40 tahun berlalu. Lukas Tumiso, bekas tahanan politik
itu, ingin kembali ke Pulau Buru.
Oleh: Andri Setiawan
Lukas Tumiso. (Youtube
Falcon).
Lukas Tumiso telah meninggalkan kamp tahanan Pulau Buru
40 tahun yang lalu. Sejak sebuah kapal membawanya menjauh dari dermaga
Pelabuhan Namlea pada Desember 1979, ia merasa kembali menjadi manusia bebas.
Tumiso ditangkap pasca peristiwa 1965 karena bergabung
dalam Resimen Mahasurya yang dianggap pro-Sukarno. Dengan kapal ADRI 10, ia
diangkut ke Pulau Buru pada April 1969. Selama sepuluh tahun, ia hidup di
pengasingan hingga dibebaskan pada 1979.
Sejak 2004, Tumiso menjalani hidup di Panti Jompo Waluya
Sejati Abadi, Jalan Kramat V, Jakarta Pusat. Di Panti yang dari tahun ke tahun
mulai sepi penghuni itu, Tumiso seringkali teringat kawan-kawannya di Pulau
Buru. Hingga pada 2016, ia kembali menginjakkan kaki ke Pulau Buru.
Pada kunjungan pertama, ia menyempatkan diri mencari
makam teman-temannya. Ia merasa miris karena makam teman-temannya ditemukan
dalam kondisi tidak terawat. Bahkan beberapa sempat tidak ditemukan.
“Makam teman-teman saya itu terletak di tengah-tengah hutan jati, di tengah-tengah padang rumput,” terang lelaki berusia 79 tahun itu.
Dari kunjungan pertama itu, Tumiso berkeinginan untuk
memperbaiki pusara kawan-kawan. Baginya, itu salah satu hal berguna yang bisa
ia lakukan di sisa hidupnya.
Tumiso pun berangkat ke Pulau Buru untuk kedua kalinya.
Kali ini, Tumiso sangat terkejut karena mendapati makam teman-temannya telah
berubah menjadi kubangan celeng (babi hutan). Hal ini membuat Tumiso
berbulat tekad untuk mengeksekusi rencananya.
Ia pun mengumpulkan teman-temannya di Jakarta dan meminta
bantuan dana. Dana terkumpul sekitar 30 juta dan ia pun berangkat ke Pulau Buru
untuk ketiga kalinya. Di Buru, ia bertemu dengan beberapa transmigran untuk
meminta izin memperbaiki makam.
“Pak ini kuburan mau saya perbaiki, pendapat bapak bagaimana?” tanya Tumiso kepada Kabul, seorang transmigran Buru.
“Lho jangan tanya saya, tanya sama penghuni,” jawab Kabul.
“Penghuninya siapa?” tanya Tumiso lagi.
“Tanya saja yang di dalam kubur. Coba sampean tanya besok dia sudah njawab,” ujar Kabul.
Tumiso pun mengikuti usulan Kabul. Keesokan harinya,
Kabul berkabar, “wonge klecang-kleceng, ngguya ngguyu, seneng (orangnya
senyum-senyum, tertawa-tertawa, senang). Eksekusi!”
Tumiso pun langsung bergegas memperbaiki makam-makam itu.
Pertama-tama, ia membuat saluran air supaya air yang menggenangi areal makam
bisa surut.
“Besok sudah ada informasi dari kubur, penghuni lepas baju kipas-kipas ngguya-ngguyu. Jadi bajunya dilepas dia tertawa-tawa,” kata Tumiso.
Selama sepuluh hari memperbaiki pemakaman, “informasi”
dari dalam kubur itu keluar. Tumiso tidak mempermasalahkan benar tidaknya
informasi itu. Baginya, hal itu adalah tanda bahwa apa yang dilakukannya itu
memiliki arti.
“Tapi apa yang dia ceritakan, satu persatu persona yang ada di sana itu adalah temen-temen saya yang satu, disruduk sapi, mati kena tanduk sapi, ada yang tenggelam, ada yang minum racun, itu muncul semua,” jelasnya.
Pasca perbaikan makam teman-temannya itu, Tumiso
berpikir untuk memperbaiki makam dari unit lain.
“Kalau hanya teman saya yang saya perbaiki makamnya betapa jeleknya nama saya,” kata laki-laki yang dulu menghuni unit 3 bersama Pramoedya Ananta Toer itu.
Kali ini, untuk menjalankan keinginannya, Tumiso berharap
bisa sekaligus tinggal di Pulau Buru.
“Akan lebih baik kan kalau kuburan teman-teman saya perbaiki semua dengan catatan saya tinggal di sana. Secara fisik saya masih mampu,” ujarnya.
Menurut Tumiso, terdapat 23 titik lokasi pemakaman tapol
di Pulau Buru. Beberapa lokasi yang dekat dengan penduduk transmigran masih
terawat, sedangkan pemakaman yang berada jauh di padang rumput dan hutan
kondisinya sangat memprihatinkan.
Kini, ia tengah mempersiapkan proposal pembiayaan
beternak sapi di Pulau Buru yang hasilnya akan digunakan untuk memperbaiki
makam dan hidup sehari-hari di sana.
Di Panti Jompo yang diresmikan Presiden Abdurrahman Wahid
itu, ia bersemangat menjelaskan tentang jenis sapi apa yang akan ia ternak,
tentang menanam rumput untuk pakan di tebing sungai sekaligus untuk mencegah
erosi, serta tentang memanfaatkan jerami yang melimpah pasca panen. Bahkan ia
sudah menghitung kebutuhan asupan garam sapi-sapinya nanti.
Tumiso lalu juga bercerita tentang menanam cabai, tomat,
terong, mentimun hingga soal mengolah pohon-pohon kelapa yang sudah tua.
“Ambisius ya?” ujarnya tak butuh jawaban. Lukas Tumiso benar-benar ingin kembali ke Pulau Buru.
0 komentar:
Posting Komentar