok PKI yang menahan Soerjo dan rombongannya,” catat Poeze (2011: 265). 
Menurut Suripno, salah satu pengepung, sebenarnya tak ada maksud untuk membunuh mereka. Para pengepung ingin memperlakukan Soerjo dengan baik untuk mengorek berita dari Yogyakarta. Rombongan itu ketinggalan banyak kabar terkini di akhir 1948 itu. Mereka merasa hidup dalam ketidakpastian. Para pengepung kemudian mendapat serangan mendadak dari TNI dan mereka yang tertawan kemudian dibunuh.

Cerita lain terkait kematian Soerjo ditulis Soebagijo I.N. dalam biografi mantan gubernur Jakarta, Sudiro: Pejuang Tanpa Henti (1981: 191) Di hari naas tersebut, dalam perjalanan pulang dari Yogyakarta, Soerjo sempat singgah di rumah Sudiro yang saat itu menjabat Residen Solo. Sudiro menyebut, peristiwa itu terjadi pada 11 November.

Buku biografi Soerjo yang dirilis pemerintah, Gubernur Suryo (1982: 160-161), yang disusun Sutjiatningsih, menyebut Soerjo baru pulang dari Yogyakarta dalam rangka Peringatan Hari Pahlawan 10 November 1948. Soerjo sempat disarankan Hatta untuk menunda kepulangan, tapi dirinya bersikeras pulang. Di buku tersebut ditulis, “Setibanya di desa Bogo, Kedunggalar, Ngawi, mobil Pak Suryo berpapasan dengan sisa-sisa gerombolan PKI yang dipimpin Maladi Jusuf (hlm. 160-161).

Infografik Gubernur soerjo

Maladi Hilang, Soerjo Dikenang

Setelah kejadian, Maladi Jusuf tidak ikut dihabisi tentara pemerintah yang kerap gagal membekuknya. Berhubung ada Agresi Militer 19 Desember 1948 atas Yogyakarta yang disusul penawanan pejabat RI, maka banyak sisa kombatan yang terlibat dalam Peristiwa Madiun terlupakan. Mereka dibiarkan masuk bergabung dengan TNI lagi. Termasuk Maladi Jusuf dan pasukannya.
“Saya dengar bahwa batalyon itu direhabilitasi oleh Kolonel Gatot Subroto sebagai pasukan TNI, oleh karena aktif melawan Belanda dalam Perang Kemerdekaan Kedua,” aku Sayidiman Suryohadiprojo dalam Mengabdi Negara Sebagai Prajurit TNI: Sebuah Otobiografi (1997: 105). 
Sayidiman menaruh curiga pada Maladi Jusuf dan bawahannya waktu bertugas di Jawa Barat. Sekitar 1965, Maladi Jusuf kena garuk aparat terkait G30S. Setelah itu tak ada lagi kabar tentangnya.

Ario Soerjo tentu saja terus dikenang. Baik terkait jasa-jasanya pada Republik Indonesia dan juga sebagai korban kekejaman kombatan PKI Madiun. Pangrehpraja lulusan OSVIA yang pernah jadi mantri polisi di zaman kolonial ini pernah menjabat Bupati Magetan di waktu Jepang belum datang. 

Di zaman Jepang, dia jadi Residen Bojonegoro. Pada akhir masa pendudukan Jepang, Soerjo termasuk salah seorang anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). 

Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, dia diangkat menjadi Gubernur Jawa Timur. Pada saat hari naas 10 November 1948 itu, Soerjo tidak lagi gubernur, melainkan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Republik Indonesia.
_
________

Infografis dalam artikel ini telah mengalami revisi. Sebelumnya, terdapat kesalahan foto Maladi Jusuf. Foto yang ditampilkan adalah R. Maladi (Menteri Olahraga 1964-1966). Kami menghilangkan foto tersebut sebagai koreksi dan memohon maaf kepada semua pihak yang dirugikan, terutama kepada keluarga R. Maladi

Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan


Para pengepung ingin memperlakukan Soerjo dengan baik untuk mengorek berita dari ibu kota Republik.

Sumber: Tirto.Id 

Selasa, 28 Agustus 2018

7 Kasus Genosida Sepanjang Sejarah Moderen


Reporter: Eka Yudha Saputra | Editor: Budi Riza
Selasa, 28 Agustus 2018 13:52 WIB

Kuburan massal genosida Holocaust di Mauthausen [collections.ushmm.org]

Jakarta - Kata genosida pertama kali diciptakan oleh pengacara Polandia Raphäel Lemkin pada tahun 1944 dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe. Penjelasan ini tercantum dalam kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB Urusan Pencegahan Genosida dan Perlindungan (Genocide Prevention and The Responsibility to Protect).

Kata ini terdiri dari "genus" prefiks Yunani, yang berarti ras atau suku, dan sufiks Latin "cide", yang berarti pembunuhan. Lemkin mengembangkan istilah itu terkait kebijakan Nazi yang melakukan pembunuhan sistematis terhadap orang-orang Yahudi selama Holocaust. Dia juga merujuk kepada contoh-contoh kejahatan sebelumnya dalam sejarah yang memusnahkan kelompok tertentu.

Raphäel Lemkin menggalang kampanye agar genosida diakui dan dimasukkan dalam hukum dunia sebagai kejahatan internasional.
Dilansir dari www.un.org, 28 Agustus 2018, genosida pertama kali diakui sebagai kejahatan berdasarkan hukum internasional pada 1946 oleh Majelis Umum PBB.

Ada lima aksi yang bisa didefinisikan sebagai genosida yaitu bermaksud menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, kelompok nasional, etnis, ras atau agama, seperti membunuh anggota kelompok, menyebabkan kerusakan fisik atau mental yang serius bagi anggota kelompok. 

Berikut adalah kasus genosida sesuai konvensi PB, seperti dilansir dari endgenocide.org, genocidewatch.net, dan Inter-Parliamentary Alliance for Human Rights and Global Peace (ipahp.otg).

1. Genosida Armenia

Pembantaian massal era Perang Dunia I dan deportasi hingga 1,5 juta orang Armenia oleh Turki Ottoman adalah masalah yang sangat sensitif baik di Armenia maupun Turki.[www.rferl.org]Sejak 1915, etnis Armenia yang tinggal di Kesultanan Ottoman dikumpulkan, dideportasi, dan dieksekusi atas perintah pemerintah.

