Senin, 10 September 2018 |
10:30 WITA
1. Siswa SMP Sudah
Ikut Berpolitik di GSNI atau IPPI
Gerakan 30 September 1965 atau dikenal dengan G30S PKI
merupakan satu noda kelam perjalanan sejarah Indonesia. Trauma ideologi komunis
sangat terasa akibat peristiwa itu. Jejak sejarah kelam Bangsa Indonesia ini
juga dapat dilihat di Pulau Bali.
Salah satu kesaksian sejarah kelam peristiwa G30S PKI
ini, antara lain ditulis mantan jurnalis Putu Setia dalam Buku "Wartawan
Jadi Pendeta, Otobiografi Putu Setia". Setelah menjadi pendeta Hindu, Nama
Putu Setia berganti menjadi Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda dan akrab disapa
Mpu Jaya Prema.
Dalam salah satu Bab buku ini, Putu Setia mengulas secara
detail tentang sejarah kelam peristiwa G30S PKI, khususnya di wilayah
tempat tinggalnya waktu itu, yakni di wilayah Kabupaten Tabanan.
Tahun 1964, Putu baru duduk di bangku kelas satu SMP di
Bajera Tabanan. Di sekolahnya waktu itu Putu Setia termasuk murid yang cerdas,
terutama di mata pelajaran ilmu ukur dan aljabar.
Sekitar bulan Oktober ada perubahan di sekolahnya. Datang
seorang guru pindahan dari Flores yang waktu itu disebut "guru
bantuan". Dia orang Bali dari Desa Dukuh Palu. Siswa sekolah memanggilnya
Pak Dedeh.
Pak Dedeh mendapat tugas meningkatkan status SMP Gotong
Royong Bajera menjadi sekolah negeri. Di awal Desember 1964, status SMP Gotong
Royong Bajera menjadi SMP Negeri dan Pak Dedeh menjadi Kepala Sekolah. Kepala
sekolah sebelumnya, Wiranata, yang merupakan Ketua PNI Koordinator Kecamatan
juga berhenti. Beberapa guru juga berhenti karena ada guru negeri yang datang.
Kepala Sekolah yang lama sesekali datang mengumpulkan
murid-murid saat jam istirahat. Dia banyak memberi wejangan tentang
situasi politik negara saat itu. Yang banyak diberikan adalah soal Nasakom
(Nasional Agama Komunis).
Saat itu, ada dua guru swasta dari unsur komunis (PKI)
yang masih dipertahankan di sekolah tersebut. Kedua guru PKI itu berasal dari
Antosari, satu kilometer dari Bajera.
Pak Wiranata juga meminta siswa-siswa terjun ke politik
menjadi anggota organisasi underbow partai baik itu GSNI (Gerakan Siswa
Nasional Indonesia) yang berafiliasi ke PNI, atau gabung ke IPPI (Ikatan Pemuda
Pelajar Indonesia) yang berafiliasi ke PKI. Waktu itu Putu Setia memilih GSNI
karena warga Pasek di kampungnya semuanya PNI.
Putu Setia akhirnya aktif di GSNI. Ia ikut berbagai
kegiatan GSNI di wilayah Tabanan. Di SMPN Bajera, Putu Setia menjadi pengurus
GSNI bersama rekannya Wiastra. Putu juga sering dilibatkan dalam berbagai
kegiatan di PNI mulai ceramah-ceramah, latihan silat dan vokal grup.
Situsi politik saat itu sangat meriah dengan ceramah dan
pentas kesenian berlabel partai. Putu sering ke kantor PNI Koordinator
Kecamatan yang letaknya dekat SMP tempat ia sekolah. Di sana Putu membaca
buku-buku politik.
Di luar sekolah, Putu juga aktif mengikuti ceramah
bersama masyarakat Brembeng. Waktu itu tiada hari tanpa ceramah. Jago-jago
pidato dari PNI waktu itu adalah Wedastra Suyasa, Ketua PNI Bali, Sutamba,
Weda, dan lainnya. Sementara dari PKI yang diandalkan adalah Anak Agung Denia,
Ketua PKI Propinsi Bali yang tinggal di Negara.
Dalam acara-acara ceramah, Putu Setia muda suka
mendengarkan pidato, kesenian janger dan vokal grup. Syair janger PKI waktu
itu: "sret...sret... sret...tok...tok...tok...tokkk.
Sama rata sama rasa". Ketika
berteriak sret.. mereka memperagakan
menyabit rumput, ketika berteriak "tok.."
mereka memperagakan memukul palu, seperti lambang PKI yakni palu dan arit.
Sedangkan janger PNI pasti ada: "egol...egol..egol...marhaen menang, Pancasila Jaya".
Saat berteriak egol egol mereka
memperagakan sapi yang menyeruduk lawannya. Sapi segi tiga adalah lambang
PNI.
Perang Pidato, perang janger, perang vokal grup yang
awalnya hanya ada di panggung-panggung kampanye, berubah menjadi
"perang" benaran di arena kampanye hingga di luar kampanye. Sering
terjadi perkelahian di area terbuka karena ada kelompok yang mengacau.
Akhirnya setiap partai mempunyai semacam pasukan khusus
dengan nama berbeda-beda. Di Kecamatan Bajera satuan khusus pengamanan PNI
dipegang oleh Gastam. Di wilayah Pupuan, satuan pengamanan partai PNI dipegang
Banteng Marhaenis (BM) yang juga merupakan perkumpulan silat.
Sementara di lingkungan PKI, pengamanan Partai langsung
dipegang Pemuda Rakyat (PR) dengan menggunakan pakaian khusus.
2. Situasi Politik
Gawat, Sekolah Ditutup
Pasca 1 Oktober 1965, suasana di wilayah Bajera dan
sekitarnya mulai memanas. Pak Dedeh, Kepala Sekolah Putu meminta murid agar
tenang. Pak Dedeh juga melarang kegiatan "kampanye" di jam istirahat.
Pak Dedeh menjelaskan situasi di Jakarta tidak menentu.
Warung tempat berkumpul orang-orang PKI di Desa Brembeng
dirobohkan massa. Selain itu, sekitar sepuluh rumah orang PKI juga dirobohkan
massa. Rumah dirobohkan oleh massa PNI dari luar Desa Brembeng. Sedangkan massa
PNI Desa Brembeng menghancurkan rumah orang PKI di desa lain.
Di bangku sekolah, suasana juga ikut memanas. Mulai
terjadi gesekan antara siswa simpatisan GSNI (afiliasi PNI) dan IPPI (afiliasi
PKI). Ketegangan kecil terus berulang di sekolah Putu.
Ketegangan akhirnya terasa dimana-mana. Tentara mulai
banyak datang dan ditempatkan di rumah kosong di sebelah kantor PNI. Sekolah
tetap seperti biasa, tapi murid mulai jarang terutama yang dikenal sebagai
pentolan IPPI.
Di malam hari, orang-orang PNI bergerombol di jalanan
bahkan tidur di jalan. Mobil sudah jarang sekali terutama di malam hari. Cerita
pembunuhan PKI di desa lain terus beredar. Dan di suatu pagi, Putu melihat
sendiri orang sekarat berlumuran darah yang akan dibawa ke markas tentara di
dekat kantor PNI.
