HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Gandrung. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gandrung. Tampilkan semua postingan

Rabu, 16 Desember 2015

Merah Berpendar di Brang Wetan: Musik Banyuwangen dalam Tegangan Politik 1965 dan Orba [Bagian II]

December 6, 2015 | Ikwan Setiawan




C. Pilihan Tematik yang ‘Mengancam’
Meletusnya G 30 S 1965 menjadikan para seniman dan sastrawan yang awalnya bergabung dengan Lekra karena kesamaan visi ideologis dalam memandang kesenian rakyat harus menanggung penderitaan hidup akibat kesalahan yang tidak pernah mereka lakukan. Beberapa permasalahan terkait proses kreatif dan kehidupan seniman anggota Lekra yang kami angkat dalam subbab ini adalah: pertanyaan kritis yang bisa diajukan antara lain: (1) pilihan tematik dalam lagu-lagu Banyuwangen yang diciptakan oleh para seniman anggota Lekra; (2) kehidupan mereka ketika lagu-lagu mereka dicap sebagai lagunya komunis pasca G 30 S 1965; (3) siasat yang dilakukan para seniman Banyuwangi lainnya untuk menyelamatkan mereka agar bisa berkarya lagi.
1. Ketika Lirik-lirik Kerakyatan Dipersalahkan: Pengalaman Andang C.Y
Andang Chatib Yusuf, salah satu sastrawan dan pencipta lirik lagu yang cukup terkenal di era 60-an, pernah merasakan kehidupan menyedihkan akibat stigmatisasi PKI dan Lekra. Kehilangan pekerjaan sebagai guru dan istri tercintanya adalah resiko politik dan kultural yang harus ia tanggung setelah meletusnya G 30 S 1965 karena ia adalah anggota sekaligus pengurus Lekra Banyuwangi. Alat untuk memperkuat justifikasi tersebut adalah lirik-lirik lagunya yang bernuansa alam, tetapi secara simbolis lebih dekat dengan persoalan kerakyatan. Lagu Kembang Galengan, Perawan Sunti, Luk-luk Lumbu, Kembang Pethetan, Kali Eluh, Kembang Peciring, dan lain-lain, memang tidak diplesetkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menstigmatisasinya sebagai komunis, tetapi kedekatan tematiknya dengan nasib rakyat jelata serta keterlibatannya di Lekra, menjadikannya harus berhadapan dengan mekanisme stigmatik rezim militer.
Andang yang sekarang usianya sudah 80 tahun lebih dan telah menunaikan ibadah haji adalah seniman yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan alam dan masyarakat Banyuwangi. Pengalaman masa kecil, pengaruh didikan di sekolah, dan kedekatan dengan para seniman senior ikut mempengaruhi kemampuan kreatifnya dalam menulis lirik-lirik lagu yang kaya akan metafor-metaror alam dengan makna-makna yang dekat dengan persoalan rakyat kecil. Dengan suara lirih tapi tetap energik, ia menuturkan:
“Saya masih ingat ketika kecil dimandikan ibu di sumber (mata air, pen) sambil dikudang (dinyanyikan lagu daerah, pen). Itu menjadi inspirasi saya. Saya buat lirik-lirik baru yang berisi harapan seorang ibu terhadap anak-anaknya. Kalau laki-laki berjuanglah untuk nusa dan bangsa. Laki-laki dan perempuan harus bergandeng tangan untuk kehidupan bangsa ini. Ada juga lagu Kali Eluh. Itu nama sungai yang membentang dari arah Barat. Kali Eluh itu seperti semangat dari warga Banyuwangi yang tidak pernah berhenti mengalir, pantang menyerah. Sebenarnya saya menciptakan lirik menjelang 1965, tepatnya 1963. Kebetulan rumah saya dekat dengan rumahnya Mohammad Arif, pencipta lagu Gendjer-gendjer. Kami bertetangga, saya malah sering omong-omongan seperti anak dan bapak. Saya memanggilnya Man Arif. Itu juga mempengaruhi, tetapi, sekali lagi, pengaruh paling dominan dalam menciptakan lirik adalah ketika ibu ngudang saya. Mengapa tahun 65 ketika saya sudah menjadi guru? Ini memang pengaruh dari teman-teman sebaya, seangkatan saya, seperti Pak Hasan Ali, Pak Hasnan, yang banyak berkecimpung dalam bidang kesenian. Ini mungkin bentukan dari guru saya, guru Bahasa Indonesia, Pak Poedjo Atmodjo, yang pintar dalam menerangkan Chairil Anwar dan karya-karyanya. Saya, meskipun agak terlambat, belajar menulis lirik dan sajak, khususnya dalam Bahasa Using. Karena sudah banyak yang menulis dalam Bahasa Indonesia saya lebih memilih menulis dalam Bahasa Daerah. Tapi, saya juga menulis sajak berbahasa Indonesia, saat menjelang 65. Memang lirik berbahasa Indonesia yang saya ciptakan juga pernah dilagukan seperti Selat Bali. Ada juga yang dilagukan oleh Mawar Merah. Sajak-sajak saya pernah dimuat di Terompet Masyarakat dan Harian Rakyat. Jadi, ya, dipengaruhi oleh Mohammad Arif itu.” (Wawancara, 1 Agustus 2009)
Kudangan sang ibu merupakan “pengalaman awal” yang menyemaikan ide-ide kreatifnya dalam menulis lirik. Perjumpaannya dengan sajak-sajak Chairil Anwar semakin memperkuat endapan-endapan kreatif dalam benaknya. Namun, kedekatannya dengan Mohammad Arif yang sangat konsisten mengusung tema-tema kerakyatan dalam lagu-lagu ciptaannya berperan membentuk kecenderungan pilihan tematik dan metafor dalam lirik-lirik berbahasa Using yang ia ciptakan. Andang memang memilih metafor alam, seperti Kali Eluh, untuk dijadikan lirik lagu yang secara filosofis menggambarkan semangat rakyat bumi Blambangan yang harus terus mengalir untuk mengisi dan menuju kehidupan yang lebih baik. Lalu, adakah yang salah dengan itu semua? Bukankah pilihan tematik tentang perjuangan hidup rakyat dan ajakan kepada kaum muda untuk berpartisipasi dalam memajukan Banyuwangi merupakan pesan positif yang semestinya dihargai? Apakah salah ketika pada masa 60-an ia memilih Lekra sebagai organisasi untuk memperjuangkan kebudayaan rakyat?
Pilihan tematik kerakyatan dan bergabung ke dalam Lekra tentu mempunyai argumentasinya masing-masing. Kedua hal tersebut dipengaruhi oleh pengalaman individual, keyakinan ideologis, maupun cita-cita dalam berkesenian yang dimiliki oleh masing-masing seniman. Andang seniman/sastrawan yang ingin mengekspresikan persoalan-persoalan sosio-kultural yang dihadapi rakyat secara kritis dan mendalam, bukan sekedar retorika di podium dan mimbar yang menghipnotis. Menjadi wajar, ketika Andang lebih memilih Lekra sebagai medium perjuangan dan kreativitasnya karena secara ideologis sesuai dengan pilihan kreatifnya. Menariknya lagi, Andang lebih menyukai penggunaan diksi dan tema yang dekat dengan kehidupan sehari-hari sehingga semakin mempertegas pembelaan dan rasa simpatinya terhadap perjuangan rakyat jelata yang memang harus terus diperjuangkan. Ketika orator-orator politik, wakil rakyat, dan pejabat birokrasi hanya sibuk menata kehidupan feudalistik mereka, maka seniman, sastrawan, dan budayawan memang berhak dan wajib mengambil peran untuk memberikan ‘cahaya’ kepada rakyat, bukannya janji-janji ilusif tentang kemakmuran negeri. Andang telah memilih memberikan cahaya itu melalui kerja kesastraan dan kesenian; lewat lirik-lirik lagu yang ia ciptakan dan, ternyata, disukai banyak orang.
Pesan-pesan perjuangan rakyat kecil dengan mudah bisa ditemukan dalam lirik-lirik lagu yang ditulis Andang dan digubah lagunya oleh Basir Noerdian maupun Mahfud. Dengan kesederhanaan lirik, ia mampu menghadirkan realitas perjuangan dan persoalan hidup yang dihadapi oleh rakyat kebanyakan.
“Ada juga lagu saya yang berasal dari kehidupan sehari-hari, seperti Prawan Sunti, lirik lagu pertama saya yang dilagukan Pak Mahfud. Saya membuat gambaran bagaimana wanita Banyuwangi mencintai kerja, harus berhati-hati di jalan, kalau ada godaan di jalan, misalnya lare angon ngajaki guyon, esemono (kalau ada gembala mengajak bercanda, berilah senyum, pen), cintailah mereka dengan kerja bagi nusa-bangsa. Pernah juga saudara istri datang ke rumah mau meminjam pakaian untuk acara pesta perkawinan, saya tulis menjadi lagu yang intinya meskipun sobek-sobek yang penting kepunyaan sendiri. Yang tentang sejarah juga ada, Umbul-umbul Blambangan yang pernah dimuat di majalah lokal, terus Pak Basir membacanya dan menjadikannya lagu. Begitupula dengan lagu Kembang Galengan, Pak Basir juga yang membuat lagunya, malah ia tidak tahu awalnya karangan siapa lirik itu, karena saya memakai nama samaran Manadon. Terus dia saya kasih tahu, dan jadilah lagu Kembang Galengan, bahkan sempat naik daun. Lagu itu nilai filosofisnya ada. Kembang leng-galengan meletik sing gawa aran/diidek eman-eman, dipetik sing ana doyan. Kembang di pematang itu kan indah dan cantik meskipun tidak bernama, kalau diinjak eman-eman, tetapi kalau dipetik tidak ada yang mau, berbeda dengan mawar dan melati. Jadi seperti orang kecil. Tapi, kembang galengan itu juga memandang langit dan pepohonan. Orang kecil itu juga melihat tingkahnya orang di atas. Kritis, sekarang kan perkembangannya begitu, orangnya kritis. Yang terakhir dalam kesimpulannya, kembang galengan iming-imingono emas berlian/alung mituhu nunggu pedhotan..Jadi meskipun hujan emas di negeri orang, memilih hidup di negeri sendiri. Itulah, orang kecil selalu mencintai tanah air…Saya banyak menggunakan istilah kembang, seperti Kembang Galengan, Kembang Peciring, Kembang Pethetan, karena memang mudah dikenang dan disenangi orang. Ada juga Kembang Kamboja, agar manusia berbuat kebaikan karena semuanya akan berakhir di bawah pohon kamboja…Artinya kembang bukan kembang secara harafiah. Seperti Mawar Kapuranta. Lagu ini saya tujukan kepada anak gadis, agar jangan setengah-setengah.” (Wawancara, 1 Agustus 2009)
Kesadaran kritis sebagai seorang seniman yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang sedang mengalami masa-masa sulit, menjadikan Andang dekat dengan persoalan-persoalan rakyat kebanyakan. Lagu Perawan Sunti, yang sampai saat ini masih digemari, adalah salah satu yang memotret persoalan perempuan yang digambarkan akan selalu berjuang menghadapi kehidupan, betapapun sulitnya. Pun demikian dengan Kembang Galengan yang secara simbolis memberikan pesan kepada rakyat jelata bahwa meskipun hidup mereka diinjak-injak dan tidak dimasukkan ‘hitungan’ oleh mereka yang berkuasa, mereka harus tetap mencintai tanah air sembari terus bersikap kritis.
