Natalia Bulan Retno Palupi
Selasa, 17 September 2019
21:45 WIB
Vannessa Hearman dari Museum Brawijaya (Historia ID)
Tentara menangkap tahanan PKI dalam Operasi Trisula
Pembantaian massal terhadap orang-orang PKI salah satunya
di lakukan di Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah
TRIBUNNEWSWIKI.COM - Tragedi kemanusiaan
peristiwa Gerakan 30 September 1965 / G30S 1965 menyisakan
luka yang mendalam bagi mereka yang terlibat baik sebagai pelaku maupun korban.
Merespon peristiwa G30S, hadir kebijakan
pemberantasan terhadap orang-orang dari Partai
Komunis Indonesia (PKI) dan para simpatisannya yang menyulut konflik
sosial di Jawa dan Bali hingga menyebar ke daerah-daerah di seluruh Indonesia.
Seusai kejadian G30S, konflik yang berujung pembunuhan terjadi
di daerah-daerah di seluruh Indonesia.
Salah satunya adalah pembantaian terhadap anggota
dan yang tertuduh PKI di Grobogan, Purwodadi, Jawa
Tengah.
Kisah pembantaian massal di Purwodadi pada
mulanya sempat diungkapkan oleh Poncke Princen, yang kemudian diikuti oleh
beberapa penelitian lain, seperti sejarawan Bonnie Triyana.
Tribunnewswiki.com kutip dari Liputan Khusus Tempo edisi
1-7 Oktober 2012, 'Pengakuan Algojo 1965'.
Informasi yang dituliskan telah terlebih dahulu dilakukan
verifikasi melalui beberapa sumber.
Selain itu juga telah dilakukan pengecekan apakah benar
pelaku atau orang yang sekadar ingin dicap berani.
Privasi narasumber tetap diutamakan.
Pencantuman nama seseorang diperoleh melalui izin atau
berita yang telah memperoleh izin.
Beberapa orang yang tak ingin disebut namanya, maka akan
dicantumkan inisial.
Sedangkan foto yang terpampang adalah mereka yang telah
memberikan izin gambar untuk diketahui publik luas.
Tidak ada niatan untuk membuka aib atau menyudutkan
orang-orang yang terlibat.
Tribunnewswiki.com tidak mengubah beberapa
pernyataan individu untuk menjaga otentisitas sumber.
Usaha Pembuktian Poncke Princen
Pembantaian massal di Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah menjadi
narasi sejarah yang komprehensif.
Adapun kebenaran adanya peristiwa tersebut sempat
diungkapkan oleh Poncke Princen, Bonnie Triyana dan kesaksian sumber lain yang
dimiliki oleh Tempo.
Dalam narasi yang dibuat Tempo, dilaporkan bahwa pada
tahun 1969, sore hari sebuah Chevrolet Impala datang di Desa Kuwu,
Kecamatan Kradenan, Grobogan, Jawa Tengah.
Mobil tersebut ditumpangi beberapa pejabat serta satu
warga asing yang langsung memasuki kantor kecamatan.
Warga asing tersebut bernama Poncke Princen aktivis
hak hak asasi manusia yang pertama kali menyatakan adanya pembantaian
2.000-3.000 anggota Partai
Komunis Indonesia di seluruh Grobogan.
Poncke Princen datang bersama Panglima Angkatan Darat
Jenderal Maraden Saur Halomoan Panggabean dan Menteri Penerangan Budiardjo.
Kedatangan militer dan pemerintah melalui Menteri
Penerangan saat itu bermaksud mengklarifikasi kebenaran pernyataan dari
Princen.
Dari kantor kecamatan, rombongan tersebut meluncur ke
sebuah kamp tahanan di dekat balai desa.
Seorang saksi mata (seperti dilaporkan Tempo) berujar
bahwa sebelumnya, bangunan itu hanyalah gudang beras milik Ang Kwing Tian.
"Militer lalu meminjamnya untuk tempat penahanan orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI," ujar salah seorang saksi.
Sesampainya di kamp tahanan, rombongan tidak
berhasil membuktikan adanya indikasi pembantaian massal, karena jumlah tahanan masih
sama dengan data yang tertulis.
Diberitakan beberapa hari kemudian, ternyata pembuktian
yang dilakukan militer dan pemerintah adalah tidak benar.
