HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label G30S. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label G30S. Tampilkan semua postingan

Rabu, 04 Desember 2019

Sumur Tua Digali, Ditemukan Tulang Korban G 30 S PKI


Izarman - 4 Desember 2019

Sumur tua digali menggunakan alat berat.

NEGARA | patrolipost.com – Kuburan korban tragedi G 30 S PKI tahun 1965 silam kembali dibongkar, Rabu (4/12). Kali ini lahan bekas rumah salah seorang warga di Banjar Tegal Badeng, Desa Tegal Badeng Timur, Kecamatan Negara dikeruk menggunakan eskavator.

Bahkan di bawah bekas bangunan rumah ini ternyata ada sebuah sumur tua yang dulunya dijadikan lokasi penguburan korban tragedi G 30 S PKI tahun 1965.

Berdasarkan informasi, pasca tragedi  G 30 S PKI tahun 1965 silam, sumur tua itu sudah ditutup dan sudah sempat didirikan sebuah rumah tempat tinggal di atasnya. Pemilik rumah Kadek Suryawan yang merupakan warga Tegal Badeng Timur mengaku setelah keluarganya membangun rumah di lokasi bekas sumur tersebut, ada berbagai kejadian janggal dan diluar nalar yang dialami keluarganya.

Dulu saat ayahnya (alm) Ketut Sangga masih ada, katanya memang bersikukuh tidak mau membongkar sumur tua yang sudah ditutup dan di atasnya didirikan bangunan tersebut.

Bahkan rumah dengan tiga kamar dibangun tahun 2003 lalu. Kemudian akhirnya muncul kejadian-kejadian aneh dan keluarga sering sakit, perekonomian juga berpengaruh. Sampai ayahnya juga jatuh sakit cukup lama. Namun ayahnya saat itu tetap tidak percaya dan mengatakan sumur sudah bersih dan pamannya yang menjadi salah satu korban tragedi G 30 S PKI tahun 1965 sudah diaben.

Ayahnya akhirnya meninggal enam bulan lalu. 
 “Setelah ayah saya meninggal, baru kami minta petunjuk lagi,” ungkapnya.
Akhirnya mereka “mesuugan” dan “nunas baos” ke orang pintar. 
 “Saat itu barulah dikasih untuk membongkar. Saat itu almarhum nunas iwang dan ngaku sisip,” ujar istrinya, Nengah Asih.
Teranyar beberapa hari lalu anaknya sempat kesurupan dan meminta agar sumur itu digali dan tulang belulang manusia di dalam sumur tersebut diangkat dan diupacarai secara layak. Sumur yang sudah ditimbun ini dulunya digali sekitar kedalaman 8 meter dan diperkirakan yang terkubur sebanyak 5 sampai 7 orang korban.

Kerabat pemilik rumah, Ketut Suara yang juga saksi mata saat zaman pembantaian G 30 S PKI di Desa Tegal Badeng Timur membenarkan di areal rumah Kadek Suryawan dulunya memang ada sumur yang digunakan untuk mengubur sekitar 5 sampai 7 korban pembantaian. 

Dari korban-korban pembantaian G 30 S PKI yang dikubur di sumur tersebut dia mengaku ada dua korban merupakan kerabatnya.
 “Dua orang misanan saya yang hilang,” katanya. Pembongkaran Rabu kemarin dibiayai sendiri oleh pemilik rumah.
Setelah penggalian dilakukan hingga kedalaman 8 sampai 10 meter dengan alat berat, ditemukan serpihan tulang belulang manusia. Selain itu juga ditemukan beberapa kancing baju masih utuh, beberapa batu besar seperti batu yang dipakai untuk menumbuk/mengolah bumbu, beberapa barang besi dan kayu balok, serta uang logam kuno.

Tim inafis Satrekrim Polres Jembrana yang juga ikut turun ke lokasi mengamankan tulang belulang dan benda-benda yang telah terkubur di dasar sumur tersebut menggunakan plastik barang bukti.

Kadek Suryawan mengatakan, tulang belulang tersebut akan diupacarai sesuai keyakinan umat Hindu agar keluarganya bisa lebih tenang. Pihak keluarga berharap setelah tulang belulang manusia korban G 30 S PKI ini diupacarai layaknya tradisi Hindu di Bali, tidak ada lagi kejadian ataupun musibah yang dialami keluarganya.

Pembongkaran sumur tua tempat menimbun jenazah korban G 30 S PKI juga menarik perhatian warga sekitar dan mendapat pengamanan dari aparat keamanan dan perangkat desa maupun prajuru adat setempat. (571)

Senin, 25 November 2019

NAAAH...! Jangan Hanya Soal PKI, Ceritakan Juga Soal Penculikan Aktivis Yang Hilang Sampai Sekarang


Senin, 25 November 2019

Aan Rusdianto, korban penculikan Tim Mawar yang dipimpin Prabowo Subianto. (Ist)

JAKARTA- Soal sejarah, Aan Rusdianto, korban penculikan Tim Mawar 1997-1998 meminta agar tidak hanya soal Partai Komunis Indonesia (PKI), tetapi semua kejahatan HAM dimasa Orde Baru juga perlu diceritakan oleh para guru, dosen dan pendidik di setiap sekolah dan kampus. Hal ini menanggapi Menhan Prabowo Subianto Sabtu (23/11) lalu yang meminta agar para guru menyampaikan tentang sejarah PKI 1965.
“Jangan lupa ajarkan dan buka semua bagian hitam dari sejarah Indonesia yang lain. Dari pemberontakkan DI/TII, PRRI/Permesta, Kudeta militer 1965 yang didukung CIA pada masa orde lama. Sampaikan semua operasi yang melanggar HAM di Aceh, Timtim, Papua pada masa Orde Baru. Ini bagus agar semua generasi muda tahu dan sadar sejarah yang objektif. Supaya jangan terulang lagi dimasa depan,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan agar semua pendidik menyampaikan juga bahwa masih ada puluhan aktivis Demokrasi yang hilang tak tentu rimbanya, diculik oleh tim mawar karena melawan Soeharto dan Orde Baru.
“Kalau perlu, Menhan bikin ‘Monumen Melawan Lupa’. Karena masih ada puluhan aktivis yang hilang pada tahun 1998. Masih ada jutaan keluarga yang hilang pada tahun 1965-1968. Dan tidak ada yang mau bertanggung jawab terhadap semua itu,” ujarnya.
Hal yang senada juga disampaikan oleh Yos Suprapto, pelukis dan budayawan yang mengusulkan agar pemberontakan melawan Belanda tahun 1926 juga dibuka selengkap-lengkapnya.
“Pemberontakan 1926 ini adalah pemberontakan pertama. Dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia. Ribuan penggeraknya adalah anggota PKI dan semuanya dibuang Belanda ke Boven Digul,” ujarnya.
Ia juga mengusulkan agar, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan segera membentuk sebuah Komite Penulisan Sejarah yang objektif agar menjadi fondasi penulisan dan pengajaran sejarah bagi generasi mendatang.
“Kasihan generasi muda kalau masih harus mengunyah kebohongan sejarah. Bangsa ini tidak akan besar diatas semua kebohongan, karena selalu mengulang kesalahan-kesalahan lama,” ujarnya.

Pesan Prabowo Subianto

Sebelumnya Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto berpesan kepada seluruh guru atau pengajar di Indonesia agar menceritakan sejarah pemberontakan dan kekejaman PKI atau Partai Komunis Indonesia ke siswa-siswi di sekolah.

Hal itu pun disampaikan Prabowo Subianto di dalam acara bedah buku dan diskusi panel "PKI Dalang dan Pelaku Kudeta G30S/1965" di Gedung Lemhanas Jakarta, Sabtu (23/11).

Prabowo sebenarnya tidak hadir dalam acara ini, tetapi teks pidatonya dibacakan oleh Rektor Unhan Letjen TNI Tri Legionosuko.
"Saya harap guru sejarah di sekolah-sekolah menyampaikan sejarah pemberontakan dan kekejaman PKI yang benar kepada para siswa-siswi," ujar Tri membaca pidato Prabowo.
Menurut Prabowo, hal ini perlu dilakukan para guru sekolah agar siswa-siswi mengerti bagaimana sepak terjang PKI dan dampak dari gerakan itu.

Termasuk, kudeta yang dilakukan partai tersebut untuk menggulingkan era kepemimpinan Presiden Soekarno pada saat itu.