Bagi Andang, lagu-lagu yang menceritakan kehidupan rakyat jelata adalah pilihan ideologis dan filosofis dalam berkarya.
“Ini mungkin semacam pilihan, jadi pilihan filosofi hidup…Saya, bagaimanapun juga, tidak pernah meninggalkan hidup dari kondisi seperti itu. Dan, saya kebetulan pada zaman Bung Karno, pernah melaksanakan riset, riset 3 Samakerja bersamatinggal bersama, dan makan bersama. Itu saya lakukan di sebuah daerah nelayan. Setiap penciptaan kalau didasari riset seperti itu, pasti sudah, hasilnya lain daripada yang lain. Bayangkan kalau kita membuat syair panjang itu seperti apa adanya, ini hanya sampai di kerut-kerut mukanya saja. Tapi kalau kita mau menyelam lebih dalam harus tahu. Misalnya, petani mencangkul, ya kita menggambarkan ada petani mencangkul, keringatnya mengalir, otot-otot tangannya itu saja, itu hanya pemotretan. Tapi, kalau kita masuk lebih dalam, waktu mencangkul apa yang dipikirkan oleh petani itu, mungkin anak-anaknya yang lagi butuh uang sekolah, beli buku dan sebagainya, dalam angannya. Mungkin juga tentang dandange (kuali, pen) istrinya. Menjelang 65 saya juga pernah membuat drama berjudul Janda Orang Buangan, pernah dipentaskan di 510 (salah satu markas angkatan darat di Banyuwangi, pen). Makanya, dalam berkarya itu harus benar-benar mendalam, jangan hanya di kerut-kerutnya. Itulah, saya tidak bermaksud untuk sombong, tapi itulah karya saya, terserah pembaca yang merasakannya.”                            (Wawancara, 1 Agustus 2009)
Andang, sebagai seniman Lekra, tidak hanya mau menjadi pegiat di menara gading yang hanya berkarya dengan bantuan ‘teropong’, tanpa merasakan nyanyian batin rakyat yang sebenarnya. Riset partisipatoris 3 Sama menjadi gambaran riil bahwa untuk bisa menghasilkan karya berbobot dan berpihak, para seniman harus masuk ke kompleksitas jagat nyata dan jagat batin rakyat kecil agar karya yang dibuat tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi kontemplatif, mendalam, dan memperlihatkan keberpihakan kepada persoalan rakyat. Pengalaman dan pengembaraan observatif itulah yang menjadikan karya-karya Andang digemari sampai sekarang.
Pilihan tema dan sikap ideologis tersebut menyiratkan harapan besar dari Andang agar masyarakat Banyuwangi, khususnya, dan Indonesia, umumnya, selalu memprioritaskan kecintaan tanah air dengan melakukan perjuangan-perjuangan yang bisa mengantarkan mereka pada masa depan yang lebih baik. Pilihan tematik itulah yang akhirnya oleh rezim militer dianggap menumbuhkembangkan ideologi komunis. Stigmatisasi terhadap para seniman dan sastrawan Lekra Banyuwangi sebagai pendukung PKI, secara diskursif menjadikan mereka sebagai liyan yang harus ditertibkan, dipenjarakan, atau bahkan dieksekusi tanpa pengadilan yang jelas. Andang bersama ratusan tokoh PKI dan organisasi underbow-nya ‘diculik’ tentara dan dipenjarakan di penjara Lowokwaru, Malang, selama 19 bulan. Karena masuk dalam Kategori B level terbawah, Andang dipulangkan dan dipenjara di Kalibaru dan terakhir mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Banyuwangi.[1] Beruntung kiranya Andang masih selamat, meskipun ia harus menanggung beban dan penderitaan politik dan kultural.
Ternyata, lirik dan pesan tematik lagu-lagunya serta keterlibatannya di Lekra, menjadikannya berurusan kembali dengan rezim militer, ketika selepas dari penjara ia menulis lirik lagu lagi. Lagu-lagunya dianggap membela komunisme, utamanya lagu Perawan Sunti dan Kembang Pethetan.
“Bang-bang wetan, srengenge metu donyane abang (sepenggal lirik Perawan Sunti, “merah bersinar di ujung Timur, sang surya terbit dunia benderang”, pen). Lagu Prawan Sunti memang ideal, saat pertama saya menciptakan lagu, tahun 66, saat suasana Banyuwangi mencekam karena peristiwa 65. Ini yang menafsirkan yang keliru. Suruh wanci kinangan, suruh itu kan macem-macem tetapi kalau dikunyah itu ‘merah’. Saya dituduh dan ditahan karena lagu ini, karena warna merah suruh itu. Saya ditahan sampai ½ bulan di Koramil, dikira saya mau mendatangkan PKI lagi. Pernah terjadi seperti itu. Waktu itu Komandan Koramil-nya Pak Supriadi. Dia bilang, “Kamu kan mau mendatangkan PKI lagi?” Saya jawab, “Lho, Pak, jangan salah tafsir. Kalau wanita Banyuwangi, jangankan nginang, Pak, dekat saja sama wanci itu gatel.” Ini kan lagu tentang wanita yang milih-milih bekerja berat, yang memilih jodoh ditimbang-timbang. Jadi cita-citanya nggayuh lintang (menggait bintang, pen), supaya masa depannya lebih cerah. Itulah, lagu ini dianggap lagunya PKI. Lagu Kembang Pethetan juga demikian, dituduh simbolisasi komunis. Itu gara-gara Sun tandur ring buju petamanan (aku tanam di sudut taman, pen). Itu tuduhannya apa? Di sudut bendera RRT (Republik Rakyat Tjina, Pen) itu kan ada palu arit-nya, jadi kembang pethetan itu disamakan dengan benderanya komunis. Sampai ndak masuk akal tuduhannya. Sampai-sampai Pak Hasan Ali pernah ngamuk. Dia kan dari PNI, dia itu yang ikut membela saya, dia bilang “Indonesia Raya itu bisa saya tafsirkan sebagai PKI”. Pak Hasan Ali sampai bilang begitu. Jadi, memang tuduhan itu terlalu mengada-ada.” (Wawancara, 1 Agustus 2009)
Tuduhan-tuduhan itu tentu saja hanya didasari tafsir sepihak rezim militer yang tidak ingin seniman dan sastrawan merepresentasikan rakyat di dalamnya karya-karya mereka. Tafsir militer tersebut menunjukkan kebodohan dan sifat ahistoris militer yang sudah dikuasai sikap antipati terhadap komunis. Adalah sebuah kekonyolan ketika seseorang yang menulis lirik tentang nasib dan perjuangan rakyat harus dipenjara kembali. Padahal, revolusi kemerdekaan tidak akan pernah lahir ketika rakyat tidak memberikan dukungan seluas-luasnya, termasuk menyediakan logistik untuk laskar pejuang. Namun, rezim militer memang tidak mau tahu-menahu persoalan tersebut, karena bagi mereka segala hal yang berbau “rakyat” adalah kiri dan komunis. Dan, komunis pada waktu itu adalah musuh bersama yang harus diberangus atas nama kesaktian Pancasila ataupun penyelamatan negara.
Selamatnya Andang dari ancaman penjara kedua kalinya, memang tidak bisa dilepaskan dari peran seniman dan budayawan, seperti Hasan Ali (LKN) dan Hasnan Singodimayan (HSBI). Kegigihan Hasan Ali ketika mengatakan “Indonesia Raya itu bisa saya tafsirkan PKI” menunjukkan keberaniannya dalam berargumentasi guna meyakinkan aparat tentang ketidakbersalahan Andang dalam menciptakan lagu-lagu Banyuwangen. Lebih lanjut, Hasnan menuturkan bagaimana ‘penyelamatan’ yang dilakukannya bersama Hasan:
“Nah, dalam perkembangannya, ada kelompok kecil yang hanya berteriak. Gendingnya Andang dan Basir, itu kan gending yang betul-betul kita akan merasakan. Seperti ada lirik yang menyatakan, kalau diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, air kalau dipecah akan menyatu kembali. Mereka bilang itu ideologi PKI. Saya saja tidak sampai ke sana. Itukan tentang menyatunya jiwa dan rasa yang sudah tidak bisa dipisahkan lagi. Diartikan masih satu dengan ideologi komunis. Kembang Pethetan, Andang menciptakan itu, karena “saya PKI, istri saya diambil orang”.[2] Diartikan juga ideologi komunis. Terus Perawan Sunti, waduh ngeri itu. Kasihan Andang, sampai nangis-nangis karena Andang terancam dipenjara lagi. Tapi Hasan Ali pinter, kalau ada pertanyaan dari militer tentang lagu ini, saya yang disuruh maju. Ndak mungkin dia milih orang-orang LKN ataupun Lesbumi. Jadi kalau ada panggilan tentang lagu-lagunya Andang, saya yang diminta ngadep.” (Wawancara, 31 Juli 2009)
Apa yang dilakukan oleh Hasnan dan Hasan adalah sebuah perjuangan untuk menyelamatkan kemanusiaan dan kebudayaan. Mengapa? Dengan selamatnya Andang dan Basir, mereka berdua akan tetap bisa berkiprah dalam pengembangan kesastraan, kesenian, dan kebudayaan Banyuwangen. Mereka berdua adalah aset berharga bumi Blambangan yang kelak di kemudian hari akan ikut mewarnai kehidupan rakyat dan budaya di Banyuwangi. Keberanian Hasnan dan Hasan adalah bentuk keberanian dalam membangun solidaritas antarseniman yang tidak lagi dipisahkan oleh sekat-sekat ideologi partai yang terbukti hanya dimanfaatkan oleh kepentingan elite dan rezim. Apa yang menyatukan mereka adalah kebutuhan dan keinginan untuk mengembangkan dinamika kebudayaan Banyuwangen yang mampu memberikan hiburan sekaligus ‘cahaya’ bagi rakyat kebanyakan. Memang, kerakyatan dalam berkesenian, pada akhirnya, bukan hanya monopoli PKI, tetapi menjadi tanggung jawab bersama para seniman yang merasa punya hati nurani demi melihat persoalan-persoalan sosial-kultural yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kerakyatan, kesenian, dan hati nurani memang menjelma sebagai “air yang terus mengalir, pun dipecah akan kembali utuh”.