Hari-hari berlalu dengan ketegangan. Mobil umum sudah
jarang yang lalu lalang. Kebanyakan mobil jip tentara. Ada yang membawa orang
diborgol, ada yang sudah babak belur, dan ada yang sudah nyaris meninggal
dunia. Orang-orang PKI yang kena "garis" dikubur (ditimbun) secara
sederhana.
Suatu pagi, Putu melihat remaja sebayanya tergeletak di
depan rumah yang ditempati tentara. Ternyata remaja yang sekarat itu adalah
murid SLUB dari IPPI (afiliasi PKI) yang suka berpidato dalam acara
"kampanye" di sekolah. Dua orang tentara kemudian menggotong siswa
yang sekarat itu dan melemparkannya ke atas mobil jip. Jip kemudian bergerak ke
arah barat menuju pantai untuk "membuang" anak itu.
Situasi semakin gawat. Pemerintah memutuskan menutup
sekolah. Murid-murid dikembalikan ke orang tua masing-masing. Putu Setia
kemudian pulang ke rumahnya di Desa Pujungan dengan menumpang truk. Di Desa
Ampadan, truk distop tentara. Dua tentara masuk memeriksa surat-surat.
Penumpang truk semua ketakutan.
"Ini siapa? PKI apa Marhaen?" ujar tentara menujuk penumpang.
"Ini penduduk desa saya," ujar Putu.
Tentara akhirnya mengijinkan truk dan penumpang lewat.
Truk berjalan, rasa takut penumpang hilang. Dua penumpang lelaki dalam truk
memeluk Putu dengan haru.
3. Pembantaian di
Pujungan November 1965-Januari 1966
Tak jauh dari rumah Putu di
Pujungan, dibangun posko. Pemuda yang datang ke posko berpakaian ala militer,
pakai sabuk kopel tentara dan memakai baret hitam. Di baretnya ada tulisan BM
(Banteng Marhaen) dan gambar banteng segi tiga. Setiap hari posko dipenuhi
orang. Di malam hari, Putu ikut bergadang, istilahnya waktu itu untuk menjaga
kawasan dari serangan balik komunis. Isu yang dibawa tentara waktu itu PKI akan
menyerang balik dan membunuh tokoh-tokoh Marhaen.
Suatu pagi, Putu mendengar dari ibunya ada 14 orang PKI
yang diangkut tentara dengan truk. Salah satu orang yang diangkut ke truk,
masih ada hubungan saudara dengan Putu, diangkut tentara karena dilaporkan
sebagai simpatisan Buruh Tani Indonesia (BTI).
Saat di jalan raya, Putu melihat ada iring-iringan orang
berjalan menuju kuburan. Orang terdepan tangannya diborgol dan dikawal pemuda
BM. Ada yang membawa parang, ada yang membawa arit Ansor (clurit).
Orang yang dibawa ke kuburan adalah orang yang "kena
garis". Dia adalah "tokoh" PKI dari Tibudalem. Orangnya tinggi
besar, tapi wajahnya sudah kuyu, matanya layu, hanya mengenakan kain dan baju
kaos. Dari suara-suara orang yang membawanya ke kuburan, Putu tahu orang PKI
ini akan dibunuh di kuburan dengan cara digorok. Semua berebut ingin membacok
laki-laki yang diborgol ini. Putu akhirnya melihat pembunuhan "tokoh"
PKI itu dengan mata telanjang dari jarak yang dekat.
Di hari lainnya, Putu juga mendengar pembantaian orang
PKI di kuburan desa. Orang PKI disuruh membuat lubang kuburnya sendiri, lalu
disuruh tidur di lubang itu dan dibacok dari atas. Lubang kubur kemudian
ditimbun. Putu mendengar cerita itu sambil lalu. Ia sudah bosan dan imun dengan
kabar pembunuhan sadis sejenis ini. Situasi di desa semakin gawat. Putu
akhirnya dibawa ke Denpasar untuk tinggal bersama salah seorang kerabatnya yang
anggota tentara.
Sekitar awal Juni 1966, sekolah kembali dibuka dan Putu
Setia kembali pulang ke Tabanan. Kepala sekolah, Pak Dedeh, menyampaikan kabar,
dua guru PKI yang mengajar di SMPN Bajera terkena "garis". Tidak ada
murid yang "kena garis". Sedangkan di SLUB ada beberapa murid yang
"kena tumpas", tapi tidak disebutkan jumlahnya.
4. Konflik Sarjana
PKI dengan Sarjana PNI
Menjelang September 1965, konflik antara pendukung PNI
dan PKI mulai terjadi di semua lapisan di Bali, termasuk di kalangan cerdik
cendikia. Pada awal bulan Agustus 1964, ada musyawarah pembangunan antar
sarjana daerah Bali di Denpasar. Pada saat acara pembukaan, Gubernur Bali Anak
Agung Gde Suteja berhalangan hadir karena mendapat tugas ke Jakarta.
Dikutip dari Buku "Sang Guru, Sebuah Memoar Tentang
Perjuangan dan Pengabdian, Drs. I Nyoman, Sirna MPH", musyawarah ini
penting karena hasilnya diharapkan dapat memberi kontribusi yang berarti bagi
pembangunan Bali. Namun perseteruan politik yang kental ikut mempengaruhi
acara.
Menurut Nyoman Sirna, dalam berbagai persidangan, peserta
yang berafiliasi dengan PKI tampak selalu ingin memaksakan kehendaknya.
Akibatnya peserta lain langsung bereaksi. Saat itu, salah
seorang pimpinan sidang IB Suanda Wisnawa, seorang sarjana yang juga anggota
polisi militer dan perwira keamanan Istana Tampaksiring menunjukkan sikap
tegas. Ia berhasil mengendalikan keadaan sehingga sarjana dari PKI tidak selalu
mendominasi diskusi.
Setelah acara musyawarah pembangunan usai. para peserta
simpatisan PKI mengadukan insiden di acara itu kepada Gubernur Suteja. Mendapat
laporan semcam itu, Suteja marah besar. Dia langsung memanggil Wisnawa ke
kantor gubernur. Mayor Wisnawa memenuhi undangan gubernur tapi menolak untuk
ditegur. Setelah dimarahi Gubernur Suteja, Wisnawa langsung pergi tanpa
berpamitan pada gubernur.
Ketika situasi politik memanas, tindakan sekecil apapun
bisa dinilai sebagai provokasi. Aksi-aksi sepihak yang disokong PKI di kalangan
akar rumput, kerap kali menimbulkan keributan. Kader dan simpatisan PKI sering
melakukan penyabotan dan pengeroyokan, untuk merebut tanah pertanian atau aset
lain. Akibatnya orang-orang yang merasa dianggap musuh oleh PKI akan merasa
terancam.
5. Nyoman Gedur
Tewas Dibunuh PKI di Mendoyo Dangin Tukad
Pada Maret 1965, seorang pemuda bernama Nyoman Gedur di
Mendoyo Dangin Tukad, tewas dibunuh PKI. Peristiwa tragis ini bermula ketika
kader dan simpatisan PKI dari dari Desa Tegal Cangkring, mengumpulkan
kawan-kawannya dengan kentongan dan beramai-ramai mendatangi Desa Mendoyo
Dangin Tukad. Banyak yang membawa klewang dengan diterangi lampu petromaks.