Bahkan, kehadiran PKI kala itu juga diduga bertujuan mengubah ideologi bangsa yang berpegangan pada Pancasila menjadi komunis.
"Komunisme telah mencatatkan lembaran hitam dalam perjalanan sejarah Bangsa Indonesia. Bahwa PKI selalu mencari cara dan kesempatan untuk melakukan kudeta di Indonesia," kata dia. (Web Warouw)

Minggu, 06 Oktober 2019

Kisah Eks Anggota Cakrabirawa Selamatkan Polisi dari Lubang Buaya


Muhamad Ridlo - 06 Okt 2017, 02:00 WIB

Mantan Anggota Cakrabirawa, Ishak, berfoto dengan latar belakang lukisan saat masih aktif berdinas. Ia masih gagah di usianya yang ke 81 tahun. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Purbalingga - "Tahu polisi yang selamat dari Lubang Buaya, Sukitman kan. Sukitman saya yang menyelamatkan," tiba-tiba Ishak, menyela, kala bercerita soal tragedi 1 Oktober 1965.

Ishak adalah mantan anggota pasukan elite pengawal presiden, Cakrabirawa. Tugasnya di ring 1 adalah menjaga keselamatan presiden, sebagai unit yang selalu menempel ke mana pun presiden bergerak.

Sebelum menjadi pengawal paling dekat Sukarno, dia adalah ajudan Letkol Untung, Komandan Cakrabirawa yang akhirnya divonis mati karena dinyatakan bersalah melakukan kudeta dan menggerakkan pasukan untuk membunuh enam jenderal dan satu perwira AD.

Ishak berkisah pada Jumat, 1 Oktober 1965, sedianya ia akan mengawal Presiden Sukarno ke Bogor, Jawa Barat. Ia tak terlalu paham agendanya. Namun, berdasarkan informasi yang diperolehnya waktu itu, presiden hendak hadir di sebuah acara olahraga.

"Sebagai prajurit, informasi detailnya yang seperti itu baru akan diberitahukan ketika akan berangkat. Kita kalau akan berangkat baru diberi pembagian tugas," ucapnya, Selasa, 4 Oktober 2017.

Tetapi, ia batal mengawal Presiden Sukarno. Pasalnya, pada sore 30 September 1965, tiba-tiba Letkol Untung, Komandan Cakrabirawa memintanya untuk mendampinginya ke Lubang Buaya. Tempatnya digantikan oleh pengawal lainnya, Bagyo.

"Kamu ikut saya saja," Ishak menirukan perintah Letkol Untung.
Pada 1 Oktober 1965 dini hari, tugasnya adalah mengantar Letkol Untung, tak ada yang lain. Ketika satu kompi Cakrabirawa bertugas menjemput para jenderal, ia tetap berada di Lubang Buaya.

Ia lebih banyak menghabiskan waktu di jipnya. Tempat parkirnya, ia sebut, relatif jauh dari pusat kegiatan, sehingga tak begitu memahami detail peristiwa yang terjadi.

"Tugas Cakrabirawa saat itu, menjemput para jenderal untuk dihadapkan kepada presiden. Kalau saya tugasnya mengantar Letkol Untung. Saya tidak ikut menjemput," kata dia.

Informasi samar-samar beredar. Enam jenderal berhasil dijemput. Namun, dua orang meninggal dunia lantaran melawan. Tak berapa lama, rentetan tembakan terdengar. Enam jenderal dan satu perwira AD meninggal dunia.
Di tengah situasi yang tak pasti itu, ia mendapat firasat yang buruk.

"Wah, salah ini. Lutut saya langsung lemas. Apes saya. Mati saya," ujarnya.

Di tengah kekalutan situasi kala itu, ia diperintahkan untuk menembak mati Sukitman. Ia adalah polisi yang ditangkap di sekitar kediaman Mayor Jenderal DI Pandjaitan. Sukitman dikhawatirkan akan membocorkan lokasi penguburan para jenderal.

"Saya jawab. Orang tidak salah kok ditembak," ujarnya, menceritakan situasi kala itu.

Atasan di Cakrabirawa itu, kata Ishak, lantas pergi, tanpa berbicara apa pun. Rupanya, anggota Cakrabirawa yang memberi perintah itu juga tengah kalut. Saat situasi memungkinkan, dia memerintahkan Sukitman bersembunyi di jipnya.

"Lalu saya bilang ke Sukitman, sudah kamu tiduran saja di jip saya. Lalu saya bawa ke Istana Negara. Sukitman kemudian pergi," ucap Ishak.

Bertahun-tahun kemudian, Ishak dan Sukitman dipertemukan di Rutan Salemba. Kondisi terbalik kala itu. Ishak yang tadinya berbobot 73 kilogram, saat itu sudah turun menjadi 40 kilogram. Namun, polisi itu rupanya masih mengenali Ishak.

"Waktu bertemu itu, Sukitman itu sampai nyembah-nyembah karena saya menyelamatkan dia," ujarnya mengenang.

Jumat, 04 Oktober 2019

Gerakan 30 September: Kematian Para Prajurit Cakrabirawa Setelah Subuh Maut 1 Oktober 65


Oleh: Petrik Matanasi - 4 Oktober 2019

Ilustrasi Nasib Naas Prajurit dan Sersan Batalyon Untung. tirto.id/Sabit

Parade kematian para prajurit Resimen Cakrabirawa yang memimpin penculikan dan menembak para perwira Angkatan Darat dalam G30S.

Pagi tanggal 16 Februari 1990 adalah pagi terakhir bagi empat orang mantan pasukan Cakrabirawa. Johannes Surono, Paulus Satar Suryanto, Simon Petrus Solaiman, dan Norbertus Rohayan dijemput dari selnya di Penjara Cipinang hendak dieksekusi. Satu regu tembak telah menunggu.

Dalam catatan Amnesty International Report (1991:119), keempat tahanan itu hampir semuanya telah lansia. Ketika diekseskusi, Johannes Surono berusia 60 tahun, Paulus Satar Suryanto 57 tahun, Simon Petrus Solaiman 60 tahun, dan Norbertus Rohayan 49 tahun.

Di antara mereka, hanya Rohayan yang mendapat kunjungan dari keluarga. Pamannya menjenguk Rohayan beberapa hari sebelum ia dieksekusi. Inside Indonesia nomor 14 April 1988 menyebut bahwa ia menderita diabetes dan penyakit lainnya.

Dua dekade lebih mereka ditahan rezim Orde Baru karena terlibat G30S. Saat peluru satu persatu menghabisi hayat, kematian mereka terdengar hingga negeri Belanda seperti diberitakan oleh surat kabar De Volkskrant edisi 19 Februari 1990.

Menurut Majalah Tapol nomor 98 April 1990, mereka ditangkap antara tanggal 4 hingga 8 Oktober 1965.

Rohayan berasal dari Angkatan Udara. Ia ditangkap pada 5 Oktober 1965 dan dijatuhi hukuman mati oleh Mahkalah Militer distrik Bandung pada 8 November 1969. Ia sempat mengajukan banding, namun pada Februari 1987 bandingnya ditolak. Lalu pada 5 Desember 1989 ia mengajukan grasi, dan lagi-lagi ditolak. Pada malam 1 Oktober 1965, Rohayan adalah penembak Mayor Jenderal Raden Soeprapto.

Sehari sebelum penangkapan Norbertus Rohayan, Satar Suryanto lebih dulu dicokok. Seperti terdapat dalam Gerakan 30 September dihadapan Mahmillub 2 Di Djakarta Perkara Untung (1966:21), Satar adalah sersan mayor dengan NRP 107453. Ia menjabat sebagai komandan peleton II Kompi C Batalyon II Kawal Kehormatan Cakrabirawa yang tinggal di Asrama Tanah Abang. Saat menjadi saksi dalam perkara Untung pada 1966, usianya sekitar 34 tahun dan masih beragama Islam.

Satar memimpin penculikan Mayor Jenderal Suwondo Parman dan dijatuhi hukuman mati pada 29 April 1971 oleh mahkamah militer distrik Jakarta. Permohonan bandingnya ditolak, dan sebelum dieksekusi ia memakai nama Paulus Satar Suryanto.

Sebagaimana kawannya, Johannes Surono pun sempat menjadi saksi dalam perkara Untung. Saat itu usianya 36 tahun dan beragama Islam dengan nama Surono Hadiwijono. Lelaki kelahiran Pucungsawit, Solo itu adalah komandan peleton III kompi C batalyon Untung di Cakrabirawa.

Surono memimpin penculikan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomihardjo dan ditangkap pada 8 Oktober 1965. Lima tahun kemudian ia dijatuhi hukuman mati oleh mahkamah militer distrik Jakarta. Pengajuan banding dan grasinya ditolak pada tahun 1986 dan 1989.