Pembantaian, pemulangan, deportasi paksa dan kematian karena penyakit di kamp-kamp konsentrasi diperkirakan telah menewaskan lebih dari 1 juta etnis Armenia, Asyur dan Yunani antara 1915 dan 1923. 

Akar genosida terletak pada runtuhnya Kekaisaran Ottoman. Pada pergantian abad ke-20, Kekaisaran Ottoman yang dulu tersebar luas runtuh. Kekaisaran Ottoman kehilangan semua wilayahnya di Eropa selama Perang Balkan 1912-1913, menciptakan ketidakstabilan di antara kelompok-kelompok etnis nasionalis.

"Pada tahun 1894, pembantaian "kotak di telinga" adalah yang pertama dari pembantaian Armenia. Pasukan Utsmani, militer dan warga sipil menyerang desa-desa Armenia di Anatolia Timur, menewaskan 8.000 orang Armenia, termasuk anak-anak.

2. Holocaust oleh Nazi Jerman 

Setelah berkuasa pada tahun 1933, Partai Nazi Jerman menerapkan strategi penganiayaan, pembunuhan dan genosida yang sangat terorganisir yang bertujuan untuk "memurnikan" Jerman secara etnis. Ini sebuah rencana yang disebut Hitler "Solusi Akhir".Enam juta orang Yahudi dan lima juta Slavia, Roma, disablitas, Saksi Yehuwa, homoseksual, dan pembangkang politik dan agama tewas selama Holocaust.

Sepanjang malam 9-10 November 1938, kerusuhan di seluruh Jerman, Austria, dan bagian dari Cekoslowakia (sekarang Ceko dan Slavia), yang dikuasai Jerman, menargetkan orang-orang Yahudi dan tempat-tempat bisnis dan ibadah mereka. Malam-malam ini dikenal sebagai Kristallnacht, atau "Malam Kaca Pecah".

Selama dua malam itu, ratusan (dan mungkin ribuan) sinagog dibakar. Lebih dari 7.000 bisnis milik Yahudi dijarah dan dihancurkan, dan hampir 100 orang Yahudi terbunuh selama kerusuhan. Sekitar 30.000 pria Yahudi ditangkap dan diangkut ke kamp konsentrasi.

3. Khmer Merah Kamboja

Ketika kelompok Khmer Merah mengambil alih pemerintahan Kamboja pada 1975, mereka memulai kampanye "pendidikan ulang" yang menargetkan para pembangkang politik.Golongan ini termasuk dokter, guru, dan siswa yang dicurigai menerima pendidikan.

Mereka dipilih untuk disiksa di penjara Tuol Sleng yang terkenal kejam.Dalam empat tahun setelah mereka berkuasa, antara 1,7 dan 2 juta warga Kamboja tewas dalam "Killing Fields" atau ladang pembantaian Khmer Merah.

Partai Komunis Kampuchea, yang secara informal dikenal sebagai Khmer Merah, mengacu pada etnis mayoritas negara dan merah sebagai warna komunisme. Partai ini lahir dari perjuangan melawan penjajahan Prancis dan dipengaruhi oleh orang Vietnam. Gerakan ini dipicu Perang Indochina pertama pada 1950-an, berkembang menjadi pesta resmi pada tahun 1968 dan tumbuh selama 20 tahun ke depan.  

4. Rwanda

Genosida Rwanda adalah salah satu tragedi berdarah dalam sejarah manusia. Kecelakaan pesawat pada 1994, yang menyebabkan kematian Presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana, memicu kekerasan terorganisir terhadap suku Tutsi dan penduduk sipil Hutu moderat di seluruh negeri.

Sekitar 800.000 orang Tutsi dan Hutu yang moderat dibantai dalam program genosida yang diorganisir selama 100 hari, menjadikan genosida ini sebagai pembantaian tercepat dalam sejarah di dunia. Rwanda terdiri dari tiga kelompok etnis utama: Hutu, Tutsi dan Twa. Hampir 85 persen dari populasi adalah Hutu, menjadikannya kelompok mayoritas di Rwanda.

Tutsi terdiri dari 14 persen populasi dan Twa mencapai 1 persen. Kekuasaan kolonial Belgia percaya bahwa Tutsi lebih unggul dari Hutu dan Twa, dan menempatkan Tutsi, yang bertanggung jawab atas Rwanda. Namun pada akhir pemerintahannya, kolonial Belgia mulai memberi lebih banyak kekuatan kepada Hutu. Ketika Hutu memperoleh lebih banyak pengaruh, mereka mulai mengusir Tutsi dari Rwanda dan secara signifikan menurunkan populasi Tutsi. 

5. Konflik Bosnia

Pada 1991, Yugoslavia mulai pecah akibat konflik etnis. Ketika Republik Bosnia dan Herzegovina (Bosnia) mendeklarasikan kemerdekaan pada 1992, wilayah itu menjadi medan pertempuran.Orang-orang Serbia mengincar warga sipil Bosnia dan Kroasia di daerah-daerah yang berada di bawah kendali mereka dalam kampanye pembersihan etnis.

Perang di Bosnia merenggut nyawa sekitar 100.000 orang. Republik Federal Yugoslavia dibentuk pada akhir Perang Dunia II, terdiri dari Bosnia, Serbia, Montenegro, Kroasia, Slovenia, dan Makedonia. Banyak kelompok etnis membentuk populasi, termasuk Kristen Ortodoks Serbia, Muslim Bosnia, Kroasia Katolik, dan etnis Albania Muslim.

Saat Presiden Josip Broz Tito berkuasa pada 1943, dia memerintah dengan tangan besi. Meskipun dia dianggap sebagai "diktator yang baik hati" dan kadang-kadang cukup kejam, upaya Tito memastikan bahwa tidak ada kelompok etnis yang mendominasi negara itu, melarang mobilisasi politik dan berusaha menciptakan identitas Yugoslavia yang terpadu.  

6. Perang Saudara Sudan

Lebih dari satu dekade lalu, pemerintah Sudan melakukan genosida terhadap warga sipil Darfuri, membunuh 300.000 dan menyebabkan lebih dari 2 juta orang mengungsi. Selain krisis yang sedang berlangsung di Darfur, pasukan di bawah komando Presiden Sudan Omar al-Bashir telah melakukan serangan terhadap warga sipil di wilayah Abyei yang menjadi sengketa, dan negara bagian Kordofan Selatan dan Nil Biru.

