Pengantar
Berikut disajikan karya seorang ilmuwan Barat, R. Kreutzer. Meski data dan
analisanya belum lengkap dan sempurna, seperti diakui sendiri oleh penulisnya,
tapi cukup berguna untuk dipelajari serta memperluas pengetahuan. Paling tidak
agar tahu duduk perkara yang sesungguhnya mengenai “Peristiwa Madiun”.
Tulisan R. Kreutzer berjudul, “Hal Ihwal yang Mendahului
(Voorspel) Peristiwa Madiun”, ini terdiri tujuh sub-judul, yakni:
I. Jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin. FDR ambil sikap
oposisi,
II. Politik rasionalisasi Hatta,
III. Perjuangan sekitar Program Nasional,
IV. Pemogokan kaum buruh perkebunan Delanggu,
V. Permasalahan Suripno dan hubungan luar negeri RI,
VI. Kembalinya Musso dan pembentukan FDR,
VII. Solo dan Madiun.
Pada kesempatan ini saya pilihkan bahasan tentang Solo
dan Madiun. Semoga bermanfaat.
Keterangan foto: Tampilan khasnya mengenakan baret hitam dan selalu menyandang senapan Karabin M1. Letkol. Suadi Suromihardjo menjabat komandan pasukan kawal Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Solo dan Madiun
(1)
Setelah kejadian pada dua minggu terakhir sebelum Peristiwa Madiun yang tanggalnya jatuh 18 September 1948, dapat dibaca secara jelas dan dirangkaikan baik sekali dalam satu ulasan dari DC Anderson berjudul: “The military aspects of the Madiun Affaire” [44]
Suatu pemandangan ringkas tentang fakta-fakta terdapat
dalam brosur yang diterbitkan oleh PKI pada awal tahun 1950-an dengan judul
“Buku Putih tentang Peristiwa Madiun”. Ada orang yang mengatakan, bahwa brosure
tersebut telah mengungkapkan affair itu secara berat sebelah. Sumber ketiga
yang penting juga adalah keterangan-keterangan yang diberikan oleh Sumarsono
tertanggal 11 November 1949 – Sumarsono dari Pesindo pada tanggal 18 September
menjabat sebagai Gubernur Militer Madiun – dan rangkaian catatan dari Suripno
yang ditulisnya dalam bulan Desember 1948 di dalam penjara Solo, dekat sebelum
pelaksanaan eksekusinya. [45]
Pada pekan-pekan sebelum 18 September percaturan politik
bergerak cepat laksana arus deras air sungai. Sementara sebagian para pemimpin
FDR melakukan perjalanan keliling untuk berpropaganda di Jateng dan Jatim
mengenai cita-cita FDR/PKI di bawah pimpinan Musso, bagian yang lainnya tinggal
di Yogyakarta untuk mengajak pimpinan PNI dan Masyumi membentuk suatu
Pemerintahan Nasional, dimana turut serta duduk wakil-wakil FDR/PKI.
Dalam kenyataannya situasi yang sedang dihadapi oleh
FDR/PKI agak kacau. Proses penyatuan organisasinya sebenarnya belum terwujud.
Hal itu dalam perencanaan baru akan terjadi pada suatu Kongres Penyatuan (fusi)
pada tanggal 1-3 Oktober 1948. Dalam beberapa jajaran baik dari PBI maupun
Partai Sosialis masih ada penentangan terhadap keputusan-keputusan dari
Konferensi PKI tertanggal 26 dan 27 Agustus yang lalu – umpamanya di
Bojonegoro, Jatim.
Dalam waktu-waktu tersebut di atas telah terjadi juga
beberapa pertempuran bersenjata kecil-kecilan antara unsur-unsur pro-Hatta
berupa kesatuan tentara di satu pihak dengan kelompok-kelompok bersenjata
pro-FDR di pihak lain. Ternyata bahwa tentara resmi Republik, TNI yang dibantu
oleh kelompok Trotskis Tan Malaka dan pasukan-pasukan laskar yang pro-Masyumi,
secara tidak nyata telah memulai melucuti pasukan-pasukan militer “kaum kiri”
dan beberapa kesatuan TNI. Juga bertamabh sering terjadi penculikan atau
pembunuhan atas perwira-perwira yang berhaluan kiri. Berikut ini beberapa
contoh:
Sejak permulaan September pemerintah Hatta menyingkirkan
makin banyak perwira-perwira pro-PKI dari jabatan-jabatan kunci pasukan tetap
TNI [46].