Jika Norbertus Rohayan adalah penembak Mayor Jenderal Raden Soeprapto, maka Simon Petrus Solaiman adalah orang yang diberi tugas oleh Letnan Satu Dul Arif untuk memimpin penculikan petinggi Angkatan Darat tersebut.

Menurut sumber pemerintah, Solaiman kelahiran Cepu, Blora, Jawa Tengah, pada 1927. Ia ditangkap pada 5 Oktober 1965 ketika Mayor Jenderal Soeprapto dan perwira Angkatan Darat lainnya dikebumikan di Taman Makam Kalibata.

Solaiman dijatuhi hukuman mati pada November 1969 oleh mahkamah militer distrik Jakarta. Seperti ketiga kawannya, banding dan grasi yang ia ajukan semuanya ditolak pemerintahan daripada Soeharto.


Para Eksekutor dan Pemimpin Penculikan Lainnya

Selain keempat orang tersebut, ada juga seorang prajurit bernama Anastasius Buang. Usia penembak Mayor Jenderal Suwondo Parman itu seumuran dengan Rohayan. Pertengahan 1980-an, Buang terancam dihukum mati. Namun ia baru meninggal secara misterius pada September 1989. Jenazah Buang berhasil ditemukan oleh keluarganya.

Rohayan dan Buang punya kesalahan yang sama dengan Sersan Dua Gijadi Wignjosuhardjo, mereka sama-sama menjadi eksekutor operasi penculikan.

Gijadi yang kelahiran Solo tahun 1928 adalah penembak Letnan Jenderal Ahmad Yani. Ia ditangkap pada 4 Oktober 1965 dan sempat menjadi saksi dalam perkara Untung. Menurut Inside Indonesia nomor 14 April 1988, Gijadi dijatuhi hukuman mati pada 16 April 1968 oleh mahkamah militer distrik Jakarta.

Bersama Sersan Mayor Soekardjo yang memimpin penculikan Brigadir Donald Izacus Panjaitan, Gijadi dieksekusi mati pada Oktober 1988.

Setelah puluhan tahun menjadi tahanan Orde Baru, para pemimpin penculikan dan penembak dari pasukan Cakrabirawa itu pada akhirnya menyusul dua atasan mereka, Letnan Kolonel Untung dan Letnan Satu Dul Arif, ke alam kubur.

Untung adalah Komandan Batalion Kawal Kehormatan II Cakrabirawa, sementara Dul Arif Komandan Kompi C dari batalion yang dipimpin Untung. Sebagai prajurit penjaga presiden, para sersan dan kopral yang memimpin penculikan dan penembakan para jenderal tak dapat menolak perintah kedua atasannya.

Maka pada malam menjelang Subuh 1 Oktober 1965, mereka bergerak menculik dan menghabisi para perwira Angkatan Darat yang dianggap tidak loyal kepada presiden lewat isu Dewan Jenderal. Puluhan tahun kemudian, parade kematian itu mereka hadapi sendiri.

Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh

Sebelum dieksekusi regu tembak, sejumlah terpidana mati peristiwa G30S memilih memakai nama Katolik.

Rabu, 02 Oktober 2019

Gerakan 30 September: Nasib Apes Para Serdadu Rendahan yang Terlibat G30S


Oleh: Petrik Matanasi - 2 Oktober 2019

Ilustrasi Para Penculik Jendral. tirto.id/Sabit

Kisah para serdadu berpangkat rendah yang menculik dan membunuh petinggi Angkatan Darat pada Subuh 1 Oktober 1965.

Menjelang malam 1 Oktober 1965, Sersan Satu Ishak Bahar dibuat kaget oleh komandan batalionnya, Letnan Kolonel Untung Bin Syamsuri. Bintara di Batalion Kawal Kehormatan I Resimen Cakrabirawa itu diminta Untung untuk menjadi ajudannya. Setahu Ishak, seorang ajudan biasanya berpangkat di atas bintara, seperti letnan.
“Pak, saya kan masih seorang sersan pertama,” kata Ishak.
Ia tak bisa menolak setelah Untung menyinggung masa lalu Ishak yang seorang anggota Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang berafiliasi dengan Masyumi. Saat itu, Masyumi adalah musuh rezim Sukarno sehingga dibubarkan pada 1960.
“Ikut saya,” kata Untung.
Saat mengikuti Untung ke Lubang Buaya pada malam hari, Ishak diberi pangkat letnan tituler. Bersamanya, ikut juga Abdul Latief, Komandan Brigade Infanteri I/Jaya Sakti yang berada di bawah Kodam Jakarta Raya pimpinan Umar Wirahadikusumah.

Sebelum ke Lubang Buaya, jip yang ditumpangi Ishak singgah di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta. Di sana, Abdul Latief bertemu dengan Panglima Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto yang tengah menunggui putra bungsunya (Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto) yang dirawat karena ketumpahan kuah sop panas.
“Itu urusan mereka, saya sebagai ajudan waktu itu tidak tahu menahu,” ujar Ishak Bahar kepada Tirto, mengomentari pertemuan Abdul Latief dengan Soeharto.
Setibanya di Lubang Buaya, Ishak hanya berjaga di sana sepanjang malam. Ia tak ikut dalam regu-regu penculik yang dikomandoi Letnan Satu Dul Arif. Menurutnya, malam itu di Lubang Buaya sepi, tak ada Gerwani dan tarian lagu "Genjer-genjer".
"Itu palsu," ujar Ishak membantah isu tersebut.
Informasi ini bertolak belakang dengan keterangan Soekitman, Agen Polisi Tingkat II yang ikut dibawa ke Lubang Buaya saat ia berpatroli dan menjadi saksi pembunuhan. Menurutnya, di lokasi pembunuhan para petinggi Angkatan Darat itu justru terdapat para sukarelawan yang berasal dari Pemuda Rakyat dan Gerwani (lihat menit 14.50-15.07).

Terlepas dari hal tersebut, setelah pasukan penculik kembali dengan korbannya masing-masing, Ishak merasa tersiksa melebihi kesepian yang berjam-jam sebelumnya ia lakoni. Dua dari enam jenderal yang dibawa telah terbunuh, yakni Brigadir Jenderal Donald Izacus Panjaitan dan Letnan Jenderal Ahmad Yani.
“Aduh, cilaka ini,” gumamnya membatin.
Para jenderal dan satu perwira lainnya yang masih hidup, kemudian dianiaya dan dibunuh serta dimasukan ke dalam sumur tua. Soekitman, seorang polisi berpangkat rendah yang ikut dibawa para penculik hampir saja ikut dibunuh jika ia tak mencegahnya. Setelah "acara" selesai, Ishak dan anggota Cakrabirawa lainnya kemudian meninggalkan Lubang Buaya.
“Saya pulang membawa truk-truk Cakrabirawa,” ucapnya.
Esoknya, Ishak Bahar jadi tahanan Corps Polisi Militer (CPM) di Jalan Guntur.
“Saya diinjak-injak. Saya ingat itu tanggal 2 Oktober 1965. Jadi sejak itu selama 13 tahun saya tidak sempat pulang kampung ke Purbalingga,” ungkapnya.



Hukum Mati bagi Penembak Yani

Selain Ishak Bahar, prajurit berpangkat rendah lain yang bernasib apes setelah G30S adalah Sersan Mayor Bungkus. Ia yang saat itu memimpin penculikan Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono, harus mendekam selama 33 tahun dalam tahanan Orde Baru. Sejak 1965, Bungkus baru dibebaskan pada 1998 ketika Soeharto tumbang.

Seperti ia sampaikan kepada Ben Anderson dan Arief Djati dalam "The World of Sergeant Major Bungkus" (Jurnal Indonesia edisi Oktober 2004), pada malam itu ia dan kawan-kawannya dikumpulkan Letnan Satu Dul Arif, komandan kompi C batalion II pimpinan Untung. Mereka yang jumlahnya sekitar 60 orang itu mendapat perintah untuk menculik petinggi Angkatan Darat yang dituduh akan mengkudeta Presiden Sukarno.

Bersama Bungkus, di antaranya ada Sersan Dua Raswad, Prajurit Kepala Doblin, Sersan Tumiran, Sersan Gijadi, Prajurit Satu Athanasius Buang, Sersan Mayor Satar Suryanto, Sersan Dua Sukardjo, dan Prajurit Nor Rohayan. Mereka tidak semuanya berasal dari Cakrabirawa, melainkan ada juga yang berasal dari Brigade Infanteri 1 seperti Soekardjo yang menculik D.I. Panjaitan.