Pada 2003, situasi pecah ketika pemerintah Sudan menangkapi pemberontakan di wilayah Darfur, Sudan. Ini memulai kampanye genosida terhadap warga sipil yang mengakibatkan kematian lebih dari 300.000 dan perpindahan lebih dari tiga juta warga Darfur. Para pengungsi internal (IDP) berbaris di pagi hari untuk distribusi makanan umum di Situs Perlindungan PBB Sipil, Malakal, Sudan Selatan.

Pada 2010, pemerintah Sudan dan pemberontak Darfuri menandatangani perjanjian gencatan senjata dan memulai pembicaraan damai jangka panjang yang dikenal sebagai forum perdamaian Doha. Selama negosiasi ini, langkah-langkah dilakukan untuk memberikan Darfur otonomi daerah yang lebih luas di bawah pemerintah Sudan daripada membiarkan referendum untuk menjadi negara merdeka seperti Sudan Selatan. 

7. Rohingya di Myanmar

Sebuah laporan oleh Tim Independen Pencari Fakta PBB secara eksplisit menyatakan enam pejabat militer Myanmar menghadapi tuduhan genosida atas kampanye militer mereka terhadap etnis minoirtas Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine.

Dilaporkan Reuters, 28 Agustus 2018, Tim Independen menyerukan kepada Dewan Keamanan PBB untuk memberlakukan embargo senjata terhadap Myanmar, memberi hukuman kepada para pejabatnya lewat pengadilan ad hoc untuk menuntut para tersangka atau merujuk mereka ke Pengadilan Pidana Internasional di Den Haag, Belanda.

Setahun yang lalu, pasukan pemerintah Myanmar memimpin tindakan brutal di negara Rakhine Myanmar sebagai serangan balik atas serangan kelompok Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) di 30 pos polisi Myanmar dan pangkalan militer. Sekitar 700.000 orang Rohingya melarikan diri dari serangan brutal militer Myanmar. Sebagian besar kini tinggal di kamp-kamp pengungsi di negara tetangga Bangladesh. 

Sumber: Tempo.Co 

Senin, 27 Agustus 2018

Misteri Supersemar, Mantan Ajudan Soekarno Blak-blakan: Bung Karno Dikibuli Soeharto

Senin, 27 Agustus 2018 12:44

Presiden RI ke I Soekarno dan Jenderal Soeharto(Istimewa/Arsip Kompas) 

TRIBUN-TIMUR.COM - Misteri Supersemar, Mantan Ajudan Soekarno Blak-blakan: Bung Karno Dikibuli Soeharto

Presiden Soekarno merasa dibohongi Soeharto. Itulah hal yang disampaikan Sidarto Danusubroto, ajudan terakhir Bung Karno, pasca-terbitnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) tahun 1966.

"Bung Karno merasa dikibuli," kata Sidarto saat dijumpai Kompas.com di kediamannya di Jakarta Selatan, Minggu (6/3/2016).

Setelah 50 tahun berlalu, Supersemar masih menyimpan banyak misteri.
Setidaknya masih ada kontroversi dari sisi teks dalam Supersemar, proses mendapatkan surat itu, dan mengenai interpretasi perintah tersebut.

Menurut Sidarto, Soekarno menunjukkan sikap berbeda dengan serangkaian langkah yang diambil Soeharto setelah menerima Supersemar.

Sidarto tidak menyebut detail perubahan sikap Soekarno, tetapi ia menekankan bahwa Supersemar tidak seharusnya membuat Soeharto membatasi ruang gerak Sang Proklamator dan keluarganya.

"Dalam Supersemar, mana ada soal penahanan? Penahanan fisik, (dibatasi bertemu) keluarganya, penahanan rumah. Supersemar itu seharusnya melindungi keluarganya, melindungi ajarannya (Bung Karno)," kata Sidarto.

Pada 11 Maret 1966 pagi, Presiden Soekarno menggelar rapat kabinet di Istana Merdeka, Jakarta.

Pada saat bersamaan, ia dikejutkan dengan kehadiran demonstran yang mengepung Istana.

Demonstrasi itu dimotori kelompok mahasiswa yang mengusung Tritura (tiga tuntutan rakyat; bubarkan PKI, rombak kabinet, dan turunkan harga-harga).
Pada waktu yang sama, Brigjen Kemal Idris mengerahkan sejumlah pasukan dari Kostrad untuk mengepung Istana.

Alasan utamanya adalah untuk menangkap Soebandrio yang berlindung di Kompleks Istana.

Pasukan yang dikerahkan Kemal itu tidak mengenakan identitas.
Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur melaporkan kepada Soekarno bahwa Istana dikepung "pasukan tidak dikenal".
Letjen Soeharto tidak hadir dalam rapat kabinet dengan alasan sakit.

Karena itu, Soekarno tidak dapat memerintahkan Soeharto membubarkan "pasukan tidak dikenal" tersebut dan akhirnya memilih keluar dari Istana Merdeka menggunakan helikopter menuju Istana Bogor.

Setelah itu, Soeharto mengutus Basoeki Rachmat, Jusuf, dan Amir Machmud menemui Soekarno di Istana Bogor.

Ketiga jenderal itulah yang membawa Supersemar ke Jakarta untuk Soeharto.
Bagi Presiden Soekarno, Supersemar adalah perintah pengendalian keamanan, termasuk keamanan Presiden dan keluarganya.

Namun, Soekarno "kecolongan" karena dalam Supersemar diyakini terdapat frasa "mengambil segala tindakan yang dianggap perlu."

Padahal, perintah dalam militer harus tegas batas-batasnya, termasuk waktu pelaksanaannya. 
Dengan surat itu, Soeharto menjalankan aksi beruntun pada 12 Maret 1966 dengan membubarkan PKI, menangkap 15 menteri yang dianggap pendukung PKI atau pendukung Soekarno, dan memulangkan anggota Tjakrabirawa ke kesatuan di daerah asalnya.

Dalam buku Memoar Sidarto Danusubroto Ajudan Bung Karno yang ditulis Asvin Warman Adam, diperkirakan ada sekitar 4.000 anggota pasukan yang dipulangkan ke kesatuan di daerah asalnya.