Ketika Patriotisme Dihadapi Pistol: Pengalaman Basir Noerdian
Seperti dijelaskan sebelumnya, mitra Andang dalam menciptakan lagu adalah Basir Noerdian dan Mahfud. Sebagai pemain biola yang juga menguasai alat musik tradisional seperti angklung dan gamelan, Basir pernah mengalami masa-masa menyedihkan akibat perisitiwa 65; sebuah peristiwa yang tidak pernah ia duga akan membunuh banyak orang tak berdosa, termasuk para seniman yang dulu ikut berjuang dan berkarya dengannya. Ia juga harus menderita karena statusnya sebagai pegawai koperasi dicopot gara-gara bergabung dengan Lekra. Sampai sekarang, di usianya yang mendekati 80 tahun, ia menjalani kehidupan yang sangat sederhana (untuk tidak mengatakannya miskin) bersama istri tercinta yang sudah mendampinginya mengarungi pahit kehidupan sebagai korban rezim yang memberangus Lekra dan PKI. Berdua mereka menempati sebuah rumah petak yang sangat sederhana (untuk tidak mengatakannya reyot) di sebuah kampung di Kota Banyuwangi.
Samahalnya dengan Andang, Basir sebenarnya tidak pernah punya mimpi untuk membuat lagu-lagu yang ditujukan untuk propaganda komunis di Banyuwangi. Keterlibatannya di Lekra-lah yang menjadikan ia dituduh menciptakan lagu-lagu untuk kepentingan komunis. Padahal, lagu-lagu yang ia ciptakan, baik dari lirik sendiri ataupun lirik yang diberikan Andang, mempunyai pesan-pesan untuk menumbuhkan perjuangan dan patriotisme di dada rakyat Banyuwangi; jauh dari kesan agitatif seperti yang dicurigakan pihak-pihak yang membenci komunis, seperti tentara. Seniman yang pada tahun 45-an sudah lulus SR (Sekolah Rakyat) ini, memang sudah mengalami getirnya kehidupan serta tragedi kemanusiaan sebagai akibat penjajahan dan revolusi fisik. Kondisi itulah yang memanggil naluri kreatifnya untuk membuat lagu-lagu yang mengumandangkan semangat perjuangan dan patriotisme.
“…saya mengalami banyak peristiwa. Zaman Jepang sekolah pakai karung goni. Saya pernah juga dikampleng (ditempeleng, pen) waktu sekolah..waduhh… Cuma yang paling berkesan bagi saya, sesudah 45 itu, yakni waktu pemindahan jenasah pejuang Sulaiman. Waktu itu saya aktif di pandu. Jadi, ikut menggali kuburnya pakai tongkat, tidak pakai alat lainnya. Saya ikut juga mengantarkannya. Saya ingat, waktu Bung Karno memberikan hormat kepada para pahlawan, saya ada di sampingnya. Sungguh berkesan sekali. Dari situ, saya terinspirasi untuk membuat lagu, Kembang Kirim. Lagu itu saya maksudkan untuk menghargai usaha batalyon 0032, menceritakan pertahanan Banteng waktu Agresi Militer I. Sulaiman meninggal di tepi pantai. Jadi, sebenarnya lagu itu tentang pembelaan terhadap tanah air tercinta.”                                                       (Wawancara, 1 Agustus 2009)
Pengalaman langsung ketika ikut memindah jenasah Sulaiman telah melahirkan kesadaran mendalam dalam diri Basir untuk menciptakan lagu sehingga rakyat akan memahami bahwa perjuangan terkadang harus ditebus dengan nyawa. Lagu itu sekaligus menunjukkan komitmen estetis dan kreatif Basir yang tidak hanya berhenti pada seni untuk seni, tetapi seni untuk terlibat dalam urusan-urusan perjuangan. Sebuah komtemplasi mendalam terhadap apa yang ia saksikan, telah memunculkan lagu yang menjadi inspirasi dan semangat yang ia harapkan akan diwarisi oleh generasi-generasi berikutnya.
Pengalaman menyedihkan yang dialami keluarga kecilnya selama tahun 66 juga menjadi inspirasi penciptaannya. Tahun 66 adalah sebuah periode dimana rakyat diselimuti ketakutan dan ketidakmenentuan akibat peristiwa G 30 S.
“Ada lagu saya judulnya Dalu-dalu. Ceritanya begini, waktu itu tahun 66. Pada suatu malam anak semata-wayang saya menangis, tidak mau diam. Saya bingung, ada apa dengan anak ini? Akhirnya saya kemuli (selimuti, pen) dia dengan sarung saya. Anehnya, setelah itu ia diam. Dengan peristiwa itu saya membuat lagu yang sebenarnya menceritakan keadaan gawat di negeri ini. Meskipun demikian, saya tetap berdoa dan berharap, kalau sudah besar anak saya tetap menjadi patriot bagi tanah air. Jadi, lagu-lagu saya itu tentang cinta, tepatnya cinta kepada tanah air. Tidak seperti lagu sekarang yang vulgar.” (Wawancara, 1 Agustus 2009)
Meskipun Basir adalah salah satu korban dari kondisi politik yang kacau-balau akibat peristiwa G 30 S, dia tetap mempunyai harapan besar agar anaknya dan juga rakyat tetap mengembangkan rasa cinta kepada tanah air. Cinta jenis ini adalah sebuah harapan kolektif di antara rakyat karena sebagai negara yang sedang menghadapi tragedi, cinta tersebut mungkin bisa menumbuhkan kembali kekuatan-kekuatan internal dari diri rakyat agar bisa bangkit. Apakah lagu seperti itu salah? Tentu tidak. Basir telah berusaha mengingatkan secara luas kepada masyarakat bahwa mencintai tanah air adalah sebuah kewajiban yang harus diperjuangkan bersama-sama.
Memang, Basir juga membuat lagu-lagu yang bernuansa percintaan tetapi dibungkus dengan lirik simbolis. Lagu-lagu tersebut terutama dibuat berdasarkan lirik-lirik yang diberikan Andang CY. Celakanya, lagu-lagu itulah yang menyebabkannya berghadapan dengan pistol. Basir menuturkan:
“Ada juga yang bercerita tentang cinta, seperti Kembang Peciring, yang liriknya dibuat Pak Andang, samahalnya dengan Kembang Pethetan. Pak Andang itu penyair hebat yang belum ada tandingannya. Lagu-lagunya yang membuat saya dan Pak Mahfud. Gara-gara Kembang Pethetan saya pernah dibawa ke Kodim. Ada pihak-pihak yang mempolitisir lagu itu sebagai lagunya PKI. Saya sampai ditodongi pistol. Saya berusaha menjelaskan bahwa lagu itu dibuat oleh Pak Andang, ceritanya seperti cerita saya dan istri. Mereka masih tidak percaya. Akhirnya, lurah dan camat dipanggil. Mereka membenarkan pendapat saya. Akhirnya saya dibebaskan.” (Wawancara, 1 Agustus 2009)
Memang Basir tidak sampai dipenjara, tetapi melihat peristiwa penodongan pistol oleh salah satu anggota tentara, bisa dibayangkan suasana ngeri yang terjadi. Sebagaimana dijelaskan oleh Andang, bahwa lagu itu memang tidak berkorelasi langsung dengan PKI, meskipun menurut Hasnan lagu itu memang diciptakan ketika Andang dipenjara dan istrinya diambil orang. Lagi-lagi, ini adalah sebuah ironi dari kesalahkaprahan sejarah yang dibuat oleh tentara dalam menstigmatisasi mereka yang diindikasikan terlibat Lekra sebagai pihak yang selalu dicurigai dan dipersalahkan. Padahal, Basir adalah seniman pejuang yang mempersembahkan karya-karyanya bagi tumbuhnya semangat perjuangan dan patriotisme yang mesti dijunjung tinggi oleh rakyat Indonesia.
____
[1] Dalam penuturannya kepada Ikaning, Andang menceritakan bahwa salah satu saudaranya, Imam Ghazali, anggota BTI mati dibunuh. Di kampung Tumenggungan, Banyuwangi, rumah para anggota Lekra dibakar massa. Dia juga menuturkan, waktu di penjara Lowokwaru, tentara menghukum anggota PKI berdasarkan kategori keterlibatan. Kategori A dikenakan kepada tokoh-tokoh elit/pengurus PKI dan organisasi underbow-nya yang terlibat langsung dengan sanksi hukuman mati. Kategori B dikenakan kepada anggota yang tidak terlibat langsung dan masih dibagi lagi dalam beberapa kriteria. Andang termasuk dalam kategori B kriteria terbawah, sehingga ia dipulangkan dan di penjara di wilayah Banyuwangi. Lihat, Ikaning. Loc.cit.