Nasib Satar, Gijadi, dan Rohayan lebih buruk daripada Ishak Bahar dan Bungkus. Jiwa mereka direnggut di hadapan regu tembak setelah 25 tahun dalam penahanan.

Gijadi adalah penembak Ahmad Yani. Serdadu kelahiran Solo itu menarik picu senapan mesin ringan Thompson ke arah Ahmad Yani setelah mendengar perintah dari Sersan Dua Raswad.
“Mereka yang menculik adalah para sersan, kopral dan di bawahnya lagi yang tidak tahu apa-apa,” kata Kolonel CPM (purnawirawan) HW Sriyono, yang juga mantan perwira Cakrabirawa.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh


Selasa, 01 Oktober 2019

Gerakan 30 September: Persahabatan Tiga Prajurit Cakrabirawa yang Berujung Celaka

Oleh: Petrik Matanasi - 1 Oktober 2019
                                       
Ilustrasi Persahabatan Boengkoes Doel Arif dan Djahurup. tirto.id/Sabit

Mereka berjuang bersama sejak zaman revolusi, baku bantu menumpas pelbagai pemberontakan, namun akhirnya tumbang karena terlibat Gerakan 30 September.

Djahurup dan Bungkus telah berkawan sedari zaman revolusi. Mereka selalu bersama sejak di Batalion Anjing Laut, Batalion 448, sampai Resimen Cakrabirawa. Keduanya berasal dari Karesidenan Besuki yang kebanyakan penduduknya bisa berbahasa Madura.

Mereka hanya beda kabupaten. Bungkus dari Situbondo, sementara Djahurup dari Bondowoso. Selain mereka, ada juga seorang lelaki bertubuh besar dan berkulit gelap yang berasal dari Bondowoso bernama Dul Arif. Mereka bertiga terlibat revolusi dalam Batalion Anjing Laut yang dipimpin Mayor Ernest Julius Magenda.
“Kami kawan sehidup semati sebagai anak buah Pak Magenda,” kata Bungkus kepada Ben Anderson dan Arief Djati dalam "The World of Sergeant Major Bungkus" di Jurnal Indonesia Oktober 2004.
Kala itu, pangkat Bungkus masih prajurit satu, sementara Dul Arif sudah kopral. Motivasi mereka terjun ke kancah peperangan bukan untuk mencari uang, lagi pula kondisi keuangan negara tengah morat-marit.
“Sejak bergabung dengan TKR tahun 1945 hingga November 1949, saya tidak pernah menerima gaji," kata Bungkus.
Usai revolusi, mereka melanjutkan karir di militer dengan pangkat rendah dan gaji tak seberapa. Ketika terjadi pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS), mereka dikirim ke sekitar Seram. Setelah itu, mereka tak lagi ditempatkan di Jawa Timur yang sekarang bernama Kodam Brawijaya, melainkan dipindahkan ke Jawa Tengah yang belakangan bernama Kodam Diponegoro pimpinan Kolonel Gatot Subroto.

Waktu itu, di Jawa Tengah terdapat batalion yang bermarkas di Salatiga, yang mayoritas prajuritnya berasal dari Jawa Timur dan terbiasa berbahasa Madura. Bungkus berada di batalion tersebut sekitar tahun 1953. Salah seorang perwiranya adalah Kapten Abdul Latief asal Surabaya. Belakangan setelah berpangkat kolonel, ia menjadi Komandan Brigade Infanteri Jaya Sakti di Jakarta dan terlibat Gerakan 30 September.


Kelak ketika tengah bertugas di Jakarta, kebiasaan mereka berbicara dalam bahasa Madura sempat menuai malu. Suatu hari saat berpesiar ke sekitar Pasar Senen, Dul Arif dan Bungkus bertemu dengan dua orang gadis pembantu sebuah warung yang berjualan dawet di salah satu pertigaan jalan.
“Kami duduk ngobrol dan ngrasani gadis itu dengan bahasa Madura. Tapi kok mereka kemudian tersenyum-senyum. Saya mulai curiga,” kata Bungkus.
Pemilik warung dan dua orang gadis pembantunya rupanya berasal dari Pasuruan dan bisa berbahasa Madura.



Menumpas Pemberontakan, Tumbang Bersama Cakra

Seperti di beberapa wilayah Indonesia lainnya, Jawa Tengah juga pernah mengalami gangguan keamanan. Pemberontakan Darul Islam (DI) dan Batalion 426 yang terpapar gerakan tersebut, membuat TNI mengerahkan banyak pasukannya untuk operasi penumpasan.

Saat bertugas di Batalion Infanteri 448 yang bermarkas di Salatiga, Bungkus juga dikirim ke Sumatra untuk menumpas pasukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Menurutnya, batalion itu dijadikan stoottroepen atau pasukan pemukul di sekitar Sumatra Barat.

Setelah lama berdinas di Jawa Tengah, Dul Arif, Djahurup dan Bungkus ditarik ke Resimen Cakrabirawa, pasukan khusus penjaga Presiden Sukarno. Pasukan ini biasa disingkat Cakra, mirip nama milisi Madura pro Belanda di era revolusi kemerdekaan, yaitu Barisan Cakra Madura.

Pada 1965, Dul Arif sudah berpangkat Letnan Satu, Djahurup berpangkat Pembantu Letnan Dua, dan Bungkus Sersan Mayor. Mereka berada di Kompi C yang dipimpin Dul Arif. Kompi mereka di bawah Batalyon Kawal Kehormatan II pimpinan Letnan Kolonel Untung bin Syamsuri. Mereka tinggal di Asrama Cakrabirawa Tanah Abang.

Tanggal 30 September 1965, Letnan Satu Dul Arif mendapat perintah penting dari Letnan Kolonel Untung. Ia dan pasukannya yang tak sampai satu kompi, termasuk Bungkus di dalamnya, diperintahkan untuk pergi ke Lubang Buaya.
“Komandan Batalion kita memberi saya tugas memberangkatkan satuan Tjakra untuk sebuah misi. Ada sekelompok jenderal, yang disebut Dewan Jenderal, yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Sukarno,” kata Dul Arif kepada pasukannya.
Di bawah Untung, Dul Arif menjadi komandan pasukan Pasopati yang bertugas menculik para jenderal untuk menggagalkan isu kudeta Dewan Jenderal. Mereka harus dibawa ke Lubang Buaya pada 1 Oktober 1965.

Bungkus bertugas memimpin penculikan Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Harjono (Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat) di Jalan Prambanan, Menteng. Sementara Djahurup kebagian tugas mengamankan Jenderal Abdul Haris Nasution (Menteri Pertahanan Keamanan) di Jalan Teuku Umar, juga di daerah Menteng.

Operasi pasukan Bungkus dan Djahurup tak mulus. Mas Tirtodarmo Harjono tertembak di rumahnya, tapi masih bisa dibawa ke Lubang Buaya. Sementara Djahurup gagal mendapatkan Nasution, sebab yang mereka bawa justru ajudannya, Pierre Tandean.

Setelah malam jahanam dini hari 1 Oktober 1965 itu, Bungkus sempat kembali ke asrama Cakrabirawa sebelum akhirnya ditangkap dan ditahan di asrama CPM Guntur.

Di tahanan ia bertemu dengan Abdul Latief. Sementara Djahurup bernasib sama seperti Bungkus dan Latief, Dul Arif justru melarikan diri tanpa jejak.

Namun menurut Heru Atmodjo dalam Gerakan 30 September 1965: Kesaksian Letkol (Pnb) Heru Atmodjo (2004), belakangan Dul Arif dibunuh secara diam-diam oleh Ali Moertopo di sekitar perbatasan Jawa Tengah.
"Dul Arif itu anak angkat Ali Moertopo," tulis Atmodjo.
Ali Moertopo memang pernah berkarir di Jawa Tengah sebagai perwira dan komandan kompi satuan Banteng Raider, dan Dul Arif dianggap anak buahnya selama di Jawa tengah.

Kita tahu, Ali Moertopo adalah perancang Orde Baru dan tangan kanan daripada Soeharto.


Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh

Persahabatan Bungkus, Djahurup, dan Dul Arif berujung celaka.

G30S Bukan Buatan PKI

  • Analisis Iskandar Subekti mengenai G-30-S

John Roosa, penulis "Dalih Pembunuhan Massal", menemukan dua dokumen penting di sebuah penyimpanan arsip di Amsterdam. Dokumen itu di antaranya tulisan analisis Iskandar Subekti mengenai G-30-S. Menurut Rossa, analisis ini belum pernah dimanfaatkan oleh para sejarawan sebelumnya.