Tjakrabirawa adalah pasukan pengamanan yang loyal kepada Presiden.
Tak berselang lama, Soeharto juga mengontrol media massa di bawah Pusat Penerangan Angkatan Darat.
Serangkaian langkah yang diambil Soeharto itu membuat Soekarno marah, khususnya dengan pembubaran PKI.

Meski demikian, isu pembubaran PKI adalah salah satu penyebab merosotnya dukungan politik untuk Soekarno.

Mengapa Soekarno tidak mau membubarkan PKI?
Sebab, Soekarno ingin memegang teguh ajaran three in one-nya, yaitu Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme).
Soekarno konsisten sejak 1925 tentang Nasakom.

Dalam sebuah pidato, ia menegaskan bahwa "kom" tersebut bukanlah komunisme dalam pengertian sempit, melainkan marxisme atau tepatnya sosialisme.

Dalam kesempatan lain, Soekarno mensinyalir bahwa revolusi Indonesia telah dibelokkan ke kanan.
Padahal, menurut dia, revolusi Indonesia itu pada intinya adalah kiri.

Meskipun demikian, Soekarno bersaksi, "Saya bukan komunis."
Terkait kasus 1965, Soekarno mengetahui bahwa ada oknum PKI yang bersalah.

Namun, ia beranggapan kalau ada tikus yang memakan kue di dalam rumah, jangan sampai rumah itu yang dibakar.

Sidarto menuturkan, Soekarno masih memiliki peluang mengendalikan situasi pasca-Supersemar.

Ia menyebut posisi kekuatan ABRI saat itu masih 60:40 pro-Soekarno.
Masih banyak loyalis Soekarno di tubuh ABRI-Polri yang siap membela.

Para loyalis Soekarno itu di antaranya adalah Angkatan Udara di bawah KSAU Omar Dhani, Angkatan Laut di bawah KSAL Mulyadi, Polri di bawah Jenderal Pol Soetjipto Joedodiharhjo, dan Kodam Siliwangi di bawah Mayjen Ibrahim Ajie.

Kemudian, Korps KKA di bawah Letjen Hartono, Korps Brimob di bawah Anton Soedjarwo, dan sebagian besar pasukan Kodam Brawijaya yang setia membela Soekarno. 
Namun, ketika para loyalis ini menyarankan untuk melawan, Soekarno menolaknya. Soekarno tidak ingin perlawanannya memicu perang sipil dan memecah belah bangsa.

"Para loyalis ini tidak tega melihat Bung Karno. Lebih baik mati bersama-sama. Sangat berisiko, tapi mereka die hard semua," ungkap Sidarto.

Tentang Sidarto

Sidarto diangkat menjadi ajudan Presiden Soekarno pada 6 Februari 1967.
Saat itu, pangkat Sidarto adalah ajun komisaris besar polisi.
Dia menggantikan Komisaris Besar Sumirat yang ditahan setelah terbitnya Supersemar.

Sidarto mengawal Soekarno sebagai Presiden hanya dua pekan, 6-20 Februari 1967.

Setelah itu, kekuasaan beralih kepada Jenderal Soeharto.
Sidarto tetap menjadi ajudan Soekarno meski statusnya disebut sebagai "Presiden nonaktif".

Perpindahan kekuasaan Soekarno ke Soeharto

Politisi PDI Perjuangan itu menyaksikan proses penyerahan kekuasaan eksekutif dari Soekarno kepada Soeharto pada 20 Februari 1967.

Sejak saat itu, secara de facto dan de jure kekuasaan berpindah dari Soekarno ke Soeharto.

Sekitar Mei 1967, Soekarno tidak diperbolehkan masuk ke Istana sekembalinya dari berkeliling Jakarta.

Sidarto menyaksikan peristiwa itu karena baru saja mendampingi Soekarno menyantap sate ayam di pinggir pantai Priok atau Cilincing, Jakarta Utara.
Sejak saat itu, Soekarno dikenai tahanan kota dan menetap di Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala, Jakarta) sampai akhir 1967.

Pada awal 1968, Soekarno dikenai tahanan rumah dan dibatasi aktivitasnya, termasuk untuk bertemu keluarga.

Sidarto ditarik dari posisinya sebagai ajudan Soekarno oleh Polri pada 23 Maret 1968.

Kondisi kesehatan Soekarno yang semakin menurun dianggap lebih memerlukan dokter ketimbang ajudan.

Pada Juni 1970, Soekarno meninggal dunia.

Penulis : Indra Akuntono
Editor: Sakinah Sudin
Sumber: TribunNews Makassar 

Sabtu, 25 Agustus 2018

GP Ansor NU Kota Blitar, Batalkan Diskusi Buku Marxisme

Solichan Arif

Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kota Blitar, bubarkan diskusi buku tentang Marxisme, karena dianggap meresahkan masyarakat. Foto/Ist.

BLITAR - Acara diskusi buku "Aidit, Marxisme, Leninisme dan Revolusi Indonesia" yang sedianya digelar di Kota Blitar, mendadak dibatalkan, pada Sabtu (25/8/2018).

Bedah buku setebal 176 halaman itu, dianggap oleh Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kota Blitar, telah meresahkan masyarakat. 
"Karena dianggap meresahkan, kami diminta membatalkan diskusi. Dan kami batalkan," ujar Juni R. Martoyo, mewakili panitia diskusi kepada Sindonews. 
Diskusi yang rencananya digelar di kafe Miss June & Friends Place Kota Blitar itu, akan dihadiri 50 mahasiswa. Hadir pula sejumlah aktivis kampus.

Bagi Juni, kegiatan itu hanya forum dialektika ilmiah biasa. Sebuah ajang diskusi yang bertujuan menumbuhkan semangat berliterasi di kalangan muda-mudi wilayah Blitar.

Karenanya, panitia tidak sampai menghadirkan Satriono Priyo Utomo selaku penulis buku, ataupun Bonnie Triyana selaku penulis kata pengantar. 
"Saya hanya ibu rumah tangga yang ingin kegiatan membaca, dan berliterasi menjadi budaya muda-mudi Blitar," paparnya. 
Siapa yang memilih bukunya?. Juni mengatakan para mahasiswa. Sebagai forum kajian ilmiah yang isinya mahasiswa dan pelajar, karya Satriono Priyo Utomo dinilai layak dipilih.