[2] Tentang ‘diambilnya’ istri Andang oleh aparat keamanan (?) ketika dia harus menghadapi maut di penjara, ada beberapa versi cerita yang beredar di kalangan budayawan pelaku sejarah dan tetangganya. Namun, kami sengaja tidak menampilkan beberapa versi cerita tersebut dalam tulisan ini. Mengapa? Karena waktu kami memberikan pertanyaan tentang persoalan tersebut, Andang hanya diam saja, tidak (kuasa) memberikan penjelasan. Mungkin peristiwa tersebut terlalu menyedihkan sebagai sejarah kelam kehidupannya.
Ikwan Setiawan, Ketua Umum Matatimoer Institute. Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember. Anggota Dewan Pakar Dewan Kesenian Jember. Aktif dalam penelitian sastra, budaya lokal dan media dengan fokus kepada persoalan poskolonialitas, hegemoni, politik identitas, dan isu-isu kritis lainnya. Email: senandungtimur@gmail.com

Sumber: MataTimoer.Or.Id 

Minggu, 06 Desember 2015

Merah Berpendar di Brang Wetan: Musik Banyuwangen dalam Tegangan Pasca 65 dan Orba [Bagian IV]

December 6, 2015 | Ikwan Setiawan




E. Manisnya Musik Banyuwangen: Ketika Industri Rekaman Swasta Bersemi
Pengaruh lebih lanjut dari usaha rekaman ‘ber-plat merah’ pasca 65 adalah munculnya industri rekaman swasta di Banyuwangi. Perkembangan industri rekaman swasta berorientasi komersil di beberapa kecamatan memunculkan kekhawatiran pihak rezim sehingga sempat diterbitkan surat pelarangan. Dilarangnya industri rekaman swasta memang bisa dibaca dalam beberapa konteks. Pertama, adanya ketakutan rezim terhadap perkembangan swastanisasi dan kapitalisasi kesenian yang menguntungkan pihak swasta, sedangkan pihak Pemkab tidak mendapatkan apa-apa karena mungkin secara kualitas mereka kalah. Konteks tersebut sebenarnya kontradiktif dengan semangat pembangunan nasional yang ingin mempercepat pertumbuhan ekonomi, yang salah satunya melalui industri budaya. Kedua, ketika musik Banyuwangen diproduksi dan diedarkan oleh para pengusaha swasta, rezim Pemkab sangat mungkin tidak bisa memberlakukan pengawasan ketat, sehingga dikhawatirkan industri kesenian akan mengusung tema-tema yang dianggap berbahaya bagi kepentingan rezim. Ketiga, rezim merasa khawatir kalau industrialisasi musik Banyuwangen akan menciptakan format-format baru sebagai pengaruh musik dangdut ataupun Melayu yang bertentangan dengan format “angklung + lagu berlirik Using” sebagaimana telah disepakati bersama oleh pihak Pendopo dan para seniman yang mereka rangkul seabagai identitas kultural dalam hal musik. Meskipun demikian, larangan tersebut terbukti tidak mampu membendung niatan untuk merekam kesenian Banyuwangen dalam format dan bentuk yang berbeda dengan angklung yang berkembang pada era 70-an dan 80-an; periode awal masuknya kesenian Banyuwangen ke dalam ideologi pasar.
Para pemodal swasta lokal tetap mendirikan perusahaan-perusahaan rekaman yang merekam lagu-lagu Banyuwangen ciptaan para seniman Lekra, seperti Andang, Basir, Mahfud, Endro Wilis, dan lain-lain, kecuali Gendjer-gendjer. Secara interpretatif kami melihat pengaruh industri budaya pop pada masa Orba—utamanya musik—yang cukup digemari di Banyuwangi, menjadikan para pemodal membidik pasar lokal dengan lagu-lagu Banyuwangen. Kebijakan pertumbuhan ekonomi berbasis industri dan pertanian memang menghadirkan praktik ekonomi dan sosio-kultural yang digerakkan oleh “uang” dan “pasar”. Masyarakat semakin terbiasa dengan lagu-lagu yang didendangkan penyanyi ibu kota, baik melalui TVRI maupun kaset. Mereka terbiasa dengan musik pop dan musik dangdut yang semakin memenuhi ruang-ruang kultural lokal. Dengan hasil pertanian yang dipasarkan dengan logika pasar, para petani bisa membeli teve, radio, dan mesin tape untuk menonton atau mendengarkan para penyanyi pujaan berdendang. Demi melihat popularitas budaya pop dalam masyarakat dan potensi akumulasi kapital yang dihasilkannya, para pemodal ‘melawan’ kebijakan yang melarang industri rekaman swasta. Lagu-lagu Banyuwangen yang pada awal perkembangannya menjadi bentuk ekspresi kultural dan perjuangan para seniman rakyat memasuki era industrialisasi yang ikut berpengaruh pada genre dan tema lagu.
1. Melayunisasi Lagu Banyuwangen: Semangat dan Kreativitas Fatrah Abal
Pengaruh kuat dari masuknya ideologi pasar adalah perkembangan pesat industri rekaman swasta yang membawa perubahan signifikan dalam hal format kesenian tradisi—utamanya musik—sebagai akibat masuknya pengaruh musik Melayu maupun dangdut. Beberapa seniman menciptakan lagu-lagu Bnayuwangen yang berirama dangdut dan Melayu, meskipun tetap berlirik Using. Kemajuan media, baik televisi maupun radio, ikut pula menyebarkan populeritas kedua genre musik tersebut di tanah Blambangan. Ketika muncul usaha-usaha kreatif baru tersebut, para pemodal swasta telah siap dengan organisasi dan mekanisme kapitalismenya; menginkorporasi kesenian Banyuwangen dan memproduksinya secara massif dalam bentuk kaset.
Adalah Faturrahman Abal (atau lebih populer dikenal dengan nama Fatrah Abal) yang memelopori lahirnya lagu Banyuwangen berirama Melayu. Sebuah pilihan yang merubah kehidupannya. Fatrah Abal, pada awalnya bukanlah seniman. Ia adalah seorang kontraktor listrik yang cukup terkenal di Banyuwangi pada era 70-an. Dari penghasilannya sebagai kontraktor, sebenarnya ia sudah bisa menghidupi keluarga secara berkecukupan dan menjalani kehidupan dengan bahagia. Di ruang tamu rumahnya yang sangat sederhana, Fatrah menjelaskan ketertarikannya untuk menciptakan lagu:
“Sebenarnya pada tahun 70-an itu, saya bekerja sebagai kontraktor listrik dengan penghasilan yang berkecukupan. Saya bisa menghidupi keluarga dengan pekerjaan itu. Namun, setelah para seniman Using diperbolehkan lagi menciptakan lagu, saya juga tertarik untuk ikut menciptakan lagu. Apalagi melihat Pak Armaya bisa membuat lagu. Saya berpikir, “masa” Armaya bisa membuat lagu, saya ndak bisa. Saya pasti bisa”. Gitu prinsip saya waktu itu. Mulailah saya membuat lagu. Setelah dapat beberapa lagu, saya memutuskan untuk merekam lagu-lagu tersebut dalam format orkes melayu bersama Orkes Melayu Blambangan. Memang waktu itu lagu-lagu Melayu sedang populer.” (Wawancara, 21 Juli 2009)
Secara implisit, memang ada ‘naluri persaingan’ yang mendasari proses kreativitasnya. Namun demikian, persaingan yang berkembang lebih mengarah pada kompetisi kreatif; karena melihat orang lain bisa membuat lagu, maka ia juga, tentunya, bisa membuat lagu. Pengaruh populeritas lagu-lagu berirama Melayu, baik yang dinyanyikan penyanyi dari Malaysia maupun Sumatra, menjadikannya memilih format musik Melayu. Penjelasannya tentang “populeritas musik Melayu di Banyuwangi” mengindikasikan bahwa pertimbangan pasar menjadi motivasi awal untuk menciptakan lagu Banyuwangen yang diaransemen dalam musik Melayu. Tujuan komersil merupakan sebuah kewajaran ketika ia memutuskan untuk merekam lagu-lagu berbahasa Using dalam musik Melayu, meskipun ia sendiri tidak pernah mengungkapkannya.
Komersialitas dan populeritas memang bukan motivasi tunggal di balik pilihan Melayunisasi lagu Banyuwangen yang ia buat. Pilihan terhadap genre musik Melayu dengan lirik Using, merupakan bentuk strategi subjektivitas dan kreativitasnya di tengah-tengah kuatnya pengaruh musik Melayu, ketatnya kontrol Pendopo, serta keinginan untuk terus mengembangkan budaya Banyuwangen. Pengembangan dan perluasan kesenian Banyuwangen berbasis Using di tengah-tengah pluralitas masyarakat, tampak menjadi motivasi kedua yang mendasari Melayunisasi tersebut. Tentang motivasi itu ia menjelaskan:
“Saya memutuskan memakai bentuk orkes untuk lagu-lagu saya, bukan semata-mata untuk bisa populer. Namun, karena saya tahu persis bagaimana orang-orang Banyuwangi memamahami kesenian. Tidak semua warga Banyuwangi menyukai gandrung, termasuk di Penataban. Mereka yang tidak mau nanggap gandrung karena kesenian ini dianggap mengandung unsur maksiat, terutama karena tarian para penarinya itu. Bahkan sebelum gandrung berubah menjadi perempuan, masih gandrung laki-laki, mereka juga tidak mau nanggap atau menonton. Makanya, saya pakai orkes Melayu.” (Wawancara, 21 Juli 2009)
Dengan demikian, selain sebagai strategi komersil, pilihan musik Melayu juga bisa dibaca sebagai strategi kultural yang dikembangkan oleh Fatrah secara sadar untuk lebih memasyarakatkan secara luas lagu Banyuwangen. Adanya anggapan maksiat terhadap gandrung oleh sebagian masyarakat Banyuwangi, ternyata menjadi inspirasi tersendiri baginya untuk membuat lagu dalam irama Melayu. Kesadaran akan pluralitas masyarakat yang tidak hanya terdiri dari komunitas Using, tetapi juga dari Jawa Mataraman, Madura, Melayu, Bugis, dan China, menjadikan pilihan musik Melayu sebagai strategi yang ia yakini tepat untuk terus menyebarluaskan kesenian Banyuwangen, bukan mematikannya seperti dikhawatirkan oleh orang-orang Pendopo.