Kader dan simpatisan PKI ini marah karena merasa
orang-orang mereka di Mendoyo Dauh Tukad dilempari batu oleh orang-orang dari
Dangin Tukad. Ketika massa PKI tiba di Desa Mendoyo Dangin Tukad, mereka
berpapasan dengan Pan Riris, tokoh PNI dari Desa Poh Santen. Sehari-hari Pan
Riris adalah supir yang berjaga di Balai Pembibitan Kantor Pertanian Jembrana.
Melihat orang PNI di depan mereka, salah seorang di
kerumunan massa PKI berteriak. Itu Pan Riris! Pasti dia tahu siapa yang
melempar batu. Pasti orang PNI!
Melihat massa siap mengamuk, Pan Riris langsung
berjongkok siap-siap lari. Dari belakang, puluhan orang mencoba menggebukinya
dengan linggis. Beruntung dia lolos meski terluka. Dia langsung dilarikan
keluarganya ke ke rumah sakit.
Ketika Pan Riris kabur, massa makin beringas. Ketika
itulah seorang pemuda di Mendoyo Dangin Tukad, Nyoman Gedur, datang menyongsong
massa dengan marah. Nyoman Gedur sehari-hari adalah pelajar SMA di Denpasar.
Dia marah karena massa datang ke desanya malam-malam dan ingin membuat
keributan. Tapi malang tak dapat ditolak. Bukannya mendengarkan Nyoman Gedur,
massa yang beringas langsung mengeroyok pemuda itu. Dia langsung tewas di
tengah jalan dan mayatnya dibuang.
6. Massa PKI Bunuh
I Parlemen di Alun-Alun Klungkung
Pada 20 Mei 1965, ada perayaan menyambut Hari Kebangkitan
Nasional di Alun-Alun Kota Klungkung. I Parlemen, kawan Nyoman Sirna yang
tinggal di Singaraja, pulang ke kampungnya di Desa Tiingan Klungkung untuk ikut
memperingati momen itu. Hari itu dia ikut menonton keramaian perayaan di
alun-alun Klungkung sambil minum Kopi.
Tiba-tiba di warung kopi itu, dia didatangi oleh Mangku
Jiwa, Ketua PKI Klungkung. Mangku Jiwa langsung menaikkan kakinya ke bangku dan
menginjak paha Parlemen. Sambil membawa klewang dia menepuk pundak Parlemen.
Jadi ini tameng PNI yang berani? ujar Mangku Jiwa.
I Parlemen kaget dan tak bereaksi cepat. Dia tak bisa
menepis ketika Mangku meninjunya. Parlemen terhuyung dan lari ke barat.
Ternyata di sana, sekelompok massa PKI sudah menunggu. Mereka mengeroyok
Parlemen sampai babak belur. Sambil terengah-engah, Parlemen berusaha kabur dan
lari lagi ke depan Puri Agung. Di sana dia jatuh ke selokan dan tewas.
Tewasnya I Parlemen membuat kader dan simpatisan PNI di
Bali marah. Nyoman Sirna bersama kader dan simpatisan PNI lain
menyempatkan diri hadir pada upacara ngaben I Parlemen di Desa Tiingan
Klungkung.
Setelah pembunuhan Gedur dan Parlemen, aksi balas dendam
tak terhindarkan. Banyak bentrokan terjadi secara sporadis.
7. Konflik PNI dan
PKI Soal Tanah Garapan
Permusuhan antara PNI dan PKI diperuncing oleh konflik
soal kepemilikan tanah garapan. Pada 1965. salah satu onderbow PKI yakni
Barisan Tani Indonesia (BTI) kerap melakukan aksi perambahan hutan di daerah
Yeh Embang, Jembrana. Perambahan itu tidak mendapat sanksi apapun dari
pemerintah, bahkan terkesan dibiarkan.
Pada suatu suatu ketika, massa BTI melakukan aksi
besar-besaran pembabatan hutan di kawasan Gunung Prapat Agung, di ujung paling
barat Pulau Bali, di bagian selat Bali yang paling sempit. Hutan di satu gunung
itu langsung gundul dalam satu hari. Protes pun datang dari seluruh lapisan
masyarakat Bali, namun tidak ada tindakan apapun dari pemerintah.
Beberapa hari setelah aksi BTI, Persatuan Tani Nasional
Indonesia (Petani) yang berafiliasi dengan PNI melakukan tindakan serupa dengan
merambah hutan lindung sepanjang jalan antara Cekik dan Sumber Kelampok. Ribuan
orang dari berbagai ormas simpatisan PNI menebang hutan, mengubah kawasan yang
tadinya padat pepohonan menjadi gundul.
Gerakan pembabatan hutan besar-besaran ini merupakan aksi
tandingan terhadap aksi yang dilakukan onderbow PKI.
Pemerintah tak berbuat apapun untuk mencegah aksi brutal
dari kedua belah pihak yang bertikai. Rasa permusuhan yang makin membara itu
tinggal menunggu waktu untuk meledak.
8. Perseteruan
Gubernur Sutedja dengan Wedastera Suyasa
Pada awal 1965, Universitas Marhaen di Singaraja
kedatangan dosen tamu dri Jember yang bernama Utrecht. Profesor Utrecht
menyampaikan keprihatinan soal maraknya aksi demonstrasi di Denpasar yang silih
berganti dilakukan PNI dan PKI. Demonstrasi silih berganti ini dipicu oleh
penangkapan seorang aktivis PNI, Wedastra Suyasa.
Penangkapan Wedastra Suyasa terjadi di Lapangan Puputan
Badung, di tengah penyelenggaraan rapat akbar Front Nasional. Saat itu hadir
ribuan massa dari semua partai Nasakom seperti PNI, PKI, Masyumi, NU, dan
partai lainnya. Para pejabat panca tunggal mulai jaksa, hakim, polisi,
panglima, gubernur, lengkap hadir di acara tersebut. Tujuan rapat untuk
menggelorakan semangat ganyang Malaysia yang dianggap boneka Nekolim
(Neokolonialisme) yang saat itu sedang dikobarkan Presiden Soekarno.
Yang pertama naik mimbar untuk berpidato adalah wakil
PNI, sebagai partai terbesar pasca pemilu 1955. Wedastera Suyasa mewakili PNI
naik ke podium. Dengan lantang Wedastera mulai berpidato. Saudara-saudara, kita
satukan tekad mengganyang Malaysia! Tapi tahukah Saudara ada petani di
Jatiluwih (Tabanan) yang kopinya belum matang untuk dipanen keduluan dipetik
orang Nasakom BTI? Bulan Maret, Nyoman Gedur di Mendoyo Jembrana dibunuh, lalu
di Klungkung I Parlemen dibunuh, pelakukanya adalah mereka yang mengaku paling
revolusioner!
Mendengar pidato Wedastera yang memerahkan kuping kader
PKI, Gubernur Suteja segera naik ke atas panggung. Dia memperingatkan Wedastera
dan mencoba menarik microphone dari tangannya. Terjadi saling tarik dan saling
rebut di atas podium, sampai tentara turun tangan mendamaikan.
Setelah rapat itu, Wedastera langsung dibawa ke Kodam dan
ditahan di penjara Pekambingan. Karena desakan massa PNI yang minta dia
dibebaskan, Wedastera dikirim ke Jakarta menjadi tahanan Kejaksaan Agung. Tapi
aksi demo di Denpasar tak juga mereda. Setiap hari pendemo berteriak Bebaskan
Wedastera dan Ganyang PKI. Tak mau ketinggalan, keesokan harinya PKI pun
membalas dengan aksi tandingan.