Selain itu, para peserta diskusi beralasan jarang penulis muda yang tertarik dengan tema sejarah. Adapun buku itu, merupakan milik Juni yang diperolehnya sebagai hadiah dari seorang teman. 
"Sebenarnya forum yang batal digelar itu, seperti belajar sejarah di sekolah atau kampus," terangnya. 
Sebagai buku yang dijual bebas di pasaran, panitia juga menganggap buku terbitan Indie Book Corner Yogyakarta itu, bukan karya berbahaya.

Jika berbahaya, lanjut Juni tentu negara sudah menetapkan sebagai buku terlarang. Atas dasar logika itu, panitia beranggapan acara bedah buku tidak perlu izin institusi terkait.

Meski berusaha berjiwa besar, larangan itu diakuinya menyedihkan. Pembatalan sepihak itu menjadi pertanda buruk bagi tumbuhnya masa depan budaya literasi di Blitar.
"Dan saya tidak tahu apakah yang disampaikan (larangan) ke kami sebuah intimidasi atau bukan. Tapi kami memang diminta membatalkan demi keamanan," pungkasnya. 
Dihubungi terpisah Ketua GP Ansor NU Kota Blitar, Hartono membenarkan pihaknya yang meminta membatalkan diskusi bedah buku.

Menurutnya semua diskusi apapun yang terkait dengan komunis dan sejarahnya, dilarang digelar di Kota Blitar. 
"Iya. Ansor meminta di Blitar untuk tidak membahas tentang komunis dan sejarah. Karena banyak masyarakat Blitar yang menjadi korban komunis," tegasnya. 
Hartono mengklaim, langkahnya telah didukung tokoh masyarakat dan aparat setempat. Mendiskusikan komunis dan sejarahnya di Blitar, bagi Hartono sama halnya membuka luka lama.

Membiarkan diskusi bedah buku bertema komunis di Kota Blitar, menurutnya sama halnya dengan menyakiti masyarakat Blitar.

Bagi GP Ansor NU Kota Blitar, menolak segala macam pembahasan terkait komunis sudah menjadi harga mati. Hartono berdalih, pemerintah dengan perangkat undang-undang juga sudah tegas melarang.

Selain itu diskusi bedah buku yang akan digelar, menurutnya juga tidak mengantongi izin. "Apakah itu melalui buku atau media apapun, kami tidak sepakat dengan pembahasan berbau komunis," tegasnya.

Sebelum melarang, apakah sudah membaca bukunya?. Hartono tidak bersedia menjawab. Dia hanya mengatakan GP Ansor NU Kota Blitar, menghormati hasil kajian buku. Namun kalau pembahasannya menyerempet soal komunis, kata dia sebaiknya tidak dilaksanakan di Blitar.

Hartono juga menolak GP Ansor NU Kota Blitar, disamakan aksi organisasi keagamaan lain yang sebelumnya kerap mensweeping buku dan melarang diskusi ilmiah. 
"Kami sama sekali tidak meniru, atau ikut-ikutan organisasi lain. Karena secara aturan dan perundangan jelas melarang pembahasan komunis," pungkasnya.
(eyt)
SindoNews 

Sejarah Indonesia | Pemerintahan Darurat Tan Malaka Bukan untuk Saingi Proklamasi

Oleh: Iswara N Raditya - 25 Agustus 2018

Tan Malaka

Tan Malaka menyerukan kembali kepada semangat proklamasi 17 Agustus 1945. Namun, ia justru dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah RI.
Situasi negara sedang genting pada pekan-pekan terakhir tahun 1948 itu. Pada 18 Desember, Belanda melancarkan agresi militer kedua. Yogyakarta sebagai ibukota RI pun diduduki. Indonesia yang sudah menyatakan merdeka sejak 17 Agustus 1945 kini di berada ujung tanduk. 

Sukarno, Mohammad Hatta, dan sejumlah pejabat tinggi lainnya ditawan Belanda, lalu dibuang ke luar Jawa. Syafruddin Prawiranegara dan kawan-kawan lantas mendeklarasikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada 23 Desember 1948 di Bukittinggi, Sumatra Barat.

Sebelumnya, Tan Malaka melantangkan pidatonya dari Kediri pada 21 Desember 1948 dan disiarkan Radio Republik Jawa Timur. Pendiri Partai Murba ini menyerukan kemerdekaan 100 persen dengan bergerilya dan menentang kebijakan diplomasi yang selama ini diutamakan pemerintah RI pimpinan Sukarno-Hatta.

Anti-Perjuangan Diplomasi

Tan Malaka pernah menjabat wakil Komintern (Komunis Internasional) untuk kawasan Asia Tenggara. Namun, tokoh asal Sumatera Barat kelahiran 2 Juni 1897 ini justru kerap berseberangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), bahkan sejak zaman kolonial.

Menurut Safrizal Rambe dalam Pemikiran Politik Tan Malaka (2003), ketika PKI melancarkan aksi perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda di Sumatera Barat pada 1926/1927, Tan Malaka menentang. Sikap serupa juga ia tunjukkan terhadap pemberontakan PKI 1948 di Madiun yang dipimpin Musso (hlm. 34).

Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, Tan Malaka memilih berjuang lewat jalur oposisi. Ia disebut-sebut berbeda pandangan dengan Sukarno, Hatta, dan para pemimpin republik lainnya. 

Tan Malaka, seperti dituturkan Onghokham dalam Rakyat dan Negara (1991), amat menentang kebijakan diplomasi yang terus-menerus diutamakan pemerintah RI (hlm. 156). Ia tidak memercayai Belanda yang selalu mengingkari setiap perundingan yang telah disepakati. Dan memang seperti itulah yang kemudian terjadi.

Posisi Tan Malaka sebagai oposan yang sangat gencar “melawan” setiap kebijakan pemerintah membuatnya ditangkap dan dijebloskan ke jeruji besi sejak Maret 1946. Selama tiga tahun lebih enam bulan ia mendekam di bui, dipenjarakan oleh sesama anak bangsa sendiri.

Pada 16 September 1948, dinukil dari buku Mengabdi Republik: Volume 2 (1978) karya Adam Malik, Tan Malaka bebas (hlm. 201). Kini saatnya ia bergerak, berjuang dengan prinsip yang diyakininya, yakni terus melawan, bergerilya, anti-diplomasi, demi kemerdekaan seutuhnya bagi rakyat Indonesia.