Ketetapan hati untuk tetap berkarya dalam format musik Melayu berlirik bahasa Using, memang menjadi strategi jitu bagi populeritas lagu-lagu yang ia ciptakan. Namun demikian, pilihan itu juga memunculkan konskuensi yang menyedihkan dalam kehidupannya. Setelah menghisap rokok kretek kesukannya, ia menuturkan:
“Ketika tahu saya merekam lagu dalam bentuk format orkes orang dinas melalui Hasan Ali menegur saya. Dia meminta agar saya merekam lagu-lagu saya dalam bentuk gandrung maupun angklung agar ciri khas Banyuwanginya tidak hilang. Tapi, saya tetap bertahan dengan pendirian saya. Pilihan saya untuk bertahan dengan orkes, akhirnya menyebabkan persoalan yang tidak mengenakkan. Saya tidak mendapatkan lagi kontrak-kontrak proyek dari Pemkab. Ya, saya tidak marah. Saya tetap menciptakan lagu dalam format orkes…Terbukti album saya laris manis dan disukai banyak orang. Waktu itu di toko kaset dijual Rp. 700,-. Namun, pembajakannya waktu itu luar biasa, edan pokoknya. Kaset-kaset bajakan itu dilepas dengan harga Rp. 350, separuh dari kaset asli. Ya, saya tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi hal itu.” (Wawancara, 21 Juli 2009)
Paradigma untuk mempertahankan kesenian Banyuwangen dalam industri budaya menjadi alasan orang dinas, melalui Hasan Ali, menegur Fatrah. Dalam pakem pendopo, yang namanya kesenian Banyuwangen, ya angklung, ya gandrung itu. Pakem ini bisa jadi menunjukkan adanya esensialisme dalam memaknai pilihan berkesenian yang sebenarnya dinamis dan sesuai kondisi zaman. Padahal kalau diruntut lagi, kesenian Banyuwangen adalah hasil dari pertemuan tradisi-tradisi besar kesenian Jawa Mataram, Bali, Eropa, Melayu, Madura, atau bahkan China.
Memang, Fatrah, akhirnya harus menerima resiko ekonomi dari kegigihannya melakukan Melayunisasi lagu-lagu Banyuwangen. Proyek-proyek dari Pemkab yang biasa ia kerjakan tidak lagi diberikan. Tentu saja, kondisi ini berdampak kepada kehidupan ekonomi keluarganya. Namun demikian, kegigihannya berakibat manis. Lagu-lagunya laris-manis, meskipun banyak yang dibajak oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Kondisi-kondisi itu tidak menyurutkan langkah dan keinginannya untuk terus berkarya. Ia tetap saja menciptakan lagu-lagu yang berisi nasehat orang tua kepada anaknya, seperti Golet Ilmu dan Angen-angene Wong Tuwo, serta lagu-lagu tentang cinta, seperti Gelang Alit, yang masih tetap populer sampai sekarang dengan aransemen musik yang berbeda.
2. Kendang Kempul: Irama Dangdut dalam Jiwa Banyuwangen
Perjuangan dan terobosan kultural yang dipilih oleh Fatrah Abal, nyatanya mampu menjadi inspirasi bagi seniman-seniman pada masa berikutnya untuk menciptakan karya musikal yang berbeda dengan mainstream angklung dan gandrung. Keterbukaan dan sikap adaptif terhadap perkembangan zaman, menjadikan para seniman Banyuwangi menjadi makhluk-makhluk kreatif yang secara sadar menyerap apa yang berasal dari luar untuk dijadikan milik khas daerah mereka. Perilaku adaptif itulah yang kemudian melahirkan Kendang Kempul sebagai genre musik baru yang dikembangkan oleh seniman-seniman Banyuwangi.
Perkembangan kendang kempul pada masa awal memang tidak banyak dikaji sehingga data-data yang bisa dijadikan referensi tidak begitu banyak. Fatrah masih ingat persis tentang perkembangan dan jenis musik kendang kempul.
“Pada era 80-an, Sutrisno dari Genteng mempopulerkan format Kendang Kempul, yang memadukan kendang, kempul, kibor, dan biola Using, yang ternyata juga sangat diminati oleh masyarakat. Pada dasarnya, kendang kempul itu orkes versi Using dengan memasukkan kendang dan kempul. Lagu-lagu saya, seperti Gelang Alit, juga sangat populer dinyanyikan dalam bentuk kendang kempul.” (Wawancara, 21 Juli 2009)
Pranoto yang juga masih mempunyai ingatan terhadap kendang kempul, menambahkan:
“Pengaruh dangdut, kemudian memunculkan kendang kempul yang langsung populer di masyarakat. Musiknya yang lebih sederhana, berhasil merubah warna kesenian lokal Banyuwangi. Angklung dan kesenian-kesenian tradisi lokal mulai tergusur. Keroncong seperti Mawar Merah tidak ada yang menggali lagi.” (Wawancara, 22 Juli 2009)
Penjelasan kedua seniman tersebut menunjukkan bahwa kendang kempul pada dasarnya sangat dekat dengan irama Melayu yang berkembang menjadi dangdut. Pada periode 80-an, dangdut memang menjadi trend musik yang sangat populer di masyarakat. Demi melihat popularitas tersebut, para seniman musik Banyuwangi yang dipelopori oleh Sutrisno membuat genre musik baru dengan menyerap unsur dangdut, tetapi tidak sepenuhnya sama. Instrumen musik dangdut ketipung, digantikan dengan kendang Banyuwangen. Meskipun memakai instrumen modern seperti kibor maupun biola, kendang kempul juga masih mempertahankan instrumen tradisional seperti kempul, dan kluncing (triangle).
Sekilas, instrumen kendang kempul yang masih mempertahankan keberadaan alat-alat musik tradisional, memang menyerupai instrumen gandrung. Hal itu menandakan adanya usaha untuk menegosiasikan nilai tradisi dalam bentuk yang lebih modern. Kekuatan tradisi juga tampak dari lirik-lirik lagu berbahasa Using. Namun demikian, masuknya instrumen modern menggambarkan betapa para seniman Banyuwangi sangat cepat merespons dan beradaptasi dengan perkembangan musik baru yang sedang naik daun pada level nasional maupun regional. Mereka secara sadar ‘mengambil’ sebagian instrumen dan irama dangdut untuk dimodifikasi sedemikian rupa dalam bentuk musik lokal yang masih diakui sebagai milik orang Banyuwangi.
Sumiati, salah satu bintang kendang kempul di era 90-an.
Sampai dengan periode 90-an, kendang kempul masih menjadi favorit, tidak hanya di Banyuwangi, tetapi juga di beberapa kabupaten tetangga seperti Jember, Lumajang, Bondowoso, dan Situbondo. Bahkan peredarannya juga sampai Surabaya dan sekitarnya. Nirwana Record Surabaya ikut memproduksi kendang kempul dalam bentuk kaset sehingga penyebarannya semakin luas. Begitupula dengan Ikawangi (Ikatan Keluarga Banyuwangi) yang berdomisili di Jakarta dan Aneka Safari Record Genteng, juga ikut berperan aktif dalam memproduksi lagu-lagu dalam format kendang kempul. Memang rancak suara angklung yang mengiringi lagu-lagu Banyuwangen digusur oleh rancak dinamis suara kendang dan kempul. Namun, kenyataan itu tidak harus dipandang secara negatif karena kendang kempul telah menjadi tradisi baru dalam musik Banyuwangen sesuai dengan kondisi zaman yang tidak bisa ditolak oleh para seniman.
F. Politik Identitas dan Industri Budaya Banyuwangen Pasca 65:
Catatan-catatan Simpulan
Dimulainya proses rekaman musik Banyuwangen yang dikawal oleh pemerintah kabupaten, di satu sisi, memang bisa dibaca sebagai strategi dan mekanisme hegemoni dalam konteks kebudayaan, tetapi di sisi lain, juga bisa dibaca sebagai usaha untuk menciptakan “politik identitas” untuk kepentingan rezim. Politik identitas, sejatinya, merupakan gerakan politik yang memperjuangkan hak-hak minoritas, mereka yang tertindas, mereka yang di-liyan-kan, dan mereka yang dipinggirkan dalam mekanisme dan praksis sosio-kultural mainstream melalui teks dan praktik kultural esensial berbasis keminoritasan tersebut. Penekanan identitas esensial memang didasari pemahaman realis—apa yang dilihat dan dirasakan—dalam memposisikan budaya yang dianggap bisa menyatukan sebuah komunitas dalam setting wilayah dan historis tertentu.
Politik identitas, dengan demikian, mempunyai relasi-relasi strategis-politis dengan lingkungan sosial—dan, tentunya, kebudayaan—yang membentuk kedirian seseorang dalam setting tempat dan historis partikular. Politik identitas, dalam konteks tersebut, bisa digunakan untuk melakukan “proyek-proyek politis” yang akan mengikat anggota sebuah komunitas atau masyarakat demi mencapai tujuan-tujuan komunal dan konsensual. Makna yang terkesan “terlalu politis” inilah yang menjadikan kritik terhadap politik identitas yang kebanyakan mengarah pada (a) kritik esensialisme kultural yang membabi-buta dan berkontradiksi dengan fakta transformasi dan perubahan kultural sesuai dengan setting historis dan (b) bisa digunakan kepentingan kelas tertentu untuk melegalisasi kuasanya atas nama kebudayaan (Dougan, 2003: 33; Durham, 2004: 141; Kompridis, 2005: 321; Gimenez, 2006: 431-432).
Dalam konteks Banyuwangi pada masa pasca 65, para seniman, budayawan, dan birokrat yang ingin menggunakan kesenian dan budaya Using sebagai identitas budaya Banyuwangen, secara implisit merupakan usaha untuk menciptakan common sense tentang nilai, makna, dan praktik kultural yang bisa membangkitkan dan memperkuat rakyat setelah masa-masa kelam pembantaian 65. Kenapa memilih kesenian dan budaya Using? Karena kesenian dan budaya Using masih cukup kuat dalam memori kolektif warga Banyuwangi, utamanya yang berbasis etnis Using, maupun etnis Jawa, Madura, dan lain-lain. 