9. Pembantaian PKI
Paling Parah Terjadi di Jembrana
Hingga saat ini, masih
banyak kabut seputar peristiwa G30S PKI 1965. Namun yang paling dirasa Nyoman
adalah aksi balas dendam yang begitu masif menimpa semua elemen PKI. Semua
anggota dan pimpinan S3 (Serikat Sekerja Sosial yang didominasi orang-orang
PKI) di seluruh Bali mati dibunuh pasca peristiwa G30S. Korban pertama adalah
Putu Slamet, ia digorok di depan kamar mandi, di kantornya sendiri, Dinas
Sosial di Singaraja.
Mereka yang hanya ikut-ikutan masuk PKI atau hanya
simpatisan organisasi di bawah naungan PKI, banyak menjadi korban. Pada awal
Februari 1966, Nyoman Sirna dan delapan orang mahasiswa STKS mengadakan
penelitian tentang akibat terjadinya G30S di Bali. Penelitian dilakukan di
Kabupaten Jembrana, salah satu Kabupaten dimana pembantaian PKI terjadi paling
parah.
Sekitar dua minggu Nyoman Sirna melakukan penelitian,
meninjau desa-desa dimana banyak terdapat korban pembantaian. Mereka
menemukan berbagai keterangan soal kronologi dan variasi peristiwa
pembantaian.
Ada yang mengaku melihat bagaimana kader PKI
diperintahkan untuk mengumpulkan orang-orang PKI, lalu salah seorang
diperintahkan membunuh semua pengikutnya. Terakhir giliran si tokoh PKI itu
sendiri yang ditembak.
Ada juga sepasukan tentara yang diantar oleh Pemuda Ansor
setempat, menunjuk sebuah kampung dengan mengatakan semua penduduknya PKI,
yaitu Desa Mertasari. Desa itu ada di pinggiran sebelah timur Kota Negara.
Tentara kemudian mengumpulkan semua penduduk Desa Mertasari, membunuh semuanya,
menjarah harta bendanya, dan membakar kampungnya hingga rata dengan tanah.
Di beberapa tempat di kabupaten Jembrana, seperti di
Baluk dan Tukadaya/Melaya, terdapat kuburan massal yang pada masing-masing
lubang berisi mayat di atas 50 orang, tua-muda, anak-anak, laki perempuan. Di
Desa Rening, tempat-tempat pemujaan keluarga (sanggah) dibakar habis karena
pemiliknya dianggap PKI.
Banyak lagi peristiwa lain yang mengerikan. Pantai
Candikesuma merupakan kuburan bagi orang-orang PKI yang ditangkapi dan diangkut
secara bersama dari berbagai desa, dari kota, dari pelosok-pelosok Jembrana.
Ini baru di Kabupaten Jembrana. Daerah-daerah lainnya tak kurang sama seramnya.
Peristiwa pemberontakan G30S adalah sebuah peristiwa sejarah hitam yang besar
dalam perjalanan bangsa Indonesia.
10. Kisah PKI Kebal Peluru dan yang Mati Usai
Nyanyi Indonesia Raya
Kisah kelam pembantaian orang-orang yang dituding anggota
atau simpatisan PKI juga terjadi di Kabupaten Bangli. Seperti yang disampaikan
Made Suganda, yang saat itu baru duduk di bangku SMP kelas 1 di Kota Bangli.
Made Suganda yang waktu itu tinggal di Kelurahan Kawan,
mengaku cukup sering melihat hal-hal sadis yang berhubungan dengan pembunuhan
orang-orang yang dituduh anggota Parta Komunis Indonesia (PKI). Meski baru
duduk di kelas 1 SMP, Made mengaku sering melihat eksekusi para anggota PKi
dari jarak yang cukup dekat.
"Pernah saya melihat dua orang pemuda yang dituding PKI, berjalan menuju Rumah Sakit Bangli, bagian kepalanya terlihat habis ditebas senjata tajam, darah bercucuran dari kepala dua pemuda yang berumur sekitar 25-30 tahun itu, bahkan bagian otak salah satunya kelihatan "klebut-klebut", tapi anehnya mereka masih hidup," kenang Made.
Made kemudian mendengar cerita bahwa kedua pemuda ini
akhirnya dihabisi tameng di kamar jenazah rumah sakit Bangli. Cerita seram
lainnya yang diceritakan Made adalah soal eksekusi orang-orang PKI yang
dilakukan di kuburan area Banjar Kawan Bangli. Made sering melihat orang-orang
PKI yang akan dieksekusi ternyata kebal dari tembakan peluru atau bacokan
senjata tajam. Meski sudah ditembak berulang kali di bagian dada dan perut,
namun orang-orang PKI yang akan dibunuh tak kunjung meninggal dunia.
"Sampai sampai tamengnya (algojo) kewalahan dan mengatakan 'sukeh sajan ngitungang jeleme ne (susah sekali menangangi orang PKI yang kebal ini)," kenang Made.
Orang PKI yang kebal tembakan peluru, akhirnya meminta
kepada algojo agar berhenti menembaknya.
"Sampunang tiang tembake, tusuk gen (jangan saya ditembak, tusuk saja)," ujar salah satu orang PKI yang akan dibunuh, tutur Made.
Akhirnya orang PKI laki-laki yang kebal tembakan peluru
tersebut tewas setelah ditusuk tameng di bagian alat kelaminnya (penis). Cerita
lainnya tentang eksekusi adalah pada saat eksekusi salah satu pentolan PKI di
Bangli. Sebelum dibunuh oleh Tameng dari PNI, tokoh PKI Bangli ini meminta ijin
untuk menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Usai menyanyi Indonesia Raya,
tameng langsung membunuh tokoh PKI ini dengan tusukan pedang.
Saat pembunuhan anggota PKI tahun 1965, Made Suganda juga
mengaku kehilangan salah satu gurunya di SMP yang bernama Wagiman, yang
merupakan guru seni suara dan seni gambar. Wagiman, guru asal Solo, yang baru
saja menikah 'diambil' dan kemudian dibunuh bersama istrinya. Wagiman dibunuh
karena tergabung dalam LEKRA, yakni Lembaga Kebudayaan Rakyat, sebuah
organisasi kebudayaan sayap kiri yang dekat dengan PKI.
"Wagiman ini orangnya sangat baik, pintar, ramah, sangat bagus saat mengajar siswa di SMP. Saat peristiwa 1965, ia baru saja menikah, dan bersama istrinya ia dikumpulkan di balai warga dan kemudian dieksekusi,"kenang Made Suganda.
11. Konflik
Internal Sutedja dan Mantik di PNI Provinsi Bali
Insiden Bali banjir darah periode 1965-1966 merupakan
pelajaran sangat berharga bagi penerus Bangsa Indonesia. Salah satu pemicu yang
paling menonjol setelah Gerakan 30 September 1965 di Jakarta, adalah konflik
internal antar sesama pemeluk Agama Hindu yang taat di Partai Nasional
Indonesia (PNI) Provinsi Bali.
Konflik berupa perebutan kekuasaan dan pengaruh yang
kemudian berubah menjadi bentuk pelampiasan rasa gengsi, keserakahan,
kerakusan, iri, dengki, sakit hati yang berimplikasi pada aksi pengusiran,
pembunuhan, perampokan, perkosaan terhadap kelompok manusia yang tidak berdosa,
dengan mengatasnamakan pemberantasan Partai Komunis Indonesia (PKI) hingga ke
akar-akarnya.
