Oleh Nur Janti
Gerakan Rakjat Kelaparan (Gerajak) berangkat dari
penderitaan petani. Tumbuh jadi radikal dan tak berumur panjang.
Ilustrasi petani di Bantul, Yogyakarta. Foto: Fernando Randy.
PACEKLIK panjang mendera Jawa Tengah pada pergantian
tahun 1963. Hama tikus serta penyakit tanaman pun merajalela. Akibatnya,
para petani gagal panen. Penderitaan mereka akibat kelaparan dan busung lapar
masih ditambah lagi dengan kasus tepung geplek beracun yang merenggut nyawa
banyak warga Gunung Kidul.
Buruknya kondisi hidup serta kekecewaan pada pemerintah
daerah yang tak bisa mengatasi kasus tepung geplek beracun, menyulut kemarahan
masyarakat desa.
“Gunung Kidul memang gersang. Tahun-tahun itu kekeringan juga melanda Jawa Tengah. Di Klaten sampai Boyolali kondisinya cukup parah. Belum lagi serangan hama tikus. Kebetulan secara politik Gunung Kidul juga tidak lepas dari pengaruh PKI terutama lewat BTI,” kata Kuncoro Hadi, dosen sejarah UNY dan penulis buku Kronik 65, pada Historia.
Di tengah kondisi kelaparan tersebut, Partai Komunis
Indonesia (PKI) membersamai Barisan Tani Indonesia (BTI) membuat sebuah komite
yang menuntut pemberlakuan reforma agraria. Sejak disahkannya Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, PKI menjadi partai yang paling gencar
mendorong pelaksanaan reforma agraria. Maka dibentuklah komite yang dinamai
Gerakan Rakjat Kelaparan (Gerajak). Anggota Gerajak terdiri dari pamong desa,
guru, petani, dan buruh tani.
Gerajak muncul pertama kali pada Januari 1964 saat
melakukan demonstrasi di depan kantor Bupati Gunung Kidul. Demonstrasi ini
diikuti oleh 150 orang dan dipimpin oleh kepala desa Ponjong. Aksi yang
didorong rasa lapar ini tidak hanya mengajukan protes pada bupati Gunung Kidul
melainkan juga bertujuan mengganyang setan desa.
Lebih jauh, Gerajak juga melakukan intimidasi terselubung
untuk meminta barang milik orang kaya. Mereka menduduki lahan milik tuan tanah
di berbagai daerah, seperti Yogyakarta, Klaten, Boyolali, Kaliwungu, Rembang,
Sukaraja, dan Gringsing untuk dibagikan kepada petani.
“Gerajak memang bagian rentetan gerakan aktif melawan tuan-tuan tanah yang ada di wilayah Jawa Tengah,” kata Kuncoro.
Di Wonosari, Gunung Kidul, salah satu tuan tanah yang
jadi sasaran ialah Darmawijata. Sebanyak 70 petani menduduki lahan milik
Darmawijata. Niatnya, untuk dibagikan kepada para buruh tani.
Namun, makin lama aksi Gerajak makin intens pun makin
radikal. Menurut Fadjar Pratikno dalam Gerakan Rakyat Kelaparan: Gagalnya
Politik Radikalisasi Petani, aksi-aksi Gerajak ditunggangi Gerajak yang
sifatnya kriminil. Imbasnya, sulit membedakan dengan aksi-aksi Gerajak yang
sifatnya politis. PKI pun jadi setengah hati mendukung. Hal inilah yang menurut
Fajar jadi faktor kegagalan Gerajak sebagai gerakan kelas yang tumbuh di
pedesaan.
Setelah beberapa kali melakukan penggedoran ke rumah
warga yang dianggap kaya, para penggerak Gerayak ditangkap di Gunung Kidul,
Yogyakarta.
“Dukungan (moral) PKI juga dihentikan dan kemudian seperti dianggap gerakan kriminal. Entah kenapa gerakan ini seperti mengulang kembali kasus Grayak awal tahun 50-an,” kata Kuncoro.
Umur gerakan ini tak panjang. Gerayak kemudian dibubarkan
oleh PKI pada awal Februari 1964 meski tidak lenyap sepenuhnya. Buktinya pada
26 Februari 1964 sepuluh orang anggota Gerajak menggedor rumah Sokromo, tuan
tanah desa Tritisan, Gunung Kidul. Anggota Gerajak meminta bahan makanan untuk
dibagikan kepada mereka yang kelaparan meski tidak menggunakan ancaman
kekerasan.
Meski telah beraksi di berbagai tempat, para petani
miskin dan buruh tani anggota Gerajak mengalami kebimbangan sikap. Di satu
sisi, mereka terikat pada politik PKI dan BTI untuk mengganyang tujuh setan
desa dan mendorong pelaksanaan reforma agrarian. Di sisi lain, mereka
masih bergantung secara ekonomi kepada tuan tanah dan petani kaya lain.
Akibatnya,
serangan Gerajak pada tuan tanah jahat tidak bisa menyeluruh atau menjadi
gerakan petani yang terpadu melainkan hanya terjadi di beberapa desa saja dan
hanya didukung oleh sedikit orang.
Belum lagi, 6 partai politik protes pada 10 Desember
1964. Dalam deklarasi 6 partai yang terdiri atas PNI, NU, Parkindo, Partai
Katholik, PSII, dan IPKI menyatakan bahwa aksi pendudukan tanah sepihak yang
dilakukan oleh PKI dan golongannya dianggap menimbulkan perpecahan dan
mengganggu keamanan sehingga membuat Presiden Sukarno memarahi Ketua PKI Aidit.
Bersamaan dengan itu, mobilisasi massa untuk kampanye Trikora dan dilanjutkan
Ganyang Malaysia sedang digencarkan oleh Sukarno. Isu tersebut dianggap
lebih menarik dibanding persoalan politik agraria. Gerakan ini pun tidak
mendapat banyak dukungan meski di akhir tahun 1964, Sukarno buka suara.
Pada 12 Desember 1964 Sukarno menggelar
pertemuan bersama pimpinan partai politik di Istana Bogor bertujuan
membahas mengenai persoalan agraria di samping melakukan kondolidasi
partai. Dalam rapat tersebut hadir perwakilan dari PNI, NU, PKI, Perti,
Partai Indonesia (Partindo), PSII, Murba, IPKI, Parkindo, dan Partai Katolik.
Suar Suarso dalam Akar dan Dalang Pembantaian Manusia
Tak Berdosa dan Penggulingan Bung Karno menyebut rapat tersebut
menghasilkan Ikrar 4 Pasal yang dikenal dengan Deklarasi Bogor yang salah
satunya membahas sengketa tanah yang harus diselesaikan dengan musyawarah dan
pelaksanaan UUPA.
0 komentar:
Posting Komentar