Di samping itu, tidak dipilihnya musik modern—meskipun masih dimasukkan unsur biola yang berasal dari Barat—lebih dikarenakan sebagai pencegahan terhadap terlalu berkuasanya unsur-unsur modern dalam kesenian Banyuwangen yang tentu saja bisa menggusur identitas lokal. Sebenarnya, semangat yang dibawa memang sangat ideal karena menginginkan kesenian dan budaya Banyuwangen kembali berjaya—bandingkan dengan tujuan Lekra—tanpa harus merasa kalah oleh kehadiran kesenian-kesenian modern. Namun, kepentingan untuk meredam dan menentramkan masyarakat sehingga tercipta stabilitas yang akan mendukung proyek pembangunan Orde Baru, memunculkan kepentingan politis yang menjadikan politik identitas Bnayuwangen tidak lepas dari kuasa rezim.
Dipilihnya kesenian dan budaya Using sebagai proyek diskursif politik identitas Banyuwangen juga bisa dibaca secara kritis menegasikan potensi seni dan kultural dari etnis lain di Banyuwangi yang eksis di komunitasnya masing-masing. Asumsi bahwa dengan menggunakan identitas kultural Using sebagai satu-satunya bentuk politik identitas Banyuwangen sebenarnya membayangkan idealitas yang bersifat “menyederhakan permasalahan”. Kenapa? Bagaimanapun juga etnis-etnis lain juga telah hidup dan berkembang di Banyuwangi sejak zaman kolonial. Meskipun banyak didatangkan oleh penjajah Belanda, mereka selama beberapa generasi telah hidup di wilayah ini. Mereka masih menjalankan tradisi dan kesenian yang menjadi karakteristik etnis. Jaranan dan wayang kulit, misalnya, masih sering dipentaskan hingga saat ini di komunitas Jawa. Memang, masyarakat lain juga tidak pernah menuntut budaya mereka diakomodasi oleh pihak Pendopo. Namun, ‘penganaktirian’ tersebut bisa memunculkan “mekanisme defensif baru” dari etnis-etnis lain berupa “reproduksi terus-menerus stereotipisasi negatif terhadap komunitas Using”.
Pembatasan kreativitas kultural yang menjadi kodrat kebudayaan dalam ruang dinamis masyarakat Banyuwangi oleh Pendopo dan seniman/budayawan yang menjadi partner strategis rezim, nyatanya tidak bisa mencegah munculnya nilai, makna, teks, dan praktik kultural baru yang beraroma industrial, meskipun tetap berpijak pada kearifan budaya lokal. Diedarkannya lagu-lagu Fatrah Abal dalam bentuk musik Melayu serta peredaran secara massif kendang kempul dalam dengan format kaset, menjadi penanda masuknya lagu-lagu Banyuwangen ke dalam sistem dan mekanisme industri budaya, meskipun hanya dalam level lokal dan regional. Realitas tersebut tidak bisa dilepaskan dari popularitas lagu-lagu Melayu, dangdut, maupun pop pada masa Orba yang secara massif beredar hingga wilayah daerah, seperti Banyuwangi.
Para seniman musik menghadapi kondisi bahwa lagu dan kesenian Banyuwangen harus dipopulerkan agar bisa diterima oleh semua kalangan masyarakat. Strategi Melayunisasi dan dangdutisasi serta ‘percumbuan’ dengan industri budaya merupakan siasat seniman dalam memposisikan diri dan merespons populerisasi industri budaya yang digerakkan dari Jakarta serta tuntutan untuk melakukan reaktualisasi dan rekontekstualisasi kekayaan budaya lokal Banyuwangen. Perkembangan ekonomi masyarakat sebagai akibat masuknya Revolusi Hijau dalam bidang pertanian menjadi kondisi konstekstual yang mendukung populeritas lagu Banyuwangen bergenre Melayu dan kendang kempul. Masyarakat mulai terbiasa dengan mesin tape untuk memutar kaset berisi lagu-lagu Banyuwangen.
Hadirnya lagu Banyuwangen bergenre Melayu dan Kendang Kempul juga menunjukkan bahwa seniman dan kesenian-kesenian Banyuwangen sebenarnya merupakan hasil dari hibriditas kultural sebagai akibat dari pertemuan dan singgungan dengan budaya pop. Hal ini berakar dari tradisi dan budaya masyarakat Using itu sendiri. Perjumpaan dengan penakluk-penakluk lokal—Bali dan Jawa Mataraman—dan penjajah Belanda menjadikan mereka tidak hanya “dipandang” secara stereotip, tetapi juga bisa “memandang” para penakluk dan penjajah itu. Kesenian Banyuwangen merupakan hasil usaha para seniman untuk meniru dan mengambil sebagian unsur seni dari luar untuk diolah dan digunakan sebagai bagian dari kekayaan seni mereka sendiri. Ketika para seniman memasukkan unsur biola, kibor, bass, dan gitar ke dalam musik Banyuwangen, mereka memang meniru, tetapi peniruan itu tidak seluruhnya/tidak sempurna. Mereka masih tidak menghilangkan karakteristik lokal Using, seperti bahasa lirik, kendang, kempul, gamelan, dan lain-lain. 
Demikian pula soal nada yang sangat khas Using. Musik yang tercipta dari hibriditas tersebut diakui sebagai musik Banyuwangen. Artinya, hibriditas kultural merupakan bagian integral dari subjektivitas kultural masyarakat Banyuwangi di tengah-tengah pengaruh dari luar yang masuk ke dalam kehidupan mereka, termasuk pengaruh musik Melayu, dangdut, dan musik-musik lain pada periode-periode berikutnya. Memang, hibriditas yang berlangsung berguna untuk terus menegosiasikan ke-Banyuwangen-an dalam perkembangan masyarakat. Namun, industri budaya juga selalu siap melakukan inkorporasi terhadap hibriditas kultural tersebut.
Orientasi pasar dan ekonomi jelas menjadi motivasi untuk melakukan massifikasi lagu-lagu Banyuwangen dalam format Melayu dan kendang kempul. Harapan untuk bisa bersaing dengan populeritas musik dangdut, misalnya, memang bisa dipenuhi oleh para seniman kendang kempul. Memang sangat sulit membuat kontestasi dengan musik dangdut ketika lagu-lagu Banyuwangen hanya dimainkan dalam musik angklung, sementara sebagian besar rakyat Banyuwangi sudah mendengarkan Rhoma Irama, Rita Sugiarto, Camelia Malik, Mansyur S, A. Rafiq, Hamdan ATT, dan lain-lain. Penyesuaian format musik yang menyerupai dangdut dengan pilihan lirik Using jelas menjadi siasat untuk bersaing di pasar. Pilihan format industrial juga membawa akibat terlalu banyaknya tema-tema cinta yang memenuhi pasar musik di Banyuwangi dan sekitarnya. Memang, lagu-lagu ciptaan Andang CY, Basir Noerdian, maupun Mahfud, yang merepresentasikan kepentingan wong cilik dalam bahasa-bahasa simbolis masih terdengar, tetapi lagu-lagu lain bertema cintalah yang dominan.
Masih untung Bahasa Using digunakan dan beberapa tema kultural seperti Gandrung masih dipertahankan dalam lirik-lirik lagu Banyuwangen. 
Transformasi menuju tema cinta merupakan konsekuensi dari tuntutan industrial yang tidak bisa ditolak lagi karena cinta telah menjadi ideologi hiburan pada masa Orba. Potensi resistensi masyarakat terhadap kepentingan rezim bisa ditundukkan dengan kesenian pop atau kesenian tradisi beroritentasi pop. Selain itu, populeritas lagu-lagu Banyuwangen dalam format kendang kempul dan Melayu menunjukkan ‘perselingkuhan manis’ antara hasrat untuk terus mengumandangkan nilai-nilai kultural ke-Banyuwangen-an dan standard-standard baru mekanisme pasar. Para seniman tidak ingin melihat kematian lagu-lagu Banyuwangen yang sudah mentradisi dalam kehidupan masyarakat akibat desakan musik pop dari Jakarta. Sementara, mereka juga tidak bisa melawan secara frontal rezim kultural baru tersebut. Maka, bermain-main di ruang antara yang menghasilkan musik hibrid dan masuk ke dalam mekanisme industri budaya merupakan bentuk subjektivitas untuk survive. Tentu saja, hal itu bisa terjadi karena masyarakat Banyuwangi sendiri sudah terbiasa hidup dalam keberantaraan kultural serta mampu menyeleksi, menyerap, dan menggunakan pengaruh-pengaruh dari luar, tanpa harus larut sepenuhnya.
Di balik semua dinamika kesenian dan industri budaya Banyuwangen pasca 65, menurut kami, terdapat satu realitas historis yang tidak boleh dan tidak bisa dipungkiri, yakni kontribusi para seniman/sastrawan Lekra. Lagu-lagu merekalah yang menjadi pioner dari perkembangan pesat musik Banyuwangen pada masa Orba dan menjadi inspirasi bagi para seniman masa kini. Merekalah sejatinya para pahlawan budaya bumi Blambangan, meskipun mereka tidak pernah ingin disebut pahlawan. Bolehlah rezim berusaha mematikan “Cahaya Merah” dari ‘tanah Minak Jinggo’, tapi Cahaya itu akan terus berpendar seperti Bang-bang Wetan yang terus saja menyinari sang Bumi, sebelum kiamat tiba. Meskipun, pada masa-masa kontemporer, Cahaya itu harus berhadapan dengan “rayuan manis” para pemodal yang semakin perkasa.
Sumber: MataTimoer.Or.Id 

Merah Berpendar di Brang Wetan: Musik Banyuwangen dalam Tegangan Pasca 65 dan Orba [Bagian III]

December 6, 2015 | Ikwan Setiawan




D. Mengatur Strategi, Meraih Simpati: Melanjutkan Kreativitas Pasca 65
Tragedi G 30 S 1965, secara menyedihkan, telah mengakibatkan tegangan-tegangan yang tidak saja berimplikasi pada ceceran darah dari mereka yang benar-benar terlibat dalam PKI maupun mereka yang difitnah secara keji karena kepentingan-kepentingan individual, tetapi juga pada pengaruh diskursif berupa ketakutan-ketakutan akibat stigmatisasi yang dialami oleh mereka yang masih hidup. Bahkan, larangan membicarakan komunisme maupun Marxisme menjadi alat dan mekanisme rezim militer untuk membelenggu kreativitas kritis para pemikir, akademisi, seniman, sastrawan, dan budayawan di tanah air, tidak terkecuali di Banyuwangi. Bangsa ini seperti hidup dalam kemakmuran semu yang dihasilkan dari pembungkaman-pembungkaman secara ajeg terhadap potensi kritis yang dianggap akan mengganggu stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan.
