Oleh: Petrik Matanasi - 30
September 2019
Malam 30 September 1965: Sukarno di rumah Dewi; Soeharto menunggu
anaknya yang sakit di RSPAD, lalu pulang ke rumahnya. tirto.id/Deadnauval
Malam 30 September 1965, Soeharto tidur di rumahnya, begitu juga para jenderal yang diculik. Sementara Sukarno di rumah istri mudanya.
Malam itu, 30 September 1965, tepat hari ini 54 tahun
lalu, sang jenderal terpaksa harus berada di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat
(RSPAD) Gatot Subroto. Anak laki-laki bungsu kesayangannya, yang kelahirannya
bersamaan dengan pulihnya karier sang jenderal, harus dirawat karena kena
siraman sup panas. Bersama sang istri, sang jenderal menunggui sang putra yang
dipanggil Tommy Soeharto itu.
“Tanggal 30 September 1965. Kira-kira pukul sembilan malam saya bersama istri saya berada di Rumah Sakit Gatot Subroto. Kami menengok anak kami. Tommy, yang masih berumur empat tahun dirawat di sana karena tersiram sup yang panas,” aku Soeharto pada Ramadhan K.H. dalam Soeharto Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya (1989). Hutomo Mandala Putra alias Tomy adalah anak kesayangan.
Latief, dalam bukunya Pledoi Kol. A. Latief: Soeharto
terlibat G 30 S, mengaku mendatangi Soeharto di sana. Latief, yang percaya pada
Soeharto sebagai atasan, bercerita soal rencana penculikan para Jenderal itu.
“Pak, malam ini kami beberapa kompi pasukan akan bergerak untuk membawa para jenderal anggota Dewan (Revolusi) ke hadapan yang mulia presiden,” kata Latief.
Meski terkejut, Soeharto tetap bersikap tenang. Usai
bertemu Soeharto di RSPAD, Kolonel Latief menghadiri rapat bersama Soepardjo,
Letnan Kolonel Untung, dan lainnya.
Sementara Soeharto, yang merasa tidak diberitahu Latief
serta merasa tidak tahu bahaya yang menimpa Ahmad Yani, memilih pulang ke
rumahnya jelang tengah malam. Esoknya, tersiar berita adanya suara tembakan di
rumah-rumah korban penculikan. Para jenderal itu pun hilang dan ditemukan tak
bernyawa di Lubang Buaya.
Kala itu, Soeharto menjabat Panglima Komando Cadangan
Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). Dengan kuasanya, dia bisa menggerakkan
pasukan dengan kualifikasi raider di tubuh Angkatan Darat itu untuk bertindak.
Di sekitar lapangan Gambir Monas juga sudah ada pasukan raider dari Jawa Tengah
dan Jawa Timur, yang jumlahnya berkompi-kompi.
Di Rumah Istri
Muda
Kolonel Maulwi Saelan adalah saksi mata yang mengetahui
di mana Sukarno berada pada 30 September 1965 sebelum dini hari. Wakil Komandan
Resimen Cakrabirawa itu sedang sibuk mengawal Presiden menghadiri resepsi
penutupan Musyawarah Nasional Kaum Teknisi Indonesia di Istora, Senayan. Malam
itu, Untung juga ada di sana. Sebagai Komandan Batalyon II Kawal Kehormatan
Cakrabirawa, Untung ikut mengawal Bung Besar di ring terluar.
Dari Istora, menurut Mangil Martowidjojo, yang kala itu
Komandan Detasemen Kawal Pribadi Cakrabirawa, Bung Besar sempat pulang ke
Istana Merdeka. Sementara Maulwi pulang. Setelah berganti pakaian, menurut
cerita dari buku Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1965 (1999), Si Bung pergi lagi
dengan diam-diam, dengan memakai mobil Chrysler hitam. Mangil juga ikut serta,
jadi setelah pukul 22.00 malam hingga pagi, Mangil yang paling tahu di mana
posisi Sukarno pada malam jahanam 30 September 1965.
Sukarno dan pengawalnya terlebih dahulu singgah di Hotel
Indonesia untuk menjemput Ratna Sari Dewi, istri termudanya. Mereka menginap di
rumah Ratna Sari Dewi, Wisma Yaso, di Jalan Gatot Subroto. Tempat itu sudah
jadi Museum Satria Mandala.
Sogol, salah satu pengawal, melihat Bung Besar sudah
bangun sejak pukul 05.00 subuh 1 Oktober. Maulwi pagi itu kebingungan mencari
di mana Sukarno berada. Sejak subuh saluran telpon istana terputus. Bung sempat
ke rumah Hartini, istrinya yang lain lagi. Setelah mendapat laporan soal
raibnya petinggi Angkatan Darat, Bung Besar ke Pangkalan Udara Halim Perdana
Kusumah dan bertemu beberapa pelaku gerakan lain. Paham atau tidaknya pihak
Angkatan Udara soal G30S, pangkalan itu membuat Sukarno dan pelaku gerakan
untuk sementara terlindungi.