Tragedi politik di Provinsi Bali sangat tidak layak
dijadikan contoh bagi generasi penerus Bangsa Indonesia. Selama beberapa bulan,
pasukan maut milisi menyusuri desa-desa dan menangkap orang-orang yang diduga
PKI. Antara Desember 1965 dan awal 1966, tidak kurang 80.000 hingga 100.000
orang di Propinsi Bali dibantai, atau 5 persen dari populasi Pulau bali saat
itu. Korban pembunuhan, perampokan, dan perkosaan di Bali dengan dalih menumpas
PKI, merupakan populasi terbanyak darri daerah manapun di Indonesia jika
dihitung dari populasi penduduk.
Buku "Nasib Para Sukarnois: Kisah Penculikan
Gubernur Bali, Sutedja, 1966, yang ditulis oleh penulis Aju menyebutkan,
pembantaian di Propinsi Bali merupakan yang paling buruk dalam sejarah
kekerasan politik di Indonesia. Bermula tahun 1950, sebagai salah satu pejuang
kemerdekaan, Anak Agung Bagus Sutedja (27 tahun) ditunjuk Presiden Soekarno
sebagai Kepala Daerah Bali, yang saat itu masih berstatus Provinsi Sunda Kecil
(Bali, NTB, NTT).
Periode jabatan pertama Anak Agung Bagus Sutedja sebagai
Kepala Daerah Tingkat I Bali berakhir tahun 1958. Pada tahun 1958, ketika Bali
resmi menjadi provinsi otonom, Anak Agung Bagus Sutedja kalah dalam perolehan
suara melawan I Nyoman Mantik (sesama pejuang kemerdekaan) di dalam sidang
paripurna pemilihan Kepala Daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
(DPR-GR) Tingkat I Bali. Anak Agung Bagus Sutedja dan I Nyoman Mantik,
sama-sama kader terbaik Partai Nasional Indonesia (PNI) di Propinsi Bali.
Karena Presiden Soekarno menilai Anak Agung Bagus Sutedja
lebih cerdas dan selalu beriringan dengan keinginan pemerintah pusat dalam tata
kelola pemerontahan, perolehan suara terbanyak bagi Nyoman Mantik sama sekali
tidak dijadikan pertimbangan. Anak Agung Bagus Sutedja ditetapkan Presiden
Soekarno sebagai Gubernur Bali periode kedua, berdasar Surat Keputusan Presiden
Soekarno, Nomor 412/M Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Anak Agung Bagus
Sutedja dilantik menjadi Gubernur Bali di Denpasar, tanggal 5 Desember 1959
yang dicatat sebagai Gubernur Bali pertama.
12. Puri Agung
Negara Djembrana Dirusak
Dari sinilah perseteruan politik mulai muncul ke
permukaan. I Nyoman Mantik Mulai menggalang kekuatan untuk melakukan
perlawanan. Sementara Anak Agung Bagus Sutedja selaku Gubernur Bali dan
pendukung setia Presiden Soekarno atau Soekarnois, dalam banyak hal meniru gaya
kepemimpinan Soekarno.
Anak Agung Bagus Sutedja menempuh kebijakan politik
merangkul semua pihak, tapi tidak menjalin komitmen mengikat dengan salah satu
partai politik. Karena jaringan politik di partai internal mulai didominasi
pendukung I Nyoman Mantik, akhirnya PNI Provinsi Bali tersingkir dari anggota
Badan Pemerintah Harian (BPH) daerah Tingkat I Bali oleh Gubernur Bali Anak
Agung Bagus Sutedja.
Sikap merangkul semua pihak menjadi sasaran empuk lawan
politik Anak Agung Bagus Sutedja dalam melakukan manuver. Demonstrasi anti
Gubernur Anak Agung Bagus Sutedja menjadi pemandangan biasa di sejumlah daerah
di Bali selama tahun 1965. Kelompok I Nyoman Mantik secara terang-terangan
menuding Gubernur Bali Anak Agung Bagus Sutedja terlalu kekiri-kirian, seperti
berhubungan baik dengan PKI Provinsi Bali. Kelompok I Nyoman Mantik di dalam
berbagai kesempatan menuding Gubernur Anak Agung Bagus Sutedja mulai
menempatkan sejumlah personil Pegawai Negeri Sipil (PNS) berhaluan PKI di
sejumlah jabatan strategis.
Dalam perkembangannya, I Nyoman Mantik yang anggota
DPR-GR menemukan rekan yang ideal dalam melawan Gubernur Anak Agung Bagus
Sutedja, yaitu Shri Wedastra Sujasa (PNI) yang kemudian dikenal sebagai salah
satu pendiri Parisadha Hindu Dharma. Wedastera yang juga anggota DPR-GR,
dikenal vokal dan sangat anti PKI. Dalam berbagai kesempatan, Wedastera
terang-terangan menuding Gubernur Sutedja sudah dikelilingi kekuatan PKI.
Kedua musuh bebuyutan Anak Agung Bagus Sutedja ini
kemudian diperkuat oleh Widagda, yang merupakan adik kandung Wedastra Sujasa.
Dalam melakukan manuver menyerang Gubernur Anak Agung Bagus Sutedja, gaya
Widagda sangat provokatif. Dalam kesehariannya, Widagda sering
menjelek-jelekkan kepemimpinan Gubernur Bali Anak Agung Bagus Sutedja dalam
berbagai kesempatan.
Puncaknya pada 6 Maret 1965, dimana terjadi pertengkaran
mulut yang hebat antara Gubernur Anak Agung Bagus Sutedja dan Wedastera di
depan rapat umum. Karena manuver politik Wedastera dinilai sudah tidak bisa
lagi ditolerir, Gubernur Sutedja memerintahkan aparat penegak hukum menangkap
Wedastera. Wdastera Sujasa kemudian dilepas dengan berbagai pertimbangan.
Dampak peristiwa G30S 1965 di Jakarta membuat peta
politik di Bali berubah drastis. Pada 1 Desember 1965, saat Gubernur Sutedja
mendapat perintah tugas ke Jakarta hingga batas waktu yang belum ditentukan,
gelombang massa PNI dibawah kendali I Nyoman Mantik, Wedastera, dan Widagda,
bergabung dengan Djamiatul Muslimin Indonesia, Pemuda Ansor Loloan, Partai
Musyawarah Orang Banyak (Murba), menyerbu Puri Agung Negara Djembrana.
Gubernur Sutedja yang sedang bertugas di Jakarta,
berdampak gerakan massa tidak bisa dikendalikan lagi di Bali. Rumah-rumah
anggota PKI yang telah ditandai sebelumnya, dalam sekejap rata dengan tanah.
Keberingasan massa baru berhenti pada 4 Desember 1965 setelah Puri Agung Negara
Djembrana yang berdiri sejak tahun 1830, dinyatakan sudah berhasil
diobrak-abrik. Selama empat hari Puri Agung Djembrana menjadi sasaran amuk
ribuan massa tanpa ada yang peduli.
Massa menjarah maupun memporak-porandakan kekayaan
intelektual, mengambil paksa pusaka peninggalan leluhur milik Puri Agung Negara
Djembrana. Sebanyak enam belas anggota keluarga besar Puri Agung Negara
Djembrana dinyatakan tewas dibunuh, baik di Jakarta, Negara, maupun Denpasar,
sebagai dampak pembersihan terhadap semua pihak yang dituding terlibat
PKI.