Pemerintahan Darurat di Kediri

Pada 1946, Partai Rakyat berdiri. Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 2: Maret 1946-Maret 1947 (2008) menyebutkan, partai ini lahir atas andil Tan Malaka setelah gagal mengambilalih PKI (hlm. 53). Partai Rakyat merupakan kelanjutan dari Partai Republik Indonesia (PARI) bentukan Tan Malaka pada 1927.

Selepas dari kurungan, Tan Malaka bergabung dengan Gerakan Revolusi Rakyat (GRR). Partai Rakyat beserta sejumlah partai oposisi lainnya, termasuk Partai Rakyat Jelata, Partai Buruh Merdeka, Angkatan Komunis Muda, Barisan Banteng, Laskar Rakyat Jawa Barat, dan lainnya sepakat melebur menjadi Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba).

Partai Murba yang dideklarasikan pada 7 November 1948 menjadi kendaraan baru bagi Tan Malaka dan kawan-kawan untuk menentang kebijakan diplomasi yang terus-menerus dilakukan pemerintahan Sukarno-Hatta dengan Belanda.

Ketika Sukarno, Hatta, dan para pemimpin RI lainnya ditangkap kemudian diasingkan ke luar Jawa, juga telah jatuhnya Yogyakarta ke tangan Belanda, tiba saatnya bagi Tan Malaka untuk unjuk gigi. Maka, pada 20 Desember 1948, Tan Malaka menyerukan pidato dari Kediri yang disiarkan ke segala penjuru melalui Radio Republik Jawa Timur.

Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil “Petite Histoire" Indonesia: Volume 4 (2004), menyebut bahwa Tan Malaka dan para pendukungnya mengambil langkah politik dengan mendirikan pemerintahan darurat di Jawa (hlm. 220). Ini merupakan tindak lanjut dari pidato tanggal 20 Desember 1948 itu, karena Tan Malaka tidak yakin dengan PDRI yang dideklarasikan di Bukittinggi.

Para pengikutnya menghendaki Tan Malaka menjadi presiden pemerintahan darurat di Kediri itu. Sedangkan Roestam Effendi, orang Indonesia berhaluan kiri yang juga mantan anggota parlemen Belanda, didapuk sebagai wakilnya. Ini artinya, kelompok Tan Malaka tidak mengakui PDRI yang diklaim telah mendapat restu dari Sukarno untuk membentuk pemerintahan cadangan.

Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 4: September 1948-Desember 1949 (2008) juga meyakini hal serupa bahwa Tan Malaka dan para pendukungnya telah membentuk pemerintahan darurat di Jawa Timur (hlm. 158).

Namun, berdasarkan analisis Poeze, pemerintahan darurat ala Tan Malaka ini juga merupakan bagian dari rencana yang dibikin pemerintahan Sukarno. Sebuah laporan intelijen dari Jawa Timur yang diterima pada bulan Maret 1949, ungkap Poeze, menyajikan teori komplotan yang rumit (hlm. 158).

Masih menurut Poeze, pada 19 Desember 1948—sebelum para petinggi RI ditawan—kabinet republik di Yogyakarta telah memutuskan tentang penunjukan dua pimpinan politik, yakni yang moderat dan yang radikal. 

Pemerintahan darurat di Sumatera (PDRI) dianggap terlalu lemah untuk ditanggapi dengan serius. Maka, kelompok Tan Malaka yang dinilai lebih bernyali memimpin republik darurat di Jawa Timur, tepatnya di Kediri.

Poeze, berdasarkan laporan-laporan rahasia yang ditemukannya, mengungkapkan bahwa antara Tan Malaka dan Sukarno sebenarnya terjalin hubungan khusus, meskipun keduanya selama ini diketahui tidak sejalan (hlm. 158).

Infografik Tan Malaka

Gerilya, Mati Dieksekusi TNI

Pidato Tan Malaka 20 Desember 1948 menjadi semacam proklamasi atau deklarasi dibentuknya pemerintahan darurat di Kediri. Salah satu poin penting pidato ini adalah penolakan Tan Malaka terhadap upaya diplomasi dengan Belanda, juga seruan perjuangan gerilya untuk mewujudkan kemerdekaan sepenuhnya.

Tan Malaka amat menyesalkan jalan perundingan yang selalu diingkari Belanda dan menyebabkan wilayah RI kian tergerus. 
“Sekarang, kita sudah mempunyai pengalaman pahit dengan politik diplomasi. Mari kita beralih pada perjuangan dengan bambu runcing,” tegasnya, dikutip dari Poeze (2008: 153),
“Dari sini,” lanjut Tan Malaka, “saya menyerukan pada seluruh rakyat di Indonesia, khususnya yang ada di daerah-daerah pendudukan, untuk melancarkan perlawanan gerilya, bebas dari perintah dan pengaruh kolonial, serta terlepas dari diplomasi perundingan.”
“Rebut kembali setiap jengkal tanah yang telah diduduki musuh, dan usirlah ia sampai laut dan kembalikan ke negeri asalnya… Tolak semua perintah gencatan senjata, dari siapapun datangnya, sebelum Belanda meninggalkan Indonesia!” serunya.
Berkali-kali Tan Malaka menegaskan rakyat Indonesia harus kembali kepada semangat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dengan demikian, pidato Tan Malaka—yang menjadi landasan berdirinya pemerintahan darurat di Kediri—bukan untuk menggantikan proklamasi yang tiga tahun lalu dinyatakan oleh Sukarno-Hatta.
“Sudah tiga tahun perjuangan berjalan. Tapi politik diplomasi telah mengembalikan perjuangan kita pada taraf awal revolusi kita. Apakah kita akan berjuang dengan semua yang ada pada kita, ataukah akan kita biarkan Belanda mengatur nasib kita?” tukas Tan Malaka.
“Jika kita masih tetap percaya pada Proklamasi (17 Agustus 1945), dan tidak akan melakukan pengkhianatan terhadap para pahlawan, yang telah mempertahankannya dengan memberikan hidup mereka, maka seharusnya kita kembali kepada semangat Proklamasi, pada bambu runcing.”
Tan Malaka menutup pidatonya dengan seruan yang amat heroik. 
“Satu menit pun kedaulatan rakyat Indonesia tidak boleh ditunda-tunda, dan kebulatan kemerdekaan kita tidak boleh dikurangi. Sekali merdeka, tetap merdeka!”
Setelah itu, dikutip dari buku Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008) yang ditulis Benny G. Setiono, Tan Malaka mengimbau agar dilakukan perang semesta melawan Belanda, tapi gagal memperoleh respons yang berarti (hlm. 672). Tak patah arang, Tan Malaka terus berjuang, bergerilya dari pelosok ke pelosok.

