Sejumlah serdadu, tak jauh dari rongsokan sebuah mobil yang terbakar di hari-hari awal Oktober 1965, menyusul gagalnya G30S. (Foto: beryl bernay)
Melalui sejumlah dokumen temuan seorang sejarawan
terungkap bahwa operasi pembantaian orang-orang di berbagai pelosok Indonesia
pada periode 1965-1966 dikoordinir langsung oleh Mayor Jenderal Soeharto, yang
kemudian menjadi presiden menggantikan Soekarno.
Dokumen-dokumen itu dituangkan menjadi sebuah buku
berjudul The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder atau
‘Tentara dan Genosida di Indonesia: Tata Cara Pembunuhan Massal’ oleh Jess
Melvin, sejarawan dari Sydney Southeast Asia Centre.
Menurutnya, berdasarkan beragam dokumen tersebut, dapat
diketahui bahwa “militer mengaktifkan rantai komando militer yang telah
dibentuk sebelum tanggal 1 Oktober (1965) untuk melakukan apa yang digambarkan
sebagai operasi pembasmian”.
“Keadaan darurat militer diterapkan di Sumatra, di mana
komando ini beroperasi. Tanggal 4 Oktober, sekarang kita mengetahui militer
melangkah lebih jauh, memerintahkan warga sipil untuk bergabung. Pada tanggal
14 Oktober, dibuat Ruang Yudha untuk mengoordinasikan operasi penumpasan ini.
“Operasi pembasmian ini diterapkan lewat berbagai rantai
komando secara territorial dan struktural seperti Kodam, KOTI, RPKAD dan
Kostrad dikoordinir langsung oleh Soeharto di pusat,” Jess menegaskan.
Selanjutnya lewat buku setebal 322 halaman yang
diterbitkan Routledge pada tahun 2018 tersebut, Jess Melvin menyatakan TNI
melakukan operasi terencana untuk membunuh lawan politiknya.
“Temuan pentingnya adalah sekarang kita memiliki
pemahaman tentang komunikasi di dalam militer tentang apa yang terjadi,
catatan, dan perintah-perintah mereka. Sebelum saya menemukan dokumen-dokumen
baru, satu-satunya bukti yang peneliti dapatkan adalah kesaksian korban
selamat, pengumuman dari militer”
“Sampai tahun 2010, tidak diketahui bahwa militer pada
kenyataannya mengeluarkan perintah tertulis saat pembantaian, atau merekam apa
yang terjadi.
“Sekarang kita mengetahui bahwa, ya militer memang
mengirim perintah, menerapkan kampanye, operasi yang sangat agresif, secara
sengaja untuk menghabiskan musuh politiknya.”
Jess mendapatkan dasar kesimpulannya ini dari temuan
sejumlah dokumen di Provinsi Aceh.
“Saya mewawancara orang di Aceh. Korban selamat, saksi
mata tetapi juga pelaku kekerasan. Dan kemudian saya mengetahui, terima kasih
kepada rekan saya yang mempunyai dokumen KITLV, bahwa militer mengeluarkan
berbagai perintah ini.
“Saya kembali ke Banda Aceh dan ke bagian arsip disana.
Saya harus melihat dokumen yang mereka miliki. Saya tidak berharap akan
diberikan dokumen, mungkin kalau beruntung, saya akan diberikan satu atau dua.
“Dan saya tidak mempercayai keberuntungan saya ketika
saya diberikan satu kardus penuh dokumen yang menjelaskan secara sangat rinci
tentang bagaimana penerapan operasi ini,” tambah Jess yang mendapatkan gelar
Ph.D nya tentang hal ini pada tahun 2015 di University of Melbourne.
Isi dokumen
Lewat bukunya Jess Melvin menyertakan dua buah dokumen
tentang operasi KODAM Aceh. Yang pertama adalah tentang kronologi kejadian dari
tanggal 1 sampai 6 Oktober 1965, terkait dengan Gerakan 30 September.