13. Eksekusi
Donatur PKI I Gede Puger di Desa Kapal
Konflik internal PNI (dimotori I Nyoman Mantik, Wedastera
Sujasa, dan Widagda), kemudian disetujui kelembagaan Agama Hindu yang
terintegrasi dengan kepentingan Tentara Nasional Indonesia Angkatan darat
(TNI-AD). Pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) tiba di Bali
tanggal 7 Desember 1965.
Dua pekan kemudian, 16 Desember 1965, satu peleton RPKAD
mengundang ratusan massa menonton sebuah pertunjukan kejam dan sangat
mengerikan di Desa Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Sejumlah anggota
RPKAD menyeret I Gede Puger, salah satu donatur Central Daerah Besar (CBD) PKI
Propinsi Bali yang berbadan gempal ke tengah kerumunan massa. Kaki dan tangan I
Gede Puger sudah diikat dengan rantai. Salah satu oknum anggota RPKAD
berpakaian preman kemudian menikamkan sebilah pisau ke perut I Gede Puger
hingga terburai. Dalam keadaan tidak berdaya, kepala Gede Puger ditembak,
kemudian tersungkur bersimbah darah dan tewas seketika, tubuhnya
dimutilasi.
Setelah itu, 30 anggota PKI lainnya yang ditangkap
bersama I Gede Puger, dalam kondisi pucat pasi dirantai, ditarik paksa ke
bagian tengah kerumunan massa dengan berdiri berjejer, lalu ditembak beruntun
sehingga tidak satupun yang tersisa dalam keadaan hidup. Massa yang menonton
kemudian dipaksa anggota RPKAD untuk bertepuk tangan serentak.
Kekejaman RPKAD di Desa kapal menginspirasi masyarakat
supaya bertindak lebih beringas lagi. Aksi kelompok I Nyoman Mantik, Wedastera
Sujasa dan Widagda, serta sikap provokatif Wakil Bupati Gianyar, I Made Kembar
Kerepun dan Ketua Pemimpin Hindu Bali Ida bagus Oka, sekaligus sebagai dukungan
konkret dan pembenaran dilakukannya pembunuhan massal setelah kedatangan RPKAD
di Bali.
Hampir setiap jengkal daerah di Negara, Ibukota Kabupaten
Jembrana terjadi pembantaian. Selain Tegalbadeng, Jembrana, sebagai pemicu awal
pembantaian, satu daerah lain yang menarik adalah Desa Merta Sari di daerah
Loloan. Desa ini adalah Desa Hindu yang berada di tengah kampung muslim Loloan
Barat dan Timur yang dibelah oleh Sungai Ijogading. Saat 1965, Desa Mertasari
adalah basis dari anggota PKI, khususnya Barisan Tani Indonesia (BTI).
14. Semua
Laki-Laki Dibunuh, Merta Sari Jadi Desa Janda
Desa Merta Sari di daerah Loloan, adalah Desa Hindu yang
berada di tengah kampung muslim Loloan Barat dan Timur yang dibelah oleh Sungai
Ijogading. Saat 1965, Desa Mertasari adalah basis dari anggota PKI, khususnya
Barisan Tani Indonesia (BTI). Saat terjadi pembantaian, desa-desa sekitarnya
yaitu Loloan Barat dan Loloan Timur, dikomandani oleh Tameng PNI didukung
satuan Pemuda Ansor melakukan pembantaian terhadap laki-laki yang berasal dari
Desa Merta Sari.
Semua laki-laki habis dibunuh dan di Desa Merta Sari
akhirnya hanya tersisa kaum perempuan saja. Desa Merta Sari kemudian dijuluki
Desa Janda. Kuburan massal adalah hal lain yang menarik ditemui di setiap
jengkal tanah di Jembrana. Selain Tegalbadeng, Toko Wong dan tempat pembantaian
serta kuburan massal, menurut laporan sejumlah penulis, ada dua tempat yang
menarik. Pertama adalah sebuah sumur yang kemudian dinamakan Lubang Buaya di
Desa Melaya. Sumur ini saat pembantaian PKI adalah tempat pembuangan mayat-mayat
yang kemudian ditanami bambu-bambu. Masyarakat Melaya yang tahu akhirnya
percaya bahwa sumur ini angker.
Kedua adalah sebuah pantai yang apabila masuk di jalan
tanah terdapat papan nama bertulis Tempat Wisata Pantai Candikesuma. Di depan
pantai terdapat dua bukit tinggi yang di atasnya berdiri pura. Di atas bukit
itulah dulu para anggota dan simpatisan PKI dijejer dan ditembak sehingga jatuh
ke pantai dan mayatnya langsung hanyut ditelan ombak.
Sebagian besar penduduk di Kabupaten Jembrana yang telah
berusia 60 tahun ke atas sangat tahu dan mengerti peristiwa pembantaian di
Jembrana tahun 1965. Namun menurut sejumlah penulis, baik dari dalam maupun
luar negeri, mereka memilih menutup mulut rapat-rapat, karena masih trauma.
Sejumlah anggota PKI yang dinyatakan hilang setelah dijemput aparat keamanan
diantaranya I Nyoman Puger (Denpasar), Tiaga (Denpasar), Sutaja, Ketut Kandi
(Klungkung), Anom Dade (Denpasar). Tidak kurang dari 27 orang sarjana yang
menjadi pengurus inti PKI atau organisasi sayap kiri PKI di tingkat propinsi
dan kabupaten di Bali sudah tidak diketahui lagi nasibnya setelah dijemput
aparat keamanan dan milisi.
Pada saat itu ada yang dinamakan Komandan Anti G30S PKI.
Siapa saja yang dilaporkan ke komando ini, maka terlapor akan hilang dan
dibunuh. Memang banjar dilibatkan, karena ketua Koordinasi Kesatuan Aksi
Pengganyangan (KOKAP) adalah kelian (pemimpin/ketua/kepala) Banjar. Jadi Kelian
banjar otomatis bertindak sebagai penanggungjawab algojo.
Hanya Gereja Katolik di Bali yang mengambil inisiatif
memberikan perlindungan bagi PKI. Pimpinan Gereja Katolik di tingkat paroki
se-keuskupan Denpasar, menyediakan ruangan khusus bagi pengungsi yang
dikategorikan PKI, karena ada instruksi dari Kardinal Justinus Darmowujono dari
Jakarta.
15. Sadisnya
Pembantaian, Kesaksian Nyoman Sudana
Nyoman Sudana, mantan Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Kalimantan Barat dan mantan Kepala Badan
Persiapan Pembangunan Perbatasan Provinsi Kalimantan Barat, kelahiran Blahbatuh
13 Mei 1947, adalah salah satu saksi hidupnya.
Nyoman bersama salah satu anak kandung Gubernur Bali Anak
Agung Bagus Sutedja, ketika insiden pembantaian terjadi pada Desember 1965,
masih tercatat sebagai siswa SMA Negeri 1 Denpasar.
Aksi pengusiran, pembunuhan, dan pembakaran rumah warga
sudah dianggap lumrah. Nyoman Nawa, salah satu kerabat Nyoman Sudana, terlihat
bingung di dalam rumah keluarga Manikam di Banjar Tusan, Blahbatuh, Kabupaten
Gianyar.