Brigade Polisi Bojonegoro yang dipimpin seorang anggota
Partai Sosialis bernama Asmaun, atas perintah Pemerintah Hatta dilucuti oleh
Brigade Polisi Umum Jatim. Atas ihwal ini pihak FDR/PKI membalas dengan
perlucutan senjata beberapa kesatuan dari Brigade Polisi Umum. [47]
Pada tanggal 1 September 2 anggota pimpinan PKI Solo –
Slamet Wijaya dan Pardio diculik. Mereka dipindahkan ke basis tentara di
Tasikmadu dan di sana mereka diperiksa secara dikonfrontasi dengan saksi yang
diperas ialah keterangan-keterangan tentang rahasia Partai di Solo. [48]
Tanggal 7 September hampir semua perwira dan sejumlah
prajurit dari Tentara Laut RI di bawah Komando Yadau (TLRI Brigade Marine)
diculik dengan tipu muslihat yang amat licik. Mereka dipindahkan ke suatu basis
Siliwangi di dekat Srambatan [49].
Kemudian mereka dipindah lagi ke suatu tempat yang oleh
Pemerintah Hatta telah disediakan secara khusus, hingga merupakan kamp
interniran, di dekat Yogyakarta. Dengan demikian cukuplah bukti nyata bahwa
Siliwangi maupun Pemerintah Hatta benar-benar terlibat dalam tindak kejahatan
penculikan dan pembunuhan.
Tanggal 9 September, Suadi, penerus dari Sutarto, sebagai
Komandan Senopati, mendapatkan izin dari Panglima Besar Sudirman untuk
mengadakan pelacakan (penyelidikan) yang cermat tentang perbuatan penculikan
dan pembunuhan yang terjadi. Akan tetapi baru saja pelacakan itu dimulai,
perwira-perwira yang ditugaskan untuk itu, lagi-lagi diculik.
Suharman hilang tanpa meninggalkan jejak, dan Letkol.
Sumarto diculik serta dibawa ke basis dekat Srambatan. Komandan Senopati,
Suadi, menghendaki kembalinya Sumarto dan mengirim ultimatum kepada kesatuan
Siliwangi di Srambatan.
Sejenak sebelum berlakunya ultimatum itu, seorang perwira
dari ALRI, yakni Mayor Laut Sutarno diutus ke Srambatan untuk menerima jawaban.
Tetapi sewaktu tiba di tempat, ia ditembak mati. Segera sesudah itu beberapa
kesatuan Senopati menyerang basis Srambatan. Dan baru setelah ada desakan dari
Panglima Besar Sudirman terjadi perletakan (gencatan) senjata. [50]
Gerombolan Trotskis Tan Malaka melakukan provokasi secara
beruntun. Dalam beberapa pidato, misalnya pidato Rustam Efendi tanggal 5
September 1948, para pemimpin FDR/PKI dicaci maki sebagai “komunis-komunis
Wilhelmina” dan “penjual-penjual tanah air”. Mereka memalsukan dokumen-dokumen
PKI dan kemudian mencetak “bukti-bukti PKI mempersiapkan kup”.
Pada tanggal 8 malam 9 September mereka menyerbu ke dalam
Markas Dewan Pusat Pesindo di Solo, dan mengangkut seluruh arsip Pesindo.
Sebagai pembalasan perbuatan itu, sekelompok anggota FDR/PKI disangka telah
menculik seorang pemimpin dari golongan Trotskis Tan Malaka, yaitu Dr. Muwardi.
Tatkala Dr. Muwardi tidak segera dibebaskan, gerombolan Trotskis sekali lagi
menggempur Markas DP Pesindo.
Tanggal 13 September 1948, sejumlah anggota Pesindo di
Blitar ditangkap oleh Pasukan Pemerintah. Dan pada hari yang sama diadakan apa
yang dinamakan “aksi pembersihan” di kawasan Nganjuk, sebuah kota kecil di
sebelah timur Madiun, oleh sebuah kesatuan militer di bawah komando Suhud,
seorang penganut yang berapi-api dari rasionalisasi Hatta.
Masih ada lagi beberapa contoh yang dapat dikemukakan
untuk membuktikan dengan jelas bahwa Pemerintah Hatta sudah mulai dengan cepat
untuk menggergaji kaki-kaki kursi militer PKI.
Anderson melukiskan dalam karya tulisannya, bagaimana
caranya dengan tekanan para perwira Siliwangi yang bernyala-nyala antikomunis,
dan Nasution mengubah rencana Panglima Besar Sudirman yang berkaitan dengan
sengketa Solo.