Perjuangan gerilya Tan Malaka ternyata bukan berakhir di ujung senapan serdadu Belanda. Pada 21 Februari 1949, ia ditembak mati oleh tentara republik. Pidato alias “proklamasi” yang diserukan Tan Malaka dianggap sebagai ancaman bagi pemerintahan bangsa sendiri.

Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan

Tan Malaka ditembak mati tentara republik saat bergerilya.

Sumber: Tirto.Id 

Kamis, 23 Agustus 2018

Kontroversi Menteri Sosial: Dari Komunisme, Makar, sampai Korupsi

Oleh: Iswara N Raditya - 31 Agustus 2018


Idrus Marham memberikan keterangan kepada wartawan seusai menyerahkan surat pengunduran dirinya selaku Mensos kepada Presiden Jokowi di Kompleks Istana, Jakarta, Jumat (24/8). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

Selain Idrus Marham, sejumlah mantan Menteri Sosial RI juga pernah memantik kontroversi meskipun terkait perkara yang berbeda.
“Sebagai bentuk pertanggungjawaban moral saya, izinkan saya menyampaikan permohonan pengunduran diri sebagai Menteri Sosial Republik Indonesia,” tulis Idrus Marham dalam surat pengunduran dirinya yang ditujukan kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).
Idrus menyatakan mundur dari jabatan sebagai Mensos RI beberapa saat sebelum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan bahwa politisi Partai Golkar itu telah menjadi tersangka kasus dugaan suap terkait PLTU Riau-1.

Selain Idrus, sebenarnya pernah ada beberapa tokoh dengan jabatan serupa yang juga memantik kontroversi. Tidak hanya kasus korupsi, ada pula Mensos yang dikait-kaitkan dengan komunisme, bahkan tindakan makar alias percobaan kudeta.

Mensos RI Pertama: Muslim, Kiri, Kudeta

Orang pertama yang menjabat sebagai menteri sosial pasca-Indonesia merdeka, Iwa Kusumasumantri, langsung menghadirkan kontroversi. Salah satu anggota awal Partai Nasional Indonesia (PNI) ini dilantik dua hari setelah proklamasi kemerdekaan, yakni 19 Agustus 1945, dan berada di kabinet hingga 14 November 1945.

Selepas itu, Iwa bergabung dengan Persatuan Perjuangan yang dipimpin Tan Malaka, mantan wakil Komintern (Komunis Internasional) untuk Asia Tenggara. Kelompok ini, termasuk Iwa, ditangkap dan dibui karena terlibat peristiwa 3 Juli 1946 yang dianggap sebagai upaya percobaan kudeta terhadap pemerintahan Sukarno.

Iwa Kusumasumantri lekat dengan kubu kiri sejak era pergerakan nasional. Pada 1925, Iwa bersama Semaoen—kelak memimpin Partai Komunis Indonesia (PKI)—mengikuti kegiatan Komintern di Moskow, Rusia.

Selain ikut acara Komintern yang bertujuan untuk “melawan imperialisme dunia” itu, Iwa juga menetap di Rusia selama setahun. Menurut Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 (2008), yang mendorong Iwa untuk belajar di Moskow adalah Semaoen (hlm. 188).

Pulang ke tanah air pada 1927 dan bergabung dengan PNI bentukan Sukarno, Iwa ditangkap pemerintah Hindia Belanda dua tahun kemudian. Sejak 1929, Iwa dipenjara lantaran kritikan kerasnya terhadap kolonial, lalu diasingkan ke Banda Neira selama 10 tahun.

Iwa adalah seorang Muslim taat yang amat tertarik terhadap ajaran marxisme. Namun, menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah 2 (2015), pilihannya di jalur merah tidak serupa dengan orang-orang PKI. Iwa lebih cenderung sebagai sosok komunis-nasionalis seperti Tan Malaka (hlm. 365).

Pilihan Iwa sejatinya tidak sepenuhnya salah, terlebih kala itu komunisme belum terlarang di Indonesia, bahkan menjadi salah satu pilar kekuasaan Sukarno. Yang menjadi persoalan, Iwa ada di kubu Tan Malaka yang dituding membahayakan pemerintahan sah.

Kendati begitu, Iwa Kusumasumantri tetap dianggap berjasa bagi Republik. Rektor pertama Universitas Padjajaran Bandung ini ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 2002.

Dugaan Pro-Makar Rasjid & Anwar

Menteri Sosial RI di era-era awal lainnya yang juga terseret perkara makar adalah Soetan Mohammad Rasjid. Tokoh asal Sumatra Barat ini menjabat sebagai Menteri Keamanan sekaligus Menteri Perburuhan dan Sosial di Kabinet Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) sejak 19 Desember 1948.

PDRI dibentuk di Bukittinggi setelah ibukota RI di Yogyakarta diduduki Belanda. Ketika itu, para petinggi pemerintahan, termasuk Sukarno dan Mohammad Hatta, ditawan lalu dibuang ke luar Jawa. 

Setelah pengembalian mandat PDRI sejak 1949, Rasjid ditunjuk Presiden Sukarno menjadi Duta Besar RI di Italia. Namun, berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 1958—yang dianggap separatis oleh pemerintahan Sukarno—membuat Rasjid harus segera mengambil keputusan.

Sukarno menindak PRRI dengan jalan militer. Dikutip dari buku Mr. H. Sutan Mohammad Rasjid (1991) karya Marah Joenoes, Rasjid yang kecewa atas reaksi keras pemerintah itu memutuskan bergabung dengan PRRI. Ia bahkan memegang peran penting sebagai Duta Besar PRRI di Eropa.

Sejak itu, Rasjid menjadi buronan pemerintah RI di Eropa dan harus sering berpindah tempat untuk menghindari kejaran orang-orang suruhan rezim Sukarno. Rasjid baru bisa pulang ke Indonesia pada 1968 setelah pengaruh Bung Karno semakin meluruh setelah peristiwa 30 September (G30S) 1965.