Keluarga mengingatkan Nyoman Nawa agar jangan keluar
rumah atau pulang ke rumahnya di sebelah utara Bale Banjar, karena ada indikasi
ia telah ditarget untuk dibunuh.
Tapi Nyoman Nawa bersikeras pulang dan keluar rumah untuk
melihat situasi. Semenjak itu nasib Nyoman Nawa sudah tidak diketahui lagi
sampai saat ini.
Kejadian lain yang mengerikan terjadi di Yangbatu
Denpasar. Terjadi gerakan spontanitas massa. Dengan berbekal senjata tajam
tanpa ampun mengganyang orang-orang yang dicap PKI. Dalam insiden di Yangbatu
Denpasar ini, Nyoman Sudana menyaksikan pembunuhan sadis terhadap sejumlah
pihak, tanpa perikemanusiaan: leher digorok, mayat dimutilasi, usus terburai.
Menyaksikan adegan sadis, Nyoman langsung lemas dan
pingsan. Beberapa hari Nyoaman tidak nafsu makan. Apalagi salah satu korbannya
adalah staf atta usaha SMA Negeri 1 Denpasar. Korban dijemput paksa dari
kediamannya dan kemudian dihajar ramai-ramai hingga tewas.
Seseorang bisa lolos dari tudingan PKI asal istri dan
atau anak gadisnya terpaksa diijinkan digauli oleh komandan tameng. Orang yang
bertugas menculik dan membunuh PKI saat itu dikenal dengan istilah
"Tameng".
16. Banyak Yang
Dibantai Merupakan Korban Konspirasi
Konflik di masa lalu
berperan penting dan menjadi faktor penentu apakah seseorang layak masuk daftar
yang akan dibantai atau tidak. Proses tidak memakan waktu lama bahkan bisa
secara dadakan. Misalnya kelompok tameng bertemu seseorang di jalan lalu
ditangkap. Lalu dikonfirmasi ke komandan Tameng. Jika Komandan Tameng setuju
maka terjadilah pembantaian.
Hampir tidak ada verifikasi pakah seseorang punya
afiliasi dengan partai komunis atau tidak. Tidak ada jaminan aman dari
pembantaian walaupun seorang pejabat pemerintahan sekalipun. Lawan-lawan
politik PKI senantiasa menaruh curiga pada orang-orang yang menyatakan
kesetiaan kepada Soekarno walaupun tidak otomatis orang tersebut adalah PKI.
Sebagian dari mereka yang dibantai adalah memang PKI tapi sebagian lagi tidak
dapat divalidasi. Banyak dari mereka yang hanya jadi korban konspirasi.
Kelompok tameng berpakaian hitam-hitam bersenjatakan kelewang
(samurai) dan beberapa bedil. Mereka datang menjemput tidak peduli waktu pagi,
siang atau malam. Pintu rumah didobrak, ditangkap, diseret masuk truk. DI
sebuah ladang mereka dipenggal dan kemudian mayatnya didorong ke dalam lubang
kuburan massal.
Pernah terjadi buruan tak ditemukan, lalu anggota
keluarga yang lain dibawa sebagai gantinya. Bahkan ada komandan tameng yang
memanfaatkan mencari jodoh dengan cara memaafkan calon korban asal bersedua
menyerahkan adik perempuannya yang cantik untuk dijadikan istri komandan
tameng. Para tameng sangat berkuasa waktu itu. Ini karena mereka mendapat
legitimasi dari pemuka agama Hindu maupun Islam bawha apa yang mereka lakukan
bukan dosa.
Widagda, sebagai salah satu pimpinan gerombolan algojo
tameng dari PNI Bali. Pada Juli 1967 Widagda divonis Pengadilan Negeri Denpasar
3 tahun penjara, karena terbukti berkali-kali melakukan tindak kriminal
perkosaan terhadap sejumlah perempuan cantik yang sebelumnya dituding secara
sepihak sebagai anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).
Adalah Mudah memberi legitimasi bagi para pemuka agama
itu karena ideologi komunis menafikan keberadaan Tuhan, paling tidak itulah
yang dipahami oleh masyarakat Bali di saat itu. Disamping legitimasi pemuka
agama, diperparah juga oleh ketakutan atas militasni PKI dimasa sebelum G30S.
Sebelum G30S terjadi, PKI sangat militan dengan berbagai show of force yang
membuat lawan politiknya bergidik.
17. PKI Dikenal
Sangat Militan dan Membuat Lawan Takut
Sebelum G30S terjadi, PKI sangat militan dengan
berbagai show of force yang membuat lawan politiknya bergidik.
Berbagai lagu diciptakan untuk mengejek dan membangkitkan semangat. Parade,
pawai, dan provokasi yang berbau pembantaian disebar ke masyarakat. Mereka
bersumpah jika PKI menang maka lawan politik mereka akan dibantai habis-habisan
sampai ke anak cucu.
Kader-Kader PKI di Bali memang dikenal sangat militan.
Bagi PKI, orang lain terutama dari kalangan pemeluk agama Hindu yang taat dan
identik dengan PNI, adalah pihak yang kolot, ketinggalan zaman. Orang PKI
selalu mengklaim dirinya sebagai simbol keintelektualan.
Dalam berbagai diskusi maupun debat publik, orang PKI
selalu mengklaim mampu membuat tidak berkutik pihak lain. Sebaliknya pihak lain
terutama dari kalangan PNI, sedapat mungkin menghindari berpapasan dengan
anggota PKI.
Karena itulah, mobilisasi yang dilakukan dalam
mempertahankan agama sangat mungkin terintegrasi dengan desakan memurnikan
Pulau Bali dalam penertian ritual.
Propaganda PKI bukan gertak sambal, karena pada
pemberontakan PKI di Madiun pembantaian lawan politik oleh PKI benar benar
dilakukan dengan keji. Jadi kengerian yang memiliki landasan trauma jika PKKI
menang maka habislah kita semua
Semua aksi-aksi itu menambah ketegangan politik yang
menang sudah ada sejak lama. Kengerian yang begitu besar terhadap propaganda
PKI ditambah dengan konflik sebelumnya membuat pembantaian ini menjadi sangat
sadis dibanding pembantaian di Jawa atau di tempat lain.
Antipati muncul antara penganut Agama Hindu yang taat dan
para anggota PKI. Orang PKI dalam banyak hal selalu menunjukkan sikap tidak
hormat terhadap praktek keagamaan yang sudah mapan di kalangan pemeluk Agama
Hindu.
Pihak PKI di Propinsi Bali selalu menganggap diri paling
pintar, paling hebat, paling benar, karena selalu mendapat pendidikan secara
periodik dari instruktur yang didatangkan secara khusus dari Uni Soviet maupun
Republik Rakyat China (RRC).
18. Jumlah Korban
Pembantaian Sangat Besar
Seperti halnya di sebagian Jawa Timur,Bali waktu itu
nyaris mengalami perang saudara, ketika orang-orang komunis berkumpul kembali.
Kekuasaan beralih pada orang-orang anti komunis pada Desember 1965, saat
pasukan RPKAD dan unit Komando Daerah Militer Brawijaya dari Surabaya tiba di
Bali.
Komandan militer Jawa mengijinkan pasukan Bali untuk
membantai sampai dihentikan. Jika di Jawa Tengah angkatan bersenjata mendorong
orang-orang untuk membantai PKI, di Bali keinginan untuk membantai sangat besar
dan spontan setelah mendapat logistik. Militer sampai harus ikut campur tangan
untuk mencegah anarki.