Mungkin, selain Rossa, ada kawan2 yang pernah membaca tulisan analisis Iskandar Subekti alias Ripto. Tapi saya yakin banyak yang belum tahu dan membacanya. Berikut saya sajikan cuplikan satu subjudul dari 14 subjudul. Semoga bermanfaat.

Oleh : Ripto

1. G30S Bukan Buatan PKI

Perlu ditegaskan di sini – sebagaimana telah ditandaskan dalam pleidoi penulis, di depan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 12 Desember 1972 – bahwa bukan PKI yang mengadakan Gerakan 30 September (G30S), dan juga G30S bukan buatan atau ciptaan PKI. Mengapa?

 G30S bukan gerakan yang sembarangan. Ia pun bukan gerakan kecil yang non-prinsipial. G30S dimaksudkan untuk mencegah usaha jenderal-jenderal kanan Angkatan Darat (AD) – yang menguasai ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), untuk memukul dan kemudian menghancurkan PKI, selanjutnya merebut kekuasaan negara dari tangan Presiden Soekarno. Jenderal-jenderal kanan AD yang menguasai pimpinan ABRI, merupakan satu kekuatan politik sendiri di dalam masyarakat Indonesia. Mereka sangat antikomunis dan anti-Soekarno. Sebagai satu kekuatan politik, mereka pasti berusaha menguasai negara RI, menguasai pemerintahan RI; dan menghancurkan lawan politik yang dianggap paling berbahaya, PKI.

 Memukul dan menghancurkan PKI tidak bisa mereka lakukan tanpa memukul Soekarno, untuk kemudian merebut kekuasaan negara dari tangannya.

 Merebut kekuasaan negara dan mendirikan pemerintahan yang dikuasai adalah tujuan setiap partai politik. Dan kelompok jenderal-jenderal kanan AD, yang merupakan kekuatan militer yang aktif berpolitik, pada hakekatnya merupakan “partai politik”. Mereka pun memiliki senjata di tangan, dan memiliki barisan bersenjata yang tersusun rapi serta terorganisasi baik dalam wujud ABRI. Inilah potensi besar yang mereka miliki.

G30S mempunyai dampak politik yang besar dalam kehidupan di Indonesia, terhadap negara dan seluruh rakyat Indonesia. Jadi G30S bukan gerakan sembarang gerakan. Oleh karena itu, seandainya G30S merupakan gerakan dari dan atau didalangi oleh PKI, semestinya dibicarakan dan diputuskan oleh badan pimpinan Partai yang tertinggi, yaitu Comite Central (CC). Sebab gerakan tersebut begitu prinsipial. Begitu fundamental. Tetapi nyata, hal ini tidak pernah dibicarakan; apalagi diputuskan di dalam dan oleh Comite Central, yang anggotanya berjumlah 85 orang itu. Banyak kawan di antara yang 85 orang itu, yang tidak tahu-menahu mengenai gerakan ini. Bahkan ada anggota Politbiro (PB) atau calon anggota PB yang tidak mengetahui sama sekali. Manakala ada anggota-anggota CC atau PB yang tersangkut dalam gerakan ini; maka mayoritas dari mereka hanya merupakan pelaksana saja, bukan pemikir yang ikut memutuskan, membicarakan, atau merencanakan gerakan tersebut.

 Politbiro beranggotakan: D.N. Aidit, M.H. Lukman, Nyoto, Sudisman, Oloan Hutapea, Ir. Sakirman, Rewang, Nyono, Asmu, Ruslan Wijayasastra, dan Moh. Munir. Sedangkan calon anggota Politbiro adalah Aza, Peris Pardede, Syafei, dan F. Runturambe. Kemudian Dewan Harian Politbiro beranggotakan: D.N. Aidit, M.H. Lukman, Nyoto, Sudisman, dan Oloan Hutapea. Sedangkan calon anggota Dewan Harian Politbiro adalah Moh. Munir dan Rewang.

 Kawan Nyoto sama sekali tidak mengetahui. Ia sama sekali tidak diajak Aidit dalam diskusi-diskusi mengenai gerakan ini, serta perencanaan dan pelaksanaannya. Apalagi F. Runturambe.

 Sidang PB yang diadakan dalam bulan Agustus 1965 (?), sebelum sidang PB diperluas (briefing) membicarakan situasi politik yang gawat berhubungan dengan sakitnya Bung Karno, dan adanya gerakan-gerakan perwira muda yang menentang rencana Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta. Di dalam sidang PB ini diambil keputusan bahwa Partai memberi dukungan politiknya pada gerakan tersebut. Jadi, sama sekali tidak merencanakan gerakan.

 Ada dilakukan sidang PB diperluas. Seingat penulis pada 27 Agustus 1965. Disebut PB diperluas karena sidang dihadiri anggota-anggota PB dan anggota-anggota CC yang berdomisili di Jakarta, serta anggota-anggota CC dari daerah yang pada saat itu kebetulan berada di Jakarta. Penulis hadir pada sidang itu. Siapa-siapa lainnya dari CC yang menghadiri sidang ini, penulis tidak ingat lagi.

Sidang tersebut semata-mata merupakan satu briefing yang diberikan Ketua CC. Isi briefing sama dengan yang dibicarakan dalam sidang PB sebelumnya. Tidak lebih dari itu. Kawan-kawan dari daerah yang sedang berada di Jakarta, dan menghadiri sidang itu; diminta oleh Ketua CC, sekembalinya ke tempat masing-masing, mengikuti selalu siaran RRI pusat yang akan menyiarkan perkembangan keadaan lebih lanjut.

Andreas JW 

Lubang Buaya, Akhir Tragedi Berdarah Gerakan 30 September 1965


Nila Chrisna Yulika - 01 Okt 2019, 08:05 WIB



Lubang buaya adalah saksi bisu pembantaian para jenderal pada 30 September 1965. Dalam tragedi itu, tujuh pahlawan revolusi yang gugur dibuang ke dalam sumur berdiameter 75 sentimeter dengan kedalaman 12 meter.

Sebelum peristiwa 30 September 1965, PKI telah melakukan beberapa persiapan yaitu melatih Pemuda Rakyat dan Gerwani. Kemudian, menyebarkan desas-desus tentang adanya Dewan Jenderal yang akan merebut kekuasaan pemerintahan.

Dewan Jenderal adalah sebuah nama yang ditujukan untuk menuduh beberapa jenderal TNI AD yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno pada Hari ABRI, 5 Oktober 1965.

Situasi semakin memanas ketika berkembang isu bahwa Dewan Jenderal merencanakan pameran kekuatan (machts-vertoon) pada hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober 1965 dengan mendatangkan pasukan-pasukan dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Sesudah terkonsentrasinya kekuatan militer yang besar ini di Jakarta, Dewan Jenderal bahkan telah merencanakan melakukan coup kontra-revolusioner.

Alex Dinuth (1997) dalam Dokumen Terpilih Sekitar G.30.S/PKI menyebutkan, susunan Kabinet Dewan Jenderal yang sudah disiapkan, terdiri dari:

1. Perdana Menteri: Jenderal AH Nasution
2. Wakil Perdana Menteri/Menteri Pertahanan: Letjen Ahmad Yani
3. Menteri Dalam Negeri: RM Hadisubeno Sosrowerdojo (Politikus Partai Nasional Indonesia, Mantan Gubernur Jawa Tengah, Mantan Walikota Semarang)
4. Menteri Luar Negeri: Roeslan Abdulgani (Politikus Partai Nasional Indonesia)
5. Menteri Hubungan Perdagangan: Brigjen Ahmad Sukendro
6. Menteri /Jaksa Agung: Mayjen S Parman
7. Menteri Agama: KH Rusli
8. Menteri / Panglima Angkatan Darat: Mayjen Ibrahim Adjie (Pangdam Siliwangi waktu itu)
9. Menteri / Panglima Angkatan Laut: tidak diketahui
10. Menteri / Panglima Angkatan Udara: Marsekal Madya Rusmin Nurjadin
11. Menteri / Panglima Angkatan Kepolisian: Mayjen Pol Jasin

Pimpinan PKI DN Aidit membicarakan isu Dewan Jenderal dengan Subandrio yang merangkap ketua BPI (Badan Pusat Intelijen). Isu itu sampai ke telinga Presiden Soekarno. Bung Karno kemudian menanyakan kepada Pangad Letjen. A. Yani: "Apa benar ada Dewan Jenderal dalam Angkatan Darat, antara lain, untuk menilai kebijaksanaan yang telah saya gariskan?"