Mensos RI periode 3 April 1952 hingga 5 Mei 1953, Anwar Tjokroaminoto, punya cerita yang serupa tapi tak sama dengan Rasjid. Seperti diungkap Helius Sjamsuddin dalam Menuju Negara Kesatuan: Negara Pasundan (1992), putra pemimpin besar Sarekat Islam (SI) H.O.S. Tjokroaminoto ini pernah menjabat Perdana Menteri Negara Pasundan, negara boneka bentukan Belanda yang diproklamirkan pada 4 Mei 1947 (hlm. 66).

Negara Pasundan memang menjadi perdebatan kala itu. Ada yang setuju, ada yang menolak, ada pula yang berdiri di tengah-tengah. Namun, berdirinya negara di dalam negara tetap saja berseberangan dengan konteks negara kesatuan.

Anwar juga dianggap mendukung Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang melakukan serangan pada 23 Januari 1950 di Bandung di bawah pimpinan Kapten Raymond Westerling. Bahkan, tulis Nina Herlina Lubis dalam Sejarah Tatar Sunda: Volume 2(2003), Anwar dan sejumlah tokoh Negara Pasundan lainnya ditangkap setelah insiden itu (hlm. 250).

Atas perintah Anwar, Negara Pasundan mengembalikan mandat pada 9 Februari 1950. Langkah ini, dikutip dari Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan (2008) karya Slamet Muljana, diikuti negara-negara boneka lainnya (hlm. 266). Sumatera Selatan, Madura, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan wilayah-wilayah di luar Jawa, kembali ke pangkuan NKRI.

Presiden Sukarno pun memaafkan Anwar yang tidak lain adalah rekan seperjuangan sejak masa pergerakan sekaligus putra dari orang yang amat dihormatinya, H.O.S Tjokroaminoto. Bahkan, Anwar kemudian dipercaya untuk menjabat sebagai menteri sosial oleh Sukarno.

Infografik Menteri sosial kotroversial

Kasus Mensos Orba hingga Kini: KKN

Kasus yang menerpa menteri sosial selama Orde Baru dan setelahnya kebanyakan berkutat pada urusan korupsi, kolusi, dan nepotisme alias KKN. Meski begitu, ada juga mensos yang memantik kontroversi di luar persoalan tersebut, semisal Muhammad Syafa'at Mintaredja (menjabat 1971-1978) yang teramat gencar mengecam upaya pendirian negara Islam di Indonesia.

Salah satu penunjukan menteri sosial yang paling disorot selama rezim Orde Baru adalah tercantumnya nama Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut di kabinet terakhir pimpinan Soeharto. Tutut adalah anak pertama sang presiden.

Nuansa KKN memang sangat terasa dalam susunan Kabinet Pembangunan VII yang dibentuk pada 16 Maret 1998 itu. Syaifruddin Jurdi dalam buku Kekuatan-kekuatan Politik Indonesia (2016) memaparkan, selain Tutut, ada orang-orang dekat presiden lainnya yang juga mengisi kabinet, seperti Bob Hasan, Subiakto Tjakrawerdaya, hingga R. Hartono (hlm. 295).

Kabinet ini merupakan kabinet tersingkat selama rezim Soeharto. Setelah sang penguasa tumbang pada Mei 1998 dan Indonesia memasuki era reformasi, mulai terbongkar kasus-kasus dugaan korupsi yang terjadi selama masa panjang itu, termasuk yang melibatkan mantan menteri sosial.

Pada 9 November 2010, Kejaksaan Agung memanggil Justika Syarifudin Baharsyah dan Inten Suweno untuk diperiksa sebagai saksi atas dugaan korupsi penguasaan tanah dan bangunan Cawang Kencana, Jakarta Timur untuk tersangka mantan Sekjen Departemen Sosial RI, Moerwanto Suprapto.

Justika dan Inten pernah menjabat sebagai Mensos RI, berurutan pada periode 1993-1998 dan 1998-1999. Keduanya, seperti dikutip dari website resmi Kejaksaan Agung, menjalani pemeriksaan cukup lama, dari pukul 09.30 hingga 16.00 WIB, dengan masing-masing 30 pertanyaan. Namun, dua mantan menteri ini tidak ditetapkan sebagai tersangka.

Mensos berikutnya justru masuk penjara karena terbukti makan uang negara, yakni Bachtiar Chamsyah yang menjabat cukup lama dari 2001 hingga 2009. Bachtiar dijatuhi hukuman 20 bulan penjara setelah terbukti melakukan tindak pidana korupsi terkait proyek pengadaan mesin jahit, sapi impor, dan kain sarung di Departemen Sosial.

Salim Segaf Al Jufri dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang mengisi posisi mensos periode 2009-2014, sempat dikaitkan dengan perkara korupsi sapi yang menyeret nama Luthfi Hasan Ishaaq, mantan Presiden PKS. Namun, tudingan terhadap Salim tidak terbukti.

Dengan tegas, Salim membantah tuduhan bahwa dirinya selaku mensos ikut memuluskan proses penyelewengan itu, juga menegaskan tidak ada uang haram yang mengalir ke PKS. 
“Apapun yang dilakukan KPK, PKS akan memberi apresiasi dalam membawa bangsa ini ke arah yang jujur amanah dan bersih!” ucapnya.
Rumor sejenis juga sempat menerpa Mensos RI pertama di pemerintahan Presiden Jokowi, Khofifah Indar Parawansa. Khofifah yang menjabat sejak 27 Oktober 2014 dilaporkan oleh Forum Komunikasi Masyarakat Sipil (FKMS) ke KPK terkait dugaan korupsi dalam proyek program verifikasi dan validasi data kemiskinan di Kementerian Sosial tahun 2015.

Pelaporan ini dilakukan saat Khofifah maju sebagai calon gubernur dalam Pilkada Jawa Timur 2018 lalu. Namun, tudingan korupsi itu tidak terbukti.

Idrus Marham yang ditunjuk menggantikan Khofifah justru langsung terjerat perkara korupsi. Beruntung, ia memilih mundur sebelum benar-benar terbukti bersalah, dan tidak banyak pejabat di negeri ini yang berani bersikap seperti itu saat masih menjabat.

Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan

Beberapa eks Mensos RI pernah dikaitkan dengan kasus korupsi, tapi belum terbukti.
Sumber: Tirto.Id