Berbagai jenis senjata tajam dari berbagai jenis seperti
celurit, parang, golok, samurai, begitu mudah didapat di sejumlah lokasi
strategis. Anak Agung Made Agung, Kepala Djawatan Penerangan Bali diculik dan
dibunuh. Pembunuhan itu direncanakan wakilnya yang ingin menduduki jabatan
kepala. Sedangkan Lie Lie Tjien, pengusaha yang jadi kasir PKI, selamat jiwa
dan hartanya karena menyogok Widjana, birokrat Bali Utara. Saingan Lie Tjien,
bernama Tjan Wie difitnah hingga gudang kopi milik saudagar itu diserbu massa
dan ratusan ton kopi dibuang ke jalan-jalan Singaraja. Tjan Wie menjadi gila
setelah peristiwa itu.
Angka 80.000 hingga 100.000 orang sering dipublikasi
tentang jumlah korban yang mati sia-sia selama terjadi pembantaian PKI di
Provinsi Bali 1965-1969. Sekitar 5 persen dari jumlah penduduk Bali waktu itu
diperkirakan tewas selama aksi pembantaian orang yang dituding PKI.
Lebarnya perbedaan sosial di seluruh Indonesia tahun
1950-an dan awal 1960 an, di Bali meletus konflik antara para pendukung sistem
kasta tradisional Bali melawan orang-orang yang menolak nilai-nilai tradisional
itu.
Jabatan pemerintah, uang, dan keuntungan bisnis beralih
pada orang-orang komunis pada tahun-tahun akhir masa kepresidenan Soekarno.
Sengketa tanah dan hak-hak penyewa yang berujung pada oengambilan lahan dan
pembantaian ketika PKi mempromosikan aksi unilateral.
Setelah Soeharto berkuasa di Jawa, gubernur-gubernur
pilihan Soekarno dicopot, termasuk Gubernur Bali Anak Agung Bagus Sutedja.
Orang-orang komunis kemudian dituduh atas penghancuran
budaya, agama, serta karakter Pulau Bali. Rakyat Bali seperti halnya rakyat
Jawa, didorong untuk menghancurkan PKI.
19. Dokter
Djelantik Tolak Permintaan Komandan Tameng
Suatu pagi, di RSUP Sanglah Denpasar, segerombolan orang
berpakaian hitam bersenjata klewang dan bedil masuk halaman rumah sakit
Sanglah. Pegawai Rumah Sakit Umum Pemerintah Sanglah sempat dibuat gempar
dengan kehadiran mereka yang kemudian diketahui merupakan para tameng atau
algojo pemburu PKI.
Komandan Tameng meminta kepada Direktur RSUP Sanglah dr
Anak Agung Made Djelantik untuk menyerahkan 6 pasien yang tercatat dalam daftar
yang mereka buat. Keenam pasien tersebut menurut komandan tameng adalah
simpatisan PKI.
Dokter Djelantik menolak permintaan komandan tameng. Jawaban
dr Djelantik:
"Selama para pasien masih dalam perawatan di rumah sakit, maka mereka adalah tanggung jawab saya. Saya tidak bisa menyerahkan mereka selama mereka masih dirawat. Mereka sudah menyerahkan nasib mereka ke tangan saya sejak masuk rumah sakit. kalau mereka sudah selesai dirawat dan berada di luar lingkungan rumah sakit, maka mereka bukan tanggung jawab saya lagi.
Mendengar jawaban yang tegas, para tameng berpandangan
sesaat dan kemudian berpamitan tapi masih menyisakan pertanyaan besar apa yang
bakal mereka lakukan. Kabar ini kemudian menyebar di RSUP Sanglah dan membuat
ke-6 orang pasien yang dicari menjadi stres. dr Djelantik kemudian memberi
intruksi supaya keenam pasien tersebut diperpanjang masa perawatannya. Agar
jangan keluarkan mereka walau sudah sembuh sampai kondisi politik membaik.
Rumah Sakit Umum Pemerintah Sanglah yang berkapasitas 600
orang dijejali hingga 1800 tahanan politik PKI, baik sipil maupun militer.
Diantaranya Sukarlan, Komandan Depo Pendidikan (Dosik).
Tapi ketakutan pasien tak terbendung. Sebagian dari
mereka melarikan diri bersama keluarganya untuk bersembunyi. Ketakutan juga
dirasakan pasien lain dan petugas kesehatan tak terkecuali dr Djelantik sebagai
Direktur rumah sakit yang menghalangi penangkapan pasien.
Malam hari kediaman dr Djelantik digedor beberapa orang
berpakaian hitam-hitam. Mereka mengatakan akan membawa dr Djelantik karena ada
komandan tameng yang sedang sakit. dr Djelantik kemudian berangkat ke tempat
komandan tameng. Ternyata komandan tameng sedang menggigil demam karena
malaria. Jangankan menebas kepala orang, bangun dari tempat tidur saja tidak
bisa.
20. Perlu
Rekonsiliasi Antar Semua Kekuatan Nasional
Hingga saat ini masyarakat internasional masih bungkam
terhadap peristiwa pembantaian tiga juta rakyat indonesia pada tahun 1965-1968.
Dunia luar amat mencintai Bali yang indah, namun tidak pernah tahu atau diam
terhadap pembantaian ratusan ribu penduduk pulau Bali waktu itu. Belum ada
seorangpun yang menyelidiki siapa yang menculik dan membunuh Gubernur Bali Anak
Agung Bagus Sutedja.
Seluruh Rakyat Indonesia tentunya berharap agar tragedi
1965 tidak terjadi lagi di masa depan. Untuk itu hanya ada satu jalan yaitu
rekonsiliasi nasional. Namun Rekonsiliasi nasional membutuhkan kerendahan hati
untuk saling bermaaf-maafan dan membangun kembali saling percaya diantara semua
kekuatan nasional. Agar bangsa ini tidak mudah diadu domba lagi.
Hal ini memang mudah untuk ditulis dan diucapkan, namun
membutuhkan perjuangan yang keras untuk mewujudkannya. Tapi tidak ada pilihan
lain bagi bangsa ini, agar bersama kita bisa kembali berjalan menuju cita-cita
proklamasi 1945, Indonesia adil dan makmur.
Para korban peristiwa G30s/1965 baik yang dituduh PKI
maupun yang tidak terlibat PKi, pada 30 September 2012 telah disucikan secara
agama Hindu dengan upakara atma wedana dan agni hotra di Monumen Bajra Sandhi.
Kegiatan yang dimotori The Sukarno Center ini merupakan yang pertama kali
dilaksanakan di bali. Upacara yang dipimpin sulinggih dari Sarwa Sadaka ini
bertujuan untuk menghapuskan dendam politik serta diskriminasi yang terjadi
selama ini.
"Salah dan benar adalah urusan Tuhan. Korban tahun 1965 yang hilang dan tidak ditemukan jesadnya kami upacarai untuk menyucikan atma dan arwah beliau-beliau. Ini menjadi penghapusan dendam politik dan diskriminasi serta upaya rekonsiliasi," ujar Arya Wedakarna, Presiden The Sukarno Center, yang juga Rektor Unversitas Mahendradatta Denpasar.
0 komentar:
Posting Komentar