Jenderal Yani menjawab, "Tidak benar, Pak. Yang ada ialah Wanjakti (Dewan Jabatan dan Kepangkatan Perwira Tinggi). Dewan ini mengurus jabatan dan kepangkatan perwira-perwira Tinggi Angkatan Darat,".

Lalu isu itu dikembangkan lagi dengan menyebutkan, ada jenderal-jenderal yang tidak loyal pada Pemimpin Besar Revolusi. Dewan Jenderal akan mengadakan coup kontra-revolusioner. Isu itu berkembang sekitar Mei, Juni dan Juli, mencapai puncaknya pada bulan Agustus dan September 1965.

Seperti dikutip dari Sekretariat Negara RI: "Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia - Latar belakang, aksi dan penumpasannya", tanggal 4 Agustus 1965, Presiden Soekarno jatuh pingsan dan muntah-muntah.

Menurut dokter terdapat dua kemungkinan dengan kondisi Soekarno yaitu beliau akan wafat atau akan menjadi lumpuh.
Rupanya kejadian ini menimbulkan pikiran Pimpinan PKI, DN Aidit yang baru kembali dari Moskow dan Peking untuk merebut kekuasaan.

Tampaknya ia berpikir, lebih baik mendahului daripada didahului oleh TNI AD. PKI kemudian melaksanakan rapat dalam rangka menentukan langkah-langkah yang dianggap tepat. Rapat yang dilaksanakan tersebut adalah:

1. Tanggal 6 September 1965 membicarakan mengenai situasi umum dan sakitnya Presiden Soekarno.
2. Tanggal 9 September 1965 membicarakan kesepakatan bersama untuk turut serta dalam mengadakan gerakan dan mengadakan tukar pikiran tentang taktik pelaksanaan gerakan.
3. Tanggal 13 September 1965 tentang peninjauan kesatuan yang ada di Jakarta.
4. Tanggal 15 September 1965, di antaranya membicarakan persoalan kesatua-kesatuan yang akan diajak serta dalam gerakannya.
5. Tanggal 17 September 1965 membicarakan tentang kesatuan yang sudah sanggup dalam gerakan seperti yang disediakan oleh Kol. Inf. A. Latief, Mayor Udara Sujono.
6. Tanggal 19 September 1965 membahas gerakan-gerakan di bidang politik, militer, dan observasi dengan Sjamkamarujaman ditunjuk sebagai koordinatornya.
7. Tanggal 22 September 1965 penentuan sasaran para perwira tinggi Angkatan Darat.
8. Tanggal 24 September 1965 memantapkan kesanggupan dan kesediaan tenaga-tenaga yang telah ditetapkan sebagai pimpinan pasukan-pasukan yang akan digerakkan.
9. Tanggal 26 September 1965 pemantapan terhadap rapat sebelumnya.
10. Tanggal 29 September 1965 penetapan nama gerakannya yaitu Gerakan 30 September dan putusan perubahan hari H dan jam J yang dibuat oleh Sjam.

Saat Tragedi Berdarah

Gerakan G30S ini juga melibatkan sebagian pasukan Tjakrabirawa. Adalah Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Letkol Untung Syamsuri yang memimpin gerakan ini.

Seperti dikutip dari Merdeka.com, Petrik Matanasi, penulis buku, "Tjakrabirawa", Untung memanfaatkan hari ulang tahun ABRI yang jatuh pada 5 Oktober untuk menggalang kekuatan pada 30 September 1965. Dalam peringatan HUT ABRI, dia ditunjuk sebagai pengatur parade pasukan. Posisi ini membuat dia punya kesempatan mengontak bekas anak buahnya di Kodam Diponegoro.

Pasukan G30S dibagi dalam tiga kelompok yakni Pasopati, Bimasakti dan Pringgodani dan dipimpin perwira dari Tjakrabirawa, anak buah Untung.
Pasopati dalam penculikan membunuh langsung tujuh Jenderal AD yang akan diculik. Sebelumnya ada 8 Jenderal yang akan diculik. Namun satu nama, Brigadir Jenderal Ahmad Soekendro lolos karena sedang melawat ke China. Satuan Pasopati terdiri dari 250 anggota Tjakrabirawa.

Sersan Mayor Boengkoes, anggota resimen Tjakrabirawa yang menjadi salah satu pelaku penculikan terhadap tujuh jenderal mengungkap sebelum penculikan terjadi, ada pengarahan di kawasan Halim Perdanakusuma pada 30 September 1960 pukul 15.00 WIB.

Dalam arahan tersebut, disebutkan ada sekelompok jenderal yang dinamakan Dewan Jenderal untuk melakukan kudeta terhadap Soekarno.
Boengkoes mengungkapkan, dia bersama para komandan pasukan kemudian dikumpulkan pada dini hari oleh Komandan Resimen Tjakrabirawa, Letnan Satu Doel Arif. Kemudian pasukan dibagi menjadi tujuh yang bertugas menculik ketujuh Dewan Jenderal. Adapun Boengkoes masuk dalam tim yang bertugas menculik Jenderal MT Harjono, hidup atau mati.

Tepat 1 Oktober 1965 dini hari, rombongan pasukan ini pun berarak dari Lapangan Udara Halim Perdanakusuma kemudian membelah Jakarta. Mereka menuju Menteng, dimana rumah para jenderal berada. Sebagian lagi ke Kebayoran Baru, rumah Jenderal DI Panjaitan.

Tiga dari tujuh jenderal tersebut diantaranya telah dibunuh di rumah mereka masing-masing, yakni Ahmad Yani, M.T. Haryono dan D.I. Panjaitan.

Sementara itu ketiga target lainya yaitu Soeprapto, S. Parman dan Sutoyo ditangkap hidup-hidup. Sementara Jenderal Abdul Harris Nasution yang jadi target utama penculikan berhasil lolos. Sementara putrinya bernama Ade Irma Suryani Nasution meninggal dunia dan ajudannya Lettu CZI Pierre Andreas Tendean yang dikira Nasution diculik.

Korban tewas semakin bertambah disaat regu penculik menembak seorang polisi penjaga rumah tetangga Nasution. Abert Naiborhu menjadi korban terakhir dalam kejadian ini. 

Menurut keterangan Boengkoes, Tjakrabirawa bukan pasukan mengeksekusi mati para jenderal. Dirinya hanya ditugaskan membawa para jenderal itu ke Lubang Buaya. Menurut dia, ada pasukan lain yang melakukan eksekusi tersebut.

Dikisahkan Yutharyani, Perwira Seksi Pembimbingan Informasi Monumen Pancasila Sakti dari TNI Angkatan Darat yang diwawancarai CNN Indonesia, tiga jenderal yang masih hidup termasuk Pierre Andreas Tendean dibawa ke rumah penyiksaan. 

Rumah penyiksaan yang dimaksud Yutharyani itu merupakan kediaman salah seorang warga Desa Lubang Buaya. Rumah itu kini berada dalam Kompleks Monumen Pancasila Sakti. Tak seperti sekarang, dulu Lubang Buaya ialah hutan karet yang sepi penduduk.
"Sebelum dibunuh, mereka disuruh menandatangani yang namanya Dewan Jenderal, tipu muslihat PKI bahwa Angkatan Darat akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah," ujar dia.
"Padahal itu cerita khayalan yang dikarang PKI. Pak S. Parman lalu disuruh tanda tangan. Andai dia mau tanda tangan, berarti TNI AD benar-benar akan melakukan kudeta. Tapi beliau kukuh TNI AD tidak akan melakukan kudeta," kata Yutharyani.
Pada titik itulah, menurut Yutharyani, penyiksaan terhadap para jenderal dan ajudan Nasution yang masih hidup dimulai. Mereka semua Mayjen S. Parman, Mayjen R Suprapto, Brigjen Sutoyo, Lettu Pierre Andreas Tandean akhirnya tewas dibunuh.
"Dipukul, dipopor pakai ujung senjata. Hasil visum menunjukkan ada retak di tulang kepala, tangan dan kaki patah, karena mereka ditendang pakai sepatu lars yang keras,".
Dalam kondisi antara hidup dan mati, ujar Yutharyani, tubuh para jenderal itu lantas digeret dan dimasukkan ke sebuah sumur di Lubang Buaya.
"Setelah tubuh mereka masuk semua, untuk meyakinkan mayat meninggal, mereka langsung ditembak lagi. Lalu jasad ditutup dengan sampah pohon karet, dan ditutup tanah serta ditanah pohon pisang utuh di atasnya seakan-akan di bawah itu tak ada mayat."
Saat jasad para jenderal itu terkubur di sumur Lubang Buaya itu, hari telah berganti. 1 Oktober 1965.

