JUMAT, 10 AUG 2018 18:45 | EDITOR : ALI MUSTOFA
DRAMATIS: Salah satu penggelan film Nyala yang di putar Taman Baca (Wayan Widyantara/Radar Bali)
DENPASAR – Kisah warga Banyuwangi, Roswanto dan
Slamet dalam menjalani kehidupan pascatragedi 1965 akhirnya diangkat ke
layar lebar oleh Dliyaur, mahasiswa Universitas Jember.
Film yang mengangkat kisah nyata itu diberi
judul Nyala; Nyanyian Yang Tak Lampus. Film ini telah diputar di sejumlah
komunitas.
Salah satunya Komunitas I Ni Timpal Kopi dan
dipertontonkan di Taman Baca Kesiman (TBK) Denpasar.
Film ini mengisahkan perjuangan Ruswanto dan
Slamet AR lolos dari tragedi genosida dengan caranya sendiri-sendiri.
Ruswanto sendiri pernah berkecimpung di
organisasi Pemuda Rakyat sekaligus tergabung di PGRI Non-Vaksentral pada masa
sebelum pecah peristiwa 1965.
Dia sekarang dikenal sebagai orang tua yang
rajin silahturahmi ke sesama keluarga penyintas 1965 di daerahnya, serta ke
gereja dengan sepeda kayuhnya.
Ia juga mendorong rekonsiliasi dengan
mengupayakan jenasah korban di pindah ke lahan kuburan
Sedangkan Slamet AR yang pernah bergabung
dengan LEKRA, sejak muda dikenal di lingkungannya sebagai seorang seniman
pencipta tari-tarian.
Kini, dia masih punya semangat tinggi
melestarikan kesenian lokal, semangat itu berwujud kerja keras membangun
sanggar seni bernama Angklung Soreang.
Film yang berdurasi 85 menit ini pun mampu
menyihir para penonton malam itu. Dalam diskusi yang digelar, Dliyaur, pembuat
film ini ingin menyampaikan tentang apa yang dilakukan Slamet membangun sanggar
seni.
Bukan sekedar bangunan fisik, tetapi
melanjutkan apa yang sudah pernah dia kerjakan sebelum 1965.
“Slamet dengan masa traumatiknya akibat tragedi 65, namun masih bersemangat melestarikan kesenian yang ia percayai bisa membangun Banyuwangi,” ujar Dliyaur.
Film Nyala ini adalah sebuah projek tugas
akhir kuliahnya. Pegiat komunitas screening film Layar Kamisan Banyuwangi ini mengaku tertarik dengan isu ini karena
melihat semangat Roswanto dan Slamet menjalani hidup pasca tragedi 1965.
Sebelum membuat film, Mahasiswa Universitas Jember
ini bergaul terlebih dahulu dengan kedua subyek film yang ia kenal dari
teman-temannya di For Banyuwangi yang saat itu sedang mengadvokasi warga dalam
menolak keberadaan pertambangan emas di Gunung Tumpang Pitu.
Saat itu, salah satu petani dan pedagang buah
naga yang menolak keberadaan tambang emas sedang menghadapi kasus kriminalisasi dengan tuduhan menyebarkan paham komunis hal
ini membuat semakin terbuka pemahamannya mengenai tragedi 1965.
“Jadi seperti ada irisan, waktu bertemu Pak Slamet saya sadar sedang mengambil gambar seorang penyintas 65, pulang ke kontrakan yang dibahas teman-teman adalah kasus tuduhan penyebaran komunisme,” terangnya.
(rb/ara/mus/JPR)
Sumber: RadarBali
0 komentar:
Posting Komentar