Lubang Buaya,
Penas, dan Rumah Anis
Sebagai Panglima Komando Tempur II, seharusnya Brigadir
Jenderal Soepardjo berada di Kalimantan. Namun, dia belum punya pasukan lengkap
untuk memimpin konfrontasi militer Dwikora di sana. Jelang 30 September, dia
terbang ke Jakarta. Di malam 30 September 1965, Soepardjo sudah berada di
Gedung Biro Pemetaan Nasional (Penas) di Jakarta Timur. Gedung itu, menurut
Heroe Atmodjo, seperti ditulis Julius Pour dalam Gerakan 30 September Pelaku,
Pahlawan dan Petualang (2010), disewa pihak Angkatan Udara Republik Indonesia
(AURI), di mana Heroe berdinas sebagai letnan kolonel penerbang.
Pihak AURI, menurut Heroe, tidak tahu menahu jika di
malam 30 September gedung itu menjadi Central Komando (Cenko) I. Selain
Soepardjo yang semula satu-satunya perwira yang mengenakan seragam militer di
sana. Selain Latief dan Soepardjo, perwira penting dalam gerakan yang ada
disitu adalah Letnan Kolonel Untung. Syam Kamaruzaman, Biro Khusus PKI, juga
ada di situ. Banyak militer yang terlibat G30S tak mengenal Syam di sana.
Sebelum di tempat itu, Untung sempat berada di Lubang
Buaya untuk memantau kerja pasukannya yang telah membawa para Jenderal Angkatan
Darat. Lubang Buaya adalah tempat akhir bagi pasukan penculik bernama Pasopati
setelah sasaran berhasil mereka ambil paksa dari rumah masing-masing.
Sementara itu Ketua CC PKI D.N. Aidit, yang dituding Orde Baru sebagai otak Gerakan 30 September 1965, dijemput juga oleh anggota komplotan dari rumahnya di Jalan Pegangsaan Barat no 4 Cikini.
“Malam itu, kira-kira pukul 21.00, Bang Amat dibawa dengan mobil oleh orang-orang yang tidak aku kenal,” aku Murad Aidit dalam Menolak Menyerah (2005).
Aidit dibawa bersama Koesno ke Wisma Angkasa di Kebayoran
Baru oleh Mayor Soejono. Perintah membawa Aidit tersebut datang dari Soepardjo.
Sopir mobil yang mebawa Aidit itu adalah Sersan Udara Muljono, yang merupakan
pengawal Soebandrio. Mereka tak berhasil menemui Marsekal Omar Dani dan
akhirnya ke Pangkalan Halim Perdana Kusumah. Aidit menginap di rumah Sersan
Udara Anis Soejatno. Rumah ini, menurut Julius Pour, dipersiapkan sebagai Cenko
II.
“Tanggal 1 (Oktober) pagi pukul jam 09.00 saya minta Mayor Udara Soejono, oleh karena Penas harus segera dikosongkan, maka saya minta untuk sementara rumah Dek Jatno, saya pinjam untuk kantor. Selanjutnya saya diperintahkan untuk pulang lebih dulu dan menyiapkan meja dan kursi. Dengan kendaraan saya berangkat pulang ke rumah di kompleks MBAU rumah nomor 14,” ujar Anis Soejatno dalam kesaksiannya di persidangan Letnan Kolonel Untung.
Lebih lanjut, Anis menyebut pelaku-pelaku yang dilihatnya
antara lain Soepardjo, Abdul Latief, Heroe Atmodjo, Untung dan tentu saja Soejono.
Ada juga orang-orang sipil yang Anis tak tahu nama-namanya. Kemungkinan adalah
Aidit dan Syam. Orang-orang ini, pada 1 Oktober 1965 itu, kemudian bertemu
Sukarno di sekitar Pangkalan Udara Halim Perdana Kusumah, yang datang untuk
mencari perlindungan karena adanya tembakan-tembakan senjata malam 30
September.
Keberadaan Sukarno di Halim pada 1 Oktober membuat banyak
orang berpikir dirinya terlibat G30S. Bagaimanapun, Halim dengan
pesawat-pesawat angkut yang ada di sana tentu lebih bisa menerbangkan Sukarno
jika keadaan Jakarta memanas dan tidak aman. Tanggal 1 Oktober 1965 nyatanya
menjadi titik balik bagi G30S yang makin berantakan dan akhirnya bubar.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan
Soeharto sedang berada di RSPAD sebelum peristiwa G30S.
Tirto.ID
0 komentar:
Posting Komentar