Sumur ditemukan pada sore, 3 Oktober. Sumur lalu digali pakai tangan. Keesokannya, 4 Oktober, mayat diangkat.

Sementara mengenai penyiksaan kepada para jenderal sebelum dimasukan dalam sumur tua di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur, terbantahkan melalui hasil visum yang dilakukan lima dokter atas perintah tertulis yang ditandatangani Soeharto saat itu selaku Pangkostrad.

Kelima dokter itu diperintahkan untuk melakukan otopsi dan VR (visum et repertum) atas jenazah para jenderal tersebut. Kelima dokter itu adalah:

1. Dr. Roebiono Kertopati, Brigadir Jenderal pimpinan tinggi kedua pada Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat.
2. Dr. Frans Pattiasina, Kolonel TNI, Korp Kesehatan Militer Nrp. 14253, Perwira Kesehatan pada RSPAD.
3. Dr. Sutomo Tjokronegoro, Profesor pada Fakultas Kedokteran pada Universitas Indonesia, ahli Penyakit dan Kedokteran Forensik
4. Dr. Liauw Yan Siang. Ahli Kedokteran Forensik Universitas Indonesia,
5. Dr. Lim Joe Thay, Dosen pada Kedokteran Forensik, Universitas Indonesia.

Hasil otopsi dan visum itu tidak menemukan adanya pencungkilan bola mata maupun sayatan pada tubuh jenderal. Para dokter juga tidak menemukan adanya pemotongan pada alat vital salah satu jenderal seperti cerita yang berkembang selama ini.

Asal Usul Lubang Buaya

Suasana di kompleks pemakaman Datuk Banjir di Kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Jauh sebelum tragedi memilukan itu terjadi, nama tempat di Jakarta Timur itu memang sudah disebut Lubang Buaya. Ini tentu memiliki sejarah tersendiri atas penyebutan wilayah tersebut.

Setelah ditelusuri, nama Lubang Buaya tersebut konon disematkan oleh orang sakti zaman dahulu bernama Datuk Banjir. Tempat ini dikenal sebagai markas buaya ganas.

Menurut keturunan Datuk Banjir, Yanto, kala itu sang buyut tengah melintasi sungai besar di kawasan Lubang Buaya dengan menggunakan getek, serta bambu panjang sebagai dayungnya. Namun dalam perjalanan, bambu dayung itu tak menyentuh dasar sungai. Bambu itu tiba-tiba menyentuh ruang kosong.

Setelah itu, lanjut dia, ruang kosong itu seolah menyedot material di atasnya. Akibatnya, bambu dayung dan getek serta Datuk Banjir turut tenggelam. Saat tenggelam itulah, Datuk melihat sarang buaya di dasar sungai.
"Bambu panjang (buat dayung) itu makin tenggelem, sampai bener-bener tenggelem. Lalu Mbah juga ikut tenggelem. Namun tiba-tiba dia muncul di deket sini," kata Yanto kepada Liputan6.com, Rabu, 22 Maret 2017, sambil menunjuk hamparan tanah kosong berupa rawa-rawa.
Setelah tenggelam ke dalam sungai dan muncul dengan tiba-tiba, Datuk Banjir kemudian menepi. Dia merenungi pengalaman spritual itu termasuk saat melihat sarang buaya di dalam sungai itu.
"Karena itulah dinamai Lubang Buaya dan Mbah langsung bermukim di sini, beranak pinak, sampai saya sekarang," kata Yanto.
Datuk Banjir hidup di zaman Belanda masih menjajah. Ia turut serta dalam perjuangan melawan kompeni. Dalam pertempuran melawan Belanda, Datuk Banjir disebutkan menunjukkan kesaktiannya.

Meski kisah-kisah itu disebut tak masuk logika, Yanto menyatakan kejadian itu memang terjadi. Bahkan sekitar dua bulan lalu, peristiwa yang sama juga terjadi.
"Ya, bisa kelelep gitu, kayak orang kelelep. Mereka (serdadu kompeni) kayak tenggelem. Dua bulan lalu ada yang berenang segala, itu di aspal, ada tentara yang berenang. Pas ditanya, dia bilang ada banjir, padahal kering," tutur Yanto.
Kejadian yang dialami tentara itu lantaran sang prajurit dianggap bersikap arogan. Dia tidak mengindahkan pantangan yang ada sehingga seolah-olah merasa tenggelam​.
"Enggak usah dilanjutin. Tapi ya gitu, sudah dibilang jangan, masih dikerjain, ya kena jadinya," ucap Yanto
Hingga akhir hayatnya, Datuk Banjir mengajarkan ilmu agama dan ilmu silat, serta ilmu batin. Ia meninggal dunia di Lubang Buaya dan dimakamkan tak jauh dari Monumen Pancasila Sakti.

Lubang Buaya Kini

Sejumlah siswa berfoto bersama di depan Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta, Minggu (1/10). Bertepatan dengan hari Kesaktian Pancasila, sejumlah pelajar mengadakan napak tilas ke monumen Kesaktian Pancasila. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sejak 30 September 1965, Lubang Buaya berubah wujud. Pemerintah Orde Baru di bawah Soeharto menyulapnya menjadi kompleks memorial megah.

Dua tahun setelah Gerakan 30 September, 1967, Soeharto membebaskan 14 hektare lahan di Lubang Buaya dari permukiman warga. Enam tahun kemudian, 1973, di atas lahan itu diresmikan Kompleks Monumen Pancasila Sakti.

John Roosa, Associate Professor Departemen Sejarah University of British Columbia dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, mengistilahkan Lubang Buaya kini sebagai “tanah keramat.”

"Sebuah monumen didirikan dengan tujuh patung perunggu para perwira yang tewas. Semua berdiri setinggi manusia dengan sikap gagah dan menantang. Pada dinding belakang deretan patung para perwira, ditempatkan patung garuda raksasa dengan sayap mengembang," demikian John Roosa memaparkan dalam bukunya.

Di Kompleks monumen Pancasila Sakti juga dijadikan area tempat wisata bagi orang-orang yang ingin mengetahui sejarah.
Kompleks Lubang Buaya kini memang bukan hanya berfungsi sebagai monumen sejarah, tapi juga jadi bagian dari wisata ziarah.

Sementara sumur yang menjadi tempat pembuangan jasad para jenderal menjadi situs inti di zona utama Kompleks Memorial Lubang Buaya. Seperti dikutip dari CNN Indonesia, situs itu memiliki luas sembilan hektare.
Lubang sumur berdampingan dengan tiga bangunan yang menjadi saksi bisu Gerakan 30 September 1965, yakni rumah penyiksaan, pos komando, dan dapur umum.

Kompleks Lubang Buaya terus mengalami penataan sepanjang Orde Baru. Terhitung dua dekade setelahnya, Soeharto membangun dua museum sebagai etalase sejarah dalam bentuk diorama.

Pada 1981, Soeharto meresmikan Museum Paseban yang merunutkan cerita persiapan pemberontakan, penculikan jenderal, penganiayaan, pelarangan Partai Komunis Indonesia, hingga peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto.

Selanjutnya pada 1992, Soeharto meresmikan Museum Pengkhianatan PKI. Ini museum penutup sebelum Soeharto lengser pada 1998. Museum ini memuat diorama tentang sepak terjang PKI di Indonesia.

Peristiwa G30S tahun 1965, dengan Lubang Buaya sebagai lokasi sentral tragedi menjadi tanda berakhirnya riwayat PKI. Kejadian itu membuat PKI dihancurkan, dan dinyatakan sebagai partai terlarang tahun berikutnya, 1966.

Benar atau tidaknya eksistensi Dewan Jenderal tak diketahui jelas hingga saat ini, sama seperti G30S yang memiliki sejarah gelap, dengan dalang yang tak pernah terungkap.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Senin, 30 September 2019

30 September 1965 | Drama G30S 1965: di Mana Mereka di Malam Jahanam Itu?


Oleh: Petrik Matanasi - 30 September 2019

Malam 30 September 1965: Sukarno di rumah Dewi; Soeharto menunggu anaknya yang sakit di RSPAD, lalu pulang ke rumahnya. tirto.id/Deadnauval

Malam 30 September 1965, Soeharto tidur di rumahnya, begitu juga para jenderal yang diculik. Sementara Sukarno di rumah istri mudanya.