Kesadaran terhadap semangat dan energi untuk melanjutkan dinamika kultural telah menumbuhkan keberanian dari beberapa individu yang melakukan proyek politik ‘rehabilitasi seniman’ yang dituduh terlibat Lekra. Bagaimanapun juga, ingatan dan keinginan untuk menghidupkan kembali kejayaan kesenian Banyuwangen, seperti Angklung, Keroncong, Gandrung, Janger, dan lain-lain, telah mendorong Hasnan, Hasan, maupun Supranoto melakukan strategi dan gerakan kultural secara aktif. Dalam perkembangannya, mereka mampu melakukan pendekatan aktif kepada penguasa, utamanya Bupati, untuk membebaskan para seniman yang terlibat Lekra dari tuntutan hukum. Hasnan dan Hasan Ali melakukan lobby yang cukup intens untuk bisa meyakinkan Bupati Supaat yang notabene berasal dari militer. Akhirnya, izin diberikan kepada para seniman Lekra untuk berkarya, tetapi bukan tanpa imbal-balik. Karya-karya yang mendukung keberadaan Golkar sebagai partai pemerintah menjadi trend yang tidak lagi perlu dilawan karena mereka memang membutuhkan strategi untuk mencari celah agar tetap bisa berkesenian.[1] Ketika berada dalam kondisi diawasi setiap saat, melawan jelas hanya membawa kehancuran. Pilihan berkompromi dengan kepentingan rezim, meskipun sangat membatasi kebebasan kreatif para seniman, adalah siasat yang paling realistis.
Strategi serupa, meskipun tak sama, juga dilakukan oleh Supranoto demi memeriahkan kembali kehidupan kesenian Banyuwangen yang sedang ‘mati suri’ akibat tragedi 65. Supranoto tidak hanya melakukan lobby dengan pihak pemerintah, tetapi juga melakukan gerakan kesenian dari bawah.
“…saya mengatur strategi untuk bisa membangkitkan kembali kemeriahaan keseniaan Banyuwangen. Sebagai langkah awal, saya memilih bertempat tinggal di kampung Tumenggungan karena terkenal sebagai daerah seniman, termasuk Andang CY, Nasihin, dll. Wilayah ini juga terkenal sebagai basis PKI. Saya harus masuk langsung ke kantong-nya, biar bisa mengenal dan memahami karakter mereka. Di kampung ini berkembang wayang wong, keroncong, angklung. Angklung dipimpin oleh Pak Zen dan yang membina Pak Arif (pencipta Genjer-genjer). Di samping itu, ada juga Patrol yang dicampur gitar. Keroncong yang terkenal adalah Mawar Merah, yang irama dan lagunya terkesan menggelitik…Saya kemudian mengajak teman-teman lain, seperti Mahfud, Armaya, dan Fathurrohman. Di samping itu, saya juga menemui Sekretaris Pribadi Pak Supaat, lurah Tumenggungan dan Babinsa. Saya bilang ke mereka: “Gimana, Pak, masak lagu Banyuwangen dianggap punya PKI (maksudnya Genjer-genjer, pen). Kok enak itu PKI? Lha wong lagu-lagu Banyuwangen itu monumental. Kalau diangkat (dimunculkan lagi, pen), pasti enak.” Lalu, malah ditantang sama Pak Sekpri, “Berani, kamu?” Ya saya jawab, “Sek-sek, Pak (tunggu sebentar, pen), kita lihat-lihat dulu kondisinya”. Setelah mendapat sinyal-sinyal yang agak positif itu, saya mulai bergerak lagi menemui para seniman senior, termasuk Pak Mus, pembina karawitan di Kodim.” (Wawancara, 22 Juli 2009)
Keputusan untuk bertempat tinggal di Tumenggungan sebagai kampung basis seniman Lekra merupakan pilihan tepat. Dengan keputusan itulah Supranoto berhasil menyelami, mendalami, dan memulai ‘aksi-aksi lanjutan’ untuk mengembangkan kembali kesenian Banyuwangen, sepertihalnya yang dilakukan Hasan Ali dan Hasnan Singodimayan.
Tentu saja, bukan pekerjaan mudah untuk masuk ke “wilayah merah” dan bergaul dengan mereka yang sudah mendapatkan stigma komunis. Tapi, sekali lagi, pilihan inilah yang memudahkannya untuk merintis langkah-langkah strategis guna menghidupkan kembali kesenian rakyat, sekaligus menghindari sensor pemerintah.
“…waktu itu saya berpikir bahwa saya harus merubah warna lagu-lagu dan kesenian yang sudah berkembang di Banyuwangi. Nah, angklung waktu itu saya pilih untuk media ekspresi. Tahun 70-an, saya mulai menciptakan beberapa lagu, seperti Grigis. Untuk semakin menghilangkan kecurigaan pemerintah dan tentara, waktu itu saya juga membuat lagu untuk Golkar, yakni Ret-Eretan. Lagu-lagu itu semua bertema semangat membangun daerah yang sesuai dengan program pemerintah.”                 (Wawancara, 22 Juli 2009)
Dipilihnya angklung Banyuwangen merupakan strategi awal untuk menarik kembali simpati publik karena pada masa-masa sebelumnya, kesenian ini sangat populer. Dalam ingatan rakyat, angklung tidak bisa saja dihapuskan, meskipun perasaan takut akan efek politis PKI dan Lekra masih kuat.
Namun demikian, Supranoto mempunyai siasat untuk tidak meniru sepenuhnya angklung yang dikembangkan Lekra. Modifikasi-modifikasi kreatif dari aspek pertunjukan menjadi pilihan yang pada akhirnya bisa ‘menyelamatkan’ kesenian angklung dari ‘pembunuhan’ oleh rezim stigmatik.
“Saya mendirikan kelompok angklung, Sayu Wiwit, sebagian besar musisinya adalah mantan Lekra. Namun, saya mulai membuat perubahan tampilan, utamanya untuk penyanyi dan penarinya. Para penari dan penyanyi mengenakan kuluk dari kertas karton, juga membawa payung, jadi tidak sama seperti yang dikembangkan Lekra. Setiap kami latihan, yang menonton banyak sekali, sampai rasanya dinding rumah mau rubuh. Yang melihat latihan itu banyak yang berucap, “Gendjer-gendjer hidup lagi. Setelah saya rasa matang, kelompok ini pentas di kampung. Banyak sekali yang menonton…Setelah sukses pertunjukan di kampung, kelompok ini pentas di luar, yakni di sebelah timur Pendopo. Kenapa saya pilih lokasi ini? Karena tempat ini menjadi sentral keramaian. Sambutannya luar biasa. Aparat polisi dan tentara tidak ada yang marah, karena kita sudah meminta restu ke pihak Pendopo. Sehabis pementasan itu, kami diundang pentas di mana-mana, termasuk ke Wongsorejo, di-back up langsung oleh Angkatan Laut.” (Wawancara, 22 Juli 2009)
Respons masyarakat sekitar tempat latihan Sayu Wiwit menunjukan betapa angklung masih menjadi kesenian idola, karena mereka bisa mendengarkan kembali lagu-lagu Banyuwangen yang selama beberapa saat dibungkam paksa. Pilihan strategi untuk memilih kampung basis Lekra sebagai awal keberangkatan kelompok angklung pimpinannya, menunjukkan kejelihan intuitif Supranoto. Kemampuan konsolidasi, modifikasi dan lobinya, menjadi resep mujarab bagi popularitas angklung yang akhirnya diterima di ruang-ruang politis—Pendopo—yang dulunya sangat ketat terhadap urusan kesenian rakyat.
Kuasa rezim Orde Baru pasca 65 menjadi tonggak baru perkembangan kesenian Banyuwangen. Sebagai masa baru, Golkar muncul sebagai kekuatan politik yang ditopang rezim birokrat-militeristik. Strategi ‘mendekat’ ke Golkar memang bisa dibaca dalam dua konteks yang berbeda. Pertama, para seniman tidak punya keberanian untuk bersikap kritis terhadap rezim politik baru yang ingin mengendalikan proses kultural sampai di tingkat lokal. Kreativitas para seniman diarahkan untuk mendukung kuasa Golkar dan rezim Orde Baru melalui aspek-aspek kultural yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan rakyat terhadap keindahan seni. Kedua, siasat mendekat ke Golkar dan Pendopo merupakan cara seniman untuk menyelamatkan diri dari pasungan rezim sehingga mereka tetap bisa menciptakan karya-karya yang digemari rakyat kebanyakan. Artinya, ada azas “saling memanfaatkan” yang di satu sisi menguntungkan Golkar dan Pendodo, dan, di sisi lain, menguntungkan para seniman Banyuwangen. Inilah salah satu bentuk siasat kultural para seniman dalam menghadapi kuasa rezim militer Orde Baru; (seolah-olah) menyerah pada kuasa, sembari mempermainkan peran untuk mendapatkan kepercayaan agar bisa terus berkarya.
Kelonggaran kontrol yang diberikan pihak Pendopo terhadap kreativitas para seniman berlanjut dengan merekam lagu-lagu Banyuwangen karya mantan seniman Lekra seperti Andang, Mahfud, Basir Noerdian, dan juga para seniman lain yang tidak terlibat komunisme. Pada masa akhir 60-an, Bupati Supaat dengan bantuan seniman seperti Hasan Ali memulai usaha rekaman di Banyuwangi, sebagai langkah awal untuk meramaikan kembali budaya Banyuwangen dengan penekanan kepada identitas kultural Using. Lagu-lagu ciptaan para seniman Lekra direkam dengan peralatan sederhana di Pendopo sekaligus menandai lahirnya industri budaya di bawah kontrol rezim.[2] Dipakainya lagu-lagu ciptaan para seniman Lekra—yang tentunya sudah disensor sedemikian rupa—menandakan bahwa persoalan stigma politis untuk sementara bisa diatasi, meskipun kontrol memang masih ketat. Dimulainya usaha rekaman yang dikendalikan Pendopo juga menunjukkan bahwa kebijakan rezim Orba ternyata juga sedikit memberikan ruang untuk berkembang bagi para seniman, meskipun mereka tetap dibatasi oleh garis-garis ideologis pembangunanisme yang mengedepankan pendekatan keamanan.