Sebelum rombongan tersebut datang, kamp tahanan tersebut
sebenarnya nyaris kosong.
Hal itu disebabkan karena sebagian besar sudah dieksekusi
oleh mereka yang tergabung dalam milisi Pertahanan Rakyat (Hanra) Inti, yang
merupakan anggota Hanra terlatih.
Agar jumlahnya kembali sesuai dengan daftar orang yang
ditangkap, pihak tentara kembali menangkapi orang, untuk memanipulasi kebenaran
berita yang dibawa oleh Poncke Princen.
"Kali ini yang ditangkap bukan orang-orang PKI, melainkan pengagum Sukarno, yang sering disebut Sukarnosentris," ujar saksi mata tersebut
Meskipun Princen gagal untuk membuktikan pembantaian
seperti yang dituduhkannya saat itu, namun kedatangan mobil tersebut membawa
perubahan di desa tersebut.
Suwito seorang warga sekitar berkomentar perihal
pengalamannnya menyaksikan tahanan politik ditangkap.
"Sebelumnya, setiap pukul tiga pagi selalu ada tahanan masuk ke kamp, kemudian siangnya dibawa entah ke mana dan menghilang," kata Suwito, warga daerah Kuwu, Grobogan, Jawa Tengah
Setelan kamp tersebut dibubarkan, tahanan disebar ke
tempat lain, dan ketegangan di desa tersebut berangsur terurai.
Sebelum dilakukan pembuktian, Princen mendapat kabar
pembantaian itu dari Romo Wignyo Sumarto, seorang pastor di ibu kota
Kabupaten Grobogan, Purwodadi.
Romo bercerita banyak ihwal orang-orang yang ditangkap
kemudian dibunuh dalam operasi pembersihan PKI di Grobogan, Purwodadi yang
dikenal dengan nama Operasi Kikis I dan II, pada 1967-1968.
Romo mendengar sendiri hal cerita tersebut dan terdapat
pula pengakuan penjaga kamp-kamp tahanan di sebelah timur Semarang.
Dalam kesaksiannya, Romo menuturkan bahwa orang yang
ditangkap kemudian dibunuh dengan cara dipukul di bagian kepala menggunakan batangan
besi.
Hal itu disampaikan Princen dalam biografinya yang
berjudul Kemerdekaan Memilih (seperti yang dikutip Tempo).
"Ini dilakukan pada malam hari setelah kereta api Yogya lewat," ujar Princen.
Beberapa hari setelah Princen mengungkapkan cerita mengenai
pembantaian PKI kepada pers, Panglima Kodam VII/ Diponegoro Mayor Jenderal
Surono membuat bantahan.
Dia mengatakan apa yang disampaikan Princen adalah bentuk
perang urat saraf yang dilancarkan PKI dalam rangka menggagalkan Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita), yang sedang dilakukan pemerintah Orde Baru.
Kisah Pembantaian
Massal di Purwodadi
Dalam bukunya, Princen juga menuturkan bahwa salah satu
anggota milisi Hanra Inti, bernama Mamik, menceritakan itu dalam pengakuan
dosanya.
Mamik menyatakan telah membunuh 50 orang hanya dalam
semalam.
Kesaksian Romo Wignyo ini kemudian diungkap Princen
kepada pers nasional dan internasional.
Diakui olehnya, bahwa Henk Kolb, wartawan harian Belanda,
HaagscheCoumnt, menjadikan cerita itu sebagai acuan investigasinya.
Dalam laporannya (seperti yang dilaporkan Tempo), Kolb
menyebutkan terdapat tujuh tempat pembantaian atau kuburan massal.
Tempat itu berada di Desa Simo (300 mayat yang terkubur),
Desa Cerewek (25), Desa Kuwu (100), Desa Tanjungsari (200), Desa Banjarsari
(75), Grobogan (50),
dan Pakis (100 mayat).
Sedangkan untuk tempat kamp penahanan, yang paling besar
adalah gudang beras milik Ang Kwing Tian.
Sementara tahanan yang ditangkap berasal dari berbagai
tempat.
"Demikian pula dengan satu regu Hanra Inti yang bertugas jaga di situ," ujar salah satu sumber Tempo yang menjadi asisten petugas kesehatan di kamp tahanan.