Malam itu, 30 September 1965, tepat hari ini 54 tahun lalu, sang jenderal terpaksa harus berada di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto. Anak laki-laki bungsu kesayangannya, yang kelahirannya bersamaan dengan pulihnya karier sang jenderal, harus dirawat karena kena siraman sup panas. Bersama sang istri, sang jenderal menunggui sang putra yang dipanggil Tommy Soeharto itu.
“Tanggal 30 September 1965. Kira-kira pukul sembilan malam saya bersama istri saya berada di Rumah Sakit Gatot Subroto. Kami menengok anak kami. Tommy, yang masih berumur empat tahun dirawat di sana karena tersiram sup yang panas,” aku Soeharto pada Ramadhan K.H. dalam Soeharto Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya (1989). Hutomo Mandala Putra alias Tomy adalah anak kesayangan.
Latief, dalam bukunya Pledoi Kol. A. Latief: Soeharto terlibat G 30 S, mengaku mendatangi Soeharto di sana. Latief, yang percaya pada Soeharto sebagai atasan, bercerita soal rencana penculikan para Jenderal itu.
“Pak, malam ini kami beberapa kompi pasukan akan bergerak untuk membawa para jenderal anggota Dewan (Revolusi) ke hadapan yang mulia presiden,” kata Latief.
Meski terkejut, Soeharto tetap bersikap tenang. Usai bertemu Soeharto di RSPAD, Kolonel Latief menghadiri rapat bersama Soepardjo, Letnan Kolonel Untung, dan lainnya.

Sementara Soeharto, yang merasa tidak diberitahu Latief serta merasa tidak tahu bahaya yang menimpa Ahmad Yani, memilih pulang ke rumahnya jelang tengah malam. Esoknya, tersiar berita adanya suara tembakan di rumah-rumah korban penculikan. Para jenderal itu pun hilang dan ditemukan tak bernyawa di Lubang Buaya.

Kala itu, Soeharto menjabat Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). Dengan kuasanya, dia bisa menggerakkan pasukan dengan kualifikasi raider di tubuh Angkatan Darat itu untuk bertindak. Di sekitar lapangan Gambir Monas juga sudah ada pasukan raider dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang jumlahnya berkompi-kompi.

Di Rumah Istri Muda

Kolonel Maulwi Saelan adalah saksi mata yang mengetahui di mana Sukarno berada pada 30 September 1965 sebelum dini hari. Wakil Komandan Resimen Cakrabirawa itu sedang sibuk mengawal Presiden menghadiri resepsi penutupan Musyawarah Nasional Kaum Teknisi Indonesia di Istora, Senayan. Malam itu, Untung juga ada di sana. Sebagai Komandan Batalyon II Kawal Kehormatan Cakrabirawa, Untung ikut mengawal Bung Besar di ring terluar.

Dari Istora, menurut Mangil Martowidjojo, yang kala itu Komandan Detasemen Kawal Pribadi Cakrabirawa, Bung Besar sempat pulang ke Istana Merdeka. Sementara Maulwi pulang. Setelah berganti pakaian, menurut cerita dari buku Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1965 (1999), Si Bung pergi lagi dengan diam-diam, dengan memakai mobil Chrysler hitam. Mangil juga ikut serta, jadi setelah pukul 22.00 malam hingga pagi, Mangil yang paling tahu di mana posisi Sukarno pada malam jahanam 30 September 1965.

Sukarno dan pengawalnya terlebih dahulu singgah di Hotel Indonesia untuk menjemput Ratna Sari Dewi, istri termudanya. Mereka menginap di rumah Ratna Sari Dewi, Wisma Yaso, di Jalan Gatot Subroto. Tempat itu sudah jadi Museum Satria Mandala.

Sogol, salah satu pengawal, melihat Bung Besar sudah bangun sejak pukul 05.00 subuh 1 Oktober. Maulwi pagi itu kebingungan mencari di mana Sukarno berada. Sejak subuh saluran telpon istana terputus. Bung sempat ke rumah Hartini, istrinya yang lain lagi. Setelah mendapat laporan soal raibnya petinggi Angkatan Darat, Bung Besar ke Pangkalan Udara Halim Perdana Kusumah dan bertemu beberapa pelaku gerakan lain. Paham atau tidaknya pihak Angkatan Udara soal G30S, pangkalan itu membuat Sukarno dan pelaku gerakan untuk sementara terlindungi.

Lubang Buaya, Penas, dan Rumah Anis

Sebagai Panglima Komando Tempur II, seharusnya Brigadir Jenderal Soepardjo berada di Kalimantan. Namun, dia belum punya pasukan lengkap untuk memimpin konfrontasi militer Dwikora di sana. Jelang 30 September, dia terbang ke Jakarta. Di malam 30 September 1965, Soepardjo sudah berada di Gedung Biro Pemetaan Nasional (Penas) di Jakarta Timur. Gedung itu, menurut Heroe Atmodjo, seperti ditulis Julius Pour dalam Gerakan 30 September Pelaku, Pahlawan dan Petualang (2010), disewa pihak Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), di mana Heroe berdinas sebagai letnan kolonel penerbang.

Pihak AURI, menurut Heroe, tidak tahu menahu jika di malam 30 September gedung itu menjadi Central Komando (Cenko) I. Selain Soepardjo yang semula satu-satunya perwira yang mengenakan seragam militer di sana. Selain Latief dan Soepardjo, perwira penting dalam gerakan yang ada disitu adalah Letnan Kolonel Untung. Syam Kamaruzaman, Biro Khusus PKI, juga ada di situ. Banyak militer yang terlibat G30S tak mengenal Syam di sana.

Sebelum di tempat itu, Untung sempat berada di Lubang Buaya untuk memantau kerja pasukannya yang telah membawa para Jenderal Angkatan Darat. Lubang Buaya adalah tempat akhir bagi pasukan penculik bernama Pasopati setelah sasaran berhasil mereka ambil paksa dari rumah masing-masing.


Sementara itu Ketua CC PKI D.N. Aidit, yang dituding Orde Baru sebagai otak Gerakan 30 September 1965, dijemput juga oleh anggota komplotan dari rumahnya di Jalan Pegangsaan Barat no 4 Cikini.
“Malam itu, kira-kira pukul 21.00, Bang Amat dibawa dengan mobil oleh orang-orang yang tidak aku kenal,” aku Murad Aidit dalam Menolak Menyerah (2005).
Aidit dibawa bersama Koesno ke Wisma Angkasa di Kebayoran Baru oleh Mayor Soejono. Perintah membawa Aidit tersebut datang dari Soepardjo. Sopir mobil yang mebawa Aidit itu adalah Sersan Udara Muljono, yang merupakan pengawal Soebandrio. Mereka tak berhasil menemui Marsekal Omar Dani dan akhirnya ke Pangkalan Halim Perdana Kusumah. Aidit menginap di rumah Sersan Udara Anis Soejatno. Rumah ini, menurut Julius Pour, dipersiapkan sebagai Cenko II.
“Tanggal 1 (Oktober) pagi pukul jam 09.00 saya minta Mayor Udara Soejono, oleh karena Penas harus segera dikosongkan, maka saya minta untuk sementara rumah Dek Jatno, saya pinjam untuk kantor. Selanjutnya saya diperintahkan untuk pulang lebih dulu dan menyiapkan meja dan kursi. Dengan kendaraan saya berangkat pulang ke rumah di kompleks MBAU rumah nomor 14,” ujar Anis Soejatno dalam kesaksiannya di persidangan Letnan Kolonel Untung.
Lebih lanjut, Anis menyebut pelaku-pelaku yang dilihatnya antara lain Soepardjo, Abdul Latief, Heroe Atmodjo, Untung dan tentu saja Soejono. Ada juga orang-orang sipil yang Anis tak tahu nama-namanya. Kemungkinan adalah Aidit dan Syam. Orang-orang ini, pada 1 Oktober 1965 itu, kemudian bertemu Sukarno di sekitar Pangkalan Udara Halim Perdana Kusumah, yang datang untuk mencari perlindungan karena adanya tembakan-tembakan senjata malam 30 September.

Keberadaan Sukarno di Halim pada 1 Oktober membuat banyak orang berpikir dirinya terlibat G30S. Bagaimanapun, Halim dengan pesawat-pesawat angkut yang ada di sana tentu lebih bisa menerbangkan Sukarno jika keadaan Jakarta memanas dan tidak aman. Tanggal 1 Oktober 1965 nyatanya menjadi titik balik bagi G30S yang makin berantakan dan akhirnya bubar.

Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan

Soeharto sedang berada di RSPAD sebelum peristiwa G30S.

Tirto.ID