Semula ia bermaksud akan menarik Pasukan Siliwangi dari
Solo dan daerah sekitarnya, dan seluruh wilayah termasuk kota Solo, kemudian
akan diserahkan kepada Divisi Senopati. Akan tetapi di bawah tekanan berat dari
Nasution serta rekan-rekannya yang sepaham, akhirnya Sudirman secara total
mengubah pendiriannya dan malah memutuskan menetapkan mengangkat Kolonel Gatot
Subroto (bekas Sersan Mayor KNIL) yang pro-Siliwangi sebagai Gubernur Militer
Solo dan daerah sekitarnya.
Gatot cukup dikenal dengan wataknya yang keras, yang
terbentuk selama dalam tentara zaman penjajahan sebelum perang. Dia sebelumnya
menjabat sebagai Direktur Corps Polisi Militer (CPM).
Dalam kenyataannya oposisi golongan kiri terhadap
Pemerintah Hatta telah menderita kekalahan berat yang mengenai segi terpenting.
Bahkan pada saat sebelum dimulainya pertempuran di medan laga. Kubu pertahanan
terakhir yang kuat dari FDR/PKI adalah Madiun, setelah Yogya dan Solo, kota
terbesar ketiga yang tinggal di bawah kontrol Republik Indonesia.
Batavia (Jakarta) dan Surabaya, sudah jatuh ke tangan
Belanda yang telah kembali di Indonesia. Akan tetapi terpengaruh oleh peristiwa
Solo, kedua belah pihak membuat persiapan lebih jauh untuk menghadapi
pertarungan yang menentukan... (Bersambung)
Martin L: De
Madioen Affair dalam sub-judul Het Proces van de Madioen Affair, hlm. 5
menyebutkan aksi terjadi pada tengah malam antara tanggal 18-19 September 1948.
Menurut kesaksian Soemarsono pada saya, aksi tersebut dilakukan pada pukul
02:00 dinihari (sudah tanggal 19 September 1948).
Soemarsono menjabat Gubernur Militer Madiun pada tanggal 24 September 1948 (de Madioen Affair, hlm 7). Di dokumen tsb dituliskan susunan Front Nasional Daerah Madiun sebagai berikut:
1. Harjono ketua komite Front Nasional Daerah Madiun
2. Soemarsono, gubernur militer Madiun
3. Djokosujono, komandan militer Madiun
4. Muntalip, residen Madiun
5. Oesman, walikota Madiun
6. Sugeng, bupati Madiun
7. Suharjo, bupati Ponorogo
8. Machsudun Sati, bupati Magetan
9. Ngabdu, bupati Ngawi
10. Hutomo Ramelan, bupati Pacitan
Soemarsono menjabat Gubernur Militer Madiun pada tanggal 24 September 1948 (de Madioen Affair, hlm 7). Di dokumen tsb dituliskan susunan Front Nasional Daerah Madiun sebagai berikut:
1. Harjono ketua komite Front Nasional Daerah Madiun
2. Soemarsono, gubernur militer Madiun
3. Djokosujono, komandan militer Madiun
4. Muntalip, residen Madiun
5. Oesman, walikota Madiun
6. Sugeng, bupati Madiun
7. Suharjo, bupati Ponorogo
8. Machsudun Sati, bupati Magetan
9. Ngabdu, bupati Ngawi
10. Hutomo Ramelan, bupati Pacitan
Tentang para komandan batalyon TLRI yang diculik. Dari Brigade VII dibawah komando Letkol Ahmad Yadau ada 3 orang: Mayor Esmara Sugeng, Kapten Sutarto dan Kapten Suradi. Dari Brigade VIII dibawah komando Letkol Sujoto, 2 orang: Kapten Sapardi dan Kapten Mulyono. Tanggal 13 September 1948, Overste Suadi menugaskan Mayor Sutarno, salah seorang komandan batalyon dalam Brigade Yadau untuk berunding dengan Kompi Lukas, dari Batalyon Rukman di Srambatan. Ketika turun dari truk, Sutarno bersama sejumlah pengawalnya gugur dihujani tembakan dari markas Kompi Lukas. Praktis, Yadau kehilangan 4 komandan batalyon. Yang tersisa seorang komandan batalyon, Kapten Achyat Marjono, yang tidak lain adik kandung Yadau. Inilah yang memicu kemarahan Yadau sehingga menyerang Siliwangi di Solo. Belakangan, Komandan Militer Kota Mayor Slamet Riyadi mendapat informasi bahwa 3 batalyon Siliwangi secara diam-diam memperkuat markas Kompi Lukas pada pagi hari tanggal 13 September 1948. (Kesaksian A. Lukito, putera Ahmad Yadau)
0 komentar:
Posting Komentar