Dimulai dengan perintah dari Menteri/ Panglima Angkatan
Darat untuk tetap tenang, menjalankan tugas, disiplin dan menunggu perintah
setelah terjadinya kudeta di bawah pimpinan Kolonel Untung.
Dua hari kemudian terjadi demonstrasi tanpa izin yang
telah digagalkan, tetapi sempat merusakkan toko. Tanggal 4 Oktober dilakukan
rapat di kantor gubernur untuk menentukan sikap, dihadiri berbagai pihak di
antaranya pihak pemerintah daerah dan militer.
Sehari berikutnya pada sebuah briefing khusus disebutkan
bahwa “perasaan anti-PKI sudah sangat meluas dan dapat dibuktikan dengan adanya
pamflet-pamflet, spanduk-spanduk, coretan-coretan dan teriakan-teriakan”.
Protes menentang PKI ini terus meningkat pada tanggal 6
Oktober sore dengan demonstrasi oleh PNI dan ormasnya, menuntut pembubaran PKI,
setelah pada pagi harinya tujuh parpol menuntut pembubaran PKI dan mengutuk
partai itu.
Dukungan KODAM Aceh terhadap operasi penumpasan PKI dan
pendukungnya semakin terlihat pada dokumen kedua di buku Jess Melvin.
Angka dalam lingkaran Peta Kematian: ‘Lampiran: Peta
Intelijen menunjukkan ‘pendukung PKI yang tewas’. Berdasarkan peta tersebut
lebih 2.000 orang terbunuh dalam operasi di daerah-daerah yang telah disusupi
PKI, dimana ditemukan senjata gelap dan tindakan subversif.
Pemaparan Jess Melvin ini dipuji Joshua Oppenheimer,
sutradara yang masuk nominasi Piala Oscar atas karyanya, The Act of
Killing (2012) dan The Look of Silence (2014).
Oppenheimer menyebut penelitian Jess Melvin “monumental”.
“Dia menganalisa ribuan halaman dokumen rahasia dengan
sabar dan kejelasan moral tanpa ragu. Hasilnya mengubah pemahaman kita tentang
sejarah, identitas, dan politik Indonesia,” sebut Oppenheimer.
Konteks penting
Salah satu pihak yang mempertanyakan pandangan sejarawan
dari Australia ini adalah Letnan Jenderal (Purn) Agus Widjojo, Gubernur Lembaga
Pertahanan Nasional, khususnya tentang konteks terjadinya peristiwa tersebut.
“Itu kan sebuah peristiwa sejarah untuk menghadapi pada
waktu itu untuk menghadapi bahwa pada waktu itu Bung Karno jatuh sakit dan
kemungkinan hidupnya tidak akan lama lagi, dan di bawah penanganan tim ahli
dokter dari Cina.
Agus Widjojo yang juga ketua pengarah Simposium tragedi
1965 menjelaskan lebih jauh tentang buruknya keadaan kehidupan dan kesombongan
PKI.
“PKI adalah partai komunis terbesar yang ada pada negara
di luar negara komunis. Dan mereka itu dekat sekali dengan Bung Karno. Pada
waktu itu ekonomi juga begitu merosot sampai kebutuhan bahan pokok itu harus
dibagi. Nah PKI itu, dia arogan juga.
Agus, yang ayahnya Mayor Jenderal (Anumerta) Sutoyo
Siswomiharjo adalah salah satu perwira yang diculik dan dibunuh, mengatakan
sebagian unsur TNI sudah terpengaruh PKI atau memang tidak berpikir lebih jauh.
“PKI pun sudah menyusupkan agen-agennya untuk menggalang
agar ada elemen-elemen ABRI yang bersimpati kepada PKI. Melihat ada yang
berseragam hijau pakai sepatu boot, bisa saja itu adalah unsur ABRI yang sudah
digalang untuk berpihak kepada PKI.
“Di antara mereka juga ada elemen-elemen mereka yang
digunakan untuk menculik para perwira angkatan darat. Ada juga yang bloon,
dia disuruh diperintah tetapi dia nggak tahu untuk siapa perintah
itu.”