Usaha untuk menghidupkan kembali kesenian tradisi di masa Orde Baru menandakan kuatnya usaha rezim untuk menguasai kehidupan masyarakat melalui jalur kesenian/kultural. Kesenian dan media eskpresinya menjadi aparatus hegemonik[3] yang menunjukkan bahwa negara seolah-olah memberikan kesempatan bagi kelompok seniman, sastrawan, dan budayawan untuk berkreasi sehingga kebutuhan ekspresif mereka bisa terpenuhi secara wajar. Akibatnya, kesepakatan akan muncul karena rezim mau mengartikulasikan keinginan seniman, potensi kesenian, dan budaya Banyuwangen, meskipun mereka tetap menegosiasikan kepentingan politiko-kultural. Dengan demikian, rakyat kebanyakan akan melihat bahwa rezim telah bertindak benar, meskipun sebenarnya ada kepentingan kuasa yang disebarkan secara terus-menerus.[4]
Terlepas dari realitas ketatnya kontrol rezim terhadap perkembangan kesenian, nyatanya para seniman punya mekanisme untuk terus mengembangkan kesenian Banyuwangen. Mereka tetap berkarya, meskipun harus bersiasat terus-menerus. Usaha rekaman yang dibina Pendopo mempunyai peran strategis untuk menyemarakkan kembali kesenian rakyat. Lebih jauh lagi, kehadiran usaha rekaman yang merekam lagu-lagu dari para seniman Lekra, secara tidak langsung telah ikut merehabilitasi nama mereka. Masyarakat Banyuwangi tidak lagi mempermasalahkan apakah lagu ini dan itu ciptaan mantan anggota Lekra atau tidak, tetapi mereka mempunyai mekanisme penilaian estetik yang jauh dari persoalan ideologis tersebut. Tema dan lirik yang dekat dengan persoalan hidup sehari-hari dan metafor-metafor alam, menjadikan masyarakat tetap menggemari lagu-lagu ciptaan seniman Lekra. Meskipun demikian, khusus untuk lagu Genjer-genjer, karena dianggap karya yang cukup sensitif—utamanya untuk kepentingan militer dan mayoritas pemeluk Islam yang memendam dendam pada kaum komunis—masih belum boleh dinyanyikan atau direkam-ulang hingga saat ini. Sekali lagi, dipelesetkannya lagu tersebut dalam film Pengkhianatan G 30 S/PKI, memunculkan ‘dosa turunan’ yang tidak seharusnya terjadi dalam ranah kultural.
Paparan di atas menunjukkan bahwa strategi mendekati rezim yang dilakukan oleh para seniman Banyuwangi, ternyata bertemu dengan kepentingan rezim untuk membuat kanal-kanal perkembangan dan pengembangan kesenian yang tetap bisa diawasi, dikontrol, dan diarahkan untuk mendukung kepentingan stabilitas ekonomi-politik demi mensukseskan ideologi pembangunan Orde Baru. Kontrol memang bisa dijalankan dan para seniman, di sisi lain, mampu terus mengembangkan kreativitas untuk menyemarakkan budaya Banyuwangen. Proses perekaman lagu-lagu Banyuwangen dengan sponsor Pemkab menjadi cikal-bakal lahirnya industri kesenian dalam bentuk media rekaman di bumi Blambangan. Pilihan jenis musik angklung yang dikombinasikan dengan musik gandrung, nyatanya semakin menggairahkan kehidupan kultural Banyuwangi. Peran media rekaman cukup strategis dalam memperkuat kembali budaya Banyuwangen pasca 65, sekaligus memperkuat negosiasi kuasa Orde Baru pada level lokal. Pada masa itu, lagu-lagu Banyuwangen mampu menjadi ‘tuan rumah di wilayah sendiri’, meskipun tetap menyisipkan kepentingan politis rezim yang ingin meniadakan muatan-muatan ideologis kiri dalam ekspresi kultural seniman dan masyarakat.
[1] Hasnan memaparkan: “Begitu mereka ditangkap, namanya PKI golongan A, golongan B, golongan C…kita masih berusaha menyelamatkan mereka. Seperti B.S Noerdian, Andang, Mahfud, Hendro Wilis, Slamet, seingat saya ada tujuh orang yang kita selamatkan. Waktu itu kita dekati Bupatinya, Pak Joko Supaat Slamet karena dia dari Dandim sendiri. Akhirnya Bupati menyetujui, dia bilang, “Ya sudah lah, pakai saja orang-orang itu, dengan syarat jangan diperankan.” Makanya, gending-gending kemenangan Golkar seperti Makarya, aslinya mereka yang membuat. Lagunya ya BS Noerdian, Mahfud…Waktu itu Bupatinya kan caretaker, Pak Supaat itu. Dia yang merekrut kembali seniman dan budayawan. Ketika kami dikumpulkan kembali, dia bilang, “Hai Lekra, LKN, apa sih dasarnya kalian memusuhi HSBI? Hai HSBI apa dasarnya kalian memusuhi Lekra dan LKN? Begitu juga dengan Lesbumi.” Akhirnya ketahuan bahwa semua itu karena latar belakang politik. “Kami disuruh NU, kami disuruh PKI, kami disuruh PNI, kami disuruh Masyumi.” Itu, itu jawaban lugu seniman. Bupatinya bilang, “Sekarang ini ada potensi kesenian daerah, angkat itu, menurut kemampuan Saudara, jangan pecah belah perkara Partai, ndak usah mikir partai sudah”. Itulah hebatnya Joko Supaat.” (Wawancara, 22 Juli 2009)

[2] Hasan Basri, salah satu budayawan muda Banyuwangi, menjelaskan: “Industri rekaman di Banyuwangi berawal dari upaya pemerintah daerah menemukan kembali kekhasan daerah sebagai identitas. Adalah Hasan Ali pegawai kesra Pemda Banyuwangi kala itu dengan didukung oleh bupati Joko Supaat Slamet berinisiatif merekam lagu-lagu berbahasa Using dalam rangka menggairahkan kesenian dan budaya lokal. Lagu-lagu Using sendiri sebelumnya telah tertempa dan mengalami kegairahannya sendiri seiring dengan digunakannya lagu Using dalam ranah politik, terutama oleh Lekra (PKI) dan LKN (PNI). Dengan peralatan yang sederhana bertempat di belakang pendopo kabupaten, rekaman dilaksanakan pada malam hari untuk menghindari suara bising di bawah rindang pohon mangga. Tidak jarang rekaman harus dilakukan berulang-ulang dalam beberapa malam karena belum ada teknik dubbing. Bahkan rekaman harus dilakukan ulang, karena salah satu alat musik kejatuhan buah mangga dan mengganggu konsep bunyi yang diharapkan. Pilihan jenis musiknya pada waktu itu adalah gabungan angklung dan gandrung. Dipilihnya jenis musik ini menurut Hasan Ali untuk mengeliminir protes masyarakat yang masih phobia terhadap musik-musik Lekra. Karena angklung sangat identik dengan Lekra, maka angklung dicampur dengan warna musik gandrung yang lebih diterima umum. Sedangkan lagu dan syairnya kebanyakan karya Andang CY, Basir Noerdian, Mahfud, Hendro Wilis dan lain-lain yang kesemuanya adalah seniman kiri. Pilihan ini wajar karena pencipta dan pengarang pada waktu itu umumnya adalah para seniman kiri.” Lihat Basri, Hasan. “Politik Identitas Lagu Banyuwangen”, diakses dari http://desantara.org/v3/index.php?option=com_content&task=view&id=508&Itemid=155, 28 juli 2009.
[3] Dalam konteks hegemoni Gramscian, kekuasaan tidaklah dibangun dengan dominasi senjata atau modal semata, tetapi juga didukung dengan kekuatan moralitas, intelektualitas, agama, budaya, dan media. Dengan adanya artikulasi dan negosiasi antara pemerintah dan anggota rakyat kebanyakan, hegemoni bisa dijalankan tanpa paksaan. Adapun aparatus-aparatus yang mendukungnya antara lain institusi agama, pendidikan, budaya, dan media. Lihat Gramsci, 1981: 191-192; Laclau and Mouffe, 1981: 226; Boggs, 1984: 16; Bennet, 1986: xv; Slack, 1997: 115.
[4] Waluyo dan Basri menjelaskan: “Inilah kali pertama produksi rekaman kesenian Banyuwangi di awal panggung Orde Baru. Sebuah usaha pelestarian yang digaungkan Presiden Soeharto saat berkunjung ke Banyuwangi, akhir tahun 60-an lalu. Hampir seluruh kesenian seperti tayub, reyog, ludruk, topeng, jaipong, mocopatan, dan lain-lainnya mengalami dampak intervensi pemerintah ini lewat bungkus pelestarian, revitalisasi, dan pembinaan untuk memperkokoh apa yang mereka pandang sebagai kebudayaan nasional. Kebijakan Orde Baru ini diwujudkan dalam berbagai bentuk mulai dari pemberdayaan, penataran, pengawasan, pengubahan, pengetatan izin, bahkan pengutukan kesenian tertentu sebagai amoral dan subversi. Adapun media salurannya meliputi pementasan, festival, maupun rekaman. Di Banyuwangi, misalnya, berbagai kesenian dipantau dan dibina melalui Surat Keputusan (SK) Nomor um/1968/50 tertanggal 19 Mei tahun 1970. Berbagai rekaman pun diproduksi dan disiarkan secara intensif di Radio Khusus Pemerintah Daerah (RKPD) Suara Blambangan. Lihat, Paring Waluyo & Hasan Basri. “Politik dan Bisnis dalam Industri Kesenian”, diakses dari http://www1.surya.co.id/v2/?p=2791, 23 Juli 2009.
Sumber: MataTimoer.Or.Id