Dilaporkan bahwa di kamp tersebut tahanan mengalami
siksaan luar biasa, dari pukulan hingga sengatan listrik.
Tidak jarang juga, para tahanan hampir gila lantaran
siksaan tersebut.
Pada waktu malam, terkadang para anggota Hanra Inti
mengeluarkan sedikitnya 20 tahanan.
Para tahanan kemudian diangkut dengan truk ke suatu
tempat.
Di lokasi tersebut, dilaporkan para tahanan dieksekusi
dengan cara dipancung atau dipukul tengkuknya dengan besi.
Kisah Pembantaian
Massal di Purwodadi:
Kesaksian Sugin
Penduduk setempat juga menyebut tempat pembantaian
terhadap orang-orang PKI terletak di hutan Gundih di luar Desa Kuwu.
Mereka mengetahui bahwa hutan jati tersebut adalah tempat
eksekusi lantaran tanpa sengaja algojo meninggalkan satu potongan kepala yang
lupa dikubur.
Seorang petani bernama Sugin, (kesaksian diberikan kepada
sejarawan Bonnie Triyana yang dikutip Tempo), mengakui pernah melihat langsung
seseorang yang kepalanya dipukul besi hingga tewas.
Sugin berujar bahwa mayat korban langsung dikubur di
tempat dan di atasnya ditanam pohon pisang.'
Kisah Pembantaian
Massal di Purwodadi:
Penangkapan Sugeng
Maskun Iskandar, seorang wartawan Harian Indonesia Raya
pernah melaporkan kejadian pembantaian massal di Grobogan.
Ia menyebutkan bahwa razia terhadap PKI di Purwodadi diawali
dengan penangkapan seseorang bernama Sugeng.
Sugeng ditangkap karena ia dilaporkan sering merampok.
Dalam pemeriksaannya, Sugeng berujar bahwa PKI
dianggapnya sedang giat membentuk Tentara Pembebasan Rakyat.
"Berdasarkan keterangan awal itulah pembersihan terhadap PKI dilakukan," ujar Maskun.
Bonnie Triyana (seperti yang dikutip Tempo) memiliki
pandangan berbeda terkait pembantaian massal di Purwodadi, Jawa Tengah.
Bonnie menyatakan bahwa terdapat perbedaan atas
pembantaian di Jawa Timur yang melibatkan masyarakat secara sukarela, sedangkan
di Grobogan tentara
langsung memberi komando kepada elemen masyarakat.
Senada dengan pernyataan Bonnie, Princen juga berujar
bahwa tentara langsung melakukan komando terkait penumpasan anggota PKI
"Lebih baik kalian (masyarakat) membersihkan (komunis) sendiri daripada saya yang membersihkannya," kata Komandan Kodim 0717 Purwodadi Letnan Kolonel Tedjo Suwarno, seperti dikutip Princen.
Princen menganggap bahwa apa yang dilakukan Tedjo
sebenarnya merupakan perintah atasannya.
Kedua argumen tersebut juga mirip dengan sumber yang
dimiliki oleh Tempo.
Bahwa terdapat radiogram langsung dari Panglima Kodam
VIl/ Diponegoro Mayor jenderal Surono, yang meminta Kodim 0717 melakukan
operasi pembersihan PKI.
"Operasi pengamanan ini tentunya berbentuk penangkapan dan pembantaian itu," ujar saksi yang dimiliki Tempo tersebut.
Pembuktian bahwa militer menjadi komando utama atas
pembersihan orang-orang PKI terbukti (seperti dilaporkan Tempo).
Hal tersebut terlihat dari ditemukannya perintah dari
pusat yang tertuang dalam memori intelijen serah-terima jabatan Kepala Staf
Kodam Diponegoro tertanggal 23 Juli 1968.
Memori intelijen ini secara terang-terangan menyebutkan
jumlah anggota PKI yang telah ditangkap dalam Operasi Kikis II, terdiri dari:
172 orang klasifikasi A, 248 orang klasifikasi B, dan 472 orang klasifikasi C.
"Biasanya yang klasifikasi A itu yang kategorinya berat dan pasti dihabisi," kata saksi yang dimiliki Tempo.
--
Sumber:
Liputan Khusus Tempo, 1 - 7
Oktober 2012 "Pengakuan Algojo 1965"
0 komentar:
Posting Komentar