Sejak tanggal 1 Oktober, Soeharto memegang komando KODAM,
disamping sudah menguasai KOSTRAD (Komando Strategi Angkatan Darat), RPKAD
(Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat) sebelumnya, disamping juga KOTI
(Komando Operasi Tertinggi) yang digunakan untuk menerapkan hukum darurat
militer di Sumatra.
“Yah sekarang kalau seandainya itu tidak terbalik, maka
siapa yang akan membunuh dan siapa yang akan dibunuh, dikoordinasi. Kebencian
masyarakat itu sudah begitu meluap. Siapa yang tidak panas hatinya dengan
melihat rekan-rekannya itu dibunuh secara keji, dimasukkan ke dalam sumur tua
di Lubang Buaya. Itu membuat darah mendidih, tahu,” Agus menegaskan.
Berbagai temuan ini dipandang mengubah pandangan selama
ini yang menyatakan tewasnya ratusan orang tersebut tidak direncanakan.
“Selama ini selalu dikatakan bahwa pembunuhan massal
tahun 65-66 itu bersifat spontan. Jadi yang lebih banyak itu adalah konflik
yang ada di tengah masyarakat.
“Temuan di dalam buku ini memperlihatkan bahwa semua itu
diawali oleh operasi militer yang jelas perintahnya,” kata Dr Asvi Warman Adam,
sejarawan LIPI yang telah membaca bebagai artikel Jess Melvin terkait dengan
hal ini.
Penyelidikan atau
rekonsiliasi?
Masalah yang terus ada di pemikiran banyak pihak ini
memunculkan pertanyaan tentang apa yang sebaiknya dilakukan untuk menyikapinya.
“Kita masuk kepada pertanyaan klasik antara peace
versus justice (perdamaian dipertentangkan dengan keadilan). Kalau justice itu
akan menguak kembali lubang luka lama, itu buat apa. Itu terjadi tahun ’65.
Berapa tahun dari sekarang ini. Sudah mati itu semua pelaku. Keadilan adalah
rekonsiliasi, truth seeking, healing process(pencarian kebenaran,
penyembuhan) untuk kita maju ke depan,” kata Letnan Jenderal (Purn) Agus
Widjojo yang pernah menjadi Kepala Staf Teritorial TNI.
Sejak tahun 1980-an, para pengamat genosida telah
menyatakan, di kulitnya, memang terjadi genosida, tetapi masalahnya adalah
bagaimana membuktikannya. Asvi mengusulkan pembentukan penyelidikan yang
dilakukan para sejarawan.
“Dengan temuan, bukti-bukti baru dari buku ini, sebaiknya
pemerintah Indonesia tidak langsung menyangkal tetapi lebih baik menugaskan
kepada masyarakat sejahrawan Indonesia untuk menanggapi bahkan kalau perlu
melakukan penelitian sendiri mengenai masalah 65,” kata Dr Asvi Warman Adam.
Dari tahun 2008 sampai 2012, Komnasham telah melakukan
penyelidikan menyeluruh. Tahun 2012, laporan terjadinya kejahatan kemanusian
berdasar kebijakan negara dan perlunya peran militer diselidiki, diberikan ke
Kejaksaan Agung.
Kemudian pada tanggal 1 Juni 2018 Jaksa Agung yang baru
Prasetyo kembali menegaskan penolakannya terhadap laporan investigasi Komnas
HAM mengenai kasus 65 ini dengan alasan bahwa laporan Komnas HAM hanya
berdasarkan opini dan asumsi.
“Komnas HAM telah memberikan bukti yang mengisyaratkan
penyelidikan ini harus dilakukan. Kita berharap pemerintah dapat secara lebih
aktif mendorong dan melanjutkan proses investigasi yang telah dilakukan oleh
Komnas HAM,” tandas sejarawan Jess Melvin. (bbc/wb)
Sumber: Radar Cirebon
0 komentar:
Posting Komentar